MATA KULIAH
SISTEM INFORMASI DAN MANAJEMEN MUTU
PENDIDIKAN FORMAL, NONFORMAL DAN INFORMAL
DOSEN PEMBINA
DR. DENI DARMAWAN, M.SI
Oleh
LELI PURNAMAWATI
NIS: 4103810414130
SOAL:
1. Buatlah rumusan indikator mutu dan analisisnya dari pendidikan formal,
nonformal dan informal menurut pendapat masing-masing (boleh sama tapi
analisis harus berbeda), dengan menggunakan ilmu SIM! (bobot 30).
a. Pendidikan formal
Pendidikan formal merupakan pendidikan yang diselenggarakan di
sekolah-sekolah pada umumnya. Jalur pendidikan ini mempunyai jenjang
pendidikan yang jelas, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai
pendidikan tinggi.
b. Pendidikan nonformal
1) Pengertian
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal
yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan nonformal
paling banyak terdapat pada usia dini, serta pendidikan dasar, adalah TPA, atau
Taman Pendidikan Al Quran,yang banyak terdapat di Masjid dan Sekolah
Minggu, yang terdapat di semua Gereja. Selain itu, ada juga berbagai
kursus, diantaranya kursus musik, bimbingan belajar dan sebagainya.
2) Sasaran
Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang
memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah,
dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan
sepanjang hayat.
3) Fungsi
Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik
dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional
serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.
4) Jenis
Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan
anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja.
Pendidikan kesetaraan meliputi Paket A, Paket B dan Paket C, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik
seperti: Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), lembaga kursus, lembaga
pelatihan, kelompok belajar, majelis taklim, sanggar, dan lain sebagainya, serta
pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
c. Pendidikan informal
Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan
berbentuk kegiatan belajar secara mandiri yang dilakukan secara sadar dan
bertanggung jawab. Hasil pendidikan informal diakui sama dengan pendidikan
formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar
nasional pendidikan.
Alasan pemerintah mengagas pendidikan informal adalah:
Pendidikan dimulai dari keluarga
Informal diundangkan juga karena untuk mencapai tujuan pendidikan nasonal
dimulai dari keluarga
Homeschooling: pendidikan formal tapi dilaksanakan secara informal.
Anak harus dididik dari lahir
DOSEN PEMBINA
DR. DENI DARMAWAN, M.SI
Oleh
LELI PURNAMAWATI
NIS: 4103810414130
REVIEW
Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan normal dan non formal di era
kekinian sungguh sangat menggembirakan para pemerhati dunia pendidikan baik
dari kalangan akademisi maupun praktisi, dan semakin menarik untuk dicermati.
Bagaimana tidak, berbagai permasalahan baik teoritis maupun praktis dalam
perjalanan aktifitas kedua lembaga tersebut begitu menyita perhatian, dan
mengundang para ahli untuk meneliti berbagai kebijakan pada dua segmen
pendidikan tersebut. Yang hal itu, akhirnya memicu munculnya ide atau gagasan
untuk menemukan konsep baru dan memberikan solusi yang tepat, jitu dan
berdaya guna bagi perkembangan dunia pendidikan kedua lembaga tersebut
nantinya.
Di sisi lain, perkembangan pendidikan non formal pun tak kalah pesat dari
pendidikan formal. Hal ini bisa kita amati dari banyak bermunculannya
sekolah/madrasah non formal mulai dari bentuk pondok pesantren murni ataupun
boarding school beriringan kehadirannya ditengah masyarakat.
Hampir di setiap kecamatan berdiri lembaga pendidikan dari sektor ini.
Seiring dengan perubahan zaman yang begitu cepat, maka berbagai macam
kebijakan dalam pendidikan formal dan non formal pun sering mengalami
perubahan. Dan hal ini sangat mempengaruhi keberlangsungan kedua lembaga
tersebut. Untuk itu diperlukan strategi dalam mengambil kebijakan agar tidak
salah dalam menentukan langkah demi kemajuan pendidikan.
Dalam bahasan yang terkandung pada makalah ini akan dijumpai beberapa
hal seperti (1) pengertian kebijakan (2) tahapan dalam menentukan kebijakan ( 3)
sistematika pembuatan kebijakan dan terakhir(4) kebijakan publik. Sebagai bentuk
aplikatif atas teori sebelumnya penulis juga menyajikan bagaimana model
penentuan dan strategi kebijakan dalam pendidikan non formal khususnya
pesantren dan sebagai perbandinganya adalah sebaliknya yaitu stretegi kebijakan
pendidikan formal.
Pengambilan keputusan atau kebijakan dapat dilihat sebagai salah satu fungsi
seorang pemimpin dalam pelaksanaan kegiatan untuk menerjemahkan keputusan
dan berbagai alternatif yang dapat dilakukan dan untuk itu pemilihan strategi yang
tepat atas sebuah kebijakan harus dilakukan.
Di era sekarang, strategi kebijakan pendidikan formal cenderung sesuai
dengan instruksi dari instansi terkait (pemerintah maupun swasta) sedangkan
strategi kebijakan pendidikan non formal semisal pondok pesantren, sangat
berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan para manajemen pengelola
pesantren maupun para kyainya.
1. Strategi kebijakan Pendidikan Pesantren
Dalam kepemimpinan pesantren atau pendidikan non formal lainnya,
pola dan strategi dalam mengambil kebijakannya bersifat unik. Pesantren
adalah bagian dari pendidikan berbasis masyarakat (community-based
education) merupakan mekanisme dari pendidikan yang memberikan peluang
bagi setiap orang untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan pembelajaran
keagamaan seumur hidup. Kemunculan paradigma pendidikan berbasis
masyarakat semacam pesantren dipicu oleh arus besar modernisasi yang
menghendaki terciptanya demokratisasi dalam segala dimensi kehidupan
manusia, termasuk dalam bidang pendidikan. Mau tak mau pendidikan harus
dikelola secara desentralisasi dengan memberikan tempat seluas-luasnya bagi
partisipasi masyarakat.
Di dalam Undang-undang no. 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 16, tercantum
arti dari pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat
sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Dengan demikian nampak bahwa pendidikan berbasis masyarakat pada
dasarnya merupakan suatu pendidikan yang memberikan kemandirian dan
kebebasan pada masyarakat untuk menentukan sektor bidang pendidikan yang
sesuai dengan keinginan masyarakat itu sendiri.
Dalam tradisi pendidikan non formal khususnya pondok pesantren,
menentukan kebijakan adalah wilayah sakral bagi santri. Artinya tidak setiap
santri atau anggota pengurus pesantren dapat memutuskan sebuah kebijakan
baru sesuai pola pikirnya. Karenanya segala kebijakan baru terkait dengan
program, pembaharuan metode pengajaran dan hal-hal yang berkaitan dengan
perkembangan baru di dunia pendidikan harus berhadapan dengan persepsi
para ahli ( kyai ) di kalangan pesantren. Tidak jarang pengurus pesantren itu
kandas ditengah jalan dalam memperjuangkan sebuah usulan kebijakan baru
lantaran basic dan latar belakang yang berbeda dengan pimpinan pesantren (
kyai pada khususnya ).
Ada lima unsur ekologis sehingga layak dikatakan sebagai pondok
pesantren yaitu kyai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning. Ini merupakan
karakteristik – fisik yang membedakan dengan lembaga pendidikan non formal
selain pondok pesantren. Unsur-unsur tersebut berfungsi sebagai sarana dan
prasarana pendidikan dalam membentuk perilaku sosial budaya di pesantren.
Kyai, dalam komunitasnya merupakan unsur yang menempati posisi sentral;
sebagai pemilik, pengelola dan penentu kebijakan, pengajar kitab kuning, dan
sekaligus sebagai pemimpin (imam) dalam setiap ritual sosial keagamaan dan
pendidikan. Sedangkan unsur lainnya merupakan subsider dibawah
pengawasan kyai.
Paradigma tradisional tentang relasi kyai dan santri sebagai komunitas
yang dinamis membentuk subkultur yang terbangun secara eksklusif, fanatisme
dan esoteris ( pilihan/ tertentu ) sebagai upaya dalam menjaga tradisi-
keagamaan dari pengaruh dunia luar. Hal ini bisa dilihat bahwa, peran para
kyai sebagai cultural agent, yang berfungsi menyampaikan informasi-informasi
baru dari luar lingkungan yang dianggap baik dan membuang (mengeliminasi)
informasi yang dianggap kurang baik atau menyesatkan komunitas pesantren.
Kyai dalam tradisi pondok pesantren tetap merupakan figur (murabbi,
pengasuh, pembimbing dan pendidik) bahkan sebagai kekuatan moral (moral
force) dan ditaati oleh para santri, asatidz (para guru), pengurus dan beberapa
pembantu (staf) dalam menyelesaikan tugas-tugas organisasi pendidikan
dikalangan pondok pesantren. Ke-figur-an kyai sangatlah tergantung kepada
ketinggian ilmu (keulamaan) dan wibawanya. Mereka tidak hanya
mempertimbangkan secara nalar, namun diikuti oleh gerakan hati nurani yang
paling dalam, tawasul kepada gurunya, dan tidak lupa menyandarkan secara
vertikal munajat untuk beristrikharah kepada Allah SWT. Gaya pengambilan
keputusan ini lebih mendasar kepada budaya khas pesantren dan masih melekat
kepada gaya kepemimpinan kyai di pesantren.
Dalam kepemimpinan pendidikan non formal keagamaan biasanya
pengambilan kebijakan didasarkan kepada beberapa hal seperti ; telah
dilakukan musyawarah mufakat, ada pertimbangan yang matang dari dewan
Riasah ( Penyandang dana / yayasan ), segala kebijakan berasal dari bawah atas
pertimbangkan manfaat, mudharat dan mafsadat nya oleh para pimpinan dan
kemudian menjadi kebijakan pesantren.
2. Strategi kebijakan Pendidikan Formal
Berbeda dengan strategi kebijakan dalam lembaga pendidikan non formal,
kebijakan dalam pendidikan formal lebih cenderung ilmiah-rasional, sementara
pembuatan kebijakan / keputusan di pesantren lebih bersifat emosional-
subyektif. Pihak-pihak yang terlibat tidak tergesa-gesa dalam mengambil
keputusan kebijakan terhadap suatu masalah.
Ada dua macam strategi pengambilan keputusan dalam dunia pendidikan
formal:
a. Klasik
Model klasik berasumsi bahwa keputusan harus dibuat sepenuhnya
secara rasional melalui optimalisasi strategi untuk mencari alternatif
terbaik dalam rangka memaksimalisasi pencapaian tujuan dan sasaran
lembaga. Langkah-langkahnya dapat meliputi :
1) Masalah diidentifikasi. Proses pembuatan keputusan diawali dengan
identifikasi masalah oleh manajer. Masalah tersebut harus yang
sesungguhnya, bukan rekaan. Jika masalah tidak ditentukan secara
akurat, setiap langkah pengambilan keputusan akan salah pijakannya dan
keputusan pun tidak akan menyelesaikan masalah yang sesungguhnya.
2) Tujuan dan sasaran ditetapkan, Setiap manajer ingin membuat keputusan
terbaik. Untuk itu, mereka harus punya sumber daya yang ideal seperti
informasi, waktu, personil, perlengkapan, dan supply serta kemampuan
menentukan batasan masalah.
3) Semua alternatif yang mungkin diinventarisasi. Tekanan waktu kerap
menyebabkan manajer hanya membuat keputusan berdasar satu
pertimbangan jawaban. Namun, penyelesaikan masalah yang baik harus
melalui pengujian, dan pemberian keputusan secara cepat bukanlah solusi
permanen. Sebab itu, manajer harus berpikir melalui dan menyelidiki
beberapa solusi alternatif bagi satu masalah sebelum cepat membuat
keputusan. Salah satu metode terkenal dalam membangun alternatif
adalah “brainstorming”. Pada metode ini, sekelompok manajer bekerja
secara bersama untuk menghasilkan gagasan dan solusi alternatif.
Asumsi di balik brainstorming adalah, dinamika kelompok akan
merangsang pemikiran.
4) Konsekwensi dari masing-masing alternatif dipertimbangkan. Tujuan
langkah ini adalah menguji daya jawab masing-masing alternatif
jawaban. Manajer harus mengidentifikasi keuntungan dan kerugian dari
tiap alternatif sebelum membuat keputusan akhir.
5) Evaluasi atas alternatif dapat dilakukan dengan sejumlah cara, misalnya:
Menentukan pro dan kontra setiap alternative
Melakukan analisis untung-rugi atas tiap alternative
Mempertimbangkan feasibility (dapatkan dilakukan?), efektivitas
(bisakah menyelesaikan masalah?), dan konsekuensi (apa dampaknya
secara finansial dan non finansial bagi lembaga).
6) Alternatif terbaik dipilih. Setelah manajer memilih seluruh alternatif, ia
wajib memutuskan satu yang terbaik. Alternatif terbaik adalah yang
menghasilkan banyak keuntungan dan sedikit ruginya. Kadang, proses
pemilihan dapat berlangsung cepat seperti yang banyak pro-nya
ketimbang kontra-nya. Kadang pula, solusi optimal merupakan
kombinasi antar alternatif.
7) Keputusan dilaksanakan dan dievaluasi, Setiap orang yang terlibat dalam
pembuatan keputusan harus tahu peran mereka masing-masing atas
keputusan tersebut. Guna memastikan pekerja paham perannya, manajer
harus menggunakan program, prosedur, aturan, atau kebijakan guna
membantu mereka dalam proses pembuatan keputusan.
Model klasik di atas nampak terlalu ideal untuk diterapkan di
lembaga pesantren. Pertama, karena hal tersebut menuntut tersedianya
sumber daya intelektual yang berlatar akademik. Kedua, rumit karena
menuntut langkah-langkah ilmiah yang kaku, sementara di pesantren
lebih mengedepankan rileks, fleksibel, dan menonjolkan kemudahan.
Ketiga, terlalu terspesialisasi secara professional, sementara di pesantren
lebih figural-sentralistik.
b. Administratif
Disamping model klasik diatas, ada model lain yang mungkin
lebih mudah ditransformasi kedalam startegi manajemendalam pengambilan
kebijakan pada pesantren salafiyah, yakni model administratif.
Model ini diperkenalkan Simon , pertama kali berdasarkan penelitian untuk
memberikan gambaran cara-cara kerja administrator dan pembuatan
organisasi. Model administratif ini mendasarkan kepada sejumlah asumsi
dasar sebagai berikut:
1) Proses pengambilan strategi keputusan merupakan siklus peristiwa yang
mencakup identifikasi dan diagnosis terhadap suatu kesulitan,
pengembangan renca untuk mengatasi kesulitan, prakarasa terhadap
rencana, dan penilaian terhadap keberhasilan.
2) Esensi administrasi (pendidikan) terletak pada kinerja proses pembuatan
keputusan yang melibatkan individu atau kelompok dalam
organisasi. Hal ini menandakan bahwa pembuatan keputusan yang
tepat, akan mendorong penyelenggaraan pendidikan pada jenjang formal
yang efektif.
3) Berfikir rasional yang sempurna dalam pembuatan keputusan adalah
mustahil. Oleh karena itu, setiap pemimpin menyadari keterbatasan dan
pengetahuan, kemampuan atau kapasitas untuk memaksimalkan proses
pembuatan keputusan. Dari sini dapat dikatakan bahwa keputusan
yang tepat jika secara tepat digunakan untuk melaksanakan tujuan
yang telah ditetapkan.
4) Fungsi utama penyelenggaraan pendidikan adalah menyiapkan
lingkungan yang kondusif bagi setiap anggota organisasi pendidikan
untuk terlibat dalam pembuatan keputusan sehingga perilaku setiap
individu di dalamnya rasional. Penyimpangan dan pelanggaran tata tertib
yang dilakukan siswa, misalnya, bukan karena pribadinya yang buruk,
melainkan sering diakibatkan oleh keterbatasan pengetahuan dan
pengalamannya. Demikian pula minimnya perhatian dan kerjasama
pendidikan dari orang tua, masyarakat dan sekolah micu gagalnya
pelaksanaan kebijakan dalam pendidikan formal.
5) Proses pembuatan keputusan merupakan pola tindakan yang umum
terjadi dalam penyelenggaraan semua bidang tugas dan fungsi
lembaga. Jika dirinci tugas pemimpin adalah bertanggungjawab
terhadap bidang-bidang ; a). Kurikulum dan pembelajaran, b).
Negosiasi atau humas, c). Sarana prasarana, d). Financial dan usaha, e).
Manajemen siswa, f). Evaluasi dan pembinaan, g). Hubungan manusia.
6) Proses pembuatan keputusan berlangsung dengan bentuk generalisasi
yang sama yang organisasi yang kompleks. Setiap pembuatan
keputusan biasanya selalu menyangkut tahapan strategi, pelaksanaan,
dan penilaian hasil.
KESIMPULAN
Paparan tulisan diatas jika diringkas dalam bentuk table maka akan terlihat
sebagai berikut ;
Strategi Kebijakan dalam Pendidikan Formal dan Non Formal
Pendidikan Formal Pendidikan Non Formal
Kebijakan rasional ilmiyah Kebijakan emosional subyektif
Kebijakan terprogram dan matang Kebijakan kurang terprogram, kasuistik,
responsive
Dilakukan professional dan intelektual akademis Dilakukan apa adanya, sebatas
kemampuan maksimal
Bergantung pada kebijakan pemerintah/ yayasan Bergantung pada keilmuan dan
figuritas kyai
Dokumentasi sosialisasi kebijakan tertib Dokumentasi didasarkan pada kultur
kebijakan sebelumnya
Model kebijakannya bersifat politis dan elitis Model kebijakannya bersifat populis
dan sosialis.
TERIMAKASIH
UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH
SISTEM INFORMASI DAN MANAJEMEN MUTU
PENDIDIKAN FORMAL, NONFORMAL DAN INFORMAL
DOSEN PEMBINA
DR. DENI DARMAWAN, M.SI
Oleh
LELI PURNAMAWATI
NIS: 4103810414130
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan telah bergulir dengan
ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
saranaprasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar
penilaian pendidikan.
Tindak lanjut dari SNP adalah ditetapkannya Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) :
No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi (SI);
No. 23 tahun 2006 tentang Standar Kompetensi Lulusan (SKL);
No. 24 tahun 2006 dan No. 6 tahun 2007 tentang Pelaksanaan SI dan SKL;
No. 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah;
No. 13 tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah;
No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru; No. 18 tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan;
No. 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan;
No. 20 tahun 2007 tentang Standar Penilaian;
No. 24 tahun 2007 tentang Standar Sarana Prasarana; dan
No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses.
UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No. 19
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa
kurikulum pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah dikembangkan
oleh setiap satuan pendidikan. Pemerintah tidak lagi menetapkan kurikulum
secara nasional seperti pada periode sebelumnya. Satuan pendidikan harus
mengembangkan sendiri kurikulum sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhan serta potensi peserta didik, masyarakat, dan lingkungannya.
Berbagai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional yang berkaitan dengan
Standar Nasional Pendidikan merupakan acuan dan pedoman dalam
mengembangkan, melaksanakan, mengevaluasi keterlaksanaannya, dan
menindaklanjuti hasil evaluasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP).
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 14
tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional
menyebutkan bahwa salah satu tugas Subdirektorat Pembelajaran –Direktorat
Pembinaan SMA adalah melakukan penyiapan bahan kebijakan, standar,
kriteria, dan pedoman serta pemberian bimbingan teknis, supervisi, dan
evaluasi pelaksanaan kurikulum. Selanjutnya, dalam Permendiknas Nomor 25
tahun 2006 tentang Rincian Tugas Unit Kerja di Lingkungan Direktorat
Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah dijelaskan bahwa
rincian tugas Subdirektorat Pembelajaran – Penetapan Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) 2 Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas antara lain
melaksanakan penyiapan bahan penyusunan pedoman dan prosedur
pelaksanaan pembelajaran, termasuk penyusunan pedoman pelaksanaan
kurikulum. Pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan berdasarkan
standar nasional memerlukan langkah dan strategi yang harus dikaji
berdasarkan analisis yang cermat dan teliti. Analisis dilakukan terhadap
tuntutan kompetensi yang tertuang dalam rumusan standar kompetensi dan
kompetensi dasar; Analisis mengenai kebutuhan dan potensi peserta didik,
masyarakat, dan lingkungan; Analisis peluang dan tantangan dalam
memajukan pendidikan pada masa yang akan datang dengan dinamika dan
kompleksitas yang semakin tinggi.
Penjabaran Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD)
sebagai bagian dari pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
dilakukan melalui pengembangan silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran. Silabus merupakan penjabaran umum dengan mengembangkan
SK-KD menjadi indikator, kegiatan pembelajaran, materi pembelajaran, dan
penilaian. Penjabaran lebih lanjut dari silabus dalam bentuk rencana
pelaksanaan pembelajaran. Penetapan kriteria minimal ketuntasan belajar
merupakan tahapan awal pelaksanaan penilaian hasil belajar sebagai bagian
dari langkah pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum
berbasis kompetensi yang menggunakan acuan kriteria dalam penilaian,
mengharuskan pendidik dan satuan pendidikan menetapkan kriteria minimal
yang menjadi tolok ukur pencapaian kompetensi. Oleh karena itu, diperlukan
panduan yang dapat memberikan informasi tentang penetapan kriteria
ketuntasan minimal yang dilakukan di satuan pendidikan.
MATA KULIAH
DOSEN PEMBINA
Prof . Dr. H. DEDI MULYASANA, M.Pd
Oleh
LELI PURNAMAWATI
NIS: 4103810414130
A. KEPEMIMPINAN
1. Teori yg melandasi
Kepemimpinan secara umum adalah kemampuan mempengaruhi orang
agar mencapai tujuan yang diinginkan oleh pemimpin atau organisasi. Berbagai
cara atau pendekatan agar dapat mempengaruhi orang tersebut ternyata
berbeda-beda. Fenomena tersebut menjadi obyek penitiian sehingga
memunculkan berbagai teori-teori tentang kepemimpinan. Teori bersifat
ramalan atau prediksi sehingga teori tersebut belum bisa diketahui benar atau
tidaknya selama belum ada pembuktian empiris atau realitasnya. Cara atau
teknik mempengaruhi orang pun tidak bisa dikategorikan mana yang benar dan
mana yang salah. Semua teori kepemimpinan selalu ada asumsi atau kondisi
yang menaungi kemunculan teori tersebut. Dengan demikian, teori
kepemimpinan pun bisa saja bertolak belakang satu sama lain, seperti terlihat
dari munculnya berbagai tipe atau gaya kepemimpinan yang saling bertolak
belakang sifat dan gayanya.
Berbicara tentang kepemimpinan bisa mencakup (1) teori-teori yang
melandasi mengapa ada pemimpin dan bagaimana cara atau gaya
kepemimpinan yang digunakannya; (2) faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi tipe kepemimpinan; (3) tipe-tipe kepemimpinan apa saja yang
sering ditemui, baik pada organisasi bisnis maupun publik; serta
(4) mungkinkah ada perubahaan gaya kepemimpinan seseorang dilihat dari
waktu dan tempat.
Salah satu teori kepemimpinan adalah “Trait Theory” yang
mengidentifikasi karakteristik yang menentukan kepemimpinan yang baik.
Karakteristik tersebut bisa mencakup kepribadian, dominasi dan kehadiran
pribadi, karisma, kepercayaan diri, pencapaian atau prestasi, atau bisa juga
kemampuan untuk memformulasikan visi dengan jelas. Salah satu diskusi yang
menarik dari teori ini adalah apakah karakteristik seorang pemimpin tersebut
bias gender, misalnya apakah pemimpin itu harus pria, atau sebaliknya, apakah
wanita bisa menjadi pemimpin. Pertanyaan lainnya, apakah karakteristik
tersebut menjamin bahwa seseorang akan menjadi pemimpin yang baik, apakah
seorang pemimpin itu sebatas membuat perubahan saja, serta apakah pemimpin
itu dilahirkan atau diciptakan.
Teori yang kedua adalah “Behavioural Theory“ yang secara tersirat
menyatakan bahwa seorang pemimpin itu bisa dilatih, yaitu dengan
memusatkan pada cara melakukan sesuatu, misalnya tugas, pekerjaan, dan
berbagai aktivitas lainnya. Dengan penguasaan cara tersebut maka seseorang
bisa mempunyai kemampuan lebih dari orang lain. Akhirnya, orang lain pun
bisa mengikuti apa yang anda lakukan. Akhirnya orang yang mempunyai
penguasaan tersebut menjadi seorang pemimpin. Fokus itu sendiri terdiri dari
dua, yaitu pemimpin fokus terhadap kelembagaan dari pekerjaan secara
terstuktur, atau membangun hubungan (relationship) yang berfokus pada
proses. Jadi bisa saja ada pemimpin yang lebih mementingkan pekerjaan
(walaupun mungkin relasi dengan bawahannya buruk), namun ada juga
pemimpin yang lebih menitikberatkan pada relasi yang baik dengan
bawahannya dibanding hasil akhir atau tujuan organisasi. Pertanyaan yang
manarik adalah, adakah pemimpin yang dapat meraih keduanya, yakni
pekerjaan sukses dibarengi dengan relasi yang harmonis dengan bawahan.
Terori yang ketiga adalah “Contingency Theory”. Menurut teori ini,
kepemimpinan bersifat luwes atau fleksibel. Gaya kepemimpinan yang berbeda
bisa diterapkan pada waktu yang berbeda tergantung lingkungannya. Dengan
demikian, kepemimpinan bukanlah sekumpulan karakteristik yang dapat
dialihkan begitu saja dalam konteks yang berbeda. Intinya, seseorang mungkin
bisa menjadi otoriter pada lingkungan tertentu, namun berubah menjadi
pemimpin yang demokratis pada lingkungan yang lain. Sebagai contoh kasus,
apakah seorang bapak rumah tangga akan mempunyai gaya kepemimpinan
yang berbeda antara di rumah atau di lingkungan rumahnya dibandingkan
ketika menjadi seorang manajer di sebuah perusahaan. Jadi gaya
kepemimpinan tersebut bisa berubah tergantung tipe bawahan, sejarah
organisasi atau bisnisnya, budaya perusahaan, kualitas hubungan, wujud
perubahan yang diinginkan, serta norma-norma yang dianut di perusahaan.
Itulah tiga teori yang sering dikutip ketika mempelajari kepemimpinan.
Ada teori-teori lainnya seperti “Transformational Theory“ yang lebih melihat
pengaruh besar seorang pemimpin terhadap organisasi dalam konteks rencana
strategis yang dimensi waktunya relatif panjang. Ada juga
“Invitational Leadership Theory“ yang lebih menekankan peran pemimpin
dalam menciptakan atmosifir atau kondisi perusahaan yang kondusif. Hal-hal
kurang produktif atau kesalahan berusaha diidentifikasi dan dihilangkan
sehingga bisa tercipta proses internal yang baik, serta membangun komunikasi
dengan pihak eksternal. Teori terakhir adalah ‘Transactional Theory“ yang
lebih melihat bagaimana seorang pemimpin sangat fokus ke organisasi,
termasuk dengan mematuhi semua prosedur, pedoman, dan kontrak yang
berlaku dan mengikat dirinya atau perusahaannya.
Gaya kepemimpinan itu sendiri bisa dipengaruhi oleh banyak faktor,
misalnya resiko atas pengambilan keputusan. Contohnya, gaya kepemimpinan
formal dalam organisasi bisnis bisa saja berbeda dengan gaya kepemimpinan
informal di lingkungan masyarakat. Atau contoh lain, gaya kepemimpinan
seorang Supervisor bisa saja berbeda dengan Managing Diretor yang resiko
keputusannya lebih tinggi karena menyangkut nasib atau masa depan
perusahaan. Faktor-faktor lainnya adalah jenis bisnis, seberapa penting
memandang perubahan, budaya perusahaan atau organisasi, serta karakteristik
tugas. Mungkin kita pun tertarik dengan gaya kepemimpinan di perguruan
tinggi kedinasan (IPDN, dll), PTN, atau PTS, dibandingkan dengan organisasi
bisnis atau partai politik.Gaya pemimpin bisnis outsourcing mungkin berbeda
pula dengan pemimpin bisnis franchasing.
Salah satu gaya kepemimpinan yang selalu ditempatkan berlawanan
adalah pemimpin “Autocratic” vs “Democratic”. Dua kutub tersebut
berlawanan secara ekstrem. Pemimpin autocratic cenderung otoriter dan rekatif
tidak memberikan ruang partisipasi kepada bawahannya dalam pengambilan
keputusan. Sifatnya tersebut menyebabkan bawahan bisa bekerja dengan hasil
yang baik jika pemimpin hadir. Maksudnya, pekerjaan atau perusahaan pun
akhirnya sangat menggantungkan pada pemimpin sebagai pengarah, pengawas,
dan pengambil keputusan. Ketidak bebasan bawahan tersebut bisa
menyebabkan ketergantungan organisasi pada kehadrian pemimpin.
Sebaliknya, pemimpin yang demokratis mempunyai sifat yang berlawanan
dengan itu. Namun, ini bukan berarti kita bisa menyimpulkan bahwa gaya
pemimpin mana yang benar dan salah karena tergantung faktor atau situasi
seperti dijelaskan pada berbagai teori kepemimpinan sebelumnya. Kita sering
terpilah tentang gaya kepemimpinan mana paling lebih sukai dan mana yang
tidak, dan itu bisa berbeda-beda bagi setiap orang. Kembali ke definisi
kepemimpinan, terlepas dari gayanya, pemimpin yang berhasil adalah
pemimpin yang bisa mencapai tujuan organisasi. Dan itu bisa saja dengan gaya
otocratic ataupun democratic.
Jika mengacu ke berbagai teori di atas maka sebutan atau gaya
kepemimpinan pun muncul sesuai dengan ciri khas atau karakteristik dominan
dari pemimpin tersebut. Beberapa sebutan atau gaya dominan dari pemimpin
tersebut di antaranya adalah “Transactional Leader”, “Charismatic Leader”,
Visionary Leader”, “Transformational Leader”, “Servant Leader”, “Interactive
Leader”, dan label pemimpin lainnya, atau bisa juga sebutan baru, misalnya
“Pemimpin yang gaul”.
Akhirnya, apapun teori yang melandasi, atau gaya dan tipe seperti apa
yang diterapkan, semoga kita bisa menjadi pemimpin yang baik dan
berhasil, minimal untuk diri sendiri dan keluarga.
2. ARUS PERUBAHAN DAN KECENDERUNGAN KE DEPAN
(VISIONER)
Kepemimpinan visioner memiliki ciri-ciri yang menggambarkan segala
sikap dan perilakunya yang menunjukkan kepemimpinannya yang berorientasi
kepada pencapaian visi, jauh memandang ke depan dan terbiasa menghadapi
segala tantangan dan resiko. Diantara cirri-ciri utama kepemimpinan visioner
adalah:
a. Berwawasan ke masa depan, bertindak sebagai motivator, berorientasi pada
the best performance untuk pemberdayaan, kesanggupan untuk
memberikan arahan konkrit yang sistematis.
b. Berani bertindak dalam meraih tujuan, penuh percaya diri, tidak peragu dan
selalu siap menghadapi resiko. Pada saat yang bersamaan, pemimpin
visioner juga menunjukkan perhitungan yang cermat, teliti dan akurat.
Memandang sumber daya, terutama sumberdaya manusia sebagai asset yang
sangat berharga dan memberikan perhatian dan perlindungan yang baik
terhadap mereka
c. Mampu menggalang orang lain untuk kerja keras dan kerjasama dalam
menggapai tujuan, menjadi model (teladan) yang secara konsisten
menunjukkan nilai-nilai kepemimpinannya, memberikan umpan balik
positif, selalu menghargai kerja keras dan prestasi yang ditunjukkan oleh
siapun yang telah memberi kontribusi[5]
d. Mampu merumuskan visi yang jelas, inspirasional dan menggugah,
mengelola ‘mimpi’ menjadi kenyataan, mengajak orang lain untuk berubah,
bergerak ke ‘new place’,[6] . Mampu memberi inspirasi, memotivasi orang
lain untuk bekerja lebih kreatif dan bekerja lebih keras untuk mendapatkan
situsi dan kondisi yang lebih baik.
e. Mampu mengubah visi ke dalam aksi, menjelaskan dengan baik maksud
visi kepada orang lain, dan secara pribadi sangat commited terhadap visi
tersebut[7].
f. Berpegang erat kepada nilai-niliai spiritual yang diykininya. Memiliki
integritas kepribadian yang kuat, memancarkan energy, vitalitas dan
kemauan yang membara untuk selalu berdiri pada posisi yang segaris
dengan nilai-nilai spiritual. Menjadi orang yang terdepan dan pertama dalam
menerapkan nilai-nilai luhur, sebagimana yang diungkapkan oleh Mahatma
Gandhi: “I must first be the change I want to see in my world.”
g. Membangun hubungan (relationship) secara efektif, memberi penghargaan
dan respek. Sangat peduli kepada orang lain (bawahan), memandang orang
lain sebagai asset berharga yang harus di perhatikan, memperlakukan
mereka dengan baik dan ‘hangat’ layaknya keluarga. Sangat responsive
terhadap segala kebutuhan orang lain dan membantu mereka berkembang,
mandiri dan membimbing menemukan jalan masa depan mereka
h. Innovative dan proaktif dalam menemukan ‘dunia baru’. Membantu
mengubah dari cara berfikir yang konvensional (old mental maps) ke
paradigma baru yang dinamis. Melaklukan terobosan-terobosan berfikir
yang kreatif dan produktif. (‘out-box thinking’). Lebih bersikap atisipatif
dalam mengayunkan langkah perubahan, ketimbang sekedar reaktif terhadap
kejadian-kejadian. Berupaya sedapat mungkin menggunakan pendekatan
‘win-win’ ketimbang ‘win-lose’.
c. Pendidikan
1) Teori yang Melandasi
Pendidikan diselenggarakan berdasarkan filsafat hidup serta
berlandaskan sosiokultural setiap masyarakat, termasuk di Indonesia.
Kajian ketiga landasan itu (filsafat, sosiologis dan kultural) akan
membekali setiap tenaga kependidikan dengan wawasan dan
pengetahuan yang tepat tentang bidang tugasnya. Selanjutnya, ada dua
landasan lain yang selalu erat kaitannya dalam setiap upaya pendidikan,
utamanya pengajaran, yakni landasan psikologis yang akan membekali
tenaga kependidikan dengan pemahaman perkembangan peserta didik
dan cara-cara belajarnya, dan landasan IPTEK yang akan membekali
tenaga kependidikan tentang sumber bahan ajaran.
Landasan filosofis merupakan landasan yang berkaitan dengan
makna atau hakikat pendidikan, misalnya apakah pendidikan itu,
mengapa pendidikan itu diperlukan, dan apa tujuan pendidikan itu.
Pembahasan mengenai semua ini berkaitan dengan pandangan filosofis
tertentu.Filsafat menelaah sesuatu secara radikal sampai seakar-akarnya,
menyeluruh dan konseptual, yang menghasilkan konsep-konsep
mengenai kehidupan dan dunia.Landasan filosofis terhadap pendidikan
dikaji terutama melalui filsafat pendidikan, yang mengkaji pendidikan
dari sudut filsafat.Misalnya mungkinkah pendidikan diberikan kepada
manusia, apakah pendidikan bukan merupakan keharusan,
mengapa?Kemungkinan pendidikan diberikan kepada manusia bahkan
harus diberikan, berkaitan dengan pandangan mengenai hakikat
manusia.Bahasan mengenai hakikat manusia itu, dapat dijawab melalui
kajian filosofis.
Pendidikan itu mungkin diberikan dan bahkan harus, karena
manusia adalah makhluk individualitas, makhluk sosialitas, makhluk
moralitas, makhluk personalitas, makhluk budaya, dan makhluk yang
belum jadi.Essensialisme, perenialisme, pragmatisme, progresivisme,
rekonstruksionalisme, dan pancasila adalah merupakan aliran-aliran
filsafat yang mempengaruhi pandangan, konsep dan praktik pendidikan.
a) Essensialisme. Essensialisme merupakan aliran atau mazab
pendidikan yang menerapkan filsafat idealisme dan realisme secara
eklektis. Mazab ini mengutamakan gagasan-gagasan yang terpilih,
yang pokok-pokok, yang hakiki ( essensial ), yaitu liberal arts. Yang
termasuk the liberal arts adalah bahasa, gramatika, kesusasteraan,
filsafat, ilmu kealaman, meatematika, sejarah dan seni.
b) Perenialisme. Perenialisme hampir sama dengan essensialisme, tetapi
lebih menekankan pada keabadian atau ketetapan atau kehikmatan (
perennial = konstan). Yang abadi adalah (1) pengetahuan yang benar,
(2) keindahan, dan (3) kecintaan kepada kebaikan. Prinsip-prinsip
pendidikannya: (1) pendidikan yang abadi, (2) inti pendidikan
mengembangkan keunikan manusia yaitu kemampuan berfikir, (3)
tujuan belajar mengenalkan kebenaran abadi dan universal, (4)
pendidikan merupakan persiapan bagi hidup yang sebenarnya, (5)
kebenaran abadi diajarkan melalui pelajaran dasar, yang mencakup
bahasa, matematika, logika, IPA dan sejarah.
c) Pragmatisme dan Progresivisme. Pragmatisme mazab filsafat yang
menekankan pada manfaat atau kegunaan praktis. Progredivisme
mazab filsafat yang menginginkan kemajuan, mengkritik,
essensialisme dan perenialisme karena mengutamakan pewarisan
budaya masa lalu, menggunakan prinsip pendidikan antara lain (1)
anak hendaknya diberi kebebasan, (2) gunakan pengalaman langsung,
(3) guru bukan satu-satunya, (4) sekolah hendaknya progresif menjadi
laboratorium untuk melakukan berbagai pembaharuan pendidikan dan
eksperimentasi.
d) Rekonstruksionisme. Mazab rekonstruksionisame merupakan
kelanjutan dari progresivisme. Mazab ini berpandangan bahwa
pendidikan/ sekolah hendaknya memelopori melakukan pembaharuan
kembali atau merekonstruksi kembali masyarakat agar menjadi lebih
baik. Karena itu pendidikan/sekolah harus mengembangkan ideologi
kemasyarakatan yang demokratis.
e) Pancasila, bahwa pancasila merupakan mazab filsafat tersendiri yang
dijadikan landasan pendidikan, bagi bangsa Indonesia dituangkan
dalam Undang-undang pendidikan yang berlaku. UU No. 2 tahun
1989 tentang Sisdiknas (akan segera diubah ) mengaturnya dalam
pasal 2, pendidikan nasional berdasarkan pancasila dan UUD 1945.
Demikian pula dalam GBHN-GBHN yang pernah dan sedang berlaku,
biasa ditetapkan dasar pendidikan pancasila ini.
6) Aspek Psikologis
Pendidikan selalu terkait dengan aspek kejiwaan manusia, sehingga
pendidikan juga menggunakan landasan psikologis, bahkan menjadi
landasan yang sangat penting, karena yang digarap oleh pendidikan
hampir selalu berkaitan dengan aspek kejiwaan manusia.Ketika
membahas hakikat manusiapun ada pandangan-pandangan psikologik,
seperti behaviorisme, humanisme dan psikologi terdapat cukup banyak.
Contoh, tipe-tipe manusia yang dikemukakan oleh Eduard Spranger, ia
menyebut ada enam tipe manusia, yaitu manusia tipe teori, tipe ekonomi,
tipe keindahan ( seni ), tipe sosial, tipe politik dan tipe religius. Model-
model belajar juga dikemukakan oleh para psikolog seperti Skinner,
Watson, dan Thorndike.Bahwa manusia mempunyai macam-macam
kebutuhan dikemukakan misalnya oleh Maslow.Perkembangan peserta
didik dengan tugas-tugas perkembangan terkait dengan pola
pendidikan.Sifat-sifat kepribadian dengan tipe-tipenya masing-masing,
juga terkait dengan pendidikan. Karakteristik jiwa manusia Indonesia
bisa jadi berbeda dengan bangsa Amerika ( Barat ), maka pendidikan
menggunakan landasan psikologis.
Pendidikan selalu melibatkan aspek kejiwaanmanusia, sehingga
landasan psikologis merupakan salah satu landasan yang penting dalam
pendidikan. Pada umumnya landasan psikologis dri pendidikan tersebut
terutama tertuju pada pemahaman manusia, khususnya tentang proses
perkembangan dan proses belajar.
d. Teamwork
1) Landasan Teori
Penyelenggaraan teamwork dilakukan karena pada saat ini tekanan
persaingan semakin meningkat, para ahli menyatakan bahwa
keberhasilan organisasi akan semakin bergantung pada Teamwork
daripada bergantung pada individu-individu yang menonjol. Konsep tim
maknanya terletak pada ekspresi yang menggambarkan munculnya
sinergi pada orang-orang yang mengikatkan diri dalam kelompok yang
disebut dengan tim. Tracy (2006) menyatakan bahwa teamwork
merupakan kegiatan yang dikelola dan dilakukan sekelompok orang yang
tergabung dalam satu organisasi. Teamwork dapat meningkatkan kerja
sama dan komunikasi di dalam dan di antara bagian-bagian perusahaan.
Biasanya teamwork beranggotakan orang-orang yang memiliki
perbedaan keahlian sehingga dijadikan kekuatan dalam mencapai tujuan
perusahaan. Pernyataan di atas diperkuat Dewi (2007) kerja tim (
teamwork ) adalah bentuk kerja dalam kelompok yang harus diorganisasi
dan dikelola dengan baik. Tim beranggotakan orang-orang yang memiliki
keahlian yang berbeda-beda dan dikoordinasikan untuk bekerja sama
dengan pimpinan. Terjadi saling ketergantungan yang kuat satu sama lain
untuk mencapai sebuah tujuan atau menyelesaikan sebuah tugas. Dengan
melakukan teamwork diharapkan hasilnya melebihi jika dikerjakan
secara perorangan.
I guess my experience with sports and lacrosse has made me realize
that a team working together as a unit is much more effective way to run
an organization. Every championship team I have been a part of
consisted of players with equal responsibilities working towards a
common goal. I don’t like the term ‘staff’ because it implies that some
employees have a smaller role than others.”
Huszczo (Stott dan Walker, 1995) mengemukan pendapat bahwa
teamwork merupakan lambungan gagasan dari satu orang ke orang
lainnya dan endatangkan solusi untuk permasalahan kritis, dan organisasi
tersebut dimulai dengan engambil strategi team untuk bekerja dengan
kompetisi. Menurut Johnson dan Johnson's Stott dan Walker, 1995)
menghubungkan definisi tim sebagai satu set hubungan interpersonal
yang terstruktur untuk mencapai tujuan yang diterapkan.
2) Arus Perubahan Kecenderungan Teamwork
Menurut Hussey ( 2006 ) terdapat enam faktor yang menjadi pendorong
bagi kebutuhan akan perubaan, yaitu sebagai berikut :
a) Perubahan Teknologi Terus Meningkat
Sebagai akibat perubahan teknologi yang terus meningkat, kecepatan
pernyusutan teknologi menjadi semakin meningkat pula.Organisasi
tidak dapat mengabaikan perkembangan yang menguntungkan
pesaingnya. Perkembangan baru mengakitbatkan perubahan
keterampilan, pekerjaan, struktur, dan sering kali juga budaya.
Dengan demikian, sumber daya manusia harus selalu mengikuti
perkembangan teknologi, agar tidak tertinggal.Di dalam dunia yang
selalu berkembang, sumber daya manusia tidak boleh gagap teknologi.
b) Persaingan semakin Intensif dan Menjadi Lebih Global
Dalam dunia yang semakin terbuka, terjadi persaingan yang semakin
tajam dengan cakupan lintas negara.Banyak organisasi dipaksa
mencapai standar kualitas dan biaya yang telah dicapai oleh perintis
industri. Apabila tidak dapat mengikuti standar tersebut, maka akan
kalah dalam bersaing. Lebih banyak industri bekerja di tingkat dunia
sehingga tidak lagi berpikir terisolasi dalam satu negara. Kekalahan
dalam persaingan akan memaksa perusahaan menutup usahanya atau
melakukan merger atau dibeli oleh perusahaan lain.
c) Pelanggan semakin Banyak Tuntukan
Pelanggan tidak lagi mau menerima pelayanan yang jelek atau
kualitas rendah.Untuk menjadi organisasi yang kompetitif, perusahaan
harus lebih cepat dalam merespons kebutuhan pelangganm dan hal ini
dapat berubah sepanjang waktu. Kita tidak dapat lagi mengabaikan
cara kebutuhan dan harapan pelanggan berubah. Manajer yang bijak
akan selalu berusaha bedara satu langkah di depan. Dengan demikian,
organisasi secar periodik harus mengubah cara berinteraksi dengan
pelanggan, yang berarti berbeda dalam struktur, sistem, budaya dan
pelayanan. Perusahaan yang tidak mampu memberikan kepuasan
kepada pelanggan akan ditinggalkan. Pelanggan akan beralih kepada
pesaing kita.
d) Profil Demografis Negara Berubah
Komposisi kelompok penduduk tua dan muda berubah dengan akibat
kekurangan keterampilan. Perubahan sikap kelompok tua terharap
kesempatan kerja, masalah motivasi pada organisasi datar yang
menyediakan sedikit peluang promosi, kecenderungan ini menyimpan
banyak hal yang dapat memengaruhi perubahan yang akan terjadi
dalam beberapa dekade ke depan. Perkembangan demografis akan
sangat berpengaruh terhadap pola kebutuhan masyarakat. Oleh karena
itu, dunia usaha harus mampu menangkap kencenderungan tersebut.
e) Privatisasi Bisnis Milik Masyarakat Berlanjut
Kecenderungan yang terjadi dalam dunia bisnis adalah terjadinya
privatisasi yang semakin luas.Dengan privatisasi bisnis, monopoli
yang dimiliki sekelompok masyarakat tertentu menjadi hilang.
Privatisasi merupakan kecenderungan baru dunia bisnis uang akan
semakin berkembang. Walaupun kepemilikikan tidak berubah, sistem
baru dibangun untuk menciptakan kompetisi dan tumbuhnya kekuatan
pasar yang lebih besar lagi.
f) Pemegang Saham Minta Lebih Banyak Nilai
Pengaruh pasar uang pada tuntutan terhadap kinerja korporat
menciptakan tekanan untuk dilakukan perbaikan secara terus-menerus
pada pertumbuhan kapital dan pendapatan korporat. Perusahaan akan
berada di bawah tekanan apabila kinerjanya di bawah harapan,
meskipun usahanya masih menguntungkan. Dalam situasi seperti ini,
tekanan tidak hanya datang dari keluhan pemegang saham, tetapi
karena prestasinya rendam, dapat menjadi target untuk diambil alih
perusahaan lainnya.
3) Pengembangan Konsep secara Psikologi
Pengertian kerja sama adalah sebuah sistem pekerjaan yang
kerjakan oleh dua orang atau lebih untuk mendapatkan tujuan yang
direncanakan bersama. Kerja sama dalam tim kerja menjadi sebuah
kebutuhan dalam mewujudkan keberhasilan kinerja dan prestasi kerja.
Kerja sama dalam tim kerja akan menjadi suatu daya dorong yang
memiliki energi dan sinergisitas bagi individu-individu yang tergabung
dalam kerja tim. Komunikasi akan berjalan baik dengan dilandasi
kesadaran tanggung jawab tiap anggota.
Sebagaimana yang dinyatakan Tracy (2006) bahwa, Kerja sama
dapat meningkatkan komunikasi dalam kerja tim di dalam dan di antara
bagian-bagian perusahaan. Kerja sama mengumpulkan bakat, berbagi
tugas dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan bersama.
Kerja sama dilakukan oleh sebuah tim lebih efektif daripada kerja
secara individual. Menurut West (2002), Telah banyak riset
membuktikan bahwa kerja sama secara berkelompok mengarah pada
efisiensi dan efektivitas yang lebih baik. Hal ini sangat berbeda dengan
kerja yang dilaksanakan oleh perorangan.
Setiap tim maupun individu sangat berhubungan erat dengan kerja
sama yang dibangun dengan kesadaran pencapaian prestasi dan kinerja.
Dalam kerja sama akan muncul berbagai penyelesaian yang secara
individu tidak terselesaikan. Keunggulan yang dapat diandalkan dalam
kerja sama pada kerja tim adalah munculnya berbagai penyelesaian
secara sinergi dari berbagai individu yang tergabung dalam kerja tim.
Selain keunggulan di atas kerja sama juga dapat menstimulasi
seseorang berkontribusi dalam kelompoknya, sebagaimana yang
dinyatakan Davis (dalam Dewi, 2006) bahwa, Kerja sama adalah
keterlibatan mental dan emosional orang di dalam situasi kelompok yang
mendorong mereka untuk memberikan kontribusi dan tanggung jawab
dalam mencapai tujuan kelompok.
Kontribusi tiap-tiap individu dapat menjadi sebuah kekuatan yang
terintegrasi. Individu dikatakan bekerja sama jika upaya-upaya dari setiap
individu tersebut secara sistematis terintegrasi untuk mencapai tujuan
bersama. Dalam mencapai tujuan bersama, kerja sama memberikan
manfaat yang besar bagi kerja tim. Biasanya organisasi berbasis kerja tim
memiliki struktur yang ramping. Oleh sebab itu, organisasi akan bisa
merespons dengan cepat dan efektif lingkungan yang cepat berubah
(West, 2002).
TERIMAKASIH
UJIAN AKHIR SEMESTER
MATA KULIAH
KEPEMIMPINAN KEPENDIDIKAN
DOSEN PEMBINA
Prof. Dr. H. SUTARYAT TRISNAMANSYAH, MA
Oleh
LELI PURNAMAWATI
NIS: 4103810414130
Bagian II
1. Dalam mengimplementasikan manajemen mutu terpadu dan manajemen
stratejik di satuan pendidikan kepemimpinan kepala sekolah amat penting dan
strategis.
a. Mengapa penting dan strategis?
1) Di tinjau dari manajemen mutu dalam kegiatan belajar mengajar, peran
kepala sekolah melakukan upaya penjamnin mutu terhadap kegiatan
KBM yang ada melalui, (1) program evaluasi mutu atas guru oleh peserta
didik, (2) program evaluasi administrasi guru persemester, (3) program
evaluasi pencapaian KKM standar, (4) program evaluasi daya serap
materi pembelajaran. Sementara di tuinjau manajajemen strategic, peran
kepala sekolah perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek
terhadap program pembelajaran yang bermutu dengan standar
meningkatkan mutu sekolah
2) Ditinjau dari manjemen mutu dalam bidang kegiatan SIM, peran kepala
sekolah mengembangkan SIM bagi upaya meningkatkan mutu sekolah
sehingga kegiatan perasional lebih efektif dan efisien. Sementara,
manajamen strategic peran kepala sekolah mengembangkan SIM untuk
menjadikan sekolah sebagai leading school di lingkungan local/nasional
mpun internasional
3) Dalam Kegiatan Perencanaan, peran kepala sekolah membuat
perencanaan yang bermutu dengan melibatkan seluruh civitas akademik
yang ada sehingga menghasilkan perencanaan yang menyeluruh dan
terkait dengan yanga lain. Manajemen mutu; peran kepala sekolah
melakukan perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek serta
melaukan evalauasi bagi perbaikan perencanaan yang lebih
visible/miscible
4) Dalam kegiatan pengembangan sekolah, peran kepala sekolah membuat
perencanaan pengembangan sekolah secara terpadu cepat, efektif dan
efisien. Sementara manajemen strategic peran kepala sekolah membuat
blue print bagi sekolah akan dibawa kemana dan bagaimana
pengemabngan sekolah ke depan
5) Dalam kegiatan pengoragnisasian, peran kepala sekolah
mengorganissasikan system penjamin mutu dilingkungan sekolahnya
secara sistematik dengan membangun organisasi dan budaya mutu yang
kuat. Sementara manajemen strategic, peran kepala asekolah
mengemabngkan SDM yang berkelanjutan melalui training dan
pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan skala perioritas sekolah
6) Dalam kegiatan evaluasi, peran kepala sekolah melakukan system
evaluasi terpadu dan transparan serta dapat di pertanggung jawabkan.
Sementara manajemen strategic, peran kepala sekolah menjadikan sarana
evaluasi sebagai upaya perbaikan dan mengetahui pencapaian atas target
yang telah ditetapkan sehingga akan menghasilkan strategi baru.
7) Dalam bidang Networking, peran kepala sekolah bekerjasama dengan
semua stokeholder dalam upaya mengembangkan kemajuan sekolah
dengan dunia usaha dan industry dan berbagai elemen bagi kemajuan
sekolah. Sementara majemen strategic, peran kepala sekolah menjadikan
sekolah sebagai centre of excellent yang akan mampu menarik semua
pihak bermitra dengan sekolah
b. Kepemimpinan situasional itu bagaimana konsepnya? Beri penjelasan
singkat.
Kepimpinan situasional dikembangkan oleh Paul Hersey dan Kennnet
Blancard. Kepimpinan situasional adalah didasarkan pada saling berhubungan
diantara hal-hal berikut: jumlah petunjuk dan pengarrahan yang diberikan
oleh pimpinan, jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan oleh
pimpinan dan tingkat kesiapan atau kemantangan para pengikut yang
ditunjukan dalam melaksanakan tugas khusu , fungsi atau tujuan tertentu.
Ciri pimpinan situasional, pimpinan situasional yang berhasil harus
seorang pendognosis yang baik dan dapat menghargai semnagat serta selalu
ingin mencari tahu atas berbagai tantangan yang ada. Apabila kemampuan
motif serta kebutuhan bawahan sangat bervariasi, seorang pemimpin harus
mempunyai kepekaan dan kemampuan mendiagnosis agar mampu
membacara dan menerima perbedaan-perbedaan.
Aktivitas pemimpin stuasional ke dalam dua dimensi perilaku, (1)
inisiasi tindakan (task actions), (2) mengelola hubungan melalui tindakan
(relationship maintenance actions).Tingkat kesiapan pemimpin situasional,
(1) tingkat bimbingan dan pengarahan yang diberikan oleh pimpinan
(perilakuk tugas), (2) tingkat dukungan sosio emosional yang disediakan oleh
pemimpin (perilaku hubungan), (3) tingkat kesiapan atau kemantangan yang
diperlihatkan oleh anggota dalam melaksaakan tugas dan fungsi mereka
dalam mencapai tujuan tertentu.
TERIMAKASIH