Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

EMOSI

Oleh:
Khalfatul Musfiroh (234110101191)
Muhammad Muwaffiq (234110101196)
Nila Cahya Ardila (234110101201)
Septina Miftahul Jannah (234110101205)
Shofi Kinasih (234110101210)

PROGRAM STUDI

FAKULTAS

UIN PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI PURWOKERTO


2023
BAB I

PENDAHULUAN

Latar belakang masalah


Emosi merupakan topik yang sangat relevan dalam ilmu psikologi dan kesejahteraan
manusia. Emosi adalah pengalaman subjektif yang kompleks dan esensial dalam kehidupan
sehari-hari. Emosi memainkan peran penting dalam mengatur perilaku, interaksi sosial,
pengambilan keputusan, dan kualitas hidup individu. Meskipun emosi merupakan aspek
kunci dalam kehidupan manusia, ada berbagai tantangan dan permasalahan yang terkait
dengan pemahaman, pengelolaan, dan pengaruhnya terhadap individu dan masyarakat.
Salah satu permasalahan yang sering muncul adalah ketidakmampuan individu untuk
mengenali dan mengelola emosi mereka dengan efektif. Hal ini dapat mengarah pada
konsekuensi negatif, seperti stres berlebihan, konflik interpersonal, dan masalah kesehatan
mental. Latar belakang ini juga mencakup aspek aspek perbedaan individu dalam pengalaman
emosi, seperti bagaimana faktor genetik, lingkungan, dan budaya memengaruhi respons
emosional seseorang.
Selain itu, permasalahan lain yang perlu diperhatikan adalah dampak emosi dalam
konteks sosial dan masyarakat. Emosi dapat memengaruhi hubungan antarindividu, termasuk
hubungan romantis, persahabatan, dan kerja sama dalam tim. Emosi juga memiliki implikasi
yang signifikan dalam konteks sosial yang lebih luas, seperti konflik sosial, perbedaan
budaya, dan keputusan politik.
Dalam konteks kesehatan mental, penelitian tentang emosi sangat penting karena
emosi yang tidak seimbang atau tidak terkelola dengan baik dapat menjadi faktor risiko bagi
gangguan psikologis seperti depresi dan kecemasan. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih
dalam tentang sifat emosi, cara mengelolanya, dan dampaknya pada kesejahteraan individu
dan masyarakat menjadi sangat penting.
Dengan latar belakang masalah yang telah dijelaskan ini, makalah tentang emosi
dapat memberikan wawasan yang berharga dalam upaya untuk meningkatkan pemahaman
dan pengelolaan emosi, serta untuk mempromosikan kesejahteraan psikologis individu dan
masyarakat secara keseluruhan.

Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan emosi?
2. Apakah pendapat tokoh tentang pengertian emosi?
3. Apakah teori-teori tentang emosi?
4. Apakah yang termasuk jenis dan ciri-ciri emosi?
5. Apakah konsep-konsep emosi yang berkaitan dengan pendidikan?

Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian emosi secara umum dan pendaapat para tokoh.
2. Untuk mengetahui teori dan konsep emosi.
3. Untuk mengetahui jenis dan ciri-ciri emosi
BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian emosi
Emosi berasal dari bahasa Latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti
kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi.
Daniel Goleman (2002) mengatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran
yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk
bertindak. Emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu,
sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara
fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
Chaplin (2002, dalam Safaria, 2009) merumuskan emosi sebagai suatu keadaan yang
terangsang dari organisme mencakup perubahanperubahan yang disadari, yang mendalam
sifatnya, dan perubahan perilaku. Maramis (2009) dalam bukunya “Ilmu Kedokteran Jiwa”
mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan yang kompleks yang berlangsung tidak lama
yang mempunyai komponen pada badan dan pada jiwa individu tersebut. Emosi menurut
Rakhmat (2001) menunjukkan perubahan organisme yang disertai oleh gejala-gejala
kesadaran, keperilakuan dan proses fisiologis.
Kesadaran apabila seseorang mengetahui makna situasi yang sedang terjadi. Jantung
berdetak lebih cepat, kulit memberikan respon dengan mengeluarkan keringat dan napas
terengah-engah termasuk dalam proses fisiologis dan terakhir apabila orang tersebut
melakukan suatu tindakan sebagai suatu akibat yang terjadi. Berdasarkan pengertian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa emosi adalah pengalaman sadar, kompleks dan meliputi
unsur perasaan, yang mengikuti keadaan-keadaan psikologis dan mental yang muncul serta
penyesuaian batiniah dan mengekspresikan dirinya dalam tingkah laku yang nampak
Diungkap Prezz (1999) seorang EQ organizational consultant dan pengajar senior di
Potchefstroom University, Afrika Selatan, secara tegas mengatakan emosi adalah suatu reaksi
tubuh menghadapi situasi tertentu. Sifat dan intensitas emosi biasanya terkait erat dengan
aktivitas kognitif (berpikir) manusia sebagai hasil persepsi terhadap situasi. Emosi adalah
hasil reaksi kognitif terhadap situasi spesifik.
Hathersall (1985) merumuskan pengertian emosi sebagai suatu psikologis yang
merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh. Misalnya
seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah seram, dan postur
tubuh menegang, bertingkah laku menendang atau menyerang, serta jantung berdenyut cepat.
Selanjutnya Keleinginna and Keleinginan (1981) berpendapat bahwa emosi seringkali
berhubungan dengan tujuan tingkah laku. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan
(feeling), misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan,
marah, takut bahagia, sedih dan jijik. Sedangkan menurut William James (dalam DR. Nyayu
Khodijah) mendefinisikan emosi sebagai keadaan budi rohani yang menampakkan dirinya
dengan suatu perubahan yang jelas pada tubuh.

Perasaan dan emosi


Perasaan dan emosi pada dasarnya merupakan dua konsep yang berbeda tetapi tidak
bisa dilepaskan. Perasaan selalu saja menyertai dan menjadi bagian dari emosi. Perasaan
(feeling) merupakan pengalaman yang disadari yang diaktifkan oleh rangsangan dari
eksternal maupun internal (keadaan jasmaniah) yang cenderung lebih bersifat wajar dan
sederhana. Demikian pula, emosi sebagai keadaan yang terangsang dari organisme namun
sifatnya lebih intens dan mendalam dari perasaan.
Menurut Nana Syaodih Sukadinata (2005), perasaan menunjukkan suasana batin yang
lebih tenang, tersembunyi dan tertutup ibarat riak air atau hembusan angin sepoy-sepoy
sedangkan emosi menggambarkan suasana batin yang lebih dinamis, bergejolak, dan terbuka,
ibarat air yang bergolak atau angin topan, karena menyangkut ekspresi-ekspresi jasmaniah
yang bisa diamati. Contoh: orang merasa marah atas kebijakan pemerintah menaikkan harga
BBM, dalam konteks ini, marah merupakan perasaan yang wajar, tetapi jika perasaan
marahnya menjadi intens dalam bentuk angkara murka yang tidak terkendali maka perasaan
marah tersebut telah beralih menjadi emosi. Orang merasa sedih karena ditinggal kekasihnya,
tetapi jika kesedihannya diekspresikan secara berlebihan, misalnya dengan selalu diratapi dan
bermuram durja, maka rasa sedih itu sebagai bentuk emosinya.
Perasaan dan emosi seseorang bersifat subyektif dan temporer yang muncul dari suatu
kebiasaan yang diperoleh selama masa perkembangannya melalui pengalaman dari orang-
orang dan lingkungannya. Perasaan dan emosi seseorang membentuk suatu garis kontinum
yang bergerak dari ujung yang yang paling postif sampai dengan paling negatif, seperti:
senang-tidak senang (pleasant-unpleasent), suka-tidak suka (like-dislike), tegang-lega
(straining-relaxing), terangsang-tidak terangsang (exciting-subduing).
Karena sifatnya yang dinamis, bisa dipelajari dan lebih mudah diamati, maka para ahli
dan peneliti psikologi cenderung lebih tertarik untuk mengkaji tentang emosi daripada unsur-
unsur perasaan. Daniel Goleman salah seorang ahli psikologi yang banyak menggeluti
tentang emosi yang kemudian melahirkan konsep Kecerdasan Emosi, yang merujuk pada
kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam berhubungan dengan orang lain.

Unsur-unsur perasaan
Perasaan adalah aspek psikologis yang sangat khas dan berbeda secara signifikan dari
gejala mengenal, seperti berpikir atau merasakan hal-hal yang berada di luar diri seseorang.
Salah satu ciri utama perasaan adalah sifatnya yang bersifat subyektif. Ini berarti bahwa
perasaan adalah pengalaman yang sangat pribadi dan individual. Perasaan tidak dapat diukur
atau dinilai dengan cara yang sama seperti gejala mengenal, yang dapat diidentifikasi dan
diuraikan secara lebih obyektif. Perasaan, seperti rasa senang atau tidak senang, juga dapat
bervariasi dalam tingkat intensitasnya, dan ini adalah karakteristik unik yang mencirikan
pengalaman emosional seseorang.
Selain bersifat subyektif, perasaan juga sangat terkait erat dengan pribadi seseorang
dan dapat mencerminkan berbagai faktor individual seperti pengalaman masa lalu, nilai-nilai,
keyakinan, dan situasi saat ini. Dalam konteks ini, perasaan tidak dapat dipisahkan dari
gejala-gejala jiwa lainnya, seperti pemikiran dan perilaku. Pengalaman perasaan seseorang
terhadap sesuatu akan sangat bervariasi dan dapat sangat berbeda dengan pengalaman
perasaan orang lain terhadap hal yang sama, karena pengaruh pribadi yang unik tersebut.
Karena perasaan memiliki sifat subyektif ini, maka sulit untuk menyamakannya
dengan gejala mengenal atau proses berpikir. Proses berpikir, seperti logika atau penalaran,
dapat dinilai secara lebih obyektif dan dapat dibahas dalam kerangka pemikiran yang lebih
universal. Namun, perasaan adalah pengalaman yang sangat individual dan sulit untuk
dianalisis dengan cara yang sama. Oleh karena itu, pemahaman tentang perasaan dan
bagaimana mereka mempengaruhi individu sangat penting dalam ilmu psikologi dan bidang
lain yang berhubungan dengan kesejahteraan mental dan emosional manusia.

Macam-macam emosi
Berbagai tokoh seperti Lazarus, Descartes, JB Watson, dan Daniel Goleman telah
mengemukakan pandangan mereka tentang macam-macam emosi, menyoroti ragam perasaan
yang dialami oleh individu. Menurut Lazarus (1991), individu dapat mengalami berbagai
emosi, termasuk marah, cemas, takut, rasa cemburu, malu, jijik, gembira, bangga, lega,
harapan, kasih sayang, dan kasihan. Pendekatan ini mencerminkan beragamnya perasaan
manusia dalam menghadapi situasi sehari-hari.
Descartes, seorang filsuf terkenal, berpendapat bahwa ada enam emosi dasar yang ada
pada setiap individu, yaitu hasrat, benci, sedih/duka, heran/ingin tahu, cinta, dan
kegembiraan. Pendekatan ini menyoroti aspek dasar emosi manusia dan bagaimana perasaan-
perasaan ini dapat membentuk reaksi dan perilaku individu.
Sementara itu, JB Watson mempersempit pandangannya terhadap emosi dengan
mengidentifikasi hanya tiga emosi dasar, yaitu ketakutan, kemarahan, dan cinta. Pendekatan
ini menunjukkan bahwa beberapa emosi dapat dikelompokkan menjadi kategori yang lebih
umum.
Daniel Goleman, dalam pandangannya, juga menguraikan berbagai macam emosi,
termasuk amarah, kesedihan, rasa takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel, dan malu.
Goleman menekankan pentingnya pengenalan emosi dalam memahami perilaku individu. Ia
juga membagi emosi menjadi positif dan negatif, mengindikasikan bahwa emosi bisa
memiliki efek yang berbeda pada kesejahteraan psikologis individu.
Persepsi emosi beragam di antara tokoh-tokoh ini, namun kesamaannya adalah
pengakuan akan keragaman emosi manusia dan bagaimana emosi ini dapat memengaruhi
perilaku dan interaksi sosial. Pemahaman tentang beragamnya emosi ini sangat penting dalam
ilmu psikologi, terutama dalam konteks pengelolaan emosi, kesejahteraan psikologis, dan
hubungan antarindividu.

Teori-Teori Emosi

Teori James-Lange
Emosi yang dirasakan adalah persepsi tentang perubahan tubuh. Salah satu dari teori paling
awal dalam emosi dengan ringkas dinyatakan oleh Psikolog Amerika William James: “Kita
merasa sedih karena kita menangis, marah karena kita menyerang, takut mereka
gemetar”.Teori ini dinyatakan di akhir abad ke-19 oleh James dan psikolog Eropa yaitu Carl
Lange, yang membelokkan gagasan umum tentang emosi dari dalam ke luar. Di usulkan
serangkaian kejadian disaat kita emosi : Kita menerima situasi yang akan menghasilkan
emosi. Kita bereaksi ke situasi tersebut,Kita memperhatikan reaksi kita. Persepsi kita
terhadap reaksi itu adalah dasar untuk emosi yang kita alami. Sehingga pengalaman emosi-
emosi yang dirasakan terjadi setelah perubahan tubuh, perubahan tubuh (perubahan internal
dalam sistem syaraf otomatis atau gerakan dari tubuh memunculkan pengalaman emosi. Agar
teori ini berfungsi, harus ada suatu perbedaan antara perubahan internal dan eksternal tubuh
untuk setiap emosi, dan individu harus dapat menerima mereka. Di samping ada bukti
perbedaan pola respon tubuh dalam emosi tertentu, khususnya dalam emosi yang lebih halus
dan kurang intens, persepsi kita terhadap perubahan internal tidak terlalu teliti.
Teori Cannon-Bard
Emosi yang dirasakan dan respon tubuh adalah kejadian yang berdiri sendiri-sendiri. Di tahun
I920-an, teori lain tentang hubungan antara keadaan tubuh dan emosi yang dirasakan
diajukan oleh Walter Cannon, berdasarkan pendekatan pada riset emosi yang dilakukan oleh
Philip Bard. Teori Cannon-Bard menyatakan bahwa emosi yang dirasakan dan reaksi tubuh
dalam emosi tidak tergantung satu sarna lain, keduanya dicetuskan secara bergantian.
Menurut teori ini, kita pertama kali menerima emosi potensial yang dihasilkan dari dunia
luar; kemudian daerah otak yang lebih rendah, seperti hipothalamus diaktifkan. Otak yang
lebih rendah ini kemudian mengirim output dalam dua arah: (1) ke organ-organ tubuh dalam
dan otot-otot eksternal untuk menghasilkan ekspresi emosi tubuh, (2) ke korteks cerebral,
dimana pola buangan dari daerah otak lebih rendah diterima sebagai emosi yang dirasakan.
Kebalikan dengan teori James-Lange, teori ini menyatakan bahwa reaksi tubuh dan emosi
yang dirasakan berdiri sendiri-sendiri dalam arti reaksi tubuh tidak berdasarkan pada emosi
yang dirasakan karena meskipun kita tahu bahwa hipothalamus dan daerah otak di bagian
lebih bawah terlibat dalam ekspresi emosi, tetapi kita tetap masih tidak yakin apakah persepsi
tentang kegiatan otak lebih bawah ini adalah dasar dari emosi yang dirasakan.
Teori Kognitif tentang Emosi
Teori ini memandang bahwa emosi merupakan interpretasi kognitif dari rangsangan
emosional (baik dari luar atau dalam tubuh). Teori ini dikembangkan oleh Magda Arnold
(1960), Albert Ellis (1962), dan Stanley Schachter dan Jerome Singer (1962). Berdasarkan
teori ini, proses interpretasi kognitif dalam emosi terbagi dalam dua langkah: 1. Interpretasi
stimuli dari lingkungan. Interpretasi pada stimulus, bukan stimulus itu sendiri, menyebabkan
reaksi emosional. Contohnya, jika suatu hari kamu menerima kado dari Wini dimana Wini
adalah musuh besarmu, maka kamu akan merasa takut atau bisa mengganggap bahwa kado
tersebut berbahaya. Tetapi akan berbeda ceritanya bila Wini adalah seorang teman karibmu,
maka kamu akan dengan senang hati menerima dan membuka kado tersebut tanpa curiga.
Jadi dalam teori kognitifpada emosi, informasi dari stimulus berangkat pertama kali ke
cerebral cortex, dimana akan diinterpretasi pada pengalaman masa kini dan lamapau. Lalu
pesan tersebut dikirim ke limbyc system dan sistem saraf otonom yang kemudian akan
menghasilkan arousl secara fisiologis. Interpretasi stimuli dari tubuh yang dihasilkan dari
arousal saraf otonom Langkah kedua dalam teori kognitif pada emosi yaitu interpretasi
stimulus dari dalam tubuh yang merupakan hasil dari arousal otonom. Teori kognitif
menyerupai teori James-Lange teori menekankan pentingnya stimuli internal tubuh dalam
mengalami emosi, tetapi sebenarnya itu berlanjut ke interpretasi kognitif dari stimuli, dimana
hal tersebut lebih penting dari pada stimuli internal itu sendiri.

Kecerdasan emosi
Suatu terobosan teori tentang emosi dikemukakan oleh Daniel Goleman dalam
bukunya The Emotional Intelligence. Golemen melanjutkan penelitian-penelitian sebelumnya
yang sudah berlangsung sejak 1970-1980-an termasuk yang dilakukan oleh Howard
Gardener(tentang multiple intelegence), Peter Salovey, dan Jhon Mayer.
Dalam bukunya, Golemen menyatakan tiga hal yang sangat penting sehingga teorinya
bisa dianggap sebagai terobosan. Yang pertama, emosi itu bukan bakat, melainkan bisa
dibuat dilatih dan dikembangkan, dipertahankan dan yang kurang baik dikurangi atau
dibuang sama sekali. Kedua, emosi itu bisa diukur seperti intelegensi. Hasil pengukurannya
disebut EQ (emotional Quotient). Dengan demikian, kita tetap dapat memonitor kondisi
kecerdasan emosi kita. Ketiga, dan ini yang terpenting, EQ memegang peranan lebih penting
daripada IQ. Sudah terbukti banyak rang dengan IQ tinggi, yang di masa lalu dunia psikologi
dianggap sebagai jaminan keberhasilan seseorang, justru mengalami kegagalan. Mereka
kalah daarai orang-orang dengan IQ rata-rata saja, tetapi memiliki EQ yang tinggi. Menurut
Goleman, sumbangan IQ dalam menentukan keberhasilan seseorang hana sekitar 20-30% saj,
selebihnya ditentukan oleh EQ yang tinggi.
Adapun orang yang dikatakan mempunyai EQ yang tinggi adalah jika ia memenuhi
kriteria berikut, yaitu sebagai berikut:
 Mampu mengenali emosinya sendiri.
 Mampu mengendalikan emosinya dengan situasi dan kondisi.
 Mampu menggunakan emosinya untuk meningktakan motivasinya
sendiri(bukan malah membuat diri putus asa atau bersikap negatif pada orang
lain).
 Mampu berinteraksi positif dengan orang lain.

Pengaruh Emosi pada belajar


Emosi berpengaruh besar pada kualitas dan kuantitas belajar (Meier dalam DR.
Nyayu Khodijah, 2006). Emosi yang positif dapat mempercepat proses belajar dan mencapai
hasil belajar yang lebih baik, sebaliknya emosi yang negatif dapat memperlambat belajar atau
bahkan menghentikannya sama sekali. Oleh karena itu, pembelajaran yang berhasil haruslah
dimulai dengan menciptakan emosi positif pada diri pembelajar. Untuk menciptakan emosi
positif pada diri siswa dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah dengan
menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan dan dengan penciptaan kegembiraan
belajar. Menurut Meier, 2002 (dalam DR. Nyayu Khodijah, 2006) kegembiraan belajar
seringkali merupakan penentu utama kualitas dan kuantitas belajar yang dapat terjadi.
Kegembiraan bukan berarti menciptakan suasana kelas yang ribut dan penuh hura-
hura. Akan tetapi, kegembiraan berarti bangkitnya pemahaman dan nilai yang
membahagiakan pada diri si pembelajar. Selain itu, dapat juga dilakukan pengembangan
kecerdasan emosi pada siswa. Kecerdasan emosi merupakan kemampuan seseorang dalam
mengelola emosinya secara sehat terutama dalam berhubungan dengan orang lain.

Pertumbuhan emosi
Pertumbuhan dan perkembangan emosi seperti juga pada tingkah laku lainnya
ditentukan oleh pematangan dan proses belajar seorang bayi yang baru lahir dapat menangis
tetapi ia harus mencapai ringkas kematangan tertentu untuk dapat tertawa setelah anak itu
sudah besar maka ia akan belajar bahwa menangis dan tertawa digunakan untuk maksud-
maksud tertentu atau untuk situasi tertentu.
Makin besar anak itu makin besar pula kemampuannya untuk belajar sehingga
perkembangan emosinya makin rumit. Perkembangan emosi melalui proses kematangan
hanya terjadi sampai usia satu tahun. Setelah itu perkembangan selanjutnya lebih banyak
ditentukan oleh proses belajar.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pemaparan materi tentang emosi di atas kami penulis menyimpulkan sebagai berikut:

1. Setiap manusia memiliki karakteristik emosinya masing-masing yang semuannya itu


merupakan suatu bentuk kebesaran Allah SWT sebagai pencipta manusia dengan
segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya.
2. Emosi memiliki peranan yang penting dalam kehidupan. Emosi dapat mendatangkan
keburukan ketika kita tidak dapat mengendalikannya dan kebaikan ketika diri kita
dapat mengolahnya dengan baik.
3. Berbagai macam-macam emosi dimiliki manusia sebagai makhluk yang sempurna.
Baik buruknya suatu emosi tergantung bagaimana kita menyikapinya.
4. Emosi berperan dalam proses pembelajaran. Karena dalam emosi terdapat energi yang
postif dan negatif. Tergantung bagaimana kita sebagai pendidik membimbingnya.

SARAN
Dari pemaparan materi tentang emosi kami penulis menyarankan :

1. Manajemen emosi anda dengan baik. Karena keberhasilan sesorang tidak hanya
ditentukan kecerdasannya semata tetapi emosi juga berpengaruh besar terhadap
kesuksesan anda.
2. Gunakan manajemen emosi ini untuk membimbing peserta didik agar dapat optimal
dalam mengolah emosinya.
DAFTAR PUSTAKA

Adetayo, J.O, Kiadese & Adeola L. (2011). Emotional intelligence and parental involvement
as predictors of academic achievement in financial accounting. American Journal of
Social and Management Sciences, 2(1), 21-25.
Asghari, M.S & Mohammad Ali Besharat. (2011). The relation of perceived parenting with
emotional intelligence. Journal Procedia-Social and Behavioral Sciences, 30, 231-235.
Anggraini, D. (2012). Hubungan Antara Kecerdasan (Intelektual, Emosi, Spiritual) Dengan
Penerimaan Diri Pada Dewasa Muda Penyandang Cacat Tubuh Di Balai Besar
Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof Dr Soeharso Surakarta. Surakarta: Program Studi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Azwar, S. (2008). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Caruso, D. R., Mayer, J. D., & Salovey, P. (2004). Mayer Salovey Caruso Intelligence Test.
North Tonawanda, Toront: Multi Health Systems Inc.
Ciarrochi, J., Joseph, P. F., & Mayer, J. D. (2001). Emotional Intelligence In Everyday Life:
A Scientific Inquiry. Lillington: Taylor & Francis.
Copra, R., & Poonam Nangru. (2013). A Study of Family Relationship in Relation to
Emotional Intelligence. International Indexed & Refereed Research Journal, IV, 9-13.
Dayakisni, T., & Hudaniah. (2009). Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.
Dazeva, V., & Tarmidi. (2012). Perbedaan Kecerdasan Emosional Siswa Ditinjau dari Jenis
Kegiatan Ekstrakurikuler. Journal: Psikologia-online, 7(2), 81-92.
Eriguc, G., & Serap Durukan Kose. (2013). Evaluation of Emotional Intelligence and
Communication Skills of Health Care Manager Candidates: A Structural Equation
Modeling. International Journal of Business and Social Science, 4(13), 115-123.
Gardner, K. J., Pamela Q., & Helen W. (2011). Developmental correlates of emotional
intelligence: Temperament, family environment, and childhood trauma. Australian
Journal of Psychology, 63, 75-82.
Goleman, D. (2001). Kecerdasan Emosi: Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. (T.
Hermaya, Penerjemah). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, D. (2009). Kecerdasan Emosional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gerungan, W. A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: PT Rafika Aditama.
Hariwijaya, M. (2005). Kupas Tuntas Tes Potensi Akademik. Yogyakarta: Book Marks.
Krisnatuti, D., Tin H., & Nurlaili R. D. (2011). Hubungan Antara Kecerdasan Emosi dengan
Kepatuhan dan Kemandirian Santri Remaja. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 4(2),
148-155.
Ahmadi Abu. Psikologi Umum. Rineka Cipta. Jakarta. 2003
Saleh Rahman Abdul dan Wahab Abdul Muhbib. Psikologi Suatu Pengantar (Dalam
Prespektif Islam).Kencana. Jakarta.2009
Sarwono W Sarwito, Pengantar Psikologi Umum,PT.Raja Grafindo Persada:Jakarta,2010.

Anda mungkin juga menyukai