Anda di halaman 1dari 12

A.

Mood atau Suasana Hati


1. Pengertian Mood atau Suasana Hati

Suasana hati, atau yang sering disebut mood dalam bahasa Inggris, merujuk pada keadaan
emosional seseorang. Bedanya dengan emosi adalah suasana hati cenderung lebih umum, kurang
intens, dan tidak selalu dipicu oleh stimulus atau kejadian tertentu. Suasana hati dapat mencakup
berbagai perasaan, mulai dari kebahagiaan dan kegembiraan hingga kesedihan atau
ketidaknyamanan, dan bisa berubah-ubah sepanjang hari atau dari waktu ke waktu. Suasana hati
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan, pengalaman, hormon, dan kondisi
kesejahteraan secara keseluruhan. Memahami suasana hati seseorang penting untuk mengelola
emosi dan menjaga kesehatan mental.

Suasana hati seseorang merupakan suatu fenomena yang dinamis dan dapat berlangsung dalam
berbagai durasi, mulai dari periode singkat seperti beberapa jam hingga rentang waktu yang lebih
panjang seperti beberapa hari. Hal ini dipengaruhi oleh beragam kejadian yang terjadi dalam
kehidupan sehari-hari yang kadang-kadang tidak dapat diprediksi sebelumnya.

Dalam penelitiannya, Maire (2013) menyatakan bahwa mood atau suasana hati bukanlah hal
yang statis, tetapi lebih sebagai suatu keadaan yang dialami oleh manusia. Dalam konteks ini,
suasana hati seseorang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk interaksi sosial dengan
orang lain di sekitarnya. Dinamika interaksi sosial antara individu satu dengan yang lainnya
dalam lingkungan sosial memiliki peran yang signifikan dalam membentuk suasana hati
seseorang.

Misalnya, ketika seseorang memiliki interaksi positif dengan teman-teman atau keluarga, ini
dapat meningkatkan suasana hati mereka menjadi lebih ceria dan positif. Sebaliknya, konflik
atau ketegangan dalam interaksi sosial dapat memengaruhi suasana hati menjadi kurang
menyenangkan atau bahkan negatif. Oleh karena itu, pemahaman tentang bagaimana cara
berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosial dapat berdampak langsung pada perubahan
suasana hati seseorang (Maire, 2013). Sedangkan menurut Thayer (dalam Halgin &Whitbourn,
2011) mood (suasana hati) adalah perasaan- perasaan yang cenderung kurang intens, dan yang
terjadi situasi dan kondisi yang sedang dialami. Mood dapat mempengaruhi aktivitas sehari-hari,
dan juga dapat mempengaruhi cara-cara dimana individu tersebut berfikir dan bertindak (Halgin,
R. P., & Whitbourne, 2011).
Martin et. Al. (2011) dalam Ilham (2019:33) menjelaskan bahwa mood (suasana hati):

“Mood is the grammatical resource for realizing an interactive move in dialogue.”

Suasana hati atau mood berperan sebagai landasan gramatikal yang memfasilitasi dinamika
interaktif dalam percakapan. Ini mengindikasikan bahwa suasana hati memengaruhi cara kata-
kata disusun satu sama lain dalam menyampaikan suatu ide, sehingga memberikan kontribusi
penting dalam proses berinteraksi dengan orang lain (Trouillet, R., DoanVanHay, L., Launay, M.,
& Martin, 2011).

Menurut Fauziyah (2017), mood atau suasana hati dapat dijelaskan sebagai kumpulan perasaan
yang cenderung kurang intensif dan berkembang sebagai respons terhadap situasi dan kondisi
yang dihadapi oleh individu. Suasana hati bisa muncul secara tiba-tiba, dipicu oleh kejadian yang
tak terduga, dan memiliki kemampuan untuk memengaruhi aktivitas sehari-hari, serta cara
berpikir dan bertindak seseorang.

Ketika kita berbicara tentang mood, kita berbicara tentang kualitas emosional yang melandasi
sikap dan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Mood yang positif dapat memotivasi
seseorang untuk berpartisipasi aktif dalam aktivitas sehari-hari dan berinteraksi dengan orang
lain secara positif. Sebaliknya, mood yang negatif dapat menghambat kemampuan seseorang
untuk berkonsentrasi, merasa bahagia, atau merespons situasi secara tepat.

Terkadang, suasana hati seseorang dapat berubah secara drastis dalam waktu singkat, misalnya
dari kebahagiaan menjadi kesedihan atau sebaliknya. Ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor
seperti stres, tekanan, atau peristiwa tak terduga yang mempengaruhi kesejahteraan emosional
seseorang (Asih, A & Fauziah, 2017).

Dari uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa mood adalah suatu kumpulan perasaan yang
tidak begitu intens dan muncul sebagai respons terhadap situasi dan kondisi yang tengah dialami.
Mood memiliki sifat yang tidak stabil, bisa muncul secara tiba-tiba atau dalam kejadian yang tak
terduga, dan memiliki potensi besar untuk memengaruhi aktivitas sehari-hari serta cara berpikir
dan bertindak seseorang.

2. Dimensi-dimensi Mood atau Suasana Hati


Menurut Watson dan rekan-rekan (sebagaimana dikutip dalam Khasanah, 2019), mood atau
suasana hati memiliki dua dimensi sebagai berikut (Khasanah, 2019):

a. Afek Positif (Positif Affect)


Afek positif adalah indikator seberapa besar seseorang merasakan antusiasme,
keterlibatan aktif, dan kesiapan menghadapi kehidupan sehari-hari. Tingkat afek positif
yang tinggi mencerminkan kondisi di mana seseorang merasakan energi yang kuat,
memiliki fokus yang tinggi, dan merasa senang terlibat dalam aktivitas. Di sisi lain, afek
positif yang rendah ditandai dengan perasaan sedih dan kelelahan.
b. Afek Negatif (Negative Affect)
Afek negatif adalah gambaran umum dari keadaan sulit dan pengalaman yang tidak
menyenangkan yang terkait dengan keterlibatan dalam hubungan sosial. Hal ini dapat
mencakup perasaan seperti marah, bersalah, atau gelisah. Dalam konteks interaksi sosial,
afek negatif mengacu pada bagaimana seseorang menampilkan kondisi mood atau
suasana hati saat berinteraksi dengan orang lain.

Kecerdasan emosional pertama kali dikemukakan dan secara resmi didefinisikan oleh Mayer dan
Salovey pada tahun 1990 untuk menjelaskan berbagai aspek emosi yang dianggap krusial dalam
mencapai kesuksesan. Menurut definisi Salovey dan Mayer pada tahun 2004, kecerdasan
emosional atau inteligensi emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali,
menggunakan, dan mengekspresikan emosi, serta kemampuan untuk mengintegrasikan emosi ke
dalam proses berpikir. Ini mencakup pemahaman emosi, keterampilan mengenali emosi, dan
kemampuan untuk mengatur emosi guna pertumbuhan pribadi (Salovey, P & Mayer, 1990).

Menurut Goleman (2000), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengatur
kehidupan emosional mereka dengan kecerdasan, artinya mampu mengelola emosi dengan
bijaksana. Hal ini melibatkan menjaga keseimbangan emosi dan ekspresi emosi yang sesuai
dengan situasi melalui kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati, dan keterampilan
sosial (Goleman, 2000). Menurut Suharsono (2004), kecerdasan emosional didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengenal diri sendiri, yang mencakup pemahaman terhadap potensi-potensi
dan kemampuan yang dimiliki, serta menyadari kelemahan-kelemahan dalam hal perasaan dan
emosi (Suharsono, 2004).
Menurut Salovey dan Sluyter (1997), dimensi-dimensi kecerdasan emosional lebih dikenal
dengan istilah "Four Branch Model of Emotional Intelligence." Keempat cabang ini disusun
berdasarkan tingkat kompleksitas proses psikologis yang digunakan, dimulai dari yang paling
dasar hingga yang paling kompleks yang memerlukan integrasi beberapa proses psikologis
(Salovey, P and Sluyter, 1997). Berikut ini adalah penjelasan mengenai keempat cabang tersebut,
yaitu:

A. Persepsi Emosi
Cabang pertama dari kecerdasan emosional menekankan pada persepsi emosi, yang
merupakan kemampuan individu untuk mengenali emosi dengan akurat. Proses ini
dimulai sejak bayi hingga awal masa kanak-kanak, di mana anak mulai belajar
mengidentifikasi dan membedakan emosi, baik yang dirasakan oleh diri sendiri maupun
oleh orang lain. Pada tahap awal, bayi belajar membedakan emosi melalui ekspresi wajah
yang terlihat, dan kemudian meresponsnya. Seiring dengan pertumbuhan, kemampuan ini
semakin berkembang sehingga anak dapat mengenali dengan lebih tepat sensasi tubuh
yang mereka rasakan, serta sensasi yang terjadi di sekitar mereka (Ahmadi, 2004).
Perasaan dapat dikenali tidak hanya dalam diri sendiri, tetapi juga pada orang lain atau
objek lain. Saat tumbuh, anak mulai memberikan atribut perasaan pada benda hidup
maupun mati. Imajinasi ini membantu anak menggeneralisasi perasaan mereka pada
orang lain. Mereka menggunakan pengalaman pribadi untuk memahami sensasi yang
dirasakan oleh orang lain.
Lebih jauh lagi, kemampuan individu dalam memahami emosi akan berkembang hingga
tahap di mana mereka mampu mengekspresikan perasaan dengan tepat dan mengartikan
kebutuhan yang terkait dengan perasaan-perasaan tersebut. Orang yang memiliki
kecerdasan emosional yang baik juga sensitif terhadap ekspresi emosi yang tidak
konsisten atau dimanipulasi, karena mereka memahami ekspresi dan manifestasi emosi
dengan baik (Muhibin, 2011).
B. Integrasi Emosi
Cabang kedua dari kecerdasan emosional menekankan integrasi emosi yang
memperhatikan peran emosi dalam mengelola masalah yang terkait dengan proses
kognitif. Emosi berfungsi sebagai sistem yang memberikan sinyal sejak lahir. Seiring
dengan pertumbuhan, individu mulai dapat menggunakan sinyal-sinyal ini dalam
aktivitas kognitif dengan mengalihkan perhatian pada hal-hal yang penting. Peran kedua
dari emosi dalam proses kognisi adalah dengan mengaitkan emosi dengan suatu konteks
sehingga lebih mudah dipahami. Individu mencoba untuk memposisikan diri mereka
dalam situasi orang lain yang mengalami emosi tertentu, dan berupaya merasakan emosi
tersebut secara empati atau simulasi saat diminta memberikan pendapat mengenai emosi
karakter dalam sebuah cerita atau menilai emosi orang lain. Ini membantu dalam
memahami dan menginterpretasikan emosi dengan lebih baik. (Haryanto, 2012).
Dalam perkembangannya, kemampuan untuk menggunakan sensasi emosi yang
dirasakan akan berkembang dengan adanya perencanaan dan kemampuan untuk membuat
antisipasi, terutama saat menghadapi situasi baru seperti memasuki sekolah baru. Proses
ini melibatkan kemampuan untuk menghasilkan, merasakan, memanipulasi, dan menguji
emosi sehingga lebih mudah dipahami. Semakin akurat individu merasakan sensasi emosi
dan semakin realistis proses tersebut, individu akan lebih mampu membuat pilihan-
pilihan yang tepat dalam kehidupannya.
Perubahan mood yang dialami individu dapat mengubah perspektif mereka dan
mendorong mereka untuk melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang. Lebih lanjut,
individu akan memahami bahwa perbedaan dalam pemikiran dan perilaku seseorang
dapat dipengaruhi oleh mood yang berbeda-beda. Hal ini membantu individu untuk lebih
memahami kompleksitas emosi dan perilaku manusia.
C. Pemahaman Emosi
Cabang ketiga dari kecerdasan emosional adalah pemahaman emosi yang menekankan
kemampuan seseorang untuk memahami emosi yang sedang dirasakan dan bagaimana
emosi tersebut berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Setelah individu menyadari
emosi yang dirasakan, langkah selanjutnya adalah memberi nama pada emosi tersebut
dan menyadari hubungan antara berbagai emosi yang telah diberi nama tersebut (Daheri,
2021).
Cabang ini menekankan kemampuan individu untuk memberi nama pada emosi yang
dirasakan dan menyadari perbedaan serta persamaan yang mendasari emosi tersebut.
Individu juga belajar memahami emosi saat berinteraksi dengan orang lain. Misalnya,
orang tua mengajarkan anak tentang hubungan emosi dengan situasi, seperti menyadari
bahwa rasa sedih bisa terkait dengan kehilangan. Pengetahuan ini berkembang sejak masa
kanak-kanak dan semakin kompleks seiring waktu, dengan individu menyadari emosi
yang kompleks dan kontradiktif pada situasi tertentu, bahkan bisa merasakan kombinasi
emosi seperti kagum yang mungkin merupakan perpaduan rasa takut dan terkejut
(Papalia, 2008).
Emosi sering kali mengikuti pola seperti rantai, misalnya rasa marah bisa diikuti dengan
perilaku marah, kemudian diikuti dengan rasa puas atau bersalah, bergantung pada
situasi. Individu memiliki alasan unik dalam menampilkan urutan emosi tersebut. Sebagai
contoh, seseorang yang merasa tidak dicintai mungkin menolak perhatian orang lain
karena takut akan sakit hati. Pertimbangan mengenai urutan emosi dalam hubungan
interpersonal adalah inti dari kecerdasan emosional.
D. Pengaturan Emosi
Kemampuan individu dalam menggabungkan data tentang emosi, baik dari dirinya
sendiri maupun orang lain, untuk menentukan tingkah laku yang efektif saat berinteraksi
dengan orang lain adalah fokus dari cabang keempat dari kecerdasan emosional, yaitu
pengaturan emosi. Di sini, individu diajak untuk dapat mengatur emosi yang dirasakan
dengan baik. Ini mencakup toleransi terhadap berbagai reaksi emosi, baik yang
menyenangkan maupun tidak, serta kemampuan belajar untuk merregulasi emosi dalam
situasi yang sama.
Dalam perkembangannya, orang tua mengajarkan anak untuk mengendalikan ekspresi
emosi, seperti tetap tersenyum di depan umum meskipun sedang sedih, atau pergi ke
kamar saat marah. Ini membantu anak memahami bahwa emosi dapat dipisahkan dari
tindakan yang diambil (Achidurin, 2018).
Orang tua mengajarkan anak strategi untuk mengendalikan reaksi emosional, seperti
menghitung sampai 10 saat marah, membantu anak menyesuaikan perilaku dengan
lingkungan meskipun emosi tidak nyaman. Seiring bertambahnya usia, individu lebih
mampu mengendalikan emosinya, menilai seberapa besar perhatian yang diberikan pada
mood, dan memahami pengaruhnya dalam interaksi sosial.
Regulasi emosi tetap penting, baik saat mencoba meningkatkan mood buruk,
meminimalisir mood baik, atau menghindari merasakan mood tertentu. Pengaturan emosi
optimal adalah saat individu dapat mengatur dan memahami emosi tanpa membesarkan
atau meminimalkan pentingnya.
3. Ciri-ciri Mood (Suasana Hati)
Robbin & Judge (2008) mengatakan bahwa mood (suasana hati) umumnya memiliki
karakteristik yang berbeda dengan emosi. Penyebab mood seringkali tidak spesifik dan
sulit dipahami secara jelas, dan dapat berlangsung lebih lama daripada emosi yang
biasanya berlangsung dalam rentang waktu yang lebih singkat, seperti hitungan jam atau
hari. Mood juga umumnya terbagi menjadi dua dimensi utama, yaitu afek positif dan afek
negatif, yang mencakup rentang luas dari perasaan senang hingga perasaan sedih.
Sementara itu, mood tidak selalu diungkapkan melalui ekspresi yang jelas seperti pada
emosi, dan cenderung lebih bersifat kognitif, terkait dengan pikiran dan persepsi individu
terhadap situasi atau kondisi tertentu (Robbins, 2008).
Menurut Mayer dan Gaschke (2008), terdapat dua jenis ciri-ciri mood atau suasana hati,
yakni: (Mayer, J. D., & Gaschke, 2008):
a. Ciri-ciri suasana hati positif mencakup keadaan senang (bahagia, bersemangat),
penuh kasih (penuh perhatian), tenang (teduh, puas), dan semangat (aktif, segar).
Ciri-ciri suasana hati negatif meliputi keadaan cemas (gelisah, gugup), marah (gerutu,
kesal), lelah (letih, ngantuk), dan sedih (suram, sendu).
4. Faktor yang Mempengaruhi Mood (Suasana Hati)
Menurut Devine et al. (dalam Khasanah, 2019), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
mood atau suasana hati dapat dijelaskan melalui komponen STORC, yang meliputi
Situasi (situation), Pikiran (thoughts), Organ/Fisik/Tubuh (organ/physical/bodily),
Respons (response), dan Reaksi (reaction) (Khasanah, 2019):
a. Situation
Situasi mengacu pada lingkungan fisik, kondisi, dan faktor-faktor eksternal yang
mengelilingi seseorang pada waktu dan tempat tertentu, yang dapat mempengaruhi
suasana hati seseorang. Sebagai contoh, lingkungan yang bising saat seseorang
sedang bermain bisa mengubah suasana hati mereka dari sebelumnya. Begitu juga
dengan menerima kabar meninggalnya orang yang sangat disayangi, hal ini juga akan
memengaruhi suasana hati seseorang.
b. Thought Pattern (Cognitive Component)
Pemahaman individu terhadap situasi sekitarnya dapat memengaruhi perasaan yang
timbul. Cara seseorang memahami atau menafsirkan situasi akan menciptakan
perasaan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, ketika ada pengumuman tentang jadwal
PSBB yang mengharuskan kita untuk tetap di rumah dan tidak pergi ke sekolah, hal
tersebut akan memengaruhi suasana hati setiap orang dengan cara yang berbeda,
tergantung pada bagaimana mereka menanggapi pengumuman tersebut.
c. Organ Experience (Physical or Bodily Component)
Saat tubuh mengalami perubahan atau sensasi tertentu, hal itu dapat memengaruhi
perasaan atau afek yang dirasakan seseorang. Afek yang muncul seringkali
merupakan respons langsung terhadap sensasi internal tubuh. Sebagai contoh, ketika
seorang anak sedang bermain sepak bola dan tiba-tiba temannya menabraknya dari
belakang sehingga ia terluka dan merasakan sakit, hal ini bisa merubah suasana hati
anak tersebut karena kondisi tubuhnya yang terluka.
d. Response Patterns (Behavioral Component)
Pola respons mengacu pada cara individu merespons situasi, pola pikir, dan
rangsangan tubuh. Respon perilaku yang berbeda dapat menghasilkan afek yang
berbeda pula. Sebagai contoh, dalam situasi yang ramai, satu individu mungkin
merasa senang sementara individu lainnya merasa tertekan dan tidak senang.
e. Consequences (Environtmental Reactions)
Situasi atau lingkungan sosial individu dapat mempengaruhi cara individu merespons
atau berperilaku. Konsekuensi dari respons tersebut dapat memengaruhi afek
individu. Misalnya, lingkungan yang kurang memberikan penguatan positif
cenderung menimbulkan afek negatif atau mood yang buruk pada individu tersebut.
5. Gangguan mood dalam konteks PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik
Gangguan Jiwa)
Gangguan mood dalam konteks PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik
Gangguan Jiwa) merujuk pada kelompok gangguan jiwa yang dicirikan oleh perubahan
emosi yang signifikan dan terganggu. Gangguan mood mencakup rentang luas dari
perasaan sedih yang mendalam hingga periode manik yang penuh energi dan euforia.
PPDGJ III mengkategorikan gangguan mood ke dalam beberapa jenis berdasarkan
karakteristik dan durasi episode mood yang dialami individu (Muslim, 2013). Berikut
adalah beberapa contoh gangguan mood berdasarkan PPDGJ III:
a. Gangguan Depresi Mayor (Episode Depresif Berat):
 Merupakan gangguan mood yang ditandai oleh episode depresif yang berat
dan berlangsung dalam jangka waktu tertentu, biasanya minimal 2 minggu.
 Gejalanya meliputi perasaan sedih yang mendalam, hilangnya minat atau
kesenangan, perubahan berat badan, gangguan tidur, kelelahan, dan pikiran
tentang kematian atau bunuh diri.
b. Gangguan Bipolar (Gangguan Afektif Bipolar):
 Gangguan ini mencakup episode manik (hipomanik atau manik) yang diikuti
oleh episode depresif.
 Individu dengan gangguan bipolar mengalami fluktuasi suasana hati yang
ekstrem, dari periode manik yang penuh energi hingga depresi yang
mendalam.
c. Gangguan Dysthymic (Distimia):
 Gangguan mood ini ditandai oleh suasana hati yang terus-menerus sedih atau
cemas, namun dalam tingkat yang lebih ringan daripada depresi mayor.
 Gejala distimia berlangsung dalam jangka waktu yang lebih panjang, minimal
2 tahun, dan dapat mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan seseorang.
d. Gangguan Mood Campuran (Mixed Affective Disorder):
 Merupakan gangguan mood dengan gejala campuran antara mania dan depresi
secara bersamaan atau dalam periode yang berdekatan.
 Individu dengan gangguan mood campuran dapat mengalami perasaan
euforia, energi berlebih, impulsivitas, bersamaan dengan gejala depresi seperti
perasaan sedih dan kelelahan.
6. Faktor Gangguan mood dalam konteks PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik
Gangguan Jiwa)
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya gangguan mood, terutama dalam
konteks PPDGJ III (Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa), meliputi:
a. Faktor Genetik dan Biologis:
 Riwayat keluarga dengan gangguan mood seperti depresi atau bipolar dapat
meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan mood serupa.
 Ketidakseimbangan neurotransmitter dalam otak, seperti serotonin, dopamine,
dan norepinefrin, juga dapat berperan dalam timbulnya gangguan mood.
b. Faktor Lingkungan dan Stresor:
 Peristiwa traumatis, kehilangan yang signifikan, konflik interpersonal, atau
situasi stresor lainnya dapat memicu timbulnya episode depresi atau manik pada
individu yang rentan.
 Lingkungan keluarga yang tidak sehat, dukungan sosial yang kurang, atau
kondisi kehidupan yang sulit juga dapat berkontribusi terhadap gangguan mood.
c. Faktor Psikologis dan Kepribadian:
 Beberapa tipe kepribadian, seperti perfeksionisme yang berlebihan, neurotisisme,
atau kecenderungan untuk menginternalisasi masalah, dapat meningkatkan risiko
gangguan mood.
 Pola pikir negatif, rendahnya harga diri, kurangnya koping yang efektif dalam
menghadapi stres, atau gangguan kognitif seperti pemikiran kognitif yang distorsi
juga dapat menjadi faktor risiko.
d. Faktor Fisik dan Kesehatan:
 Penyakit fisik yang serius atau kronis seperti gangguan tiroid, penyakit
jantung, gangguan neurologis, atau gangguan hormonal dapat berdampak pada
keseimbangan emosi dan menyebabkan gangguan mood.
 Penggunaan obat-obatan tertentu atau penyalahgunaan zat juga dapat
mempengaruhi suasana hati dan memicu gangguan mood.
e. Faktor Sosial dan Budaya:
 Norma sosial, budaya, atau agama dapat mempengaruhi cara individu
mengekspresikan atau menangani emosi mereka, sehingga memengaruhi
manifestasi gangguan mood.
 Dukungan sosial yang baik, akses terhadap layanan kesehatan mental, dan
lingkungan yang mendukung juga dapat membantu mengurangi risiko gangguan
mood atau memfasilitasi pemulihan.
DAFTAR PUSTAKA

Achidurin, A. . (2018). Pengantar Psikologi. Aksara Timur.

Ahmadi, A. (2004). Psikologi Belajar. Rineka Cipta.

Asih, A & Fauziah, N. (2017). Hubungan antara kontrol diri dengan kecemasan jauh dari
smartphone (nomophobia) pada mahasiswa jurusan ilmu komunikasi fakultas ilmu sosial
dan politik Universitas Diponegoro Semarang. Jurnal Empati, 6(2), 15–20.

Daheri, I. W. & M. (2021). Psikologi Suatu Pengantar (Edisi Revisi). Gemilang Press.

Goleman, D. (2000). Kecerdasan Emosional Pemimpin Tranformasional. Pustaka Ilmu.

Halgin, R. P., & Whitbourne, S. K. (2011). Psikologi Abnorma. Salemba Humanika.

Haryanto. (2012). Pengertian Pendidikan Karakter. Belajar Psikologi.


http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-karakter/.

Khasanah, U. (2019). Pengaruh suasana hati (mood) terhadap kemampuan menghafal Al Quran
peserta didik SMP IT Mutiara Hati Kecamatan Purwareja Klampok Kabupaten
Banjarnegara. Psikologi, 2(1), 45–47.

Maire, M. (2013). Effects of Artificial Dawn and Morning Blue Light on Daytime Cognitive
Performance, Well-being, Cortisol and Melatonin Levels. Chronobiology International,
30(8), 988–997.

Mayer, J. D., & Gaschke, Y. N. (2008). The Experience and Meta Experience of Mood. Journal
of Personality and Social Psychology, 113(4), 456–480.

Muhibin, S. (2011). Psikologi Pendidikan. Remaja Rosdakarya.


Muslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan PPDGJ III Dan DSM IV. FK Unika
Atmajaya.

Papalia, D. E. (2008). Human Development (Psikologi Perkembangan). Kencana.

Robbins, S. P. & T. A. J. (2008). Organizational Behavior (12th ed.). Salemba Empat.

Salovey, P & Mayer, J. D. (1990). Emotional Intelligence Imagination, Cognition and


Personality. CV Andi Offset.

Salovey, P and Sluyter, D. . (1997). Emotional Develpment adn Emotional Intelligence:


Educational Implications. Basic Book.

Suharsono. (2004). Akselerasi Intelligence, Optimalkan IQ, EQ dan SQ. Inisiasi Pers.

Trouillet, R., DoanVanHay, L., Launay, M., & Martin, S. (2011). Impact of Age & Cognitive &
Coping Resources on Coping. Canadian Journal on Aging 30., 30(4), 541–550.

Anda mungkin juga menyukai