Anda di halaman 1dari 24

Tugas Terstruktur Dosen Pengampu

Metodologi Pemb. SOSEM Dewi Sri Suryanti, S. Ag. M. Si

Keterkaitan Perkembangan Sosial Emosional dengan Perkembangan


Lainnya

KELOMPOK II
MIA MARWIYAH ( 11810920794 )
MARDIAH ENJELINA (11810921370)
NUR ATIMAH NASUTION (11810920578 )

MAHASISWA JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI SEMESTER


4/LOKAL 4A

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU-PEKANBARU


TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirobbil’alamin kami ucapkan kepada Allah SWT atas segala nikmat


dan karunia serta rahmat dan hidayah-Nya kepada kami. Sehingga kami dari kelompok 3
dapat menyelesaikan tugas makalah Metodologi Pengembangan Sosial Emosional yang
berjudul “ Keterkaitan Perkembangan Sosial Emosional dengan Perkembangan
Lainnya”.

Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.Kami
berharap makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua baik kami selaku penyusun maupun
pembaca.Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, Maret 2020

Kelompok II
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Keterkaitan Perkembangan Sosial Emosional dengan Fisik, Mental, dan
Psikologis Anak
2.2 Keterkaitan Sosial Emosional Anak dengan Aktivitas dan Kehidupannya
2.3 Keterkaitan Perkembangan Karakter dengan Aktivitas dan Kehidupannya

BAB III PENUTUP


Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan sosial emosi semakin dipahami sebagai sebuah krisis dalam
perkembangan anak. Hal ini disebabkan karena anak terbentuk melalui sebuah
perkembangan dalam proses belajar. Dari masa perkembangan awal, bayi menunjukkan
rasa aman dalam keluarganya apabila kebutuhannya terpenuhi oleh lingkungan. Bayi
akan mengeksplorasi melalui sentuhan, rasa, dan lain-lain. Dari mengeksplorasi itulah
bayi akan belajar. Sebaliknya, apabila bayi merasa tidak aman dalam lingkungan
keluarga, bayi akan menghabiskan energinya untuk mengatur dirinya sehingga bayi tidak
memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi. Ketika bayi tidak dapat kesempatan untuk
bereksplorasi, bayi tidak memiliki kesempatan untuk belajar.

Proses belajar pada masa inilah yang mempengaruhi perkembangan pada tahapan
selanjutnya (Briggs, 2012). Masa perkembangan bayi hingga memasuki sekolah dasar
menjadi “fondasi” belajar yang kuat bagi anak untuk mengembangkan kemampuan sosial
emosinya menjadi lebih sehat dan anak siap menghadapi tahapan perkembangan
selanjutnya yang lebih rumit. Pada tahap krisis inilah menjadi waktu yang tepat dalam
meletakkan dasar-dasar pengembangan kemampuan sosial emosi menyatakan bahwa
perkembangan sosial emosi mengacu pada kemampuan anak untuk: memiliki
pengetahuan dalam mengelola dan mengekspresikan emosi secara lengkap baik emosi
positif maupun emosi negatif, mampu menjalin hubungan dengan anak-anak lain dan
orang dewasa disekitarnya, serta secara aktif mengeksplorasi lingkungan melalui belajar.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana keterkaitan perkembangan sosial emosional dengan fisik, mental, dan
psikologi anak?
2. Bagaimana keterkaitan sosial emosional anak dengan aktivitas dan kehidupannya?
3. Bagaimana keterkaitan perkembangan karakter dengan aktivitas dan
kehidupannya?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui keterkaitan perkembangan sosial emosional dengan fisik,
mental, dan psikologi anak
2. Untuk mengetahui keterkaitan sossial emosional anak dengan aktivitas dan
kehidupannya
3. Untuk mengetahui keterkaitan perkembangan karakter dengan aktivitas dan
kehidupannya
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Keterkaitan Perkembangan Sosial Emosional Dengan Fisik, Mental, Dan Psikologi
Anak

Berbicara tentang perkembangan sosial emosional menurut suyadi (2010: 108-109),


anak sebagai salah satu aspek dalam perkembangan anak sejatinya tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Dengan kata lain, membahas perkembangan emosi harus bersinggungan
dengan perkembangan sosial anak. Demikian juga sebaliknya, membahas perkembangan
sosial harus melibatkan emosi. Sebab keduanya terintegrasi dalam bingkai kejiwaan yang
utuh. Menurut George Morisson (2012: 221).1

Mengenali Sosial Emosional Kaitanya Dengan Fisik, Mental, Dan Psikologis


Anak

Tampilan emosi merupakan suatu bentuk komunikasi atau dengan kata lain ekspresi
emosi memungkinkan anak bersosialisasi dalam suatu lingkungan sosial yang dimasukinya.
Melalui perubahan mimik wajah dan fisik yang menyertai emosi, anak-anak dapat
mengomunikasikan perasaan mereka kepada orang lain dan mengenal berbagai jenis perasaan
orang lain. Dengan ekspresi emosi, mereka dapat menunjukkan rasa kegembiraan, kebencian,
ketakutan, dan sebagainya. Lebih jauh, tampilan emosi pada anak dapat kita jadikan dasar
dalam memahami perkembangan mental dan psikologis anak. Secara mental, tekanan emosi
akan mempengaruhi konsentrasi, kemampuan mengingat, dan menyerap pengalaman belajar.
Begitu pula tekanan emosi pada anak biasanya akan mempengaruhi motivasi, minat, dan
ekspresi psikologis lainnya.

Berbagai bentuk ekspresi emosi pada anak sangat perlu dikenali oleh orang tua, guru
atau pembimbing anak. Pada tingkatan tertentu, pada diri anak kemungkinan muncul
ekspresi-ekspresi emosi yang tidak diharapkan. Kesadaran orang dewasa atas tampilan emosi
anak akan sangat berharga bagi perkembangan emosi anak menuju pada perkembangan
ekspresi yang positif, yaitu tampilan emosi yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa emosi anak dengan segala ekspresinya merupakan
sumber penilaian diri dan sosial anak. Secara umum kita dapat mengenalinya melalui
penelusuran dan pengamatan terhadap anak, yaitu pada saat anak beraktivitas, baik ketika di

1
Nurjannah, Mengambangkan Kecerdasan Sosial Emosional Anak Usia Dini Melalui Keteladanan, Jurnal
Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam Vol. 14, No. 1, Jumi 2017
rumah, di sekolah, dalam kegiatan bermain, maupun aktivitas lainnya. Pengamatan dapat
dilakukan, baik pada saat mengawali, saat melakukan kegiatan, maupun pada saat akhir
kegiatan. Bagi para pendidik sangat penting mengetahui cara yang mudah dan dapat
dilakukan untuk mengenali gejala emosi dan perilaku sosial anak serta dampak-dampaknya.
Tujuannya adalah agar tindakan preventif dan interventif dapat segera dilakukan jika
ditemukan hal-hal yang tidak sesuai harapan atau terdapat penyimpangan. Kemampuan-
kemampuan sederhana yang perlu dikuasai pendidik dalam mengenali perilaku sosial
emosional anak, terutama kaitannya dengan perkembangan fisik, mental, dan psikologis anak,
diantaranya sebagai berikut :

1. Kemampuan mendekati anak dalam keadaan apapun

2. Kemampuan mengamati atau mengobservasi berbagai karakter emosi dan


perilaku sosial anak, terutama yang diekspresikan melalui tampilan fisik,
mental, dan psikologisnya.

3. Kemampuan dan keterampilan dalam merekam, mencatat, dan membuat


prediksi (perkiraan/ramalan) tentang perbuatan apa yang akan menyertainya.

4. Untuk mendukung kemampuan di atas, sebaiknya pendidik bersifat


objektif, bertindak sesuai kadar dan tingkatan ekspresi yang ditampilkan anak.

Bentuk-bentuk Hubungan Sosial Emosional Dengan Fisik, Mental, Dan Psikologis

Masih dikategorikan pengaruh emosi terhadap wilayah fisik, emosi juga berpengaruh
terhadap perkembangan dan kemampuan motorik seseorang. Berdasarkan pengamatan,
ternyata ketegangan emosi pada seseorang dapat mengganggu kerja dan keterampilan
motoriknya. Dengan demikian, emosi dapat dipandang sebagai pengantar dan penentu awal
kesiapan tubuh untuk bertindak. Jika penyiapan tubuh didahului dengan emosi yang kurang
sehat atau negatif (seperti tegang, gugup) akan menimbulkan gangguan pada keterampilan
motorik seseorang meskipun mungkin sebelumnya penggunaan kemampuan motorik tersebut
telah dipersiapkan. Sebagai contoh yang sederhana, kita sering menyaksikan akibat dari
ketegangan, anak menjadi canggung dalam mengoperasikan dan mengaktifkan motoriknya.
Pada motorik bicara dapat menyebabkan timbulnya gangguan bicara, seperti bicara yang
tidak jelas dan pada keadaan tertentu menyebabkan anak menjadi gagap sehingga pesan yang
ingin disampaikannya tidak tersampaikan secara baik.2
2
Ali Nugraha, Yeni Rachmawati, Materi pokok metode pengembangan sosial emosional; 1 – 12/PAUD4103/ 4
sks/ Cet. 1( Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2015). Hal. 3.6
Pengaruh emosi terhadap perubahan fisik, dapat diperhatikan melalui Tabel berikut:

Jenis Emosi Perubahan Fisik


Terpesona Reaksi elektris pada kulit
Marah Peredaran darah bertambah cepat
Terkejut Denyut jantung bertambah cepat
Kecewa Bernapas panjang
Sakit/marah Pupil mata membesar
Takut/tegang Air liur mengering
Takut Berdiri bulu roma

Terhadap aspek mental tampaknya perkembangan sosial emosional juga berpengaruh


kuat. Kekurangan atau keterlambatan dalam perkembangan sosial emosional akan
mempengaruhi arah dan kondisi perkembangan mental anak, juga sebaliknya kematangan
dan kondisi mental anak berhubungan dengan perkembangan dan arah emosi serta sosial
anak. Hurlock, (1999) menyatakan bahwa emosi dapat berpengaruh dan mengganggu
aktivitas mental karena kegiatan mental, (seperti konsentrasi, daya ingat, penalaran) sangat
mudah dipengaruhi oleh emosi yang kuat. Menurutnya, anak-anak akan menghasilkan
prestasi di bawah kemampuan intelektual mereka apabila emosi mereka terganggu.

Penjelasan yang dapat diberikan mengenai pernyataan Hurlock tersebut adalah betapa
kacaunya konsentrasi seseorang ketika sedang melakukan suatu kegiatan, lalu mengalami
emosi yang tidak stabil atau sedang mendapat tekanan. Semakin tinggi emosi negatif,
semakin sulit mengendalikan diri pada konsentrasi kegiatan, bahkan pada tingkatan tertentu
dapat mengakibatkan seseorang sama sekali tidak dapat berkonsentrasi dengan benar sesuai
tuntutan kegiatan yang sedang dilakukannya. Pengaruh emosi pada konsentrasi seseorang
lebih rentan pada periode usia TK karena pada saat itu kemampuan konsentrasi formal anak
masih sangat pendek, yaitu sekitar rata-rata 3,2 menit (Nugraha, 2002). Artinya, dalam
keadaan normal dan wajar pun mereka dapat mengikuti kegiatan formal secara penuh
berkonsentrasi selama rata-rata rentang waktu tersebut. Selebihnya, sesuai dengan
karakteristiknya, anak sangat mudah beralih perhatian dan minat. Apalagi dalam keadaan
terganggu emosinya, mungkin anak tidak mampu melakukan kegiatan yang menuntut
konsentrasi formal. Mungkin ia akan meninggalkan kegiatan yang disodorkan padanya
bahkan lebih jauh ia akan melakukan mogok terhadap kegiatan tersebut. Jika sudah seperti
itu, kita akan kesulitan mengembalikan anak pada kegiatan yang diharapkan.
Pengaruh emosi pada aspek mental seseorang akan membawa pada melemahnya
kemampuan mengingat (recall). Lebih jauh dapat mengakibatkan tidak mampu mengingat
sama sekali hal-hal yang telah dipelajari dan dihafalkan sebelumnya. Hal ini dapat
dicontohkan melalui kasus sederhana, misalnya seorang anak sebelum mengikuti lomba
bercerita, ia telah menghabiskan waktu cukup banyak untuk menghafal dan mempelajari
materi cerita yang akan dibawakannya,

Apalagi jika gangguan emosi tersebut berlangsung secara terus-menerus maka


kemampuan mengingat dan daya pikir anak akan sangat terhambat. Potensi mengingat dalam
memori anak yang sering menghadapi ketegangan tidak akan berkembang secara baik,
bahkan Mustaffa (2000) meyakini bahwa anak yang mengalami ketegangan dan diikuti
dengan stress akan mengurangi kemampuan mengingatnya hingga 80%. Jangankan
mengingat materi yang telah dihafal pun akan lupa dan mungkin hilang dari memorinya.
Ilustrasi tersebut secara tidak langsung mengingatkan kepada para pendidik, betapa
pentingnya menciptakan suasana yang nyaman, tenang, dan menyenangkan pada saat anak
sedang berada dalam kegiatan yang memerlukan kemampuan mengingat dan daya pikir.
Semakin tinggi tuntutan keterlibatan mental anak maka akan semakin tinggi pula
kompleksitas yang terjadi pada mentalnya. Baik pada proses pembimbingan, pengamatan,
maupun penyediaan fasilitas hendaknya diupayakan betul suasana kondusif bagi cara kerja
memori, pengingatan, dan daya pikir atau penalaran anak.

Secara psikologis efek dari tekanan emosi akan berpengaruh pada sikap, minat, dan
dampak psikologis lainnya. Cara-cara bersikap anak, baik dalam bersosialisasi maupun dalam
memberikan tanggapan atas stimulus yang mengenainya akan terpengaruh. Karena tekanan
emosi tertentu anak menjadi tidak sabar, lekas marah atau melakukan penolakan. Pada
tekanan tertentu anak akan menghindari objek tertentu, seperti enggan menyentuh mainan,
hanya ingin bermain dengan kelompok tertentu, dan sebagainya yang mengarah kepada
rendahnya kualitas dimensi psikologis anak.

Akumulasi dari pengaruh tekanan emosi jika terus-menerus terjadi pada rentang
waktu yang cukup panjang, akan sangat mempengaruhi pencapaian prestasi dan kemampuan
belajar anak. Apabila emosi anak terus terganggu maka anak akan mempunyai prestasi yang
rendah di bawah kemampuan intelektualnya (potensinya). Gangguan emosi mengakibatkan
cara kerja otak dan kesanggupan belajar anak menjadi tersendat-sendat, bahkan pada tekanan
emosi yang kuat fungsi otak berada pada titik minimum. Pada keadaan yang dipaksakan
untuk terus belajar dalam tekanan emosi, mungkin akan merusak kerja otak dan mengganggu
sel-sel syarafnya. Rahmawati, (2003) mengemukakan, yaitu agar dapat bekerja optimal,
hendaklah semua bagian otak terpenuhi secara memadai. Jika otak dituntut berpikir cukup
berat maka ciptakanlah suasana menyenangkan karena bagian otak satunya menuntut
demikian. Kebutuhan otak kiri untuk bekerja formal, terimbangi oleh kebutuhan otak kanan
melalui keadaan yang kondusif dan menyenangkan.3

Mengarahkan Pola Hubungan Positif Sosial Emosional Dengan Perkembangan Fisik,


Mental, Dan Psikologis

Hal penting dari uraian sebelumnya yang dapat digeneralisasikan dan dijadikan
catatan oleh para pendidik ternyata emosi dengan segala karakteristiknya dapat
mempengaruhi tubuh dalam melakukan berbagai tindakan. Emosi yang semakin kuat akan
semakin mengguncangkan keseimbangan tubuh untuk persiapan bertindak. Jika persiapan ini
ternyata tidak berguna, anak akan gelisah, tidak tenang bahkan mungkin berdampak pada
kerusakan fisik dan mental. Di sinilah pentingnya peran pendidik dalam mendampingi
perkembangan emosi dan sosial anak ke arah yang sesuai dengan harapan. Hindari anak,
khususnya anak usia Taman Kanak-kanak berada pada tekanan emosi negatif. Berikan
mereka sebanyak mungkin pengalaman emosi yang menyenangkan sehingga dapat hidup
dalam lingkungan sosialnya secara wajar, bahkan optimal.

Hindarkan mereka dari tekanan emosi yang akan membawa kerusakan fisik maupun
mental. Betapa mengerikan akibat yang dialami anak yang ditelantarkan secara emosi dan
sosial. Untuk itu perlu dicarikan upaya yang dapat mengarahkan perkembangan emosi dan
sosial anak agar terpenuhi secara memadai. Pendidik perlu menyadari betapa lapar dan
hausnya anak-anak prasekolah di sekitar kita akan kasih sayang. Namun demikian, tetap
harus dicarikan model pemberian dan pencurahan kasih sayang yang tepat pada mereka,
sebab pemberian kasih sayang yang berlebihan, demonstratif, serta rasa khawatir yang amat
tinggi atau terlalu mengasihani anak akan menghalangi penerimaan mereka oleh teman-
temannya dan mengakibatkan anak tidak menaruh minat pada orang lain. Mendorong anak
memusatkan kasih sayang secara mencolok kepada satu atau dua orang saja akan berbahaya
karena anak akan merasa cemas dan tidak tenteram apabila orang-orang itu tidak ada atau
apabila pada suatu saat mengesankan bahwa hubungan mereka terancam. Keadaan itu akan

3
Ibid, hal. 3.9
menimbulkan perasaan sunyi dan tersiksa karena kesal terhadap kegembiraan yang dialami
oleh teman sebayanya.

2.2 Keterkaitan Sosial Emosional Anak dengan Aktivitas dan Kehidupannya

Secara umum, positif-negatif dari perkembangan emosi-sosial anak akan


mempengaruhi tinggi-rendah kadar aktivitas yang dapat dilakukan oleh anak dalam
kehidupannya. Dapat Anda bayangkan jika segala fasilitas dan kondisi yang berada di sekitar
anak tidak mampu memfasilitasi perkembangan emosi dan sosialnya, apalagi jika
berlangsung secara terus-menerus maka sudah dapat dipastikan kehidupan anak dan
aktivitasnya akan terpengaruh pula. Untuk mengenali lebih jauh mengenai masalah tersebut,
mari kita simak penjelasan berikut ini.

Mengenali Sosial Emosional dengan Aktivitas dan Kehidupan Anak

Kesiapan tubuh untuk beraktivitas fisik, mental, maupun aktivitas psikologis atau yang
melibatkan ketiganya secara terkoordinasi dalam satu tindakan yang bersamaan sangat
dipengaruhi oleh kondisi individu anak yang sedang menjalaninya. Kenyataan tersebut
menggiring kita pada suatu fenomena yang tidak bisa dibantah bahwa emosi memang
mempengaruhi kesiapan tubuh seseorang dalam melakukan tindakan (Hurlock, 1999). Titik
penting emosi mempengaruhi berbagai perasaan seseorang dalam kehidupannya. Perasaan ini
bisa berupa perasaan nikmat, puas, menyenangkan, menggembirakan atau perasaan
menyebalkan, marah, benci karena emosi dapat membawa seseorang pada suatu yang
berlawanan4. Titik-titik pertentangan tersebut yang akan membawa anak pada suatu ekspresi
atau tindakan, baik dalam konteks sosialisasi maupun dalam kegiatan lainnya, yakni menjadi
bermakna atau tidak bagi anak yang sedang menjalaninya. Santrock mengungkapkan bahwa
emosi dipengaruhi oleh dasar biologis dan pengalaman masa lalu.5

Efek positif, seperti suasana yang menyenangkan akan meningkatkan aktivitas dan
respons kehidupan yang positif pula, seperti tumbuhnya motivasi, kinerja yang tinggi,
partisipasi yang tinggi yang berdampak pada produktivitas kerja yang tinggi pula. Sedangkan
efek negatif dari luapan emosi yang tidak menggembirakan akan berpengaruh pada
rendahnya minat dan motivasi dalam kegiatan, seperti partisipasi yang tidak penuh, serta
berpengaruh pada proses dan hasil kerja. Jika seorang guru melihat salah seorang anak

4
http://www.scribd.com/doc/21281354/PENGEMBANGAN-SOSIAL-EMOSIONAL
5
Femmi Nurmalitasari. Perkembangan Sosial Emosi pada Anak Usia Prasekolah. BULETIN PSIKOLOGI VOLUME
23, NO.2, DESEMBER 2015. Hal. 106
didiknya, yang sebelumnya selalu bersemangat melakukan kegiatan menggambar, tetapi saat
itu seperti asal-asalan dan semaunya, segeralah mencari tahu dan rekam penyebabnya.
Kecepatan guru mengenali dan menemukan berbagai gejala emosi sebagai penyebab akan
membantu semakin cepat mengembalikan anak pada kegiatan yang semestinya, tetapi jika
sebaliknya akan mengakibatkan hal yang fatal. Kemampuan-kemampuan sederhana yang
dapat membantu pendidik mengenali perilaku sosial emosional anak, terutama berkaitan
dengan pengaruh terhadap aktivitas dan kehidupan anak, di antaranya berikut ini:

1. Kemampuan mendekati anak dalam keadaan apa pun, maksudnya adalah pendidik
hendaklah dapat melakukan gerak yang cukup dekat bahkan menyatu dengan
lingkungan anak sehingga gerak, dinamika, dan berbagai ekspresi anak berada dalam
wilayah dan jangkauan mereka.

2. Kemampuan mengamati atau mengobservasi berbagai karakter emosi dan perilaku


sosial anak, terutama yang diekspresikan melalui aktivitas, sikap dan tindakan-
tindakannya.

3. Kemampuan dan keterampilan dalam merekam, mencatat, dan membuat prediksi-


prediksi tentang perbuatan apa yang akan menyertainya.

4. Untuk mendukung kemampuan tersebut, sebaiknya pendidik bersifat objektif,


bertindak sesuai kadar, dan tingkatan ekspresi yang ditampilkan anak. Pendidik harus
mampu menjaga perlakuan yang adil dan bijaksana terhadap semua anak sehingga
tidak menimbulkan perilaku emosi dan sosial yang lebih kompleks pada anak-anak.6

Bentuk Hubungan Sosial Emosional dengan Aktivitas dan Kehidupan

Pola atau bentuk hubungan dan pengaruh emosi terhadap kehidupan seorang anak
dapat digambarkan secara umum melalui ilustrasi berikut:

Pertama, emosi yang melekat pada seorang anak akan mewarnai pandangannya terhadap
kehidupan dan dimensi-dimensinya. Cara-cara anak melihat perannya dalam kehidupan dan
kedudukannya dalam kelompok sosial sangat dipengaruhi oleh emosi yang dimilikinya.
Persepsi tentang rasa malu, takut, agresif, ingin tahu atau bahagia, dan sebagainya mengikuti
pola tertentu sesuai dengan pola yang berkembang dalam kelompok sosial dan kehidupannya.
Ekspresi rasa malu dari seorang anak mungkin dengan cara menutupi mukanya, berlindung
dibalik penghalang/dinding, melarikan diri atau dengan cara yang lebih terkendali, misalnya
6
op. Cit. Ali Nugraha, Yeni Rachmawati, Materi pokok... Hal. 3.19
dengan meminta maaf. Begitu pula ekspresi kebahagiaan dari seorang anak, mungkin ada
yang menyalurkannya dalam bentuk berucap syukur (hamdalah), membagi kudapan
(makanan) pada teman, melompat, bersorak, berteriak, menangis, dan sebagainya. Ekspresi
tersebut banyak tergantung dari kondisi lingkungan dalam kehidupannya.

Kedua, emosi akan sangat mempengaruhi interaksi sosial seorang anak. Tampaknya semua
emosi, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, mendorong terjadinya
interaksi sosial. Melalui emosi, anak belajar cara mengubah perilaku agar dapat
menyesuaikan diri dengan tuntutan dan ukuran sosial7. Jadi, perlu diingat betapa dekat
hubungan emosi dengan perilaku sosial. Dengan kata lain, bentuk-bentuk emosi akan
menentukan bentuk-bentuk perilaku sosial seorang anak. Bentuk emosi menyenangkan akan
mendorong anak semakin intens (lekat) untuk menjadi bagian dari kelompok interaksi sosial
tertentu. Tetapi sebaliknya, refleksi dari emosi kekecewaan akan mengakibatkan anak
mengurangi peran sosialnya, bahkan mungkin akan menyebabkan mereka menarik diri dari
kelompok interaksinya. Dalam hal ini secara umum peran pendidik adalah bersikap proaktif
menciptakan kondisi yang mendorong ke arah mencintai perilaku berinteraksi yang positif
dan dapat menekan perilaku interaksi yang negatif.

Ketiga, reaksi emosional apabila diulang-ulang akan berkembang menjadi suatu kebiasaan.
Setiap ekspresi emosi yang memuaskan anak akan diulang-ulang, dan pada suatu saat tertentu
akan berkembang menjadi kebiasaan. Makna dari pola hubungan emosi tersebut adalah
jangan sampai ada suatu reaksi emosi yang negatif pada seorang anak yang terus berkembang
tanpa ada yang mengontrol atau meluruskannya.

Secara lebih khusus, Yusuf (2001) menyatakan bahwa perubahan emosi akan
mengakibatkan beberapa perilaku tertentu, di antaranya berikut ini:

1. Memperkuat semangat, apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah
dicapai.

2. Melemahkan semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai
puncak dari keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustrasi).

3. Menghambat atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami


ketegangan emosi dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap
dalam berbicara.
7
Dinie Ratri Desiningrum, BUKU AJAR Mata Kuliah : Psikologi Perkembangan I. (SEMARANG: FAKULTAS
PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO,2012). Hal. 160
4. Mengganggu penyesuaian sosial, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati.

5. Suasana emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan
mempengaruhi sikapnya di kemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun
terhadap orang lain.8

Mengarahkan Hubungan Sosial Emosional dengan Aktivitas dan Kehidupan

Pada tingkatan anak prasekolah hal ini menjadi semakin penting karena mereka
berada pada periode yang masih tinggi fleksibilitasnya. Tugas pendidik adalah mengarahkan
emosi anak ke pola hubungan yang bersifat positif, artinya yang dapat mengembangkan
emosi anak ke arah kesanggupan (keterampilan) sosial untuk beraktivitas dan mengisi
kehidupannya menjadi lebih sempurna dan diterima lingkungan sosialnya. Lebih khusus lagi,
pendidik hendaknya dapat mengarahkan semua anak belajar tentang bagaimana cara
menyalurkan energi emosional yang berlebihan agar mereka tidak menderita kerusakan fisik
dan psikologis terlalu besar apabila sewaktu-waktu diperlukan pengendalian emosi.

Tindakan pendidik dalam membantu mengarahkan anak agar dapat menyalurkan


energi emosionalnya secara tepat di antaranya dengan cara berikut ini:

1. Membantu menyibukkan diri anak dalam kegiatan sehari-hari, baik melalui


bermain maupun dengan bekerja.

2. Membantu menjalin hubungan emosional yang akrab, paling tidak dengan salah
seorang anggota keluarga. Orang tua dapat membantu anak mengembangkan
pandangan yang lebih matang terhadap masalah mereka.

3. Membantu menemukan seorang teman yang bisa menjadi akrab untuk anak
menceritakan kesulitan dan mengadu.

4. Hal yang terpenting adalah membantu mereka mengenali dirinya sendiri termasuk
pentingnya tertawa, humor, tersenyum, juga termasuk memiliki rasa takut, dan
sebagainya.

Kunci utama cara membantu atau mengarahkan anak adalah dengan memberikan
kasih-sayang secara benar. Jika tidak mendapat kasih sayang maka mungkin akan berakibat
sebagai berikut:

8
op. Cit. Ali Nugraha, Yeni Rachmawati, Materi pokok..., Hal. 3.21
1. Terhadap perkembangan bahasa, yakni perkembangan bicara terlambat, anak
sering mengalami gangguan bicara, misalnya gagap.

2. Terhadap kemampuan bergaul/sosialisasi, bereaksi secara negatif terhadap


pendekatan orang lain, sukar diajak kerja sama, dan bersikap memusuhi. Mereka
merasa tidak pandai dan memperlihatkan kekesalan dengan perilaku agresif, tidak
patuh dan bentuk perilaku antisosial lainnya.

3. Terhadap kepribadian, kelaparan kasih sayang, cenderung mengarahkan perhatian


pada diri sendiri, menaruh perhatian kecil pada orang lain, mementingkan diri sendiri,
9
dan suka menuntut.

Dampak yang ditimbulkan bisa berjangka panjang dan berlangsung lama, dan
cenderung menimbulkan malasuai (maladjustment) apabila disertai kondisi lain yang tidak
menyenangkan, misalnya menjadi hidup tidak bahagia. Begitu pula jika terlalu berlebihan
memberikan kasih sayang (sehingga muncul kekhawatiran tinggi & demonstratif), akibatnya
akan menghalangi penerimaan mereka sebagai teman, anak tidak menaruh minat pada orang
lain dan menaruh sedikit saja kasih sayang pada mereka. Hal ini, akan mendorong anak
memusatkan kasih sayang secara mencolok kepada satu atau dua orang saja. Akibatnya, anak
akan merasa cemas dan tidak tenteram apabila orang-orang itu tidak ada atau apabila perilaku
mereka pada suatu saat mengesankan bahwa hubungan mereka terancam. Keadaan itu akan
menimbulkan perasaan sunyi dan tersiksa karena kesal terhadap kegembiraan yang dialami
teman sebaya.

2.3 Keterkaitan Perkembangan Karakter dengan Aktivitas dan Kehidupannya

Pendidikan karakter terambil dari dua suku kata yang berbeda yaitu pendidikan dan
karakter. Pendidikan lebih merujuk pada kata kerja, sedang karakter lebih pada sifatnya.
Artinya, melalui proses pendidikan tersebut nantinya dapat dihasilkan sebuah karakter yang
baik. Menurut Sutrisno (2011), pendidikan terjemahan dari educatio, yang kata dasarnya
educate atau bahasa latinnya educo yang berati mengembangkan dari dalam; mendidik;
melaksanakan hukum kegunaan. Merujuk pada definisi di atas, pendidikan karakter pada
prinsipnya adalah upaya untuk menumbuhkan kepekaan dan tanggung jawab sosial,
membangun kecerdasan emosional, dan mewujudkan siswa yang memiliki etika tinggi.

9
Ibid, Hal. 3.22
Orang tua kita sejak dini sudah menanamkan nilainilai pendidikan karakter yang menyangkut
pendidikan sosial, emosional dan etika. Sebagai contoh dari kecil kita diajari berbagi
makanan atau bermain, dukungan dan pujian sewaktu bangun dari jatuh adalah penguatan
karakter anak. Anak dilatih untuk kekamar kecil ketika mau buang air juga merupakan
pendidikan karakter yang berkait dengan etika Megawangi dalam Dharma Kesuma (2011)
mendefinisikan pendidikan karakter sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar
dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-
hari sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya10.

Mengenali Hubungan Karakter Dengan Aktivitas Dan Kehidupan Anak

Karakter suatu bangsa merupakan aspek penting yang mempengaruhi pada


perkembangan sosial-ekonominya. Kualitas karakter yang tinggi dari masyarakatnya akan
menumbuhkan keinginan yang kuat untuk meningkatkan kualitas bangsanya. Pengembangan
karakter yang terbaik adalah jika dimulai sejak usia dini. Sebuah ungkapan yang dipercaya
secara luas menyatakan “ jika kita gagal menjadi orang baik di usia dini, di usia dewasa kita
akan menjadi orang yang bermasalah atau orang jahat”. Lickona (2005) mengatakan “
seorang anak hanyalah wadah di mana seorang dewasa yang bertanggung jawab dapat
diciptakan”. Karenanya, mempersiapkan anak adalah sebuah strategi investasi manusia yang
sangat tepat. Sebuah ungkapan terkenal mengungkapkan “Anak-anak berjumlah hanya sekitar
25% dari total populasi, tapi menentukan 100% dari masa depan”. Makna dari pernyataan di
atas adalah semua pihak bertanggung jawab untuk membekali anak usia dini sebaik-baiknya,
sehingga mereka kelak dapat mengisi kehidupannya dengan baik. Artinya aktivitas
kehidupannya dapat diisi dan dijalani lebih positif, produktif, dan bermanfaat. Yang dapat
disimpulkan dari makna tersebut yaitu bahwa terdapat hubungan yang erat antara
keberhasilan pendidikan, khususnya keberhasilan pengembangan karakter dengan aktivitas
dan kehidupan seseorang, termasuk seorang anak. Makna sebaliknya adalah jika terdapat
kegagalan dalam pendidikan karakter, maka anak akan mendapatkan dan dihadapkan dengan
berbagai masalah dalam aktivitas dan kehidupannya, baik secara jangka pendek maupun
kelak setelah ia dewasa. Konsekuensi dari argumen di atas adalah dalam menfasilitasi
pendidikan anak usia dini bukan hanya harus memperhatikan karakteristik anak, tetapi juga
harus dilaksanakan secara benar/layak atau secara patut. Jika pendidikan terhadap anak tidak
memperhatikan hal-hal yang benar, maka tunggulah bencananya. Secara keseluruhan

10
Eka Sapti Cahyaningrum, Pengembangan Nilai-nilai Karakter Anak Usia Dini Melalui Pembiasaan dan
Keteladanan. Volume 6, Edisi 2, Desember 2017
dampak dari kegagalan pendidikan karakter adalah akan menghancurkan kehidupan anak,
baik saat ia masih kanak-kanak; maupun kelak saat ia dewasa.11

Bahkan secara kritis, Lickona menyatakan secara akumulasi kegagalan pendidikan,


khususnya pendidikan karakter akan meningkatkan dan mempercepat kehancuran suatu
bangsa. Ia merangkum, terdapat 10 tanda yang berpengaruh terhadap kehancuran suatu
bangsa, yaitu:

1. meningkatnya kekerasan di kalangan remaja,

2. penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk,

3. pengaruh peer-group (teman sebaya) yang kuat dalam tindak kekerasan,

4. meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks
bebas.

5. semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk,

6. menurunnya etos kerja,

7. semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru,

8. rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara,

9. membudayanya ketidakjujuran, dan

10. adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama.

Membangun Keselarasan Hubungan Karakter Dengan Aktivitas Dan


Kehidupan

Karakter adalah kunci keberhasilan individu. Artinya jika aktivitas dan kehidupan
seseorang ingin berhasil, maka syarat mutlaknya adalah harus didukung oleh kapasitas
karakter yang memadai. Pernyataan singkat di atas, memberi pesan bahwa pendidikan tidak
boleh hanya mementingkan kecerdasan otak kiri (IQ), yang lazim disebut headstart. Akan
tetapi, harus lebih mementingkan kecerdasan emosi, yang dikenal dengan pendidikan
menggunakan otak kanan, yang disebut heartstart. Bahkan untuk pendidikan anak usia dini,
hendaklah mendahulukan pendidikan otak kanan, karena pada saat usia dini otak kanan lebih
dulu berkembang dibandingkan otak kirinya (Besdone, 2005).

11
op. Cit. Ali Nugraha, Yeni Rachmawati, Materi pokok..., Hal. 3.28
Terdapat perbedaan mendasar antara layanan pendidikan headstart dengan heartstart.
Pada metode headstart, anak ditekankan "harus bisa" sehingga ada kecenderungan anak
dipaksa belajar terlalu dini. Hal ini membuat anak stres, karena ada ketidaksesuaian dengan
dunia bermain dan bereksplorasi yang saat itu sedang dialaminya. Sebaliknya, pola heartstart
menekankan pentingnya anak mendapatkan pendidikan karakter (sosialemotional learning),
belajar dengan cara yang menyenangkan (joyful learning), dan terlibat aktif sebagai subjek
bukan menjadi objek (active learning). Berdasarkan pertimbangan di atas, maka akan terjadi
resiko yang serius jika pendidikan pada anak usia dini menekankan pada sisi otak kiri semata.
Pendidikan yang menekankan pada otak kiri, berdasarkan data US Department Health and
Human Services tahun 2000 akan menyebabkan rendahnya rasa percaya diri dan
keingintahuan, ketidakmampuan mengontrol diri, rendahnya motivasi, kegagalan
bersosialisasi, ketidakmampuan bekerja sama, dan rendahnya rasa empati anak. (Besdone,
2005). Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan faktor-faktor yang dianggap menunjang
keberhasilan seseorang. Terdapat tiga belas faktor kunci, dan dari ketiga belas faktor
penunjang tersebut, sepuluh di antaranya adalah kualitas karakter seseorang dan hanya tiga
yang berkaitan dengan faktor kecerdasan (IQ). Sepuluh faktor terkait kualitas karakter
tersebut, yaitu: (1) jujur dan dapat diandalkan, (2) dapat dipercaya dan tepat waktu, (3) dapat
menyesuaikan diri dengan orang lain, (4) dapat bekerja sama dengan atasan, (5) dapat
menerima dan menjalankan kewajiban, (6) mempunyai motivasi kuat untuk terus belajar dan
meningkatkan kualitas diri, (7) berpikir bahwa dirinya berharga, (8) dapat berkomunikasi dan
mendengarkan secara efektif, (9) dapat bekerja mandiri dengan kontrol terbatas, (10) dapat
menyelesaikan masalah pribadi dan profesinya.12

Tiga yang terakhir yang berkaitan dengan IQ, yaitu: (11) mempunyai kemampuan
dasar (kecerdasan), (12) dapat membaca dengan pemahaman memadai, (13) mengerti dasar-
dasar matematika (berhitung). Untuk dapat memahami makna dari ketiga belas faktor
tersebut, Anda dapat menyimak penjelasannya sebagai berikut:

1. Jujur dan Dapat Diandalkan. Kejujuran adalah sifat karakter yang paling mendasar
dimiliki oleh seseorang. Beragam cara dapat dilakukan oleh para guru pada saat anak sedang
berada dan belajar di lembaga PAUD (TK), misalnya dengan membiasakan anak untuk
berbicara dengan apa yang dirasakannya.

2. Dapat Dipercaya dan Tepat Waktu , sejak dini anak hendaklah dapat diarahkan
untuk menjadi insan yang dapat dipercaya dengan menjalankan dan melaksanakan sesuatu
12
Ibid, Hal. 3.30
dengan tepat waktu. Sejak dini anak dapat dibiasakan datang ke TK (PAUD) dan masuk kelas
dengan tepat waktu. Juga diajarkan bagaimana menyelesaikan tugas-tugas dan pekerjaan
dengan tepat waktu.

3. Dapat Menyesuaikan Diri dengan Orang Lain. Penyesuaian diri merupakan faktor
utama seseorang dapat hidup dengan baik di lingkungannya. Kemampuan menyesuaikan diri
dengan lingkungan akan merupakan kunci pembuka seseorang diterima atau ditolak oleh
lingkungannya. penanamannya dapat dilakukan melalui bermain, misalnya melalui bermain
peran. Kegiatan bermain peran dapat dikemas sedemikian rupa oleh guru dengan tema
kegiatan yang bersifat khusus, misal: dokter-dokteran, di tempat wisata, di suasana pasar, dan
sebagainya.

4. Dapat Bekerja Sama dengan Atasan Manusia tidak dapat hidup sendiri, karena ia
tercipta sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial akan dihadapkan pada cara-cara
penyelesaian masalah dalam kehidupan dengan melibatkan manusia lainnya. anak sejak dini
sudah diperkenalkan cara-cara bekerja sama bukan hanya dengan temannya, tetapi juga
dengan orang-orang yang berbeda kedudukannya dan bahkan dengan yang dianggap lebih
tinggi posisinya. Guru secara bergantian dapat melakukan kegiatan ’bekerjsama’ dengan anak
dalam kemasan kegiatan bermain, seperti melalui bermain peran. Dapat juga melalui kegiatan
’pembelajaran atau kegiatan proyek’, yang dapat dilakukan di dalam kelas (indoor activities)
maupun kegiatan di luar kelas (outdoor activities).

5. Dapat Menerima dan Menjalankan Kewajiban. Kemampuan menerima dan


menjalankan kewajiban merupakan satu kesatuan karakter yang tidak dapat dipisahkan.
Kemampuan tersebut hendaklah dapat ditanamkan kepada setiap anak sejak dini, karena
merupakan bagian dari kehidupan yang tidak dapat dipisahkan. Cara yang dapat dilakukan
oleh guru dan orang tua adalah dengan kegiatan pemberian tugas. Akan tetapi, tugas apapun
yang diberikan hendaklah memperhatikan karakteristik anak, terutama kemampuan dan
kesanggupannya di dalam menjalankan atau melaksanakannya. Sebagai rambu-rambu, hati-
hatilah memberi beban tugas yang terlalu berat atau membebani, dan sebaliknya jangan pula
terlalu ringan!

6. Mempunyai Motivasi Kuat untuk Terus Belajar dan Meningkatkan Kualitas Diri
Motivasi adalah sifat karakter yang sangat positif dan harus terbentuk pada setiap manusia.
Motivasi merupakan penggerak yang kuat bagi seseorang dalam melaksanakan sesuatu. Sejak
dini juga anak-anak diminta untuk berbuat dan mengerjakan sesuatu ’agar lebih baik’ dari
waktu atau hari sebelumnya.

7. Berpikir Bahwa Dirinya Berharga. Penghargaan dan pengakuan terhadap ’diri


sendiri’ merupakan dasar karakter yang amat penting. Pengakuan terhadap keberadaan diri
sendiri bahwa dirinya berharga akan mendorong cara berpikir dan cara bertindak yang positif
terhadap dirinya itu. Cara menanamkannya sejak dini dapat dilakukan melalui pengakuan dan
menghargai anak seutuhnya. Guru dan orang tua janganlah terlalu membedakan secara
’berlebihan’ antara peran berdasarkan ’jender’, yaitu membenturkan peran anak laki-laki dan
anak perempuan secara berlebihan, misalkan: jika anak perempuan dianjurkan memasak,
maka anak lelaki juga diizinkan; sebaliknya, jika anak lelaki bermain mobil-mobilan, maka
anak perempuan juga diizinkan, dan sebaginya. Cara lainnya adalah keberhasilan anak atas
tugas dan pekerjaanya hendaklah diikuti dengan pujian, dan itu akan menguatkan tumbuhnya
menghargai diri sendiri serta percaya diri bahwa ’ia mampu’.

8. Dapat Berkomunikasi dan Mendengarkan Secara Efektif . Kemampuan


berkomunikasi dan mendengarkan adalah kemampuan yang dapat menunjukkan dan
memunculkan karakter seseorang secara nyata. Guru dan orang tua sejak dini harus
membimbing anak-anak untuk dapat memiliki kemampuan berkomunikasi dan
mendengarkan yang efektif. Caranya dapat dilakukan dengan kegiatan belajar melalui
bermain, misalnya melalui kegiatan bermain peran. Dalam kegiatan bermain peran guru dapat
memilih tema (topik) yang sesuai, misalnya: tema tentang yang berkaitan dengan diskusi,
rapat, pemilihan ketua kelompok, dan sebagainya.

9. Dapat Bekerja Mandiri dengan Kontrol Terbatas. Kemampuan bekerja mandiri


dengan penuh inisiatif merupakan sikap positif yang sangat baik. Cara yang dapat dilakukan
oleh guru atau orang tua adalah dengan membiasakan dan memberikan kesempatan kepada
anak untuk dapat melakukan ’tugas atau pekerjaan’ atau ’menghadapi masalah’ dengan
penuh waktu atau leluasa. Hal yang harus diperhatikan oleh guru dan orang tua adalah
janganlah memberi beban yang ’melampaui’ batas kemampuan anak. Guru dan orang tua
hendaklah mampu menahan diri ’untuk selalu menolong’ anak, kecuali pada hal-hal yang
darurat dan membahayakan saja. Berikan kepercayaan kepada anak bahwa ia secara
’berangsur-angsur’ dan ’bertahap’ pasti bisa.! Jangan lupa berikan penghargaan (pujian) atas
kemampuan yang ditunjukkan oleh anak.
10. Dapat Menyelesaikan Masalah Pribadi dan yang Menjadi Tanggung Jawabnya
(Profesinya). Kemampuan menolong diri sendiri merupakan karakter utama yang harus
dimiliki oleh seseorang. Meskipun hidup ini dalam suatu komunitas, atau dalam kelompok
(masyarakat) sosial, minimum dalam keluarga. Akan tetapi, tetap ’keharusan’ menghadapi
dan menyelesaikan masalah melekat secara ’individu’ kepada masing-masing orang dalam
komunitasnya itu.. Untuk itu sejak dini anak hendaklah sudah dibimbing dalam mengenali
masalah pribadi serta cara-cara menyelesaikannya. Harapannya kelak setiap anak mampu
membedakan dan menempatkan kedudukan masalah pribadi dan bukan pribadi serta dapat
menyelesaikannya dengan tepat. Cara yang dapat ditempuh guru maupun orang tua, secara
bertahap dapat diterapkan melalui kegiatan bermain dan belajar, misal melalui kegiatan
bermain peran. Tema yang dipilih hendaklah yang sesuai, misalkan tema keluarga atau
profesi.

11. Mempunyai Kemampuan Dasar (Kecerdasan). Kemampuan dasar merupakan


salah satu faktor yang dapat mempengaruhi ’kekuatan karakter’ melekat atau pudarnya pada
diri seseorang. Kekuatan karakter diawali memang melekat secara ’kognitif’ yang kemudian
terwujud dalam ’afeksi dan tindakan’. Dari pembiasaan yang terus-menerus selanjutnya akan
’mengkristal’ menjadi kepribadian yang ’sesungguhnya’ pada seseorang. Jadi, sejak dini
secara bertahap, ’kecerdasan berkarakter’ anak harus sering di ’asah’. Kegiatan yang dapat
dilakukan oleh guru adalah mulai dari anak dibiasakan membaca ’ikrar pagi’ sebelum
kegiatan di TK (PAUD), mengingat peraturan dalam mengikuti kegiatan, dan sebagainya.

12. Dapat Membaca dengan Pemahaman Memadai. Membaca dengan pemahaman


adalah membaca yang bukan hanya menangkap pesan dari kata atau kalimat tersurat yang
dibacanya. Membaca dengan pemahaman lebih jauh yaitu menangkap makna dari tulisan
(simbol) dan atau kalimat yang tertera. Kemampuan seperti ini sepertinya sulit untuk
ditanamkan sejak dini, tetapi sesungguhnya sangat ’memungkinkan’ dilakukan asalkan
dilaksanakan secara bertahap dan pelan-pelan (penuh kesabaran). Kata kuncinya adalah dari
pendidik hendaklah berupaya membantu secara tepat anak dalam menangkap pesan tersirat
dari materi bacaan yang dibaca oleh anak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah
dengan bercerita atau mendongeng dengan bantuan media (buku) cerita. Rambu-rambunya
adalah pendidik hendaklah dapat memilih buku cerita ’jangan yang terlalu banyak’
tulisannya; terutama bagi anak yang di usia awal. Pilihlah buku bacaan atau buku cerita yang
didukung oleh gambar (ilustrasi) yang memadai sehingga anak dapat terbantu dalam
memahami bacaan yang terkadung di dalam teks-nya (tulisannya).
13. Mengerti Dasar-dasar Matematika (Berhitung). Penguasaan dasar-dasar
matematika terutama berkaitan dengan dasardasar berhitung diperlukan oleh setiap orang;
bukan hanya oleh orang yang berminat pada matematika atau ahli matematika saja.
Matematika merupakan ’sebagian’ dari perwujudan kehidupan, guru dan orang tua harus
sejak dini mengupayakan bahwa anak ’secara matematis’ mampu mengukur karakter yang
perlu dimiliki dan yang perlu dijauhi. Caranya dapat dilakukan dengan sederhana, baik di
awal kegiatan, di inti kegiatan maupun di akhir setiap kegiatan yang di laksanakan di TK atau
PAUD.13

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berbicara tentang perkembangan sosial emosional anak sebagai salah satu aspek
dalam perkembangan anak sejatinya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dengan kata lain,

13
Ibid, Hal. 3.36
membahas perkembangan emosi harus bersinggungan dengan perkembangan sosial anak.
Tampilan emosi merupakan suatu bentuk komunikasi atau dengan kata lain ekspresi emosi
memungkinkan anak bersosialisasi dalam suatu lingkungan sosial yang dimasukinya. Melalui
perubahan mimik wajah dan fisik yang menyertai emosi, anak-anak dapat mengomunikasikan
perasaan mereka kepada orang lain dan mengenal berbagai jenis perasaan orang lain. Dengan
ekspresi emosi, mereka dapat menunjukkan rasa kegembiraan, kebencian, ketakutan, dan
sebagainya.

Terhadap aspek mental tampaknya perkembangan sosial emosional juga berpengaruh


kuat. Kekurangan atau keterlambatan dalam perkembangan sosial emosional akan
mempengaruhi arah dan kondisi perkembangan mental anak, juga sebaliknya kematangan
dan kondisi mental anak berhubungan dengan perkembangan dan arah emosi serta sosial
anak.

Sedangkan Secara psikologis efek dari tekanan emosi akan berpengaruh pada sikap,
minat, dan dampak psikologis lainnya. Cara-cara bersikap anak, baik dalam bersosialisasi
maupun dalam memberikan tanggapan atas stimulus yang mengenainya akan terpengaruh.
Karena tekanan emosi tertentu anak menjadi tidak sabar, lekas marah atau melakukan
penolakan.

DAFTAR PUSTAKA

Ali Nugraha, Yeni Rachmawati. Materi pokok metode pengembangan sosial


emosional; 1 – 12/ PAUD4103/ 4 sks/, -- Cet.7; Ed 1-- Tangerang Selatan: Universitas
Terbuka, 2015
Dinie Ratri Desiningrum, BUKU AJAR Mata Kuliah : Psikologi Perkembangan I.
(SEMARANG: FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS DIPONEGORO,2012
Eka Sapti Cahyaningrum, Pengembangan Nilai-nilai Karakter Anak Usia Dini
Melalui Pembiasaan dan Keteladanan. Volume 6, Edisi 2, Desember 2017
Femmi Nurmalitasari. Perkembangan Sosial Emosi pada Anak Usia Prasekolah.
BULETIN PSIKOLOGI VOLUME 23, NO.2, DESEMBER 2015.
Nurjannah, Mengambangkan Kecerdasan Sosial Emosional Anak Usia Dini Melalui
Keteladanan, Jurnal Bimbingan Konseling dan Dakwah Islam Vol. 14, No. 1, Jumi 2017

http://www.scribd.com/doc/21281354/PENGEMBANGAN-SOSIAL-EMOSIONAL

Anda mungkin juga menyukai