Anda di halaman 1dari 7

PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA

PSIKOEDUKASI REGULASI EMOSI

DOSEN PENGAMPU:

DISUSUN OLEH:
Mutiara Latupono (220701501099)
Nasya Inayah (
Nivah Restrimadani (220701500041)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tahap usia dewasa merupakan fase lanjutan setelah masa kanak-kanak


dan remaja, yang kemudian berlanjut ke tahap dewasa. Disebutkan juga
bahwa usia dewasa merupakan fase yang paling panjang dalam kehidupan
setiap individu, mencakup lebih dari setengah dari total masa hidup
manusia (Jannah, dkk. 2021). Estefan dan Wijaya (2014) berpendapat
bahwa pada fase ini, dewasa awal dihadapkan pada peran dan tanggung
jawab baru, seperti menjadi orangtua, suami atau istri, pencari nafkah, dan
tanggung jawab lainnya sesuai dengan peran yang diemban. Pada fase
dewasa, individu mencapai kematangan dan mulai menyadari makna hidup
mereka. Mereka dapat memilih dan mempertahankan nilai atau norma
yang dianggap baik. Dewasa dapat dibagi menjadi tiga tahap, yakni
dewasa awal, dewasa madya, dan dewasa akhir (Mariyati, dkk. 2021).

Emosi, sebagai suatu peristiwa psikologis, memiliki sifat-sifat tertentu,


antara lain: 1) bersifat lebih subyektif daripada peristiwa psikologis
lainnya, seperti pengamatan dan berpikir; 2) bersifat fluktuatif; dan 3) erat
kaitannya dengan peristiwa pengenalan panca indera (Yufiarti & Gumelar,
2012). Manusia tidak hanya mengalami emosi, tetapi juga diharapkan
dapat mengelolanya (Fridja, dalam Yufiarti & Gumelar, 2012). Setiap
individu yang mampu mengendalikan emosinya dengan baik memiliki
potensi untuk mencapai kebahagiaan. Pengendalian emosi juga dikenal
sebagai regulasi emosi. Menurut Gross (1998), regulasi emosi adalah cara
kita memengaruhi emosi yang kita alami, termasuk kapan kita
merasakannya dan bagaimana kita mengalami serta mengekspresikan
emosi tersebut.

John & Gross (2003) menjelaskan ada dua strategi dalam regulasi
emosi, yaitu reappraisal dan suppression. Strategi reappraisal adalah cara
mengendalikan emosi dengan mengubah cara berpikir mengenai situasi
yang berpotensi memunculkan emosi untuk memodifikasi dampaknya. Di
sisi lain, strategi suppression adalah cara mengendalikan emosi dengan
menghambat perilaku ekspresi emosi yang sedang terjadi.

Peneliti melakukan pengambilan data awal pada tanggal 22 November


2023 dengan menggunakan google form yang berisi pertanyaan terbuka
terhadap 17 responden dewasa awal dengan rentang usia 18 – 22 tahun.
Berdasarkan sebaran data awal tersebut, ditemukan hasil yaitu sebanyak
82,4% responden menyatakan memiliki permasalahan dalam meregulasi
emosi.

B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran regulasi emosi,
serta penyebab terjadinya permasalahan regulasi emosi yang dialami oleh
individu di dewasa awal. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan
psikoedukasi kepada individu dewasa awal mengenai bagaimana cara
meregulasi emosi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Teori
Teori menurut Santrock (2006) adalah emosi merupakan perasaaan
yang ada pada diri individu yang berada dalam keadaan yang dianggap
penting bagi individu tersebut, yang kemudian akan mewakili apakah
individu tersebut merasa nyaman terhadap keadaan yang sedang dialami
atau yang sedang terjadi. Tujuan yang diinginkan oleh setiap individu yang
berada dalam usia dewasa awal adalah membangun identitas yang matang
dan memiliki hubungan yang dekat dan positif dengan orang lain. Individu
digambarkan melalui tiga tingkat kematangan hubungan: berpusat pada
diri (self-focused), berpusat pada peran (role-focused level) dan
terindividuasi-terhubung (individuated-connected). Tingkat berpusat pada
diri (self-focused) adalah tingkat pertama dari kematangan hubungan,
dimana perspektif seseorang terhadap orang lain atau pada suatu hubungan
dipandang hanya dari bagaimana hal itu mempengaruhi diri sendiri.
Tingkat berpusat pada peran (role-focused level) adalah tingkat kedua atau
tengah dari kematangan hubungan, pada saat seseorang memandang orang
lain sebagai seorang individu dalam dirinya sendiri. Tingkat terindividuasi
(individuated-connected) adalah tingkat tertinggi dari kematangan
hubungan, ketika seseorang mulai memahami dirinya, begitu juga telah
mempertimbangkan motivasi orang lain dan mengantisipasi kebutuhan
mereka. Perhatian dan rasa sayang melibatkan dukungan emosional dan
ekspresi kepentingan yang individual (Santrock, 2002).

B. Hubungan antara Intervensi yang Diberikan dengan Permasalahan


yang Terjadi
Emosi yang tidak stabil dapat mempengaruhi pengambilan keputusan
(Lerner dkk., 2015). Greenberg (2002) menyatakan bahwa regulasi emosi
membantu individu dalam pemahaman, ekspresi, pengelolaan, dan
transformasi emosi negatif menjadi emosi positif. Ini dilakukan dengan
menurunkan intensitas emosi negatif dan meningkatkan emosi positif
dalam diri individu. Sementara itu, menurut Roberton, Daffern, & Bucks
(2012), kurangnya kemampuan regulasi emosi dapat mengakibatkan
individu kesulitan dalam memahami emosi yang dirasakannya, sulit
mengontrol emosi, dan menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat bahwa regulasi emosi
memiliki peran penting bagi individu di dewasa madya agar berhasil
dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Hal ini juga sejalan dengan
Wulan dan Chotimah (2017), yang menyatakan bahwa regulasi emosi
memiliki peran yang krusial dalam membantu individu pada fase dewasa
awal mengatasi peran, kondisi, dan situasi yang penuh tantangan.
Intervensi yang diberikan adalah dalam bentuk psikoedukasi dengan
metode ceramah, menggunakan media poster. Individu yang menjadi
responden, merupakan individu yang mengalami masalah dengan regulasi
emosinya. Dengan memberi psikoedukasi, diharapkan akan memberi
pemahaman kepada individu mengenai apa itu regulasi emosi, hingga
strategi-strategi meregulasi emosi. Adapun strategi yang digunakan adalah
Dua strategi dalam melakukan regulasi emosi, yang dijelaskan oleh Gross
dan Thompson (2007), terdiri dari
1. Response focused strategy (expressive suppression) yang merupakan
upaya untuk menghambat ekspresi emosi yang berlebihan, termasuk
dalam nada suara, sikap, perilaku, dan ekspresi wajah. Meskipun
berguna untuk mengontrol emosi yang muncul secara berlebihan,
strategi ini tidak mengurangi intensitas emosi itu sendiri.
2. Anteseden focused strategy (cognitive reappraisal), yang merupakan
strategi yang dilakukan sebelum individu memberikan respons
terhadap emosi yang muncul. Strategi ini bertujuan untuk mengubah
pola pikir individu agar lebih positif dalam menginterpretasikan situasi
yang dapat memicu emosi tertentu. mengurangi dampak emosi
sehingga respons yang muncul menjadi lebih terkendali. Dengan
demikian, strategi ini mampu mengurangi dampak emosi sehingga
respons yang muncul menjadi lebih terkendali.
DAFTAR PUSTAKA

Kilic, S., Var, E. C., & Kumandas, H. (2015). Effect of Parental Attitudes on Skills
of Emotional Management in Young Adults. Procedia -Social and
Behavioral Sciences, 191, 930-934.

Estefan, G., & Wijaya, Y. D. (2014). Gambaran proses regulasi emosi pada pelaku
self-injury. Jurnal Psikologi,12(1).

Shulman, S., Feldman, B., Blatt, S., Cohen, O., & Mahler, A. (2005).
Emerging Adulthood. Journal of Adolescent Research, 20(5), 577–603.

Putri, A. F. (2019). Pentingnya orang dewasa awal menyelesaikan tugas


perkembangannya. SCHOULID: Indonesian Journal of School
Counseling, 3(2), 35–40.

Estefan, G., & Wijaya, Y. D. (2014). Gambaran proses regulasi emosi pada pelaku
self-injury. Jurnal Psikologi,12(1).

Mariyati, L. I., Psikolog, L. I. M., Rezania, V., & Rezania, V. (2021). Psikologi
Perkembangan Manusia I.

Adila, D. R. (2019). Proses kematangan emosi pada individu dewasa awal yang
dibesarkan dengan pola asuh orang tua permisif (Doctoral dissertation,
UNIVERSITAS AIRLANGGA).

Dimas, A. P., Siswanti, D. N., & Ansar, W. (2023). Hubungan Kelekatan Orang
Dewasa Dengan Regulasi Emosi Pada Masa Dewasa Awal. PESHUM:
Jurnal Pendidikan, Sosial dan Humaniora, 2(6), 1133-1140.

Anda mungkin juga menyukai