1. Konsep Psychological Well-being Secara umum psychological well-being dapat diartikan sebagai sebuah rasa kesejahteraaan dimana hal ini dikaitkan dengan rasa bahagia, mental yang sehat dan kesehatan fisik yang dapat dilihat dari pemenuhan kebutuhan dasar manusia itu sendiri seperti sandang, pangan, papan, pendidikan dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa Psychological Well-being adalah sebuah kondisi atau sebuah tingkatan kemampuan individu memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, dan membuat keputusan sendiri untuk tujuan hidupnya, dan mengatur tingkah lakunya sendiri sehingga dapat menciptakan dan mengatur lingkungan yang sesuai dengan kebutuhannya, dan membuat hidup mereka lebih bermakna serta berusaha mengembangkan diri, optimis, dan mampu menghadapi tekanan sosial dengan mengontrol lingkungan eksternalnya. pada tahun 1989 Ryff mencoba merumuskan Psychological well being dengan mengintegrasikan teori-teori psikologi klinis dan psikologi perkembangan. Teori-teori psikologi Klinis yang digunakan oleh Ryff diantaranya adalah: Konsep aktualisasi diri dari Maslow, Konsep kematangan dari Alport, Konsep Fully functioning person (pribadi yang berfungsi utuh) dari Rogers, dan Konsep Individuasi dari Jung. Selanjutnya Ryff merumuskan Psychological well being kedalam enam aspek. Aspek- aspek yang dikemukakan Ryff antara lain penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup 2. Struktur Psychological Well-being Struktur yang membentuk Psychological Well-being ada 6 struktur, yakni : 1. Penerimaan Diri (Self-acceptance) Penerimaan diri merupakan kemampuan seseorang menerima dirinya apa adanya secara keseluruhan baik pada masa lalu maupun sekarang. Individu dikatakan memiliki penerimaan diri secara positif apabila individu tersebut memahami dan menerima berbagai aspek dalam dirinya termasuk di dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang dijalaninya. Sedangkan individu dikatakan memiliki penerimaan diri negatif apabila individu tersebut menunjukkan adanya ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupan masa lalu, bermasalah dengan kualitas personalnyadan ingin menjadi orang yang berbeda dari diri sendiri atau tidak menerima diri apa adanya. 2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others) Yaitu kemampuan individu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. Individu yang memiliki hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan mampunya ia membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dari orang lain. Selain itu, individu tersebut juga memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antarpribadi. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki hubungan positif dengan orang lain maka ia akan terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain. 3. Otonomi (autonom) Yaitu kemampuan individu untuk mengatur hidup dan tingkah lakunya. Individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai dengan bebas, mampu untuk menentukan nasib sendiri dan mengatur perilaku diri sendiri, kemampuan mandiri, tahan terhadap tekanan sosial, mampu mengevaluasi diri sendiri, dan mampu mengambil keputusan tanpa adanya campur tangan orang lain. Sedangkan individu yang memiliki otonomi rendah akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, sertamudah terpengaruh oleh tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah laku dengan cara-cara tertentu 4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery) Yaitu kemampuan individu untuk mengatur lingkungannya, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai dengan kebutuhan. Individu yang memiliki nilai tinggi dalam penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan dan mampu memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungan, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan pribadi. Sebaliknya individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya serta tidak mampu memanfaatkan peluang dan kesempatan diri lingkungan sekitarnya 5. Tujuan hidup (purpose in life) Yaitu kemampuan individu untuk memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya. Individu yang memiliki nilai tujuan hidup tinggi akan memiliki tujuan dan arah dalam hidup, merasakan arti dalam hidup masa kini maupun yang telah dijalaninya, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup serta memiliki tujuan dan sasaran hidup. Sebaliknya individu yang memiliki nilai tujuan hidup rendah akan kehilangan makna hidup, arah dan cita-cita yang tidak jelas, tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu, serta tidak mempunyai harapan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan 6. Pertumbuhan pribadi (personal growth) Individu yang memiliki nilai pertumbuhan pribadi tinggi ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah. Sebaliknya, individu yang memiliki pertumbuhan pribadi rendah akan merasakan tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik 3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Psychological Well-being faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-being antara lain : 1. Faktor-faktor demografis dan klasifikasi sosial Faktor-faktor demografis sendiri mencakup : a. Usia Semakin bertambah usia seseorang maka semakin mengetahui kondisi yang terbaik bagi dirinya. Oleh karenanya, individu tersebut semakin dapat pula mengatur lingkungannya menjadi yang terbaik sesuai dengan keadaan dirinya. b. Jenis kelamin Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi aspek-aspek kesejahteraan psikologis, dimana perempuan memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam membina hubugan yang lebih positif dengan orang lain serta memiliki pertumbuhan pribadi yang lebih baik daripada pria. c. Status sosial ekonomi status sosial ekonomi berhubungan dengan aspek penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Individu yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik dari dirinya. d. Budaya, Sistem nilai individualisme-kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki skor yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan dimensi otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai kolektivisme, memiliki skor yang tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain/ 2. Faktor-faktor lain seperti : a. Jaringan sosial Berkaitan dengan aktivitas sosial yang diikuti oleh individu, misalnya aktif organisasi, kualitas dan kuantitas aktivitas yang dilakukan, serta dengan siapa kontak sosial dilakukan. b. Kompetensi pribadi Yaitu kemampuan atau skill pribadi yang digunakan sehari-hari dan didalamnya mengandung kompetensi kognitif. c. Kepribadian Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif akan cenderung terhindar dari konflik dan stress. 4. Hal-Hal Yang Mampu Meningkatkan Psychological Well-being Beberapa cara untuk meningkatkan Well Being adalah dengan melakukan aktivitas positif. seperti bersyukur dan melakukan suatu kebaikan, bernyanyi, optimis dan penuh perhartian. Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi well being dengan PWB adalah, dengan ketercukupinya kebutuhan psikologis (PWB) dapat meningkatkan well being, seperti otonomi, pergaulan, kmpetensi/efikasi diri. Selanjutnya beberapa cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan PWB antara lain : 1. Terhubung Dengan Orang-Orang Di Sekitar Hubungan positif dan dukungan sosial mampu meningkatkan kesehatan mental dan kebahagiaan bagi individu. Memiliki beberapa teman dekat akan turut melindungi diri dari gangguan psikologis sebagai upaya hidup sehat dan hidup yang baik. Hubungan yang saling mendukung dan membuat individu menemukan arti dalam hidup. 2. Menjadi Individu yang Aktif Gaya hidup aktif akan membantu individu sehat secara mental. Tingginya keaktifan fisik juga dapat menjaga kesehatan seseorang dari penyakit kronis, termasuk penurunan fungsi kognitif, depresi, dan kecemasan. Bahkan, walau keaktifan itu hanya berupa gerakan kecil. Hidup yang baik dan sehat adalah tidak diam dan bermalas-malasan. 3. Selalu Merasa Ingin Tahu Semakin seseorang memiliki pengetahuan maka semakin mampu ia untuk mengendalikan diri dan perilaku sehingga ia akan berada dalam kondisi well- being. 4. Memberi Melakukan kebaikan tak jarang membuat seseorang merasa lebih berarti. Saat seseorang tidak menjadi egois dan mampu memberi, ia telah mampu memandang diri dan lingkungan secara positif. 5. Tidak Pernah Berhenti Belajar Stimulasi mental dan pengetahuan, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal, diperlukan untuk menghasilkan pengalaman-pengalaman hidup yang baru. Hal ini diperlukan dalam tujuan meningkatkan rasa percaya diri dengan keberhasilan hidup. Seseorang yang memiliki pencapaian-pencapaian prestasi tertentu akan mampu memandang diri secara positif dan mampu merasa memiliki hidup yang baik.