Anda di halaman 1dari 3

Nama : Maria Tiurmaida

NIM : 1801617069

RESUME - 3

Mengelola emosi dan suasana hati dalam bekerja

Menurut Goleman (2000), untuk mendapatkan kinerja karyawan yang baik tidak hanya
hanya dilihat dari kemampuan intelektual saja akan tetapi juga dilihat dari kemampuan karyawan
dalam mengendalikan emosi dalam menjalankan tugas di suatu organisasi. Goleman, Boyatzis,
dan McKee (Schneide & Hite, 2017) mengemukakan karyawan yang cerdas secara emosional
dapat memotivasi, menginspirasi dan berhubungan baik dengan rekan kerja mereka. Individu yang
cerdas secara emosional adalah seseorang yang dapat mengelolah emosinya, dapat memotivasi
dirinya sendiri, dapat mengenali emosi orang lain, dapat menjalin hubungan dengan baik dan sadar
terhadap dirinya.

Gross dan Thompson (2007) menjelaskan bahwa regulasi emosi adalah serangkaian proses
emosi yang diatur sesuai dengan tujuan individu, pengaturan emosi positif maupun negatif baik
dengan cara otomatis atau dikontrol, disadari atau tidak disadari dan melibatkan banyak komponen
yang bekerja terus menerus sepanjang waktu. Gross (dalam Lewis, Jones, Barret, 2008)
mengungkapkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi regulasi emosi diantaranya adalah
kepribadian. budaya, religiusitas, usia, jenis kelamin, dan kondisi psikologis.

Goleman dan Cherniss (2001) membagi kecerdasan emosi berdasarkan lima aspek yaitu:

1. Regulasi diri (self regulation)


Regulasi diri adalah kemampuan menangani emosi diri sehingga berdampak positif pada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum
tercapainya suatu sasaran, dan mampu segera pulih dari tekanan emosi
2. Kesadaran diri (self awareness)
Pengendalian diri adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan dalam dirinya
dan digunakan untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, tolak ukur yang realistis,
kemampuan diri dan memiliki kepercayaan diri yang kuat.
3. Motivasi diri (self motivation)
Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat agar setiap saat dapat membangkitkan
semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik serta mengambil inisiatif
dan bertindak secara efektif.
4. Kepedulian sosial (social awareness) atau empati
Empati adalah kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
5. Kemampuan bersosialisasi (social skill)
Kemampuan bersosialisasi adalah kemampuan menangani emosi dengan baik ketika
berhubungan dengan orang lain.

Menurut Salovey dan Sluyter (1997) terdapat tiga faktor yang mempengaruhi regulasi emosi,
diantaranya yaitu:

1. Usia dan Jenis Kelamin


Anak perempuan yang berusia 7 hingga 17 tahun lebih mampu meluapkan emosi jika
dibandingkan dengan anak laki-laki, dan anak perempuan mencari dukungan lebih banyak
jika dibandingkan dengan anak laki-laki yang lebih memilih untuk meluapkam emosinya
dengan melakukan latihan fisik.
2. Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal dan regulasi emosi berhubungan dan saling mempengaruhi. Jika
individu ingin mencapai suatu tujuan untuk berinteraksi dengan lingkungan dan individu
lainnya, maka emosi akan meningkat. Biasanya emosi positif meningkat bila individu
mencapai tujuannya dan emosi negatif meningkat bila individu menemui kesulitan dalam
mencapai tujuannya.
3. Hubungan Antara Orang Tua dengan Anak
Menurut Banerju (dalam Putri, 2013) bahwa orang tua memiliki pengaruh dalam emosi
anak-anaknya. Orang tua menetapkan dasar dari perkembangan emosi anak dan hubungan
antara orang tua dan anak menentukan tingkat perkembangan emosi di masa remaja.
Regulasi emosi yang dimiliki orang tua juga dapat mempengaruhi hubungan orang tua dan
anak karena tingkat kontrol dan kesadaran diri mereka ditiru oleh anak yang sedang
berkembang.
Ciri individu yang mampu melakukan regulasi emosi yang baik menurut Goleman (2002) yaitu:

1. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah.


2. Berkurangnya ejekan verbal dan perkelahian
3. Lebih mampu mengungkapkan marah dengan tepat, tanpa berkelahi.
4. Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.
5. Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarganya.
6. Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa.
7. Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam pergaulan.

Sumber

Cherniss, C., & Goleman, D. (2001). The Emotionally Intelligent Workplace. San Fransisco:
Jossey-Bass.
Goleman, D. (2000). Working with Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Goleman, D., Boyatzis, R. E., & McKee, A. (2002). Primal Leadership: Realizing the Power of
Emotional Intelligence. The Journal of Applied Christian Leadership, 2(2), 76-80.
Gross, J.J., & Thompson, R.A. (2007). Handbook of emotion regulation. New York: Guilford
Press.
Lewis, M., Jones, J.M.H., Barret, L.F. (2008). Handbook of emotion third edition. New York:
Published Guilford Press.

Putri, D. W. (2013). Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Perilaku Prososial pada Perawat
Rumah Sakit Jiwa Grhasia Yogyakarta. Journal Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 1-
15.

Salovey, P., & Sluyter, D. J. (1997). Emotional Development and Emotional Intelligence. New
York: A Divison of Harper Collins Publishers.

Schneider, & Hite. (2017). NCAA Athletic Department Employee Perceptions of Workplace
Related Burnout, Commitment, and Emotional Intelligence. Physical Culture and Sport
Studies and Research, 1-13.

Anda mungkin juga menyukai