Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH PSIKOLOGI POSITIF

PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

KELOMPOK 3:

Alif Shalih Alfikri (202110230311318)

Nurul Naima Lessy (202110230311332)

Berliana Dirga S.W (202110230311334)

Ziada Wildatil Alif (202110230311341)

Muhammad Jahfal E (202110230311342)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS PSIKOLOGI

2023
A. Pengertian
Psychological well-being atau kesejahteraan psikologi merupakan kondisi
seseorang yang memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain, serta mampu
mengambil keputusan secara mandiri dan dapat mengontrol perilaku diri sendiri juga
dapat mengkondisikan sesuai lingkungan agar cocok dengan kebutuhannya,
mempunyai arah hidup yang dapat memberi makna terhadap hidup mereka, seta
mempelajari dan mengembangkan diri mereka (Ryff, 1989).
B. Sejarah Teori dan Tokoh
Bernice Neugarten mengenalkan konsep psychological well-being pada tahun
1961, ia mengartikan psychological well-being sebagai suatu kondisi psikologis
individu pada usia lanjut. Kemudian Ryff mengembangkan teori psychological well-
being pada tahun 1989. Ia beranggapan bahwa psychological well-being merujuk pada
perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktivitas yang
dilakukan oleh individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut
kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari kondisi
mental negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari trauma sampai
penerimaan hidup dinamakan psychological well-being.
Tokoh pengembang teori psychological well-being adalah Carol Diane Ryff
yang merupakan seorang akademisi dan psikolog Amerika. Ryff lahir pada 1 Mei 1954
di Madison, Wisconsin, Amerika Serikat. Ryff mendapatkan gelar sarjana psikologi dari
Beloit College pada 1976 dan menerima gelar doktornya pada tahun 1978. Dia dikenal
karena mempelajari kesejahteraan psikologis dan ketahanan psikologis. Beliau adalah
Profesor psikologi Hilldale di University of Wisconsin-Madison dan beliau memimpin
Institute on Aging. Ryff menjelaskan konsep psychological well-being melalui jurnal
dengan judul “Happiness is everthing, or is it? Explorations on the meaning of
psychological well-being.” Ryff mengembangkan teori psychological well-being
setelah melewati 25 tahun untuk mengkaji banyak hal agar mendukung teorinya dan
Ryff berhasil mempresentasikan teori ini pada 1 Januari 1989.
C. Konsep Teori
Psychological well-being dalam psikologi merupakan penjelasan tentang
keadaan psikologi manusia terkait dengan kebahagiaan. Perasaan bahagia juga bisa
dialami secara individu sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh Ryff sebagai suatu rasa
bersyukur atas nikmat Allah SWT. Teori psychological well-being juga dikembangkan
berdasarkan konsep psikologi positif, yang mencakup perspektif dalam konsep realisasi
diri (self-actualization) Maslow,dan menjadi orang yang berfungsi penuh dari formulasi
kematangan (fully dunctioning person) Rogers, serta teori Allport mengenai
perkembangan setiap individu (formulation maturity). Teori psychological well-being
muncul dari pendekatan eudemonic yang bermakna kebajikan atau kebermaknaan.
Dengan kata lain, teori psychological well-being ada karena pendekatan mengenai
kebahagiaan yang tidak hilang setelah sumber kebahagiaan itu tidak terlihat lagi, di
mana teori psychological well-being merupakan gabungan dari tiga konsep teoritis,
yaitu aktualisasi diri, orang yang berfungsi penuh, dan formulasi kematangan,
terintegrasi ke dalam konsep multidimensi psychological well-being (Ryff & Singer,
2006).
Menurut Ryff & Keyes (dalam Yuliani, 2018) psychological well-being
memiliki enak dimensi teoritis, yaitu:
1. Autonomy
Autonomy atau kemandirian adalah suatu keadaan dimana seseorang
memiliki locus of evaluation yang merupakan suatu kemampuan yang
dimiliki oleh seseorang yang mampu membuat keputusannya sesuai
keadaan dirinya, yakni hal yang baik atau buruk, dan hal yang salah atau
benar (Distina, 2019). Orang dengan locus of evaluation bisa berfungsi
secara penuh atau tidak terpengaruh oleh orang lain karena mampu berpikir
dan berperilaku sesuai standar pribadinya. Secara sederhana kemandirian
bermakna kemampuan seseorang untuk yakin terhadap dirinya dan
mampuan membuat keputusan tersebut secara mandiri (Yuliani, 2018).
2. Positive relations with others
Positive relation with others atau hubungan positif dengan orang lain adalah
suatu keadaan dimana seseorang mempunyai hubungan yang akrab, dan
perasaan yang kuat, seperti empati dan kasih sayang (Distina, 2019).
Dengan kata lain, positive relation with others adalah suatu kemampuan
seseorang untuk untuk berinteraksi atau menjalin hubungan yang positif
dengan orang lain. Orang dengan positive relation with others akan mampu
bersikap dewasa dalam menjalin hubungan (Distina, 2019).
3. Environmental mastery
Environmental masteri atau penguasaan lingkungan adalah dimensi dalam
psychological well-being yang memiliki makna kemampuan seseorang
untuk membentuk lingkungan agar sesuai dengan dirinya, sehingga mampu
mengontrol dan memanfaatkan kesempantan yang ada untuk
mengembangkan diri (Rahama & Izzati, 2021).
4. Personal growth
Personal growth atau pengembangan diri adalah kemampuan seseorang
untuk mengembangkan dan menyadari potensi yang ada di dalam dirinya
(Rahama & Izzati, 2021). Seseorang yang memiliki personal growth akan
terbuka terhadap hal-hal baru.
5. Purpose in life
Purpose in life atau tujuan hidup adalah kemampuan seseorang untuk
membentuk makna hidupnya. Seseorang dengan tujuan hidup akan percaya
bahwa ia hidup karena sebuah alasan dan harus mencapai tujuan tesebut,
sehingga ia akan lebih produktif dan kreatif dalam menjalani hidup (Distina,
2019).
6. Self-acceptance
Self-acceptance atau penerimaan diri merupakan dasar paling utama dari
kesehatan mental yang termasuk ke dalam karakteristik aktualisasi diri.
Penerimaan yang dimaksud merupakan keadaan seseorang yang selalu
berpikir positif terhadap dirinya, sehingga mampu menerima segala
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki diri sendiri (Distina, 2019). Dengan
ini seseorang mampu mengaktualisasikan dirinya karena bisa berfungsi
secara optimal, dan dewasa atau matang.
D. Cara Mengukur (Bentuk-bentuk Asesmen)
Ada banyak cara untuk mengukur psychological well-being. Salah satunya adalah
dengan mengisi skala psychological well-being yang dibuat oleh beberapa ahli. Berikut
cara mengukur psychological well-being dengan beberapa skala, yaitu:
1. Psychological Well-Being Scale (RPWB
Pada tahun 1989 Carol Ryff mengembangkan alat ukur yang diberi nama Ryff’s
Psychological Well-Being Scale (RPWB). Dalam skala ini terdapat 6 dimensi yaitu
Autonomy, Environmental Mastery, Personal Growth, Positive Relation, Purpose
In Life, dan Self-Acceptance. Versi asli skala ini mempunyai total aitem sebanyak
120 yang dibagi menjadi 20 aitem pada tiap dimensi. Kemudian Ryff membuat
dalam versi berbeda dengan aitem tiap-tiap dimensinya berjumlah 14,9,3. Untuk
pengisiannya sendiri partisipan cukup memilih satu jawaban dari skala likert, mulai
dari pilihan nomor 1 dengan keterangan sangat tidak setuju hingga nomor 6 dengan
keterangan sangat setuju. Kemudian data yang diperoleh akan diolah oleh penguji
untuk menentukan hasilnya.
2. The Oxford Happiness Questionnaire (OHQ).
Ada pula alat ukur yang juga digunakan untuk mengukur well-being yaitu The
Oxford Happiness Questionnaire (OHQ). Alat ukur ini dikembangkan oleh Peter
Hills dan Michael Argyle pada tahun 1998. Alat ukur ini digunakan untuk
mengukur kebahagiaan personal dan juga menggambarkan tingkat kepuasan hidup
seseorang (Hills, 2002). Tiap partisipan akan memilih jawaban dari skala likert
nomor 1 sampai nomor 6 dengan total 29 aitem.
3. Alat ukur yang disusun oleh Dieter, Emmons, Larsen, dan Griffin.
Alat ukur lainnya untuk mengetahui psychological well-being seseorang dibuat
oleh Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin pada tahun 1985. Instrumen ini memiliki
5 aitem dan 7 skala jawaban dengan kategorisasi 1 yaitu sangat tidak setuju sampai
7 yaitu sangat setuju. Instrumen ini digunakan untuk mengukur penilaian kognitif
seseorang akan kehidupan yang ia jalani.
E. Faktor-faktor yang Memengaruhi
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi psychological well-being, yaitu:
1. Usia
Menurut Ryff dan Keyes (1995) bahwa terdapat perbedaan usia dalam beberapa
dimensi psychological well-being yang melibatkan tiga kelompok usia yakni
dewasa muda, dewasa tengah, dan lansia. Dewasa tengah menunjukkan well being
yang lebih besar daripada dewasa muda dan lansia, karena dewasa tengah lebih
bebas daripada dewasa muda yang kurang memiliki tujuan serta kurang terfokus
pada dimensi pertumbuhan personal di masa depan yang mengalami penurunan. Di
sisi lain, penguasaan lingkungan meningkat antara dewasa tengah dan lansia maka
penerimaan diri relatif stabil untuk semua kelompok umur (Ryff & Singer, 1989).
2. Jenis Kelamin
Selain perbedaan usia, hasil penelitian Ryff (1989) menjelaskan bahwa dalam
dimensi hubungan interpersonal (environmental mastery) dan pertumbuhan
personal (personal growth) pada perempuan memiliki nilai signifikan yang lebih
tinggi daripada pria, karena kemampuan perempuan dalam berinteraksi dengan
lingkungan lebih baik daripada laki-laki. Laki-laki lebih agresif, kuat, kasar dan
mandiri, sementara perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan
tergantung lebih sensitif terhadap perasaan orang lain. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perempuan memiliki skor yang lebih tinggi secara signifikan
daripada pria pada dimensi hubungan positif dengan orang lain.
3. Status Sosial Ekonomi
Sebuah studi yang dilakukan Ryff & Singer (1996) meneliti pengaruh dari
kemiskinan terhadap kebahagiaan dengan menggunakan alat ukur psychological
well-being dan menemukan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan
dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan
personal. Status sosial ekonomi yang rendah memiliki banyak efek negatif pada
dimensi psychological well-being tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya
perbandingan sosial di mana individu yang lebih miskin membandingkan diri
mereka sendiri untuk sumber daya yang dapat menjembatani kesenjangan yang
mereka rasakan.
4. Budaya
Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di Amerika dan
Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang
lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah
pada dimensi penerimaan diri. Hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang
lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika
memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden
wanita) dan dimensi tujuan hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang
rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita (Ryff, 1994).
5. Kepribadian (Personality Trait)
Menurut Ryff dan Keyes (1995) psychological well-being dapat dipengaruhi salah
satu aspek yaitu kepribadian. Kepribadian yang sehat dari setiap individu dapat
dilihat dari cara coping skill yang efektif, sehingga mampu menghindari stres dan
konflik, bertambahnya kompetensi pribadi dan sosial, dengan contoh penerimaan
diri, dan terjalin dengan lingkungan secara harmonis.
F. Bentuk-bentuk Intervensi
1. Intervensi Psikososial
Intervensi psikososial adalah tindakan atau penanganan untuk klien yang
mengalami masalah psikologi seperti rendah diri, hilangnya rasa percaya diri, rasa
khawatir yang berlebihan, putus asa dan masalah sosial seperti bagaimana perilaku
individu dalam berinteraksi dengan sesama.
2. Intervensi Konseling
Rencana campur tangan yang dilakukan oleh guru BK atau konselor dalam
menghadapi masalah yang dialami peserta didik merupakan salah satu intervensi
yang dapat dilakukan oleh sekolah untuk meningkatkan psychological well-being
peserta didik. Dalam hal ini guru BK masuk ke masalah peserta didik untuk
membantu menyelesaikan masalah yang dialaminya.
3. Well-Being Therapy (WBT)
Well-Being Therapy (WBT) adalah salah satu jenis intervensi yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan psychological well-being yang dimiliki oleh seseorang. Tujuan
utama dari WBT menurut Fava & Ruini (dalam Hartato et al., 2017) adalah
membantu subjek untuk menyadari potensi yang ada dan mencapai keberfungsian
tersebut secara optimal sehingga mampu mengaktualisasikan dirinya dengan baik.
Selama proses intervensi, klien akan didorong untuk merasakan bagian positif dari
diri, merefleksikan potensi yang dimiliki, dan mengingat pengalaman-pengalaman
positif yang pernah dimiliki.
4. Positive Psychotherapy
Menurut Rashid (dalam Khostarina & Diantina, 2021) positive psychotherapy
adalah jenis psikoterapi yang telah divalidasi secara empiris mampu membangun
emosi positif dan meningkatkan purpose in life untuk mengurangi psikopatologi,
serta meningkatkan kebahagiaan (Rashid, 2008). Positive psychotherapy berusaha
untuk memunculkan emosi dan kenangan atau pengalaman positif dalam diskusi
dengan tujuan untuk mengintegrasikan hal positif dan negatif.
5. Savoring Intervention
Savoring intervention merupakan salah satu intervensi psikologi positif, di mana
intervensi ini ditujukan untuk memperhatikan, mengintensifkan, dan
memperpanjang emosi positif yang melekat pada suatu pengalaman (Bryant &
Veroff, 2007).
6. Psychological First Aid
Merupakan intervensi yang ditunjukkan pada anggota masyarakat untuk
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang gangguan kesehatan
mental, mengurangi stigmatisasi dan membekali masyarakat dengan keterampilan
sederhana untuk menolong orang lain di sekitarnya yang mengalami gangguan
mental. Salah satu contoh dari psychological first aid adalah dukungan sosial.
G. Penelitian-penelitian Terkait

Banyak penelitian yang dilakukan mengenai psychological well-being. Salah


satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hartato et al., (2017) yang meneliti
mengenai therapy well-being untuk meningkatkan psychological well-being pada
remaja yang tinggal di panti asuhan remaja X. Penelitian tersebut menunjukkan hasil
yang positif, di mana therapy well-being mampu meningkatkan psychological well-
being yang dimiliki oleh subjek. Hasil terapi dan observasi menunjukkan bahwa subjek
dalam penelitian tersebut mampu meningkatkan well-being yang dimilikinya, hal ini
juga didukung dengan bukti dari hasil observasi yang menunjukkan bahwa subjek
menunjukkan perilaku yang cukup baik dengan tidak melakukan pelanggaran,
mengikuti kelas dengan baik, dan mulai berani mengikuti aktivitas keagamaan yang
ada di lingkungan panti. Hal ini sesuai dengan terapi yang dilakukan, dimana terapi
well-being berfungsi untuk mewujudkan kesehatan mental yang dapat dicapai dengan
membantu klien menyadari potensi dirinya yang sebenarnya dan mencapai
keberfungsian yang optimal.
Penelitian terkait psychological well-being dilakukan oleh Wulansari & Setiawan
(2019) kepada subjek yang berbeda yaitu remaja yang menikah mudah dengan judul penelitian
hubungan psychological well-being pada remaja yang menikah muda yang mendapatkan hasil
bahwa psychological well-being memiliki hubungan yang positif dengan marital adjustment.
Marital adjustment adalah keterampilan atau usaha yang dilakukan oleh pasangan untuk
menjaga dan mewujudkan keharmonisan serta kebahagiaan dalam pernikahan. Dari penelitian
ini dapat dilihat bahwa remaja memiliki psychological well-being yang baik karena mampu
menerima dirinya sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Selain itu,
environmental mastery yang dimiliki individu sudah baik karena mampu mengontrol
lingkungan sehingga nyaman untuk diri subjek. Walaupun begitu, terdapat pula dua dimensi
psychological well-being yang tidak terpenuhi yaitu personal growth dan autonomy.
Penelitian lain dilakukan oleh Rohma & Syah (2021) mengenai gambaran
psychological well-being pada wanita yang menikah muda menunjukkan bahwa wanita yang
menikah muda memiliki psychological well-being yang baik di semua dimensi yang
dikemukakan oleh Ryff.

Penelitian yang memiliki variabel sama dilakukan oleh Angelin & Arianti (2023) yang
menunjukkan bahwa wanita yang menikah muda memiliki psychological well-being yang baik
karena subjek mampu menjalani dimensi psychological well-being yang dikemukakan oleh
Ryff. Hal ini dibuktikan dengan hasil wawancara peneliti dengan subjek yang mengatakan
bahwa setelah menikah subjek merasa lebih bahagia karena mendapatkan dukungan dari
lingkungannya, seperti keluarga dan pasangannya. Bahkan subjek tetap bisa melakukan
personal growth yang diinginkannya walaupun sudah menikah.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, S. (2016). Analisa psikometrik alat ukur Ryff’s Psychological Well-Being (RPWB)
versi bahasa Indonesia: Studi pada lansia guna mengukur kesejahteraan dan
kebahagiaan. In Seminar Asean 2nd Psychology & Humanity (pp. 430-437).

Angelin, P. S., & Arianti, R. (2023). Psychological Well Being Wanita Menikah Muda di Desa
Cigugur Girang Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Psikologi Malahayati, 5(1), hal.
108-118. DOI: 10.33024/jpm.v5i1.8585

Aryono, MM, & Dani, RA (2019). HUBUNGAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING


DENGAN LONELINESS PADA LANSIA YANG MEMILIH
MELAJANG. Proyeksi: Jurnal Psikologi, 14 (2), 162-171.
Distina, P. P. (2019). Pengembangan Dimensi Psychological Well-Being untuk Pengurangan
Risiko Gangguan Depresi. Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan,
10(1), hal. 39-59. DOI: DOI: https://doi.org/10.32923/maw.v10i1.768

Hartato, I., Basaria, D., & Patmodewo, S. (2017). Terapi Well-Being untuk Meningkatkan
Psychological Well-Being pada Remaja yang Tinggal di Panti Sosial Bina Remaja
X. Jurnal Psikologi Psibernetika, 10(1), hal. 20-29. DOI:
http://dx.doi.org/10.30813/psibernetika.v10i1.1038

Hills, P., & Argyle, M. (2002). The Oxford Happiness Questionnaire: a compact scale for the
measurement of psychological well-being. Personality and individual differences,
33(7), 1073-1082.

Ismail S, R. A. (2015). Hubungan Humor Styles dengan Subjective Well-Being pada Remaja
Awal di SMP Negeri 15 Bandung (Doctoral dissertation, Universitas Pendidikan
Indonesia).

Khostarina, T., & Diantina, F. P. (2021). Pengaruh Pemberian Positive Psychotherapy untuk
Meningkatkan Happiness pada Mahasiswa dengan Latar Belakang Broken Home di
Kota Bandung. Journal of Psychological Research, 6(1), hal. 11-17.

Maryam, S. (2013). Potret kesejahteraan psikologis (psychological well-being) waria anggota


IWAMA (Ikatan Waria Malang) (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim).
Rahama, K., & Izzati, U. A. (2021). Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Psychological
Well-Being pada Karyawan. Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 8(7), hal. 94-
106.

Sofia, R., dan Antita, N. (2016). Intervensi Psikologi di Layanan Kesehatan Primer. Buletin
Psikologi, 24(1), HAL. 48-62. DOI:10.221 46/bpsi. 12679.

Rohma, R. N., & Syah, A. M. (2021). Psychological Well Being pada Wanita. Jurnal Conseils:
Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam, 1(1).
DOI:https://doi.org/10.55352/bki.v1i1.201Ryff, Carol D. (1989). Happiness Is
Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of Psychological WellBeing.
Journal of Personality and Social Learning, 57 (6), 1069-1081.

Ryff, C. D., Lee, Y. H., Essex, M. J., & Schmutte, P. S. (1994). My children and me: Midlife
evaluations of grown children and of self. Psychology and Aging, 9(2), 195-205.
Ryff, C.D., & Keyes, M.Kl. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited.
Journal of Personality and Social Psychology, 69(4),719-727.
Ryff, D.C., & Singer, B., (1996). Psychological Well Being : Meaning, Measurement And
Implications For Psychotherapy Research. Psychother Psychosom, (65), 14-23.
Schemutte, P.S. dan Ryff, C.D (1997). Personality and Well Being : Reexaming Methodes and
Meaning. Journal of Personality and Social Psychology. Vol 73.
Syafitri, R., Fitri, W., Wusqa, U., & Elvina, SN (2022). PEREMPUAN PENGEMUDI
ONLINE DI KOTA PADANG. JURNAL SIPAKALEBBI , 6 (1), 19-37.
Yuliani, I. (2018). Konsep kesejahteraan psikologis juga terwujud dalam bimbingan dan
konseling. Jurnal Konseling Inovatif: Teori, Praktek, dan Penelitian , 2 (02), 51-56.
Wulansari, O. D., & Setiawan, J. L. (2019). Hubungan antara Psychological Well-being dan
Marital Adjustment pada Remaja. Psychopreneur Journal, 3(1), hal. 36-46.

Anda mungkin juga menyukai