Anda di halaman 1dari 38

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan karakter sudah menjadi kebutuhan dan cita-cita fundamental

bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang religius atau beragama, di

mana dalam setiap Agama diajarkan karakter atau akhlak mulia kepada

pemeluknya. Mengingat pentingnya pendidikan karakter ini, pemerintah pun

mengaturnya di dalam undang-undang pendidikan nasional. Secara eksplisit

dikatakan pendidikan nasional memiliki fungsi dan tujuan antara lain membentuk

watak dan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan, serta berakhlak mulia (Undang-Undang

Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 bab II pasal 3).

Kemendesakan pendidikan karakter tidak hanya didorong oleh cita-cita

dan undang-undang di atas, melainkan didorong juga oleh situasi dan kondisi

jaman sekarang yang sedang mengalami perubahan tata nilai. Terjadinya perilaku

menyimpang dari norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya, meningkatnya pola

hidup konsumeristis dan hedonistis, gaya hidup serba instan, dan berfoya-foya

menjadi indikator bergesernya nilai-nilai moral dan menurunnya kualitas karakter

generasi muda.

Tidak sedikit orang tua mengeluh tentang tingkah laku anak remajanya

yang sulit diatur. Begitu pula guru yang sehari-hari harus berhadapan dengan

perilaku siswa remaja yang sangat kompleks. Dahulu para siswa masih

menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, sekarang nilai-nilai itu digilas oleh nilai-

nilai yang lebih praktis dan efisien. Mereka tidak perlu lagi bekerja keras untuk

mendapatkan nilai yang bagus, sebab dengan menyontek saja nilai yang bagus itu
1
akan bisa dicapai dan naik kelas. Tuntutan sosial dan keinginan mempertahankan

harga diri di mata teman-teman sebaya telah mendorong kegiatan menyontek

menjadi hal yang biasa dan wajib dilakukan. Nilai efektivitas telah menggantikan

nilai kejujuran (Koesoema, 2015). Tidak hanya menyontek, tetapi perilaku

menyimpang lainnya seperti pergaulan bebas, merokok di sekolah, minum

minuman keras dan narkoba (drugs), terlibat perkelahian, hamil di luar nikah,

menonton film porno, serta perilaku lainnya yang mengancam rusaknya tata nilai,

merupakan persoalan atau tantangan yang menghantui pergaulan remaja.

Tanggung jawab yang besar untuk membantu remaja menghadapi

tantangan-tantangan di atas umumnya dilimpahkan kepada sekolah. Sekolah

diharapkan menjadi pusat perubahan masyarakat atau tempat berlangsungnya

revolusi mental. Oleh karena pentingnya tanggung jawab ini, maka diperlukan

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter secara sistematis,

integral dan holistik.

Salah satu sekolah yang berupaya untuk mengimplementasikan pendidikan

karakter adalah SMK Sint Joseph. Sekolah ini telah berdiri sejak 1976 yang saat

ini berfokus pada jurusan Mesin Umum. Sekolah ini memiliki visi untuk

mencetak calon-calon pemimpin Indonesia masa depan yang beriman, mandiri,

berintegritas, kompeten, serta peduli terhadap masyarakat dan bangsa dalam

semangat Santo Vincentius a Paulo.

Siswa-siswi SMK Sint Joseph dididik dan dibina secara khusus agar dapat

menjadi lulusan yang berkualitas dan berakhlak mulia. Semua siswa diwajibkan

mengikuti sistem belajar blok yang dimana mengelompokkan proses binaan

khusus yang meliputi aspek intelektual dan karakter dapat terlaksana secara

2
integral-holistik. Ciri khas lain yang dimiliki oleh sekolah ini adalah penampilan

para siswanya. Keseragaman di atur dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tidak

hanya pakaian yang harus seragam, tetapi potongan rambut wanita harus sama

pendek dan potongan rambut pria juga harus sama modelnya. Penampilan mereka

terlihat sangat rapih dan elegan.

B. Fokus Penelitian dan Rumusan Masalah

Fokus penelitian ini adalah manajemen pendidikan karakter pada SMA

Kristen 2 Binsus Tomohon. Untuk itu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perencanaan pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph?

2. Bagaimana pelaksanaan pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph?

3. Bagaimana evaluasi pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph?

4. Apa saja faktor pendukung pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph?

5. Apa saja faktor penghambat pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh deskripsi yang rinci dan

jelas tentang:

1. Perencanaan pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph.

2. Pelaksanaan pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph.

3. Evaluasi pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph.

4. Faktor-faktor pendukung pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph.

5. Faktor-faktor penghambat pendidikan karakter pada SMK Sint Joseph.

3
D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoretik dan

praktis.

1. Manfaat Teoretik

Secara teoretik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

- Mengembangkan keilmuan dalam bidang manajemen pendidikan dan

mengembangkan model pendidikan karakter yang integral-holistik.

- Menjadi bahan acuan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada:

- Pimpinan yayasan sebagai pemangku kebijakan pendidikan dalam

merumuskan kebijakan pendidikan karakter.

- Pimpinan sekolah, guru, dan seluruh warga sekolah dalam merumuskan

perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter.

- Para pemerhati pendidikan tentang pedoman manajemen pendidikan

karakter.

4
II. ACUAN TEORETIK

A. Manajemen Pendidikan

1. Konsep Dasar Manajemen

1.1. Pengertian Manajemen

Kata manajemen sering dihubungkan dengan istilah bahasa Italia

maneggiare yang berarti ‘mengendalikan’. Kata ini mendapat pengaruh dari

bahasa Perancis manège yang berarti ‘kepemilikan kuda’ (yang berasal dari

Bahasa Inggris yang berarti seni mengendalikan kuda). Bahasa Perancis lalu

mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi ménagement, yang memiliki arti

seni melaksanakan dan mengatur. Berdasarkan etimologinya, istilah manajemen

sebenarnya berasal dari bahasa Latin manus yang berati ‘tangan’ dan agere yang

berarti ‘melakukan’. (http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.manajemen, diakses 5

April 2013). Jadi, secara harafiah manajemen berarti mengatur, melaksanakan

dan mengendalikan sesuatu.

Dalam perkembangannya, istilah manajemen mendapatkan pengertian

yang lebih spesifik dan variatif dari para ahli. Harold Koontz dan Hein Weirich

dalam Kambey (2006: 2), mendefinisikan manajemen sebagai “proses mendisain

dan memelihara lingkungan di mana orang-orang bekerja bersama dalam

kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu secara efisien”.

Sementara itu, Sanches dalam Kambey (2006: 2), mendefinisikan manajemen

sebagai “proses mengembangkan manusia”.

Manajemen bukan sekedar proses melakukan sesuatu, melainkan sebagai

seni. Mary Parker Follet dalam Sule dan Saefullah (2010: 5) menegaskan

5
“manajemen is the art of getting things done through people” (manajemen adalah

seni menyelesaikan sesuatu melalui orang lain). Manajemen sebagai proses

ataupun seni senantiasa terarah pada suatu tujuan yang hendak dicapai dan

melalui tahapan-tahapan yang pasti, yakni perencanaan, pengorganisasian,

pengarahan dan pengendalian. Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Nickels dkk.

dalam Sule dan Saefullah (2010: 6). Mereka menyebutkan pengertian manajemen

sebagai “the process used to accomplish organizational goals through planning,

organizing, directing, and controlling people and other organizational goals”

(proses yang digunakan untuk mencapai tujuan organisasi melalui perencanaan,

pengorganisasian, pengarahan, dan pengontrolan orang dan tujuan organisasi

lainnya).

Definisi dari kata manajemen ternyata banyak, tergantung pada persepsi

masing-masing ahli. Namun, terdapat salah satu definisi klasik tentang

manajemen yang dirumuskan oleh George Terry dalam Indrajit dan Djokopranoto

(2011: 315), yakni “management is a distinct process consisting of planning,

organizing, actuating, and controlling, performed to determine and accomplish

stated objetctives by the use of human beings and other resources”. Dari kutipan

ini ditegaskan manajemen sebagai suatu proses perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan pengontrolan melalui orang atau sumber daya lain untuk

mewujudkan tujuan. Proses yang dikemukakan Terry inilah yang secara populer

dikenal dengan singkatan POAC (planning, organizing, actuating, controlling).

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli di atas, maka

manajemen dapat diartikan sebagai suatu proses yang terdiri dari rangkaian

6
kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian sumber

daya organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

1.2. Fungsi Manajemen

Fungsi manajemen sebenarnya telah tertuang dalam definisi manajemen

yang dikemukan oleh para ahli, yaitu perencanaan, pengorganisasian,

pelaksanaan, dan pengendalian/pengawasan. Pembagian fungsi-fungsi manajemen

ini bertujuan agar sistematik urutan pembahasannya lebih teratur, analisis

pembahasannya lebih mudah dan lebih mendalam, dan sebagai pedoman bagi

manajer dalam melaksanakan proses manajemen (Hasibuan, 2005).

1.2.1. Perencanaan

Perencanaan merupakan suatu proses memikirkan dan menetapkan secara

matang arah, tujuan dan tindakan sekaligus mengkaji berbagai sumber daya dan

metode yang tepat. Gibson dalam Sagala (2010: 56) mengemukakan pengertian

perencanaan sebagai berikut “perencanaan mencakup kegiatan menentukan

sasaran dan alat yang sesuai untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan”.

Sergiovanni dalam Sagala (2010: 57) menegaskan: “plans are guides,

approximation, goal post, and compass setting not irrevocable commitments or

dicision commandments”. Artinya perencanaan yang dibuat secara matang akan

berfungsi sebagai kompas atau penunjuk arah untuk mencapai tujuan organisasi.

Lebih lanjut Mulyati dan Komariah dalam Tim Dosen (2011: 93-95)

mengemukakan fungsi perencanaan sebagai berikut:

a. Menjelaskan dan merinci tujuan yang ingin dicapai.

7
b. Memberikan pegangan dan menetapkan kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.
c. Organisasi memperoleh standar sumber daya terbaik dan
mendayagunakan sesuai tugas pokok fungsi yang telah ditetapkan.
d. Menjadi rujukan anggota organisasi dalam melaksanakan aktivitas yang
konsisten prosedur dan tujuan.
e. Memberikan batas kewenangan dan tanggung jawab bagi seluruh
pelaksana.
f. Memonitor dan mengukur berbagai keberhasilan secara intensif
sehingga bisa menemukan dan memperbaiki penyimpangan secara dini.
g. Memungkinkan untuk terpeliharanya persesuaian antara kegiatan
internal dengan situasi eksternal.
h. Menghindari pemborosan.

Aktivitas perencanaan dimulai dengan meramalkan proyeksi yang akan

datang. Setelah proyeksi sudah diramalkan, maka langkah selanjutnya adalah

menetapkan sasaran dan kondisinya, menyusun program kegiatan, proses

pelaksanaan yang tertuang dalam jadwal kegiatan, anggaran dan alokasi sumber

daya, mengembangkan prosedur standar, dan menetapkan serta menginterpretasi

kebijaksanaan. (Syafiie dalam Kompri, 2015).

Berdasarkan jangkauan waktunya, perencanaan dapat dibagi menjadi

perencanaan jangka pendek, misalnya satu minggu, satu bulan, satu semester dan

satu tahun, perencanaan jangka menengah yaitu perencanaan yang dibuat untuk

jangka waktu tiga sampai tujuh tahun, dan perencanaan jangka panjang dibuat

untuk jangka waktu delapan sampai dua puluh lima tahun (Sagala, 2010).

1.2.2. Pengorganisasian

Mengorganisasikan adalah proses mengatur, mengalokasikan dan

mendistribusikan pekerjaan, wewenang, dan sumber daya di antara anggota

organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Stoner dalam Tim Dosen (2011: 94)

menyatakan bahwa mengorganisasikan adalah “proses mempekerjakan dua orang

8
atau lebih untuk bekerjasama dalam cara terstruktur guna mencapai sasaran

spesifik atau beberapa sasaran”.

Proses pengorganisasian terdiri dari tiga langkah. Pertama, rincian seluruh

tugas atau pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan. Kedua,

pembagian beban pekerjaan untuk dilaksanakan oleh masing masing-masing

orang yang dilibatkan. Ketiga, pengadaan dan pengembangan suatu mekanisme

kerja untuk mengkoordinasikan pekerjaan setiap anggota menjadi kesatuan yang

harmonis (Fattah, 2004).

Di pihak lain, Marno dalam Kompri (2015: 22) menyebutkan aktivitas

pengorganisasian dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah seperti

“menentukan sasaran atau tujuan, penentuan kegiatan-kegiatan dan

pengelompokkannya, pendelegasian wewenang, jumlah personil, perincian tugas

dan tanggung jawab, tipe organisasi dan bagan atau struktur organisasi”.

1.2.3. Pelaksanaan

Pelaksanaan merupakan proses implementasi program sebagaimana telah

ditentukan dalam kegiatan perencanaan agar bisa dijalankan oleh seluruh pihak

dalam organisasi serta proses memotivasi agar semua pihak dapat bertanggung-

jawab dengan penuh kesadaran dan produktivitas yang tinggi (Sule dan Saefulla,

2010).

Aktivitas pelaksanaan mencakup upaya menggerakkan setiap anggota

untuk mengimplementasikan apa yang sudah direncanakan sehingga tujuan

organisasi dapat tercapai. Hal ini ditegaskan oleh Terry dalam Kambey (2006:

70), “Actuating is setting all members of the group to want to achieve and to
9
strike to achieve the objective willingly and keeping with the managerial planning

and organizing the efforts”. Dari kutipan ini pelaksanaan berarti upaya mengatur

setiap anggota kelompok agar memiliki keinginan dan usaha untuk mencapai

tujuan sebagaimana telah diatur dan diusahakan oleh organisasi.

Cara terbaik untuk menggerakkan para anggota organisasi adalah dengan

pemberian petunjuk, perintah, arahan, tugas dan tanggung jawab dari

pemimpinnya (Kompri, 2004). Dalam hal ini peranan pemimpin atau manajer

memang sangat menentukan keberhasilan suatu organisasi.

1.2.4. Pengawasan

Pengawasan merupakan upaya untuk mengukur ketercapaian suatu

kegiatan. Pengawasan berkaitan dengan proses menilai apakah kegiatan yang

telah dilaksanakan sudah sesuai dengan rencana dan seberapa jauh tujuan

organisasi telah dicapai. Pengawasan bertujuan untuk memperoleh masukan

apakah pelaksanaan dan hasil yang sudah dicapai sudah sesuai dengan

perencanaan, apakah itu suatu keberhasilan ataupun kegagalan, bila belum sesuai

target, di mana letak kelemahan, kesalahan dan kesulitan-kesulitan yang dialami

(Kambey, 2006).

Sagala (2010) merangkum beberapa pengertian pengawasan dari beberapa

pakar berikut. Pertama, Oteng Sutisna menghubungkan fungsi pengawasan

dengan tindakan administrasi. Baginya pengawasan dilihat sebagai proses

administrasi melihat apakah apa yang terjadi itu sesuai dengan apa yang

seharusnya terjadi, jika tidak maka penyesuaian yang perlu dibuatnya. Kedua,

Hadari Nawawi menegaskan bahwa pengawasan dalam administrasi berarti

10
kegiatan menukur tingkat efektivitas kerja personal dan tingkat efesiensi

penggunaan metode dan alat tertentu dalam usaha mencapai tujuan. Ketiga,

Johnson mengemukakan pengawasan sebagai fungsi sistem yang melakukan

penyesuaian terhadap rencana, mengusahakan agar penyimpangan-penyimpangan

tujuan sistem hanya dalam batas-batas yang dapat ditoleransi.

2. Konsep Manajemen Pendidikan

2.1. Pengertian Manajemen Pendidikan

Istilah manajemen dalam arti luas dipahami sebagai suatu proses kegiatan

untuk mencapai tujuan tertentu melalui kerjasama dengan orang lain. Dalam

kaitannya dengan pendidikan, istilah manajemen pendidikan diartikan sebagai

suatu upaya mencapai tujuan pendidikan melalui aktivitas perencanaan,

pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan, pengkoordinasian,

pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan,

penilaian, dan pelaporan secara sistematis (Engkoswara dan Komariah, 2010).

Usman (2011: 13) menambahkan tujuan dan manfaat manajemen

pendidikan, antara lain:

a. Terwujudnya suasana belajar dan proses pembelajaran yang aktif,


kreatif, efektif, menyenangkan dan bermakna;
b. Terciptanya peserta didik yang aktif mengembangkan potensi dirinya.
c. Terpenuhinya salah satu dari 5 kompetensi tenaga kependidikan, yaitu
kompetensi manajerial.
d. Tercapainya tujuan pendidikan secara efektif dan efisien.
e. Terbekalinya tenaga kependidikan dengan teori tentang proses dan
tugas administrasi pendidikan.
f. Teratasinya masalah mutu pendidikan.
g. Terciptanya perencanaan pendidikan yang merata, bermutu, relevan,
dan akuntabel.
h. Meningkatnya citra positif pendidikan.

11
Adapun ruang lingkup manajemen pendidikan sebagaimana disebutkan

oleh Kompri (2015) terdiri dari manajemen kurikulum, ketenagaan pendidikan,

peserta didik, sarana-prasarana, keuangan/pembiayaan pendidikan,

administrasi/perkantoran, unit-unit penunjang pendidikan, layanan khusus

pendidikan, tata lingkungan dan keamanan sekolah, dan hubungan dengan

masyarakat.

2.2. Fungsi Manajemen Pendidikan

2.2.1. Perencanaan

Banghart dan Trull dalam Sagala (2010: 56) mengemukakan:

“Educational planning is first of all a rational process”. Artinya perencanaan

pendidikan adalah langkah paling awal dari semua proses rasional. Dalam lingkup

satuan pendidikan atau sekolah, perencanaan ini tertuang dalam RKAS (rencana

kegiatan dan anggaran sekolah) yang dibuat oleh pimpinan sekolah secara

kolaboratif, yakni melibatkan warga sekolah tentang program-program yang akan

dilaksanakan baik dalam jangka waktu tertentu, seperti satu minggu, satu bulan,

satu semester dan satu tahun, atau lebih dari itu.

Menurut Sagala (2010: 57) lingkup perencanaan meliputi “administrasi

sekolah dalam kurikulum, supervisi, kemuridan, keuangan, sarana dan prasarana,

personal, layanan khusus, hubungan masyarakat, fasilitas proses belajar mengajar,

dan ketatausahaan sekolah”. Jadi, dapat disimpulkan melalui aktivitas

perencanaan, sekolah menentukan sasaran melalui program-program yang jelas

dan terukur.
12
2.2.2. Pengorganisasian

Aktivitas pengorganisasian merupakan aktivitas menentukan siapa yang

akan melaksanakan tugas atau bertanggung jawab atas kegiatan-kegiatan yang

telah diprogramkan dalam perencanaan, bagaimana menjalin hubungan atau

kerjasama satu sama lain agar proses pelaksanaan kegiatan nantinya dapat

berjalan sukses.

Kepala sekolah bersama guru dan tenaga kependidikan melalui aktivitas

pengorganisasian harus bisa menentukan struktur tugas, wewenang dan tanggung

jawab (job description), serta menentukan fungsi-fungsi setiap personal secara

seimbang sesuai tupoksi (tugas pokok dan fungsi) (Sagala, 2010).

Aktivitas pengorganisasian memiliki manfaat yang signifikan, sebab

melalui aktivitas ini dapat diketahui dan dipahami batasan-batasan terhadap

bidang kerja yang satu dengan bidang kerja yang lain, wewenang dan kewajiban

dari tiap-tiap personil menjadi jelas, dan hubungan vertikal dan horizontal, baik

dalam jalur struktural maupun fungsional dapat diketahui. (Kompri, 2015)

Adapun prinsip yang harus dipenuhi agar tujuan pengorganisasian dapat

tercapai antara lain memiliki tujuan yang jelas yang dipahami dan diterima oleh

seluruh anggota, dan memiliki struktur organisasi yang menggambarkan adanya

satu perintah, keseimbangan tugas, wewenang dan tanggung jawab (Kompri,

2015).

13
2.2.3. Pelaksanaan

Fungsi pelaksanaan terkandung di dalamnya fungsi pengarahan yang

menjadi tanggung jawab kepala sekolah. Dalam menjalankan fungsinya, kepala

sekolah perlu mengadakan orientasi sebelum seseorang memulai melaksanakan

tugas, memberikan petunjuk dan penjelasan mengenai pekerjaan yang akan

dilakukan, memberikan kesempatan untuk berpartisipasi berupa pemberian

gagasan, usul atau saran, mengikut sertakan guru dan pegawai, dan memberikan

nasehat dan motivasi (Kompri, 2015).

Selanjutnya dalam fungsi pelaksanaan terdapat juga fungsi

pengkoordinasian. Koordinasi dapat diwujudkan melalui pertemuan lengkap

yang mewakili unit kerja di sekolah, pertemuan berkala untuk pejabat-pejabat

tertentu, pembentukan panitia, pembentukan badan koordinasi staf untuk

mengkoordinir kegiatan, mewawancarai personal sekolah untuk mengetahui hal

yang penting berkaitan dengan tugas dan tanggungjawabnya, memorandum, atau

tersedianya buku pedoman organisasi dan tatakerja (Sagala, 2010).

2.2.4. Pengawasan

Sagala (2010: 65) menegaskan bahwa “pengawasan adalah salah satu

kegiatan mengetahui realisasi perilaku personal sekolah dan apakah tingkat

pencapaian tujuan pendidikan sesuai yang dikehendaki, kemudian dari hasil

pengawasan apakah dilakukan perbaikan”. Aktivitas pengawasan melibatkan

beberapa pihak, yaitu: kepala sekolah untuk pengawasan sekolah, supervisor

14
untuk pengawasan layanan belajar, dan tenaga kependidikan yang berwenang

untuk pengawasan layanan teknis kependidikan.

Pengawasan bisa berlangsung secara internal oleh kepala sekolah melalui

kegiatan supervisi struktural ataupun klinis, dan eksternal oleh supervisor atau

pengawas dari dinas pendidikan setempat. Di samping itu, dikenal juga model

pengawasan akreditasi yang dilakukan oleh badan akreditasi yang menilai seluruh

aktivitas sekolah berdasarkan kedelapan standar pendidikan (kompetensi lulusan,

isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan,

pembiayaan dan penilaian pendidikan).

Mockler dalam Kompri (2015: 106) menyebutkan langkah-langkah dalam

menyusun pengawasan sebagai berikut:

a. Memetakan standar dan metode mengukur prestasi kerja dimulai dari


menetapkan tujuan atau sasaran secara spesifik dan mudah diukur.
b. Pengukuran prestasi kerja secara berulang melalui pengamatan
langsung atau penggunaan instrument survey yang berisi indikator
efektivitas kerja.
c. Menetapkan apakah prestasi kerja sesuai dengan standar.
d. Mengambil tindakan korektif bila hasil pengukuran menunjukkan
terjadi penyimpangan-penyimpangan.

Jadi, pengawasan bertujuan untuk mengendalikan kegiatan agar sesuai

dengan rencana yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, melalui pengawasan apa

yang telah ditetapkan dalam rencana dan program, pembagian tugas dan tanggung

jawab, dan pelaksanaannya senantiasa dipantau dan diarahkan sehingga tetap

berada pada jalurnya demi tercapainya tujuan yang diharapkan (Kompri, 2015).

15
B. Konsep Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan

Kata bahasa Inggris education yang diterjemahkan ke dalam bahasa

Indonesia menjadi pendidikan, secara etimologis berasal dari kata kerja bahasa

Latin educare. Koesoema (2010: 53) mengemukakan bahwa bisa jadi secara

etimologis, kata pendidikan berasal dari dua kata kerja yang berbeda, yaitu dari

kata educare dan educere. Kata educare memiliki konotasi ‘melatih’,

‘menjinakkan’, atau ‘menyuburkan’. Dalam konteks ini pendidikan dipahami

sebagai “sebuah proses yang membantu menumbuhkan, mengembangkan,

mendewasakan, membuat yang tidak tertata atau liar menjadi semakin tertata,

semacam proses penciptaan kultur dan tata keteraturan dalam diri maupun dalam

diri orang lain”. Pengertian pendidikan seperti ini senada dengan pendapat kaum

behavioris seperti Watson dan Skinner yang menekankan pendidikan sebagai

proses perubahan tingkah laku (Mudyahardjo, 2001: 7). Pendidikan juga berarti

“proses pengembangan berbagai macam potensi yang ada dalam diri manusia,

seperti kemampuan akademis, relasional, bakat, talenta, kemampuan fisik atau

daya-daya seni”.

Di pihak lain, menurut John Dewey dalam Muslich (2011: 67) pendidikan

adalah “proses pembentukan kecapakan fundamental secara intelektual dan

emosional ke arah alam dan sesama manusia. Sementara itu dalam konteks

Indonesia, pengertian pendidikan secara sistematis tertuang dalam Undang-

16
Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, Pasal 1 ayat 1 ditegaskan sebagai berikut:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.

Jadi, pengertian pendidikan mencakup keseluruhan aspek kehidupan

manusia. Bahkan, pendidikan adalah hidup itu sendiri, sebab pendidikan

berlangsung seumur hidup (lifelong education), mencakup segala lingkungan dan

situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu (Mudyahardjo, 2001).

2. Pengertian Karakter

Secara etimologis istilah “karakter” berasal dari bahasa Yunani karasso,

berarti ‘cetak biru’, ‘format dasar’, atau ‘sidik’ seperti dalam sidik jari. Wynne

dalam Mulyasa (2011: 3) mengemukakan bahwa karakter berasal dari Bahasa

Yunani yang berarti to mark ‘menandai’ dan memfokuskan pada bagaimana

menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam tindakan nyata atau perilaku sehari-hari.

Menurut Pusat Bahasa Depdiknas dalam Kemendiknas (2010: 12) karakter

diartikan sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku,

personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.” Berkarakter berarti

“berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Individu yang

berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal

yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya, sesama dan lingkungannya dengan cara

17
mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan

motivasinya.

Tadkiroatun Musfiroh dalam Kemendiknas (2010: 12) menambahkan

“karakter mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi dan

keterampilan”.

Di pihak lain, Mounier dalam Koesoema (2010: 90-91) mengajukan dua

cara interpretasi tentang istilah karakter. Pertama, karakter sebagai “sekumpulan

kondisi yang telah diberikan begitu saja, atau telah ada begitu saja, yang lebih

kurang dipaksakan dalam diri kita” (karakter bawaan atau given character).

Kedua, karakter sebagai “tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu

menguasai kondisi tersebut. Karakter adalah sebuah proses yang dikehendaki”

(willed).

Senada dengan pengertian karakter di atas, Ohoitimur dalam Rataq dan

Korompis (2011: 11), menegaskan bahwa “karakter personal terdiri dari dua unsur

yakni karakter bawaan dan karakter binaan”. Karakter bawaan merupakan

karakter yang secara hereditas (faktor keturunan) menjadi ciri khas

kepribadiannya. Sedangkan karakter binaan merupakan karakter yang

berkembang melalui pembinaan dan pendidikan secara sistematis. Dalam

pengertian karakter binaan inilah, pendidikan karakter adalah sesuatu yang pasti

bisa diwujudnyatakan.

3. Pengertian Pendidikan Karakter

Elkind dan Sweet dalam Kemendiknas (2010: 13) menyebutkan

pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: “character education is the

18
deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical

values”. Pendidikan karakter adalah suatu usaha sengaja untuk membantu orang

memahami, peduli dan bertindak menurut nilai-nilai etika. Sementara itu menurut

Ramli dalam Kemendiknas (2010), pendidikan karakter memiliki esensi dan

makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya

adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga

masyarakat, dan warga negara yang baik.

Koesoema (2010) menyebutkan bahwa pendidikan karakter sebenarnya

dicetuskan pertama kali oleh pedagog Jerman F.W. Foerster (1869-1966).

Foerster menyebutkan empat ciri dasar pendidikan karakter. Pertama, keteraturan

interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Kedua,

koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat

mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi

baru atau takut risiko. Ketiga, otonomi atau kemampuan seseorang untuk

menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi.

Keempat, keteguhan dan kesetiaan, yakni daya tahan seseorang untuk mengingini

apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi

penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Lickona (1991: 51) menegaskan pendidikan karakter dimengerti sebagai

“upaya habituasi atau pembiasaan untuk mengetahui/memikirkan yang baik

(moral knowing), menghayati yang baik (moral feeling) dan melaksanakan yang

baik (moral action)”. Dalam pengajaran kita kenal dengan ketiga ranah, kognitif,

afektif dan psikomotorik.

19
Secara detail disebutkan tujuh belas nilai dalam pendidikan karakter, yaitu

religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa

ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,

bersahabat/komunikatif, gemar membaca, peduli lingkungan, dan peduli sosial,

serta tanggung jawab (Kemendiknas, 2011).

C. Manajemen Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh akan terwujud jika

dikelola dengan tepat. Pengelolaan yang dimaksudkan di sini terkait dengan

fungs-fungsi manajemen, yaitu perencanaan (planning), pelaksanaan (actuating),

dan evaluasi (evaluation) pendidikan karakter di sekolah.

1. Perencanaan Pendidikan Karakter

Penyusunan perencanan pendidikan karakter perlu mengacu pada nilai-

nilai yang hendak dicapai, tujuan, bentuk kegiatan, materi, jadwal, fasilitator,

pihak-pihak terkait, pendekatan pelaksanaan, evaluasi dan fasilitas pendukung

pelaksanaan program pendidikan karakter di sekolah. Perencanaan program dan

kegiatan sekolah dilakukan melalui pengembangan dan penyusunan Rencana

Kerja Sekolah (RKS) untuk jangka menengah/panjang dan Rencana Kegiatan dan

Anggaran Sekolah (RKAS) untuk jangka pendek dan tahunan (Kemendiknas,

2011).

Perencanaan pendidikan karakter di sekolah dapat didesain dalam tiga

basis, yakni kelas, kultur sekolah dan komunitas (Koesoema, 2012).

a. Pendidikan karakter berbasis kelas


20
Desain kurikulum pendidikan karakter berbasis kelas terjadi melalui dua

ranah yang berjalan seiring, yaitu instruksional dan non-instruksional. Pertama,

ranah instruksional yang dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu bersifat

pengajaran tematis dan non-tematis. Pendidikan karakter berbasis kelas

instruksional tematis adalah diberikannya materi pembelajaran tertentu tentang

pendidikan karakter melalui proses belajar mengajar. Pendidik memilih satu tema

tertentu untuk dibahas bersama. Sekolah mengalokasikan waktu khusus untuk

pengembangan pembentukan karkater, baik melalui pengajaran tradisional,

dialogis, diskusi kelompok, maupun pada pembuatan proyek bersama.

Selanjutnya, pendidikan karakter berbasis kelas instruksional non-tematis.

Ini adalah sebuah model pendekatan pembelajaran bagi pembentukan karakter

dengan mempergunakan momen-momen pembelajaran yang sifatnya terintegrasi

dalam kurikulum, proses pembelajaran dan terkait secara inheren dalam materi

pembelajaran. Sebagai contoh konkretnya, guru diminta membuat silabus, yang di

dalamnya dimasukkan kolom ‘karakter’. Sehingga, di dalam Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP), beberapa nilai yang bisa dibentuk, diajarkan dalam proses

pembelajaran mesti disebut secara eksplisit.

Hal serupa dikemukakan juga oleh Ahmad Tafsir (2009: 85). Menurutnya

proses pengintegrasian pendidikan karakter dapat melalui beberapa cara berikut:

a. Pengintegrasian materi pelajaran, yaitu mengintegrasikan konsep nilai-


nilai karakter ke dalam materi pembelajaran yang sedang diajarkan.
b. Pengintegrasian proses, yaitu guru menanamkan teladan kepada peserta
didik dengan nilai-nilai karakter tersebut.
c. Pengintegrasian dalam memilih bahan ajar, yaitu guru-guru memilih
materi yang memuat nilai-nilai.
d. Pengintegrasaian dalam memilih media pembelajaran, yaitu guru dapat
mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam memilih media pembelajaran.

21
Kedua, ranah non-instruksional bagi pendidikan karakter berbasis kelas

tertuju pada penciptaan lingkungan belajar yang nyaman dan kondusif bagi

pembentukkan atau pengembangan karakter siswa. Penciptaan lingkungan yang

dimaksud meliputi manajemen kelas, pendampingan perwalian, dan membangun

konsensus kelas.

b. Pendidikan karakter berbasis kultur sekolah

Dalam mengembangkan pendidikan karakter berbasis kultur sekolah,

berbagai macam momen dalam dunia pendidikan dapat menjadi titik temu.

Momen pendidikan ini dapat bersifat struktural, polisional, dan eventual. Momen

pendidikan yang struktural adalah peristiwa yang berkaitan erat dengan proses

regulasi dan administrasi sekolah. Momen struktural ini di antaranya adalah

proses pembentukan kesepakatan kerja, peraturan yayasan, peraturan sekolah, job

description setiap jabatan dan kedudukan.

Momen pendidikan yang bersifat polisional adalah kebijakan pendidikan

on the spot yang dilaksanakan secara rutin dan sifatnya tradisional. Kebijakan

yang bersifat rutin adalah berbagai keputusan dan tindakan yang diambil dalam

kerangka pengembangan mutu sekolah. Misalnya, kebijakan tentang penerimaan

siswa baru, ujian sekolah, pengaturan jadwal pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler,

perwalian dan pengembagan professional guru. Sedangkan, yang bersifat

tradisional adalah kebijakan rutin dalam rangka pengembangan pendidikan yang

senantiasa berulang setiap tahun, seperti rapat-rapat kerja, pertemuan orang tua

murid, penerimaan rapor, dan lain-lain.

22
Momen pendidikan yang bersifat eventual adalah peristiwa-peristiwa

pendidikan yang terjadi secara khas dan muncul karena terjadinya peristiwa

tertentu yang merupakan tanggapan nyata sekolah atas peristiwa di luar lembaga

pendidikan, dan memengaruhi kinerja lembaga pendidikan. Momen pendidikan

eventual ini tidak dapat diprediksi, namun membutuhkan keputusan dan

tanggapan langsung dari pihak sekolah untuk menyikapinya.

Di samping itu, menumbuhkan kultur demokratis dalam lingkungan

sekolah merupakan salah satu strategi pengembangan pendidikan karkater

berbasis kultur sekolah. Beberapa momen yang dapat menjadi praksis strategis

pengembangan kultur demokratis di sekolah, di antaranya momen pengembangan

diri seperti kelompok diskusi, jurnalistik, karya ilmiah, seni teater, menggambar,

perayaan dan kekeluargaan, dies natalis sekolah, atau syukuran kelulusan,

apresiasi dan pengakuan akan prestasi orang lain, masa orientasi sekolah,

pemilihan para pengurus OSIS, dewan kelas, kebijakan pendidikan, kolegialitas

antarguru, pengembangan professional guru dan merawat tradisi sekolah ataupun

komite sekolah.

c. Pendidikan karakter berbasis komunitas

Pendidikan karakter berbasis komunitas berusaha merancang berbagai

macam corak kerja sama dan keterlibatan antara lembaga pendidikan dengan

komunitas-komunitas dalam masyarakat. Tujuannya adalah agar kehadiran

lembaga pendidikan semakin bermakna dan bermutu, mampu menjawab aspirasi

setiap anggota komunitas tentang harapan mereka, fungsi, dan peran lembaga

pendidikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

23
Perencanaan pendidikan karakter dapat didasarkan pada beberapa tipe

konservasi. Pertama, pendidikan karakter berbasis nilai religius yang bersumber

pada kebenaran wahyu (konservasi moral). Kedua, pendidikan karakter berbasis

nilai budaya, antara lain berupa budi pekerti, pancasila, apresiasi sastra,

keteladanan tokoh-tokoh sejarah dan para pemimpin bangsa (konservasi

lingkungan). Ketiga, pendidikan karakter berbasis lingkungan (konservasi

lingkungan). Keempat, pendidikan karakter berbasis kompetensi diri, yaitu sikap

pribadi dan pemberdayaan potensi diri (konservasi humanis) (Khan, 2010).

2. Pelaksanaan Pendidikan Karakter

Kemendiknas (2011: 23) menyebutkan implementasi pendidikan karakter

harus memperhatikan beberapa prinsip berikut:

a. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter.


b. Mengidentifikasi karakter secara komprehensif supaya mencakup
pemikiran, perasaan, dan perilaku.
c. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif.
d. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian.
e. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan perilaku
yang baik.
f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang
yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka,
dan membantu mereka untuk sukses.
g. Menghapus tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik.
h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang
berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai
dasar yang sama.
i. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam
membangun inisiatif pendidikan karakter.
j. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam
usaha membangun karakter.
k. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru
karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.

Prinsip-prinsip pendidikan karakter juga dikemukakan oleh Koesoema

(2010: 218-220) seperti di bawah ini:

24
a. Karaktermu ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang
kamu katakan atau kamu yakini.
b. Setiap keputusan yang kamu ambil menentukan akan menjadi orang
macam apa dirimu.
c. Karakter yang baik mengandaikan bahwa hal yang baik itu dilakukan
dengan cara-cara yang baik, bahkan seandainya pun kamu harus
membayarnya secara mahal, sebab mengandung risiko.
d. Jangan pernah mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain
sebagai patokan bagi dirimu. Kamu dapat memilih patokan yang lebih
baik dari mereka.
e. Apa yang kamu lakukan itu memiliki makna dan transformatif. Seorang
individu bisa mengubah dunia.
f. Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah bahwa kamu
menjadi pribadi yang lebih baik, dan ini akan membuat dunia menjadi
tempat yang lebih baik untuk dihuni.

Di pihak lain Dasyim Budimasyah dalam Gunawan (2012: 36) berpendapat

bahwa “program pendidikan karakter di sekolah perlu dikembangkan dengan

berlandaskan pada prinsip kontinuitas (berkelanjutan), terintegrasi di dalam semua

mata pelajaran dan berlangsung secara aktif dan menyenangkan (active

learning)”.

Implementasi pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan

beberapa metode berikut ini:

a. Mengajarkan. Pendidikan karakter mengandaikan pengetahuan teoretis

tentang konsep-konsep nilai tertentu. Proses ini terintegrasi dalam

kurikulum. Cara lain adalah dengan mengundang pembicara tamu dalam

sebuah seminar, diskusi, publikasi, dll, untuk secara khusus membahas

nilai-nilai utama yang dipilih sekolah dalam kerangka pendidikan

karakter bagi para siswa.

b. Keteladanan. Pendidikan karakter merupakan tuntutan terutama bagi

para pendidik sendiri. Guru menjadi teladan dalam sikap dan perilaku

25
yang benar, sehingga ada kesesuaian antara apa yang diajarkan dengan

apa yang dilakukan.

c. Menentukan prioritas. Sekolah perlu menetapkan standar nilai dengan

indikator-indikatornya yang jelas dan terukur. Penting untuk

menentukan sejumlah perilaku standar yang diketahui dan dipahami oleh

segenap komponen sekolah.

d. Praksis prioritas. Sekolah konsisten dengan verifikasi di lapangan

tentang karakter yang ditetapkan. Verifikasi tidak lain adalah penetapan

sanksi terhadap pelanggaran atas kebijakan sekolah.

e. Refleksi. Dengan refleksi dimaksudkan sekolah mengadakan semacam

evaluasi untuk menilai capaian keberhasilan ataupun kegagalan dalam

implementasi pendidikan karakter (Koesoema, 2010).

Di samping kelima unsur di atas, Koesoema pada bukunya yang lain

(2012: 70-82) menambahkan berbagai metode berikut:

(a) Menyerambah ke seluruh kehidupan sekolah, (b) prioritas nilai dan


keutamaan, (c) mengembangkan tiga dimensi pengolahan hidup, olah
pikir, olah hati, olah raga, (d) pengembangan organisasi dan manajemen,
(e) pengembangan kultur sekolah yang menumbuhkan (caring
community), (f) eksplisit, direncanakan, terpadu, (g) pertumbuhan
motivasi individu, (h) pengembangan profesional, (i) kerja sama dengan
banyak pihak, (j) terintegrasi dalam kurikulum, (k) memberikan ruang
bagi tindakan, (l) kepemimpinan pendidikan berkarakter, (m) sistem
evaluasi berkesinambungan.

Metode pendidikan karakter juga dikemukakan oleh Mulyasa (2011: 165)

sebagai berikut: “pembiasaan, keteladanan, pembinaan disiplin, hadiah dan

hukuman, CTL (Contextual Teaching and Learning), bermain peran (Role

Playing) dan pembelajaran pastisipatif (Participative Instruction).”

26
3. Evaluasi Pendidikan Karakter

Evaluasi pendidikan karakter dilakukan untuk memantau, menilai, atau

mengukur efektivitas program pendidikan karakter berdasarkan target yang

hendak dicapai. Hasil evaluasi akan sangat berguna sebagai feedback atau umpan

balik untuk menyempurnakan proses pelaksanaan program pendidikan karakter.

Kemendiknas (2011: 31-32) menegaskan tujuan evaluasi pendidikan karakter

sebagai berikut:

a. Melakukan pengamatan dan pembimbingan secara langsung


keterlaksanaan program pendidikan karakter di sekolah.
b. Memperoleh gambaran mutu pendidikan karakter di sekolah secara
umum.
c. Melihat kendala-kendala yang terjadi dalam pelaksanaan program dan
mengidentifikasi masalah yang ada, dan selanjutnya mencari solusi yang
komprehensif agar program pendidikan karakter dapat tercapai.
d. Mengumpulkan dan menganalisis data yang ditemukan di lapangan
untuk menyusun rekomendasi terkait perbaikan pelaksanaan program
pendidikan karakter ke depan.
e. Memberikan masukan kepada pihak yang memerlukan untuk bahan
pembinaan dan peningkatan kualitas program pembentukan karakter.
f. Mengetahui tingkat keberhasilan implementasi program pembinaan
pendidikan karakter di sekolah.

Sasaran evaluasi pendidikan karakter terdiri dari empat hal, yaitu: (1)

evaluasi program yang telah dilaksanakan, (2) evaluasi struktural kelembagaan

guna perbaikan sistem dan struktur yang membingkai cakupan tanggung jawab

individu (pengorganisasian tugas dan tanggung jawab), (3) evaluasi individual

yang sifatnya personal oleh siswa itu sendiri berdasarkan indikator-indikator yang

telah ditetapkan, serta (4) evaluasi komunitas menyangkut relasi antar siswa

dengan siswa, siswa dengan guru, orang tua dengan guru, ataupun sekolah dengan

masyarakat (Koesoema, 2012).

27
Evaluasi pendidikan karakter bisa mengacu pada penilaian sikap yang

dilakukan secara berkelanjutan oleh guru mata pelajaran, guru Bimbingan dan

Konseling (BK), wali kelas dengan menggunakan observasi dan informasi yang

valid dan relevan dari berbagai sumber. Selain itu, dapat dilakukan penilaian diri

(self assessment) dan penilaian antarteman (peer assessment) dalam rangka

pembentukan karakter siswa yang hasilnya dapat dijadikan sebagai salah satu data

untuk konfirmasi hasil penilaian sikap oleh guru. Ditambahkan juga penilaian

sikap yang dilakukan oleh guru mata pelajaran, guru BK, dan wali kelas, melalui

observasi dicatat dalam jurnal. Format jurnal penilaian sikap harus memuat butir

nilai, seperti tanggung jawab, disiplin, jujur disertai indikator-indikator pada

setiap butirnya (Kemendikbud tentang Panduan Penilaian Sekolah Menengah

Atas, 2015).

Evaluasi pendidikan karakter perlu dilakukan secara objekftif artinya

berdasarkan pada data-data seperti kuantitas kehadiran, ketepatan menyerahkan

tugas, menurunnya perilaku kekerasan, kerjasama dengan lembaga lain, prestasi

akademis, dihargai kerja keras dan kejujuran, serta persoalan kedisplinan. Dalam

melaksanakan evaluasi ini diperlukan sikap yang terbuka, jujur, dan latihan terus

menerus dari semua pihak yang terlibat. Metode yang ditawarkan antara lain

observasi, penilaian diri, portofolio, refleksi pribadi, kuesioner, wawancara,

jurnal, pembuatan indikator-indikator penilaian atau menggunakan standar kendali

mutu yang telah dibuat oleh sekolah (Koesoema, 2012).

28
D. Kajian Hasil Penelitian yang Terdahulu

Penelitian tentang manajemen pendidikan karakter sudah pernah dilakukan

oleh beberapa pihak. Pertama, peneletian dengan judul “Manajemen Pendidikan

Karakter Siswa Berasrama: Studi Kasus Pada SMA Lokon St. Nikolaus

Tomohon” oleh Riny Cintya Kumendong (2012). Penelitian ini menyoroti tentang

bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter siswa

berasrama. Dari penelitian tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:

(1) Perencanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon dibuat

oleh masing-masing unit dan sub-unit yang ada di lembaga pendidikan Lokon dan

kemudian dirumuskan bersama dalam rapat koordinasi antarunit, yakni sekolah,

asrama, dan yayasan. (2) Pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Lokon St.

Nikolaus Tomohon dilaksanakan dengan cara mengimplementasikan program

pendidikan karakter yang telah dirumuskan sebelumnya ke dalam kegiatan

konkret sesuai dengan waktu yang ditentukan. Di sekolah pendidikan karakter

diintegrasikan dalam tiap-tiap mata pelajaran. Sedangkan di asrama pendidikan

karakter dilaksanakan dalam bentuk pembinaan dan pendampingan personal

maupun kelompok. (3) Evaluasi pendidikan karakter di SMA Lokon St. Nikolaus

Tomohon, dilakukan dengan menggunakan catatan data-data yang secara valid

dibuat berdasarkan observasi. Sementara itu, asrama menggunakan rapor yang

dengan indikator-indikator yang didasarkan pada tiga nilai utama (motto sekolah

dan asrama), veritas, virtus, fides (kebenaran, kebajikan, iman) Nilai pendidikan

karakter dibuat dalam bentuk penilaian kualitatif, bukan kuantitatif.

29
Relevansinya dengan penelitian yang akan peneliti laksanakan adalah

terletak pada konsep dasar manajemen dan fungsi-fungsi manajemen, serta konsep

pendidikan karakter yang akan digunakan, diterapkan dan dikembangkan pada

lingkungan pendidikan formal seperti sekolah yang merupakan inti dari objek

penelitian ini. Perbedaannya terletak pada objek dan lokasi penelitian.

Kedua, penelitian dengan judul “Manajemen Pendidikan Karakter

Terintegrasi dalam Pembelajaran dan Pembudayaan Sekolah (Studi Deskriptif di

SD Muhammadiyah Wirobrajan 3 Yogyakarta” oleh Asniyah Nailasariy (2013).

Hasil penelitiannya adalah sebagai berikut: (1) Manajemen pendidikan karakter

yang berlangsung di SD Muhammadiyah Wirobrajan 3 Yogyakarta melalui

optimalisasi fungsi manajemen, yaitu perencanaan, pengorganisasian,

penggerakan, pengawasan dan tidak lanjut. (2) Pelaksanaan pendidikan karakter

di SD Muhammadiyah Wirobrajan terintegrasi dalam semua mata pelajaran,

melalui pesan moral, dan pendampingan. Metode yang digunakan adalah

keteladanan, pembiasaan, kegiatan ekstrakurikuler, pembudayaan dalam bentuk

fisik, dan pembudayaan melalui pemberian reward dan punishment. (3)

Implementasi pendidikan karakter di SD Muhammadiyah Wirobrajan mengalami

hambatan-hambatan seperti kurangnya komitmen guru dan karyawan dalam

pelaksanaan pendidikan karakter, terkendalanya sarana dan prasarana berkaitan

dengan pengembangan karakter dan kurangnya partisipasi orang tua dalam

pendampingan anak.

Relevansi penelitian ini terhadap penelitian yang akan dilakukan di SMA

Kristen 2 Binsus Tomohon terletak pada optimalisasi fungsi manajemen dalam

perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengawasan pendidikan

30
karakter. Sedangkan perbedaannya terletak pada salah satu rumusan masalah.

Penelitian Nailasariy menyoroti semua fungsi manajemen dan hambatan-

hambatan dalam pelaksanaan pendidikan karakter, sementara penelitian pada

SMA Kristen 2 Binsus Tomohon lebih bertitik tolak pada ketiga fungsi

manajemen, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Ketiga, penelitian tentang “Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah

Menengah Atas Negeri 5 Semarang”. Penelitian ini dilaksanakan oleh Arif

Widiatmo (2013), dengan hasil sebagai berikut: (1) Perencanaan pendidikan

karakter di SMA Negeri 5 Semarang melibatkan semua guru. (2)

Pengorganisasian pendidikan karakter di SMA Negeri 5 Semarang melibatkan

semua komponen sekilah. (3) Pelaksanaan pendidikan karakter di SMA Negeri 5

Semarang terjalin baik karena komunikasi dalam bergaul berjalan baik. (4)

Pengawasan terhadap pendidikan karakter di SMA Negeri Negeri 5 Semarang

saling bekerjasama seluruh komponen yang ada.

Relevansi peneltian tersebut terhadap penelitian Manajemen Pendidikan

Karakter pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon terletak pada upaya manajemen

pendidikan karakter, baik dari segi perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

Sedangkan perbedaannya terletak pada objek penelitian.

Widiatmo melakukan penelitian pada sekolah negeri, sedangkan objek

penelitian yang akan dilakukan di sini adalah sekolah swasta yang sangat

mengedepankan nilai-nilai kristiani.

31
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode dan Alasan Penggunaan Metode

Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif, yakni penelitiannya

dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) (Sugiyono, 2011: 14).

Alasan menggunakan metode ini adalah calon peneliti bermaksud mendapatkan

pemahaman secara lebih mendalam tentang manajemen pendidikan karakter pada

SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada SMA Kristen 2 Binsus Tomohon.

Waktu penelitian direncanakan akan dilaksanakan selama 5 (lima) bulan terhitung

sejak penyusunan proposal penelitian hingga perbaikan tesis (Juni-Oktober 2016).

C. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua, yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder (Moleong, 2007).

- Sumber data primer diperoleh dari informan yaitu kepala sekolah, wakil

kepala sekolah, guru mata pelajaran dan guru bimbingan dan konseling

serta perwakilan siswa.

- Sumber data sekunder bersumber dari dokumen-dokumen resmi yang

ada berupa catatan, gambar, foto serta bahan lain yang dapat mendukung

penelitian ini.

32
D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan dilakukan adalah triangulasi

(Sugiyono, 2011) atau gabungan dari tiga teknik sekaligus, yaitu observasi

partisipatif, wawancara mendalam dan studi dokumentasi terhadap perencanaan,

pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan karakter pada SMA Kristen Binsus 2

Tomohon.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini data akan dianalisis secara interaktif dan berlangsung

secara terus-menerus sampai datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data

yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing/verification

(Sugiyono, 2011).

Data-data baik dari observasi, wawancara dan studi dokumentasi tentang

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan karakter pada SMA Kristen 2

Binsus Tomohon akan dikumpulkan, direduksi, dan dipaparkan serta ditarik

kesimpulan.

33
Selanjutnya model interaktif dalam analisis data seperti gambar di bawah

ini (Sugiyono, 2011: 338):

Data collection

Data Display

Data reduction

Conclusion:
drawing/verifying

Gambar 3.1 Model interaktif dalam analisis data

F. Rencana Pengujian Keabsahan Data

Dalam pemeriksaan dan pengecekan keabsahan data peneliti akan

menggunakan teknik pemeriksaan seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono

(2011).

Pertama, peneliti akan melakukan perpanjangan pengamatan,

peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi (observasi, wawancara, dan

studi dokumentasi), diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif,

menggunakan bahan referensi, dan member check (credibility atau derajat

kepercayaan).

Kedua, peneliti akan mendeskripsikan secara rinci, jelas, dan sistematis

temuan-temuan yang diperolah di lapangan ke dalam format yang telah disiapkan.

(transferability atau keteralihan).

34
Ketiga, peneliti akan adalah melakukan audit keseluruhan aktivitas yang

telah dilakukan selama penelitian (dependability atau kebergantungan).

Keempat, peneliti akan menguji hasil penelitian, dikaitkan dengan proses

yang dilakukan (confirmability atau kepastian).

IV. JADWAL PENELITIAN

Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama 5 (lima) bulan, yakni

dari bulan Juni 2016 sampai dengan Oktober 2016, terhitung sejak penulisan

proposal penelitian dengan jadwal sebagai berikut:

8 Ujian Komprehensif/Tesis dan Perbaikan


Tesis

35
DAFTAR PUSTAKA

Engkoswara dan Komariah Aan. 2012. Administrasi Pendidikan. Bandung:


Alfabeta.

Fattah, Nanang. 2004. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Gunawan, H. 2012. Pendidikan dan Karakter:Konsep dan Implementasi.


Bandung: CV Alfabeta.

Hasibuan, M.S.P. 2005. Manajemen: Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: PT


Bumi Aksara.

Kambey, Daniel C. 2006. Landasan Teori Administrasi/Manajemen. Manado: Tri


Ganesha Nusantara.

Kementerian Pendidikan Nasional. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan


Karakter Bangsa:Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran
untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta:Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

________________ 2011. Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah


Pertama. Jakarta:Direktorat Jenderal Mandikdasmen, Direktorat
Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2015. Panduan Penilaian Sekolah


Menengah Atas. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah.

Khan, Y. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi


Publishing.

Kompri. 2015. Manajemen Pendidikan 1. Bandung: Alfabeta.

Koesoema, Doni A. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak Di


Zaman Global. Jakarta: Grasindo.

________________ 2012. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh.


Yogyakarta: Kanisius.

________________ 2015. Pendidik Karakter di Zaman Keblinger. Jakarta:


Grasindo.
36
Kumendong, Riny Cintya, 2012. Manajemen Pendidikan Karakter Siswa
Berasrama. Studi Kasus Pada SMA Lokon St. Nikolaus Tomohon.
Manado: Program Studi Manajemen Pendidikan Universitas Negeri
Manado (Tesis).

Kusdi, 2009. Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: Salemba Humanika.

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books.

Moleong, Lexy J., 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).


Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mudyahardjo, Redja. 2001. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Mulyasa, E. 2011. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis


Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.

Nailsariy, Asniyah. 2013. Manajemen Pendidikan Karakter Terintegrasi dalam


Pembelajaran dan Pembudayaan Sekolah (Studi deskriptif di SD
Mumammadiyah Wirobrajan 3 Yogyakarta). Yogyakarta: PPS UIN Sunan
Kalijaga (Tesis).

Ohoitimur, Johanis. 20-21 Juni 2016. Lokakarya Pendidikan Yayasan Pendidikan


Lokon. Tomohon: SMP & SMA Lokon St. Nikolaus.

Ratag, Mezak A. & Korompis, Ronald, 2009. Kurikulum Berbasis Kehidupan:


Pandangan tentang Pendidikan Menurut Ronald Korompis. Tomohon:
Yayasan Pendidikan Lokon.

Sagala, Syaiful, 2010. Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu


Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,


Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Sule, Ernie Tisnawati dan Saefullah, Kurniawan, 2010. Pengantar Manajemen.


Jakarta: Kencana.

Tafsir, Ahmad. 2009. Pendidikan Budi Pekerti. Bandung: Maestro.

Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, 2011.


Manajemen Pendidikan. Bandung: Alfabeta.

37
Usman, Husaini, 2011. Manajemen: Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.

Widiatmo, Arif. 2013. Manajemen Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah


Atas Negeri 5 Semarang. Semarang: IKIP PGRI. (Tesis).

Wikipedia Indonesia, Manajemen, [Online]


(http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia.manajemen, diakses 5 April 2013).

38

Anda mungkin juga menyukai