Anda di halaman 1dari 17

KESEJAHTERAAN SISWA DI SEKOLAH

Refleksi dan Telaah Psikologi


Oleh Yuli Fajar Susetyo
Fakultas Psikologi UGM
fajar_psy@ugm.ac.id

A. Pengantar
Tidak sedikit siswa menghadapi permasalahan prestasi belajar, penerimaan diri, relasi
dengan gurudan teman-temannya.Beberapa kasus yang sering terjadi di sekolah kita tergambar
dalam hasil diskusi berikut ini.

Siswa . nelongso, ngenes, mereka ingin memiliki sesuatu tetapi tidak mampu,
merasa iri dan cemburu.Mereka minder hanya bergerombol dengan sesamanya dan
tidak mau bergabung dengan teman yang berbeda. Mereka menilai teman yang lainnya
sok pintar. Ada pula yang menangis dikelas karena diejek oleh siswa lain.Bahkan
beberapa diantaranya mendapatkan penolakan dari siswalain secara terbuka karena
kelemahan pemahaman pelajaran,antara lain misalnya tidak memperbolehkan menjadi
anggota kelompoknya. Banyak siswa tersebut menunjukkan nilai akademis yang tidak
sesuai standar. Mereka kurang mampu menerima materi pelajaran. Ketika proses
pembelajaran berlangsung mereka mengajak teman berbicara karena memperhatikan
pun tidak mampu memahaminya (FGD guru SMP di kota Y)

Akibat hukuman fisik berjemur selama satu jam, panas badan anaknya kian parah.
Anak saya trauma dan panas badannya semakin parah, keluhnya. Ia menilai hukuman
fisik sudah tidak patut diberikan kepada murid. Sebaiknya hukuman yang diberikan
berupa mengerjakan tugas sekolah yang ada kaitanya dengan pelajaran, terangnya
(http://BeritaBali.com,Tabanan)

Uraian di atas menunjukkan bahwa di sekolah tempat individu belajar mengembangkan


diri bukanlah tempat yang menyenangkan tetapi justru menimbulkan emosi negatif,
kesedihan, pertengkaran, perasaan tidak mampu, perasaan berbeda dengan kelompok lain, dan
interaksi negatif yang menyebabkan satu pihak menjadi korban pihak lain. Salah satu kajian
Psikologi yang membahas persoalan di atas adalah well-being.
Kajian well-being di Psikologi berkembang seiring dengan perkembangan psikologi
positif sebagai perspektif baru dalam psikologi. Seligman, motor psikologi positif, bukanlah yang

1|Page
pertama meneliti kesejahteraan psikologis, Dari tahun 1950 psikologi humansitik telah
menjelaskan tentang well-being dan mempunyai pengaruh yang besar dalam bidang konseling
dan psikoterapi. Konsep yang dikembangkan Maslow tentang hirarki kebutuhan menjelaskan
bahwa individu mempunyai kebutuhan kebuthan yang bertingkat yang berbeda-beda di setiap
tahapnya: kebutuhan fisiologis, keamanan dan perlindungan, cinta dan kepemilikan
(persahabatan dan keluarga), harga diri (konfiden, prestasi dan respect), dan aktualisasi diri.
Esensi psy well-being dapat dijumpai dalam buku Seligman Flourish: A Visionary New
Understanding of Happiness and Wellbeing and How to Achieve Them. Ada lima elemen inti
yang disingkat dengan akronim PERMA, yaitu positive emotions,engagement , relationship,
meaning, dan accomplishment (dalam Hooper, 2012)
Penelusuran melalui google.scholar, istilah well-beingdigunakan dalam bidang ilmu yang
berbeda-beda, filsafat, ekonomi, sosiologi, psikologi, dan penelitian biologi. Salah satunya
adalah tulisan John S.Mill tahun1871 ( http://dx.doi.org/10.1037/12289-003) tentang ide
individuality yang dipandang sebagai salah satu elemen dari well-being menunjukan bahwa
well-being adalah tema yang menjadi pemikiran para ahli sebelum ilmu Psikologi diakui sebagai
ilmu. Menurut penulis, ide individuality tentang menjadi manusia bebas, hendaknya manusia
mempunyai kebebasan berpendapat, menyatakan pendapatnya, karena adalah moral dasar
manusia, adalah cerminan dari autonomy sebagai dimensi well-being.Selain itu, Mill
berpendapat bahwa kebahagiaan manusia bukan semata-mata hanya menjadi milik pribadi
tetapi juga milik orang lain (http://perilakuorganisasi.com/john-stuart-mill-reformator-
utilitarianisme-sosial.html)

Tulisan ini fokus pada well-being dalam kajian Psikologi dan praktek pendidikan di
Indonesia yang terkait dengannya sehingga dapat menjadi bahan untuk strategi
mengembangkan kesejahteraan siswa di sekolah.Sudut pandang penulis terhadap praktek
pendidikan terkesan negatif karena lebih banyak menyajikan data negatif di sekolah tetapi
penulis harus tegaskan bahwa tidak sedikit pulan kondisi positif yang dapat ditemukan di
sekolah.Namun, untuk menegaskan adanya kebutuhan gerakan memerhatikan kesejahteraan
siswa maka penulis fokus pada sisi negatif tersebut.

2|Page
B. Pengertian well-being dan Penelitian
Di dunia psikologi, yang membahas sesuatu yang wujudnya tidak kongkrit dan
menggunakan konstruk hipotetik sebagai bahasa komunikasi ilmuwan, sering dijumpai banyak
pengertian dan adanya overlap antar variabel. Demikian pula halnya dengan well-being.Sering
digunakanistilah wellbeing, welfare, happiness, maupun life satisfaction untuk menunjuk hal
yang sama. Di dalam well-being sendiri terdapat perbedaan definsi definisi operasional yang
digunakan dalam pengukuran.Oleh karena itu, penting untuk membahas sekilas, apakah yang
dimaksud well-being.
The World Health Organization (WHO) mendefinisikan wellbeing sebagai kondisi (state)
individu mampu merealisasikan kemampuannya, dapat menghadapi secara normal tekanan
kehidupan, mampu bekerja produktif dan menghasilkan, dan mampu memberikan kontribusi
untuk masyarakat.
Istilah well-being ini mengalami perkembangan yang semakin kompleks antara lain
psyhological well-being (kesejahteraan psikologis), subjective well-being (kesejahteraan
subjektif), dan group well-being (kesejahteraan kelompok). Psyhological well-being
berdasarkan pada premis being well yang menunjuk pada rentang karakteristik dan persepsi
terhadap fungsi dari otonomi diri, penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, hubungan
yang positif dengan orang lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri (Ryff dalam Bowman, 2010).
Kesejahteraan subjektif menunjuk pada evaluasi seseorang terhadap kualitas hidupnya
berdasarkan standar yang ditetapkan sendiri. Secara umum, kesejahteraan subjektif terdiri dari
tiga komponen, yaitu: kepuasan hidup, emosi aktif, dan emosi pasif (Ren, 2009).
Jika dilacak perkembangan kajian tentang well-being, maka penelitian well-being sampai
tahun 2000an berasal dari dua perspektif yaitu pendekatan hedonik dan pendekatan
eudaimonik. Kedua pendekatan tersebut masih eksis sampai sekarang.Pendekatan hedonik
fokus pada kebahagiaan (happiness) dan mendefinisikan well-being sebagai pencapaian
kesenangan (pleasure) dan penghindaran rasa sakit. Pendekatan eudaimonik fokus pada
kebermaknaan dan realisasi diri dengan mendefiniskan well-being sebagai tingkat
keberfungsion individu sepenuhnya (Ryan and Deci, 2001).

3|Page
Pandangan hedonic fokus pada kebahagiaan subjektif, yang seringkali disejajarkan
dengan kebahagiaan (happiness) dan secara formal didefinisikan sebagai besarnya afek positif,
rendahnya afek negatif, dan tingkat kepuasan hidup.Sebaliknya, pandangan eudaimonik fokus
pada kesejahteraan psikologis, didefinisikan dalam makna yang lebih luas berkaitan
keberfungsian individu sepenuhnya dan dioperasionalkan dengan enam dimensi, sebagai
kebahagiaan dan kebermaknaanatau seperangkat variabel wellness seperti aktualisasi diri dan
vitalitas (dalam Ryan & Deci 2001).
Uraian tersebut menunjukkan bahwa pengertian well-being yang sering digunakan
dalam penelitian Psikologi mengacu pada subjectivewell-being dan psyhologicalwell-being.
Fokus subjectivewell-being pada makna pleasure versus pain menyebabkan target penelitian
dan intervensi well-being menjadi lebih jelas dan tidak ambigu yaitu memaksimalkan
kebahagiaan dibandingkan psyhologicalwell-being yang lebih kompleks berkaitan dengan
keberfungsian individu seutuhnya. Namun, pemahaman tentang kompleksitas manusia,
keterlibatan aspek sosial, konsep kebermaknaan, dan fungsi otonomi diri menjadi kekuatan dari
konsep psyhologicalwell-being yang memandang well-being manusia tidak semata-mata
berkaitan dengan aspek kesenangan.

C. Anteseden Well-being
Upaya untuk mengembangkan well-being di sekolah, perlu mendapatkan dukungan
teori dan penelitian tentang faktor-faktor anteseden well-being.Menurut, penulis kajian
Deci and Ryan (2001) menunjukan anteseden Well-beingyang relevan dengan keadaan
pembelajaran di Indonesia.Berikut penjelasan secara ringkas dari sumber di atas.
1. Kelas sosial dan kekayaan
Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat di negara-negara kaya lebih bahagia
dibandingkan dengan di negara miskin.Terkait dengan kelas sosial dan kekayaan, penulis
berpendapat bahwa program beberapa pemerintah daerah terkait dengan siswa KMS
(Keluarga Miskin Sejahtera) layak mendapatkan perhatian khusus, karena kekayaan dan
status sosial berdampak pada well-being individu. DikotaX, siswa KMS adalah kelompok
yang sering menjadi pilihan kasus dalam program praktek kerja profesi psikologi,

4|Page
permasalahan yang sering muncul adalah persoalan prestasi akademik, kemampuan
adaptasi, dan kepercayaan diri.
2. Attachment, Relatedness, andWell-Being
Banyak perhatian terhadap peran kehangatan, kepercayaan, dan dukungan
interpersonal hubungannya dengan well-being. Keterikatan sosial dipandang sebagai
kebuthan dasar manusia merupakan hal yang esensial untuk well-beingUraian tersebut
menunjukkan bahwa hubungan antar siswa, hubungan antara siswa dan guru adalah
bagian yang perlu dikelola dengan baik di sekolah.Pendidikan dasar idealnya
mendapatkan perhatian yang lebih dalam kaitannya dengan attachment dan
relatedness. Kejadian kue ulang tahun yang tergambar dalam buku belajar kearifan dari
anak-anak (susetyo, 2014) seyogyanya tidak terjadi lagi karena peristiwa tidak
mendapatkan kue ulang tahun bagi seorang siswa SD maknanya bukan sekedar
kehabisan kue, melainkan saya tidak diterima teman-teman.
3. Goal Pursuit dan well-being
Area penelitian yang telah dilakukan adalah hubungan antara tujuan dan kemajuan
pencapaian tujuan dengan well-being.Penelitian ini cocok dengan teori di psikologi
bahwa perasaan kompeten atau efikasi dengan pandangan bahwa tujuan-tujuan hidup
berhubungan dengan afek positif dan well-being.
Siswa perlu mendapatkan bimbingan untuk menetapkan tujuan belajarnya dalam proses
pembelajaran sehari-hari.
4. Perceived Competence and Self-Efficacy
Penelitian yang luas menunjukkan bahwa perasaan kompeten & konfiden mencapai
tujuan yang bermakna berhubungan dengan peningkatan well-being.Kemajuan tujuan
mempredikisi peningkatan well-being terutama ketika tujuan dinilai penting.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa anak-anak perlu dibimbing untuk mengalami
pengalaman sukses mencapai tujuan. Pengalaman sukses tersebut akan meningkatkan
perasaan kompeten. Guru-guru berperan penting untuk menciptakan peluang agar
siswa menetapkan tujuan, bertindak mencapai tujuan, dan mencapai kesuksesan.

5|Page
Aktivitas sekolah dalam bentuk ekstra kurikuler dapat menjadi sarana untuk
memperbanyak pengalaman sukses tersebut.
5. Autonomy and Integration of Goals
Tujuan yang terinterrnalisasi dan berasal dari kebutuhan intrinsik berhubungan dengan
well-being melalui proses emenuhan kebutuhan.Penelitian menunjukan bahwa
kesuksesan mencapai tujuan akan menimbulkan kebahagiaan hanya ketika
Individu berhasil mengembangkan kemandirian. Pandangan self determination theory
menjelaskan bahwa psyhological well-being dihasilkan dari kepuasan terhadap
pemenuhan kebutuhan autonomy, competence, dan relatedness (Reis dkk.
2000).Aktivitas pembelajaran idealnya mengembangkan kemandirian siswa dalam
melaksanakan aktivitasnya. Pembelajaran dengan pendekatan student centered
learning, penerapakan metode berbasis kelompok, proyek, dan tugas-tugas individu
yang melatih kemandirian layak menjadi pilihan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibenarkan analisis yang mengemuka bahwa
ada masalah di pendidikan kita terkait dengan kesejahteraan siswanya. Penulis, berdasarkan
hasil pengamatan menggunakan istilah Ketidaksengajaan yang membawa petaka yang
berdampak negatif terhadap motivasi dan kesejahteraan siswa. Penulis membatasi faktor
empirik di pendidikan pada tiga hal yaitu: praktek ketidaksengajaan yang membawa petaka,
pandangan tentang prestasi akademik, dan hukuman.
1. Ketidaksengajaan yang membawa petaka

Tidak ada seorang pun guru yang berniat mengganggu kesejahteraan psikologis
siswanya dan membuat siswanya mengalami petaka. Sebagian besar guru pelaku tidak
menyadari betapa berbahayanya keadaan tersebut. Berikut ini, adalah beberapa hal yang
masuk dalam kategori ketidaksengajaan membawa petaka (Susetyo, 2011b).

a. Pandangan negatif terhadap siswa


Tanpa sadar guru mempunyai penilaian tertentu kepada siswanya. Penilaian
negatif ini seringkali mengganggu karena hanya dengan kejadian sekali atau fakta yang

6|Page
tidak lengkap, guru telah memberikan penilaian kepada anak dengan atribut yang
negatif (labelling).

Penilaian guru terhadap siswa mempengaruhi sikap dan perilaku guru kepada
siswa. Fakta tersebut ditemukan oleh DePorter dkk. (2000). Ketika berinteraksi dengan
siswa dari kelompok berkemampuan tinggi, guru-guru cenderung banyak mengumbar
senyum, lebih banyak mengobrol dengan akrab, berbicara dengan penuh intelektual dan
penuh humor, menggunakan kosakata kompleks, dan bertindak lebih matang. Ketika
berhadapan dengan siswa yang berkemampuan rendah, guru-guru yang sama
cenderung berbicara lebih keras dan lambat karena seolah-olah siswa tidak dapat
mendengar, menggunakan kosakata dasar dan kalimat mentah, jarang tersenyum,
berinteraksi dengan gaya lebih instruksional dan cenderung otoriter. Ternyata, guru-
guru memperlakukan siswanya sesuai dengan cap guru tersebut terhadap siswa.

b. Mengajarkan tidak bisa


Seorang anak kecil yang dituntun oleh rasa ingin tahunya yang besar dan tanpa
rasa takut tampak bagaikan orang dewasa yang tidak pernah menyerah. Anak kecil tidak
mengenal kata tidak bisa. Walaupun gagal berkali-kali tetapi jika tidak dilarang orang
dewasa, misalnya orang tuanya maka pasti akan mencoba lagi. Di sekolah, tanpa sengaja
keyakinan tidak bisa semakin sering dialami siswa. Siswa yang mengerjakan Pekerjaan
Rumah sendirian tanpa didampingi orangtuanya dan akhirnya gagal mengerjakan
Pekerjaan Rumah akan berhadapan dengan penilaian bahwa dirinya tidak mampu.
Ketika siswa ini berkali-kali mengalami kegagalan, maka ia semakin belajar bahwa
dirinya tidak bisa. Yang sering terjadi adalah bahwa kata tidak bisa keluar dari bibir
guru yang diyakininya sebagai orang yang hebat atau orang yang tahu kapasitas anak.
Perasaan dan keyakinan tidak bisa siswa tersebut kadang digeneralisasikan pada
konteks yang lain.

c. Lebih mudah menyalahkan daripada memuji

Semangat para guru untuk membuat siswa menguasai materi dapat berdampak
pada sikap menuntut dan mengharuskan. Ketika terjadi kejadian yang tidak
7|Page
semestinya, guru akan mudah memberikan umpan balik yang negatif kepada siswa.
Dalam keseharian mengajar, guru lebih sering kurang peka atas kondisi positif siswa
yang layak mendapatkan pujian. Sebaliknya, guru cenderung mudah menyalahkan atau
mengkritik siswa. Akibatnya, banyak siswa yang sering mendapatkan umpan balik
negatif dari gurunya dibandingkan penghargaan.

d. Memunculkan kekerasan di kelas

Tanpa sengaja ketika seorang menggunakan kata-kata bodoh, telmi, atau


menghukum dengan tamparan dihadapan siswa lain, guru telah memberikan legitimasi
kepada siswa untuk melakukan kekerasan verbal kepada siswa lain. Anak-anak merasa
mendapat pembenaran karena yang menyatakan adalah guru mereka. Peristiwa
kekerasan verbal (termasuk bullying) menjadi pengalaman traumatis bagi anak karena
dilakukan berulang-ulang dan oleh banyak orang pula.

e. Membiarkan siswa terperosok semakin dalam


Seorang siswa yang membutuhkan bantuan seringkali tidak tahu bagaimana cara
menyatakannya. Seorang remaja yang malu akan diam saja, sedangkan remaja yang lain
akan mencari bantuan dengan cara berperilaku mencari perhatian. Apakah guru
mempunyai kepekaan terhadap kebutuhan siswa? Terkadang, ketika seharusnya
memberikan bantuan guru justru menganggapnya tidak ada masalah. Yang terjadi
adalah guru tidak sadar atas adanya perubahan demi perubahan yang dialami siswa dan
akhirnya tersadar ketika sudah menjadi permasalahan yang berat.Termasuk ketika siswa
mengalamai kesedihan, kecemasan, dan depresi tidak dapat mengungkapkan melalui
kata-kata tetapi sering terungkap melalui ekspresi wajah, mata, dan perilaku.

f. Yang penting adalah hasil, cara adalah nomor dua (tidak penting)
Ketika seorang guru ditanya, lebih penting mana antara nilai yang tinggi dengan
kejujuran siswa? Sebagian besar guru menjawab kejujuran lebih penting daripada nilai.
Namun, dalam pembelajaran ternyata banyak yang lebih mementingkan nilai yang
diperoleh siswa daripada kejujuran siswa itu sendiri. Sebagai contoh, guru dengan
segera memberikan pujian pada siswa yang mendapatkan nilai tertinggi dari pekerjaan
8|Page
rumahnya daripada menanyakan bagaimana proses siswa mengerjakan tugas rumah
tersebut.

g. Ukuran sukses tidaknya siswa adalah nilai tinggi pada pelajaran tertentu
Siswa cenderung dianggap pandai ketika ia jago atau memperoleh nilai tinggi
pada pelajaran matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Bahasa Inggris. Sementara
siswa yang memiliki nilai rendah pada mata pelajaran tersebut, walaupun budi
pekertinya baik, disiplin, pekerja keras, berbakti pada orang tuanya, aktif di kampung,
atau merupakan pengurus OSIS seringkali tidak dianggap sebagai anak yang pandai alih-
alih diberi perhatian khusus. Akibatnya, siswa menjadi tidak termotivasi untuk
mengembangkan diri seutuhnya.

Guru, orang tua dan masyarakat berkontribusi atas terciptanya situasi atas
tersebut di atas. Beragam ketidaksengajaan tersebut dapat berakibat fatal, yaitu
menghancurkan unsur-unsur fundamental dari well-being siswa, yaitu afek positif,
kepercayaan diri (efikasi diri), pengharapan siswa, penilaian kompeten, dan rusaknya
elemen hubungan positif.

2. Hukuman dan well-being siswa


Berita tentang hukuman di bawah ini adalah contoh ekstrim dari efek hukuman
yang tidak saja membuat siswa mengalami penderitaan psikologis, bahkan sampai
kehilangan hak hidupnya.

Saat itu, kelas VII E masuk pelajaran bahasa Indonesia.Seorang guru


berinisial W menanyakan kepada seluruh peserta didik tentang PR.
Bagi yang tidak mengerjakan PR, guru tersebut menyuruh siswa
keluar.Ternyata saat itu ada sekitar 13 orang siswa maupun siswi
termasuk Ayu dan Lintang.Siswa laki-laki dihukum lari sebanyak 15
putaran dan perempuan 10 kali putaran. Saat dilaksanakan di
lapangan basket, korban baru dua kali putaran sudah jatuh seketika
(http://pojoksatu.id)

Hukuman masih menjadi pilihan utama guru untuk membentuk perilaku positif
siswa.Bahkan beberapa kasus ditemukannya kekerasan fisik dari guru terhadap

9|Page
muridseperti yang tergambar pada kasus di atas.Semestinya guru yang melakukan teknik
hukuman dalam pembelajaran menyadari dampak buruk dari hukuma. Berikut ini dampat
buruk hukuman (berk dalam Susetyo 2014), yaitu:
1. Orangtua dan guru sering memberikan hukuman fisik (misalnya memukul atau
mencubit) ketika anak berbuat tidak baik misalnya menangis, mengganggu teman,
berkata kasar, dan tindakan agresif lainnya. Namun, kita lupa bahwa hukuman tersebut
juga merupakan bentuk agresi pada anak yang sangat mudah diinternalisasi dan ditiru
oleh anak.
2. Perlakuan kasar pada siswa dapat menimbulkan perasaan terancam, yang mendorong
mereka untuk lebih fokus pada perasaan tertekan mereka sendiri sehingga tidak
mampu berempati pada kebutuhan orang lain termasuk yang diharapkan orangtuanya.
3. Anak-anak yang sering dihukum seringkali menjauh dari penghukumnya, akibatnya
tidak mempunyai kesempatan untuk mengajarkan perilaku yang baik
4. Hukuman dari guru dan orangtua yang berhasil menghentikan kenakalan anak,
membuat guru dan orangtua menjadi puas dan akhirnya mengulangi cara itu. Akhirnya
orang dewasa menjadi senang menghukum dan merasa tidak ada cara lain yang lebih
baik darinya. Dari waktu ke waktu hukuman menjadi lebih sering dilakukan dan
menjelma menjadi pola kekerasan tertentu.
5. Bentuk penggunaan hukuman fisik bisa menular pada generasi berikutnya karena orang
dewasa yang dididik oleh orangtuanya dengan hukuman kekerasan lebih bisa
menerima bentuk-bentuk perilaku kekerasan seperti itu
Uraian tentang hukuman tersebut menunjukkan bahwa hukuman barangkali mampu
mengubah perilaku dan kebiasaan siswa tetapi ada dampak negatif berkembangnya emosi
negatif, terganggunya hubungan, penilaian sebagai orang bersalah dan tidak mampu, dan
pengalaman traumatis akan menghambat partumbuhan seutuhnya. Pendek kata, hukumgan
berdampak negatif terhadap kesejateraan siswa di sekolah.

3. Pandangan tentang prestasi dan well-being siswa


Tidak dipungkiri bahwa prestasi siswa seringkali dilihat berdasarkan ukuran skor total
darihasil tes mata pelajaran yang ditempuhnya. Di beberapa kasus sering dilihat dari beberapa

10 | P a g e
mata pelajaran tertentu seperti matematika, IPA, Bahas Inggris.Akibatnya perbedaan perlakuan
terjadi sebagai akibat dari konsep tersebut.Muculnya kelas unggulan dalam kelas paralel
seringkali menimbulkan masalah dikemudian hari.Konsep self- fulfilling prophecy layak untuk
diketengahkan.

Menurut penulis konsep prestasi perlu dijabarkan lebih luas tidak hanya bidang
akademik (apalagi pelajaran tertentu saja), prestasi dikaitkan dengan potensi terbaik anak
sehingga setiap anak berkesempatan berprestasi, salah satunya adalah menggunakan konsep
kecerdasan majemuk yang lebih optimistis memandang manusia.Model kecerdasan majemuk
menunjukkan beberapa hal penting yang perlu diperhatikan terkait kedelapan kecerdasan
tersebut (Armstrong dalam Susetyo, 2014) yaitu:
1. Setiap orang mempunyai kedelapan kecerdasan tersebut
Teori kecerdasan majemuk bukanlah teori jenis yang menentukan satu kecerdasan yang
sesuai.Teori ini lebih menggambarkan bahwa setiap orang mempunyai kapasitas dalam
kedelapan kecerdasan tersebut. Kedelapan kecerdasan berfungsi berbarengan dengan
cara yang berbeda-beda pada diri setiap orang. Secara umum, individu akan mempunyai
sejumlah kecerdasan yang sangat berkembang, cukup berkembang pada kecerdasan
yang lain, dan relatif agak terbelakang dalam kecerdasan lainnya
2. Orang pada umumnya dapat mengembangkan setiap kecerdasan sampai pada tingkat
penguasaan yang memadai
Gardner menyatakan bahwa setiap orang sebenarnya memiliki kemampuan
mengembangkan kedelapan kecerdasan sampai pada tingkat yang memadai apabila ia
memperoleh dukungan, pengayaan, dan pengajaran yang cukup. Sebagai contoh,
seorang anak yang mempunyai bakat musik yang pas-pasan, dapat mencapai tingkat
kemahiran yang mengagumkan dalam bermain piano atau biola melalui kombinasi
pengaruh lingkungan yang tepat misalnya keterlibatan orangtua, pengenalan musik
klasik sejak masa pertumbuhan, dan pengajaran musik sejak dini).
3. Kecerdasan-kecerdasan tersebut umumnya bekerja bersamaan dengan cara yang unik
Tidak ada kecerdasan yang berdiri sendiri tanpa memerlukan dukungan atau terkait
dengan kecerdasan lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Kecerdasan selalu berinteraksi

11 | P a g e
satu sama lainnya. Seorang pemain sepak bola yang handal, membutuhkan kecerdasan
kinetis jasmani (berlari, menendang, mendrible bola), kecerdasan spasial (menempatkan
diri ketika mendapatkan kiriman bola, mengarahkan arah bola pada titik yang tepat),
kecerdasan linguistik dan interpersonal (berhubungan dengan teman-temannya, pelatih
dan wasit).

4. Ada banyak cara untuk menjadi cerdas dalam setiap kategori


Teori kecerdasan majemuk menekankan pada keanekaragaman cara orang
menunjukkan kemampuan tertentu, baik dalam satu kecerdasan tertentu maupun antar
kecerdasan. Orang mungkin saja tidak dapat membaca, tetapi mempunyai kecerdasan
linguistik yang tinggi karena ia dapat menyampaikan cerita/mendongeng dengan cara
yang memukau atau memiliki kosa kata yang lisan yang luas. Demikian juga, orang
mungkin agak canggung ketika berada di lapanga olah raga, tetapi mampu menunjukkan
kecerdasan kinetis jasmani yang luar biasa ketika merajut tenun, membuat gitar, atau
pantomim.

D. Menggagas guru yang peduli pada kesejahteraan siswa


Penelitian Slade (2001) pada 1.800 siswa sekolah dasar di Australia menemukan
bahwa good teacher mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) membuat semua menjadi
berbeda, 2) membuat perubahan-perubahan dalam interaksi dengan siswa, 3) berani
mengambil resiko, 4) orang yang baik, 5) memberikan kesempatan siswa membuat
pilihan.
Sementara, penelitian Susetyo (2011a) pada guru Sekolah Dasar di Yogyakarta
menunjukkan bahwa guru yang baik adalah guru yang menguasai materi, disiplin,
berkompeten di bidangnya, bisa menjadi teladan, memahami pribadi siswa, profesional,
dan bertanggung jawab.
Penelitian-penelitian di atas memberikan kata kunci yang sama tentang guru
yang baik, yaitu orientasi pada kepentingan siswa. Temuan ini menunjukkan betapa
pentingnya kemampuan guru dalam membuat perubahan-perubahan dalam interaksi

12 | P a g e
dengan siswa, memberikan kesempatan siswa dalam membuat pilihan (Slade, 2001),
dan memahami pribadi siswa (Susetyo, 2011a).
Di sisi lain, rumusan kompetensi guru dan dosen yang termaktub dalam Undang-
Undang Guru dan Dosen No 14 tahun 2005 diharapkan mampu meningkatkan kualitas guru,
yang pada akhirnya akan turut mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Mencermati kompetensi inti guru dan dosen dapat ditemukan pula kompetensi yang mengacu
pada kondisi siswa yaitu: 1) Kompetensi Pedagogik, meliputi: pemahaman terhadap peserta
didik; pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; dan pengembangan peserta didik
untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya, 2) Kompetensi Kepribadian,
meliputi: menjadi teladan bagi peserta didik, 3) Kompetensi Sosial, meliputi: kemampuan
berkomunikasi lisan dan tulisan; dan kemampuan bergaul secara efektif dengan peserta didik.
Kompetensi inti di atas menunjukkan bahwa seorang guru seyogyanya lebih
mengutamakan keadaan siswa dibandingkan dirinya sendiri dan peduli dengan keadaan
siswanya, sehingga tindakan yang diambilnya mengarah pada kepentingan pertumbuhan siswa
untuk menjadi yang terbaik.
Ada lima cara untuk menjadi guru yang mempunyai kepedulian terhadap siswa (Susetyo
dalam Faturochman dkk 2012) sebagai berikut:
1. Mengembangkan cara pandang yang positif terhadap siswa
Setiap siswa mempunyai potensi yang terkadang belum terungkap, tidak diterima, dan
tidak dihargai dalam proses pendidikan. Cara pandang yang positif dapat dikembangkan dengan
menggunakan konsep kecerdasan majemuk.
2. Menciptakan suasana kelas yang nyaman bagi semua anak
Siswa membutuhkan suasana kondusif untuk dapat merasa nyaman berada di dalam
kelas. Pernahkah Anda merasa diabaikan atau diacuhkan oleh orang lain? Keberadaan bersama
orang lain membutuhkan penerimaan dan penghargaan. Perhatian dan penghargaan membuat
seseorang merasa nyaman dan merasa diterima, sehingga hal itu akan mendorongnya untuk
semakin mengembangkan kemampuannya. Oleh karena itu, seorang guru perlu
mengembangkan kemampuan memahami apa yang dirasakan siswa dan menyediakan diri
untuk melindungi siswa.

13 | P a g e
3. Membangun hubungan apresiatif
Hubungan guru dan siswa bukanlah hubungan yang kering dari aspek emosi. Namun
demikian, tidak jarang hubungan tersebut sebatas Anda belajar dan Saya mengajar, atau jika
ada hubungan personal maka terbatas pada beberapa siswa tertentu.
Komunikasi apresiatif dapat dilakukan dalam setiap interaksi antar guru siswa dan juga
antar siswa. Komunikasi apresiatif memfasilitasi siswa berpikir tentang keadaan dirinya yang
sekarang, berusaha mencari sisi positif dirinya, menyadarkan tentang tujuan siswa, dan
menyadarkan siswa tentang tindakan apa saja yang akan dilakukannya untuk mencapai cita-
cita. Dengan melakukan ini, maka hubungan yang saling menghargai dan saling mendukung
antar siswa dan guru akan menguat.
4. Memperlakukan siswa sebagai insan yang bermartabat
Siswa bukanlah benda mati yang tidak punya perasaan. Sebagai individu yang unik,
siswa senang ketika dianggap penting. Dirinya pun menginginkan orang lain termasuk gurunya
menganggap dirinya penting.
5. Menciptakan saling menghargai antar sivitas akademik di kelas/sekolah
Menurut Rogers (dalam Palmer 2003) pendidikan menuntut perlunya perilaku guru yang
menerima siswa sesuai dengan potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan
nyaman, serta membangun hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai
aktualisasi diri. Dalam proses pendidikan dibutuhkan rasa hormat, empati, dan suasana yang
tulus untuk mencapai perkembangan yang sehat.
Budaya senyum, sapa dan salam dapat menjadi pilihan untuk menjadi awal dari
terciptanya sikap saling menghargai. Berkomunikasi secara santun, menghargai ide dan
karya orang lain, menghormati hak orang lain, dan menghargai siapa pun termasuk tukang
kebun dapat menjadi cermin dari sikap penghargaan kepada orang lain. Semangat Asih dan
Asuh perlu dikembangkan antara guru, tenaga kependidikan, dan siswa dalam interaksi
sehari-hari. Guru perlu menunjukkan penghargaan kepada siswa melalui sapaan dan
perhatian, pujian dan komentar positif, ekspresi positif (senyum), menghargai karya siswa,
menghargai ide/pendapat siswa, menghargai usaha siswa, dan menghindari tindakan yang
melecehkan siswa. Selanjutnya, guru dan siswa dapat menyusun aturan atau etika bersikap

14 | P a g e
dan berperilaku di kelas berdasarkan pada prinsip menghormati dan menghargai orang lain.
Akhirnya, secara makro sekolah melalui pimpinan sekolah dapat mengembangkan aturan
etika berperilaku di lingkungan sekolah yang berlaku bagi guru, siswa, dan tenaga
kependidikan (karyawan).

E. Model konseptual pengembangan well-being di sekolah


Konsep lebih luas yang membahas well-being dalam kaitannya dengan peran sekolah
dikembangkan oleh Konu & Rimpela (2002).
Model school well-being Konu & Rimpella dipaparkan dalam gambar di bawah ini.

Sumber: Konu & Rimpella. 2001. Hal 83


Well-being berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan dasar siswa yaitu kebutuhan yang
berkaitan dengan having (memiliki), loving (mencintai), being (ada), dan health (kesehatan).
Pengembangan well- being di sekolah dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu kondisi
sekolah, hubungan sosial, pengembangan diri, dan status sosial. Kondisi sekolah terdiri dari
tersedianya organisasi pelayanan pengembangan kesehatan fisik, konseling dan layanan

15 | P a g e
psikologis, serta keamaan sekolah. Hubungan sosial di sekolah dapat dibedakan menjadi
hubungan antar siswa, antar guru, antara guru dan siswa, serta antara orang tua dan sekolah.
Pengembangan diri berkaitan dengan peluang siswa untuk belajar sesusai dengan kemampuan
dan bakat siswa melalui pemberian umpan balik, dorongan, dan dukungan yang ada. Status
kesehatan dapat dilihat dari gejala psikosomatis dan isu-isu kesehatan mental remaja. Selain
itu, menurut penulis well-being di sekolah melibatkan hubungan saling pengaruh dari kondisi
rumah, masyarakat, dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu membangun well-being siswa perlu
melibatkan upaya membangun rumah (keluarga) dan masyarakat.Selain itu, upaya
pengembangan well-being terprogram sepanjang siswa menempuh pendidikan di sekolah.

Kesimpulan
Well being bukanlah konsep sederhana tentang kesenangan. Kajian tentang well-being
sejak masa sebelum psikologi lahir sudah dikaitkan dengan sifat dasar manusia. Konsep well-
being yang dapat dijadikan acuan dalam pendidikan di sekolah idealnya bukan hanya berbicara
tentang pendidikan yang menyenangkan, lebih luas lagi adalah pendidikan yang
mensejahterakan siswa dalam arti terfasilitasinya pertumbuhan diri dalam kondisi bahagia
sehingga istilah psyhologicalwell-being lebih tepat untuk digunakan atau menggunakan secara
bersama-sama komponen psyhologicalwell-being dan subjectivewell being berdasarkan kajian
psikometri.
Praktek pendidikan di Indonesia masih menunjukkan kurangnya perhatian dan usaha
terencana untuk memajukan kesejahteraan siswa.Bahkan guru, orang tua, dan sekolah terjebak
dengan paradigma yang dapat menyebabkan bertindak yang merusak well-being siswa.
Konsep Konu & Rimpella (2002) cukup komprehensif untuk dijadikan acuan
mengembangkan kesejahteraan siswa dengan melibatkan orang tua (keluarga) dan masyarakat
sekitar yang terprogram dalam rentang waktu sejak siswa masuk sampai menyelesaikan masa
belajar di sekolah tersebut.

16 | P a g e
Daftar Pustaka

Bowman N.A. (2010). The Development of Psyhological Well-Being Among First-Year College
Students. Journal of College Student Development, Volume 51, Number 2, pp. 180-200
Deci R., M., and Ryan D.L. (2001). On Happiness and Human Potentials:A Review of Research
on Hedonic and EudaimonicWell-Being. Annu. Rev. Psychol. 2001. 52:14166
DePorter, B., Reardon M., & Singer-Nourie, S. (2000). Quantum Teaching. Mempraktikkan
Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas (terjemahan : Ary Nilandari). Bandung :
Penerbit Kaifa
Hooper, Jeni.(2012). .What children need to be happy, confident and successful : step by step
positive psychology to help children flourish. Pentonville RoadLondon N1 9JB, UK:
Jessica Kingsley Publishers
Konu A, & Rimpel M. (2002) Well-being in schools: a conceptual model. Health Promotion
International.. 17(1):79-87
Ren W. (2009) A Research on the Subject Well-being of Regional College Students. International
Journal of Psyhological Studies, Vol. 1, No. 1, 51 54.
http://www.ccsenet.org/journal.html (diakses 5 April 2011)
Slade M. (2001) What is a Good Teacher?: The Views of Boys. International Education Journal
Vol 2, No 4, 240-253. Research Conference Special Issue.
http://www.flinders.edu.au/education/iej (diakses pada 5 April 2011
Susetyo, Y.F. (2011a). Eksplorasi kompetensi Good Teacher Guru Sekolah Dasar di Yogyakarta.
Laporan penelitian. Tidak diterbitkan
Susetyo, Y.F. (2011b). Rahasia Sukses menjadi MotivatorSiswa. Panduan Guru Memotivasi
Siswa di Kelas. Yogyakarta: Penerbit Pinus
Susetyo Y.F dalam Faturochman, Minza, dan Chizanah (editor). 2012. Psikologi Untuk
Kesejahteraan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Fakultas Psikologi UGM

Mill J.S. 1871. Of individuality, as one of the elements of well-being.On liberty. , (pp. 107-143).
Boston, MA, US: James R Osgood and Company, , 223
pp. http://dx.doi.org/10.1037/12289-003diunduh 19 agustus 2015

http://perilakuorganisasi.com/john-stuart-mill-reformator-utilitarianisme-sosial.html
diunduh pada 19 Agustus 2015.

http://beritabali.com/read/2015/04/17/201504170002/Anak-Dijemur-Guru-Hingga-Sakit-
Ortu-Siswa-Protes.html diunduh 18 Agustus 2015
http://pojoksatu.id/pojok-news/2015/02/06/jalani-hukuman-guru-siswa-smp-ini-tewas/
diunduh 18 Agustus 2015

17 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai