Disusun Oleh :
Dosen Pengampu :
Marwan Mahmudi,Drs.M.Si
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan Tugas Proposal Metode
Penelitian Kuantitatif yang berjudul “Hubungan Antara Komunikasi Efektif Orangtua Dan
Anak
Dengan Tingkat Stres Pada Remaja Siswa Smk Negeri 6 Yogyakarta ’’
“Proposal ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi salah satu tugas besar II metode
penelitian kuantitatif di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta .
Penulis menyadari dalam pembuatan proposal ini masih ada banyak kekurangan serta jauh
dari kata sempurna. oleh sebab itu, dengan hati terbuka penulis hendak tetap menerima
seluruh kritikan serta anjuran yang membangun demi kesempurnaan proposal ini ke
depannya, mudah- mudahan karya ini bisa berguna untuk pertumbuhan dunia komunikasi di
masa mendatang.
Penulis
Annisa Eghyta
2
BAB I PENDAHULUAN
ABSTRAK
Riset ini bertujuan buat mengenali ikatan antara orang tua komunikasi yang efisien serta anak
dengan tekanan pikiran pada anak muda.
Mata pelajaran belajar ini merupakan siswa Sekolah Menengah Kejuruan(SMK) Negara 6
Yogyakarta. Mata pelajaran dalam riset ini merupakan 16- 18 tahun serta tinggal bersama
orang tua. Jumlah ilustrasi dalam riset ini merupakan dekat 122 orang. Ilustrasi memakai
kluster metode random sampling. Tata cara informasi yang digunakan dalam riset ini
merupakan tata cara kuantitatif, informasi berbentuk score taken use scale ialah scale stress
serta scale effective communication parent and child.
Analisis metode informasi yang digunakan merupakan analisis korelasi momen produk
pearson dengan dorongan program statistik komputasi spss 16, 0 buat jendela. Analisis hasil
informasi menampilkan ikatan komunikasi efisien yang sangat signifikan negatif antara orang
tua serta anak dengan tekanan pikiran pada anak muda, dengan koefisien korelasi r=- 0. 425
standar dengan p signifikan= 0. 000( p< 0, 01).
Variabel komunikasi efisien orang tua serta anak berkontribusi efisien 18, 1% dalam
pengaruhi tekanan pikiran pada anak muda.
Tekanan pikiran skor kategorisasi pada anak muda 74, 59% subjek terletak pada kategorisasi
serta skor kategorisasi induk komunikasi yang efisien serta anak dari 63, 12% subjek terletak
pada jenis lagi. Bersumber pada riset yang sudah dicoba, para periset merumuskan kalau
terdapat ikatan negatif yang sangat signifikan antara orang tua serta anak merupakan
komunikasi yang efisien dengan tingkatan tekanan pikiran pada anak muda. Terus menjadi
baik komunikasi yang efisien dicoba pada orang tua anak hingga thestress dasar yang
dirasakan oleh anak muda, malah terus menjadi memburuknya komunikasi efisien orang tua
pada anak hingga terus menjadi besar tekanan pikiran yang dirasakan oleh anak muda.
3
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa peralihan dan perubahan dari masa anak-anak
menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan fisik, dimana
tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai
dengan berkembangnya kapasitas reproduksi. Selain itu terjadi perubahan secara kognitif
dan mulai mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini remaja mulai
melepaskan diri secara emosional dari orangtua dalam rangka menjalankan peranan
sosialnya yang baru sebagai orang dewasa (Clarke-Stewart & Friedman dalam
Agustiani, 2006). Perubahan terjadi juga dalam lingkungan sosial remaja itu sendiri,
bahwa sikap orangtua atau anggota keluarga lain, sikap guru maupun sikap masyarakat
pada umumnya mengubah pandangan bahwa remaja tidak lagi diperlakukan sebagai
anak-anak, melainkan memandang remaja sebagai orang yang sudah mampu mandiri
dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Pada periode ini, remaja menghadapi
berbagai tantangan perkembangan dengan mampu menampilkan tingkah laku yang
dianggap pantas atau sesuai dengan orang-orang seusianya.
Remaja yang tumbuh dengan baik harus mampu dan berhasil melalui tugas-
tugas perkembangannya dengan baik, namun pada kenyataannya tidak semua remaja
berhasil melalui tahap perkembangannya, seperti ketidakmampuan remaja dalam
menghadapi masalah, terkadang tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan yang
penting dan ketidakmampuan menempatkan diri dalam lingkungan sosialnya
sebagai anak yang beranjak dewasa. Hal ini membuat remaja mudah mengalami
ketidakpahaman akan apa yang sedang dialaminya, sehingga membuat remaja mudah
mengalami “stress dan strain” (kegoncangan dan kebimbangan) (Hurlock,1999).Stres
adalah suatu proses penilaian suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam,
menentang, ataupun membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada
level fisiologis, emosional, kognitif dan perilaku (Feldmen dalam Fausiah & Widury,
2005). Stres juga diartikan sebagai sebuah keadaan yang dialami seseorang ketika ada
ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk
mengatasinya (Looker & Gregson,2005).Gejala-gejala stres ditunjukkan dengan melihat
aksi-aksi fisiologis, antara lain detak jantung berdebar-debar, nafas tidak teratur, mulut
4
kering, mules, diare, sembelit, kegelisahan, sulit tidur, sakit kepala, telapak tangan
berkeringat, tangan dan kaki dingin, sering buang air kecil, makan berlebihan, hilang
selera makan, merokok lebih banyak dan makin banyak minum alkohol. Selain itu
gejala psikologisnya antara lain cemas, gelisah, histeris, depresi, tidaksabar, mudah
tersinggung, mudah marah, agresif, dan sulit berkonsentrasi (Looker &
Gregson,2005).Stres merupakan bagian yang tidak terhindarkan dari kehidupan. Setiap
hari dan setiap saat, selalu saja ada kejadian dan adanya tuntutan yang berlebihan baikdari
diri sendiri maupun orang lain sehingga membuat individu merasa tertekan atau stres.
Begitu juga dengan remaja, mereka sering menghadapi masalah-masalah dalam hidup
yang menyebabkan remaja menjadi stres, antara lain tuntutan akademis yang terlalu berat,
hasil-hasil ulangan atau ujian-ujian yang buruk, tugas yang menumpuk dan juga tuntutan
orangtua yang dianggap terlalu berat, serta lingkungan pergaulan tempat remaja
melakukan hubungan interaksi dengan teman-teman seusianya.
Teman bagi seorang remaja bisa dianggap segalanya bahkan bisa melebihi
keluarganya sendiri. Keadaan fisik juga bisa membuat remaja stres, seperti tubuh yang
terlalu gemuk, terlalu kurus, tinggi, pendek dan jerawat yang banyak tumbuh pada wajah
dapat menumbuhkan perasaan ketidakpercayaan diri dan mengganggu pikiran remaja,
apalagi pada masa sekarang ini menurut sebagian remaja penampilan adalah faktor yang
dapat mempengaruhi suksesnya pergaulan. Penyebab lain yang membuat remaja stres
yakni kondisi keluarga yang mengalami hubungan yang tidak harmonis antara anak dengan
orangtua. Kondisi keuangan keluarga yang tidak baik juga dapat menjadikan remaja
stres karena kondisi keuangan keluarga menjadi masalah yang sensitif bagi para
remaja. Hubungan remaja dengan lawan jenis juga dapat membuat remaja mengalami
stres (Kusuma, 2009).
Semua permasalahan yang remaja hadapi, membuat sebagian dari remaja sering
merokok, mengkonsumsi alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan sebagai pelarian dari
masalah yang dihadapinya.Penelitian yang dilakukan oleh Walker (Kemala & Hasnida, 2007)
pada 60 orang remaja, penyebab utama ketegangan dan masalah yang ada pada remaja
berasal dari hubungan dengan teman dan keluarga, tekanan dan harapan dari diri
mereka sendiri dan orang lain, tekanan di sekolah oleh guru dan pekerjaan rumah, tekanan
ekonomi dan tragedi yang ada dalam kehidupan mereka misalnya kematian,
perceraian dan penyakit yang dideritanya atau anggota keluarganya.
Gambaran kasus stres peneliti temukan di salah satu sekolah yakni Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri 6 Yogyakarta. Informasi mengenai kasus ini didapatkan melalui
5
wawancara. Wawancara dilakukan dengan guru bimbingan konseling (BK) pada hari
Rabu tanggal 17 Oktober 2012. Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan,
ditemukan beberapa siswa yang mengalami stres dengan gejala-gejala seperti
melamun saat proses belajar mengajar berlangsung, suka menyendiri, keras kepada
teman dan bahkan meninggalkan rumah tanpa izin. Sumber masalah yang dialami
siswa tersebut salah satunya yakni masalah perceraian kedua orangtua.Menurut Ariesandi
(2011) remaja yang mengalami stres, seharusnya sudah mengembangkan kemampuan untuk
mencari jalan keluar atas suatu permasalahan, namun dikarenakan emosi remaja yang
dapat berubah dengan tiba-tiba dan keraguan akan keputusan yang penting, maka remaja
memerlukan bantuan khusus dan dukungan dari orang dewasa terutama kedua orangtua. Hal
ini biasanya akan terlewati dengan baik jika orangtua mengembangkan sebuah
komunikasi yang efektif dengan anak.Komunikasi orangtua dan anak yang beranjak
remaja dapat dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling dekat, saling menyukai,
adanya keterbukaan sehingga komunikasi antara keduanya menjadi hal yang
menyenangkan dan tumbuh sikap percaya antara keduanya. Komunikasi efektif
dilandasiadanya kepercayaan, keterbukaan, dan dukungan yang positif pada anak agar anak
dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh orangtua. Menurut Gunadi
(2010) komunikasi orangtua dan remaja juga merupakan pengisi kebutuhan remaja yang
hakiki akan interaksi. Tanpa komunikasi, remaja akan tumbuh dalam kehampaan
sehingga remaja mudah mengalami stres. Komunikasi memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia. Selain karena manusia adalah makhluk yang membutuhkan orang
lain untuk memenuhi segala kebutuhannya, komunikasi juga mempengaruhi perkembangan
kepribadian seseorang. Apabila dalam lingkungan keluarga, remaja banyak
menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang terdekatnya dengan mampu
menjaga keefektifan komunikasi antara orangtua dan remaja, maka besar peluang bagi
remaja untuk tumbuh sebagai manusia dewasa yang dapat berkomunikasi dengan baik dan
bersikap positif pada diri sendiri dan lingkungannya sehingga tidak mudah membuat
remaja mengalami stres (Henny, 2006).Keluarga adalah penyedia utama lingkungan
fisik intelektual dan emosional bagi kehidupan remaja. Lingkungan ini akan
mempengaruhi pandangan dunia anak remaja dikemudian hari dan kemampuan anak
tersebut untuk mengatasi berbagai tantangan di masa depan (Geldard & Geldard,
2010). Keluarga yang harmonis sangat menentukan terciptanya lingkungan yang baik
dalam suasana kekeluargaan dan menjadi pusat ketenangan hidup. Semua itu dapat
terwujud dengan upaya adanya pola komunikasi yang efektif antara anggota keluarga
6
terutama antara orangtua dan anak (Laily & Matulessy, 2004) maka harus ada
komunikasi efektif agar diantara keduanya dapat mengerti kebutuhan satu sama lain.
Adanya komunikasi efektif bertujuan agar pikiran antara orangtua dan anak tidak
mengalami kesenjangan yang drastis dan anak lama kelamaan akan lebih terbuka dan
leluasa membicarakan masalah yang dihadapi dan ini akan mempengaruhi tingkat stres
pada remaja. Hal ini sesuai dengan pedapat Devito (Suranto, 2011) tentang ciri-ciri
komunikasi interpersonal yang efektif yakni ketika saat orangtua melakukan komunikasi
dengan anak sebaiknya mampu memahami konsep komunikasi itu sendiri, sehingga
anak tidak merasakan tuntutan yang berlebihan pada dirinya.Berdasarkan permasalahan
dan fenomena di atas, muncul permasalahan apakah ada hubungan antara komunikasi
efektif orangtua dan anak dengan tingkat stres pada remaja, sehingga peneliti tertarik
untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Komunikasi Efektif
Orangtua dan Anak dengan Tingkat Stres Pada Remaja Siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta”.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
8
terhadap efektif berganda dapat
tingkat orangtua- diketahui bahwa
agresivitas remaja dan pengujian hipotesis
remaja SMA kontrol diri menunjukkan
di Kota terhadap adanya peran yang
Denpasar tingkat signifikan dari
agresivitas komunikasi efektif
remaja SMA orangtua-remaja
di Kota dan kontrol diri
Denpasar. terhadap agresivitas
Subjek dalam remaja SMA di
penelitian ini Denpasar. Hal ini
adalah 228 memiliki arti bahwa
siswa SMA di hipotesis dalam
Kota penelitian ini dapat
Denpasar diterima. Dari
analisis regresi
berganda yang telah
dilakukan
didapatkan
koefisien
determinasi sebesar
0,302 menunjukkan
bahwa kedua
variabel bebas
memberikan
sumbangan efektif
sebesar 30,2%
terhadap agresivitas
pada diri remaja.
Artinya, 30,2%
perilaku agresif
pada remaja SMA
dipengaruhi oleh
bagaimana
komunikasi efektif
antara orangtua
9
dengan remaja dan
seberapa tinggi taraf
kontrol diri pada
remaja dan 69,8%
sisanya dipengaruhi
oleh faktor lain.
A. Stres
1. Pengertian Stres
Menurut Lazarus dan Launier (Lurr, 2010) stres adalah ketegangan fisik dan mental atau
emosional karena tubuh merespon terhadap tuntutan dan gangguan yang ada di sekeliling.
Stres adalah suatu keadaan atau tantangan yang kapasitasnya di luar kemampuan seseorang,
oleh karena itu stres sangat individual sifatnya. Stres juga dianggap sebagai respon
individu terhadap stressor, yaitu situasi dan peristiwa yang mengancam dan menuntut
kemampuan coping (Santrock, 2007). Menurut Selye (Lurr,2010) stres sebagai respon umum
dari tubuh terhadap segala jenis tuntutan (stressor) yang diberikan kepadanya. Menurut Putra
(2011) stres adalah faktor fisik, kimia atau emosional yang dapat menyebabkan
ketegangan pada tubuh atau mental.
10
untuk bebas dan menemukan dunia seusia remaja seharusnya. Jika tidak dikelola
dengan baik, stres dapat menyebakan gangguan psikologis bagi remaja ketika dewasa
kelak (Sulaiman dkk, 2009).
a. Biological Stress
Pada umumnya perubahan fisik pada remaja sangat cepat, dari umur 12 - 14 tahun pada
remaja perempuan dan 13 – 15 pada remaja laki - laki. Tubuh remaja berubah sangat cepat.
Remaja merasa bahwa semua orang melihat dirinya. Jerawat juga dapat membuat
remaja stres, terutama bagi mereka yang mempunyai pikiran sempit tentang
kecantikan yang ideal. Saat yang sama, remaja menjadi sibuk di sekolah, bekerja dan
bersosialisasi, sehingga membuat
remaja kurang tidur.
b. Family Stress
Salah satu sumber utama stres pada remaja adalah hubungannya dengan orangtua
karena remaja merasa bahwa mereka ingin mandiri dan bebas, tapi dilain pihak mereka
juga ingin diperhatikan.
c. School Stress
Tekanan dalam masalah akademik cenderung tinggi pada dua tahun terakhir di sekolah.
Keinginan untuk mendapat nilai tinggi, atau keberhasilan dalam bidang olahraga,
dimana remaja selalu berusaha untuk tidak gagal, ini semua dapat menyebabkan stres.
d. Peer Stress
Stres pada kelompok teman sebaya cenderung tinggi pada pertengahan tahun sekolah.
Remaja yang tidak diterima oleh teman - temannya biasanya akan menderita, tertutup
dan mempunyai harga diri yang rendah. Pada beberapa remaja, agar dapat diterima
oleh teman - temannya, mereka melakukan hal - hal yang negatif seperti merokok, minum
11
alkohol dan menggunakan obat terlarang. Beberapa remaja merasa bahwa alkohol, rokok dan
obat - obatan terlarang dapat mengurangi stres, tetapi justru meningkatkan stres tersebut.
e. Social Stress
Remaja tidak mendapat tempat pada pergaulan orang dewasa karena mereka tidak
diberikan kebebasan mengungkapkan pendapat mereka, tidak boleh membeli alkohol
secara legal, dan tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang bayarannya tinggi. Pada saat
yang sama mereka tahu bahwa mereka semua nanti akan mewarisi masalah besar
dalam kehidupan sosial, seperti perang, polusi dan masalah ekonomi yang tidak stabil,
ini dapat membuat remaja menjadi stres.
a. Aspek Biologis
Walter Canon (Sarafino,1994) menyatakan reaksi tubuh yang mengancam yakni
fight or flight response karena respon fisiologis mempersiapkan individu untuk
menghadapi atau menghindari situasi yang mengancam tersebut. Fight or flight
response menyebabkan individu dapat merespon dengan cepat terhadap situasi
yang mengancam. Akan tetapi arousal yang tinggi, bersifat terus menerus muncul
dapat membahayakan kesehatan individu.
b. Aspek Psikososial
Stresor akan menghasilkan perubahan - perubahan psikologis dan juga sosial
individu. Perubahan - perubahan tersebut antara lain:
1) Kognitif Stres dapat melemahkan ingatan dan perhatian dalam kegiatan kognitif
(Cohen dkk dalam Sarafino, 1994). Baum (Sarafino, 1994) mengatakan bahwa
12
individu yang terus menerus memikirkan stresor dapat menimbulkan stres yang
lebih parah terhadap stresor.
2) Emosi Emosi cenderung terkait dengan stres. Individu sering menggunakan
keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres.
3) Perilaku sosial Stres dapat merubah perilaku individu terhadap orang lain
(Sarafino, 1994). Stres yang diikuti dengan rasa marah menyebabkan perilaku
sosial negatif cenderung meningkat sehingga dapat menimbulkan perilku
agresif (Donnerstein & Wilson dalam Sarafino, 1994). Stres juga dapat
mempengaruhi perilaku pada individu (Cohen & Spacapan dalam Sarafino, 1994).
a. Faktor Perilaku
Ada beberapa pendapat mengenai faktor perilaku yang mempengaruhi stres, yakni:
2) Reaksi individu terhadap stres berbeda - beda yakni ada individu - individu yang
memandang stres yang dihadapi sebagai tantangan sehingga individu bergerak untuk
mengatasinya maka stres berfungsi menjadi motivator yang membuat individu
berusaha mencari jalan keluar dari tekanan yang dihadapi. Sedangkan ada individu -
individu yang memandang stres yang dihadapi sebagai ancaman yang
membahayakan diri sehingga individu merasa tertekan dan terganggu dengan
permasalahan yang dihadapi dan tidak melakukan Langkah - langkah yang
berorientasi untuk menyelesaikan permasalahannya (Widiana, 2008)
b. Faktor Psikologis
1) Menurut Lurr (2010) ada tiga faktor psikologis yang terlibat, yaknia)
13
a. Perceived control, yakni keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai stresor
itu. Orang dengan internal locus of control (peristiwa yang terjadi sangat
dipengaruhi oleh perilakunya) cenderung lebih mampu mengatasi stres dibanding
dengan orang dengan external locus of control (peristiwa yang terjadi bergantung
pada nasib, keberuntungan, atau orang lain).
a) Persepsi. Salah satu faktor yang terlibat dalam persepsi adalah sistem panca indera
perilaku seseorang dapat mengontrol persepsi.
b) Perasaan dan Emosi. Tujuh macam emosi yang paling berkaitan dengan stres
adalah kecemasan (kegelisahan), rasa bersalah, kekhawatiran/ketakutan, kemarahan,
kecemburuan,kesedihan. Misalnya kehilangan orang yang dicintai seperti
kematian teman atau anggota keluarga, putus cinta, kepindahan teman dekat.
c) Situasi adalah sebuah konsepsi individual tentang keadaan atau kondisi dimana
individu berada pada suatu waktu. Misalnya tidak dapat menyelesaikan
konflik dengan keluarga, teman sebaya, guru, pelatih yang dapat menyebabkan
frustasi dan penolakan.
14
d) Pengalaman hidup meliputi seluruh kejadian psikologis seseorang selama rentang
kehidupan seperti pengalaman yang dapat membuat individu merasa rendah diri
sehingga membuat remaja kehilangan harga diri atau penolakan dan pengalaman
buruk seperti hamil atau masalah keuangan.
e) Perilaku (behavioral) adalah semua output dari setiap tingkatan hierarki dari sistem
syaraf seperti sensasi, perasaan, emosi, kesadaran, penilaian. Misalnya tidak
dapat memenuhi harapan orangtua seperti gagal dalam mencapai sesuatu harapan,
tinggal kelas dan penolakan sosial.
C. Faktor Kepribadian
1) Menurut Walker (2002) faktor kepribadian juga dapat mempengaruhi stres pada
remaja, yakni: tingkah laku impulsif, obesitas dan ketakutan yang tidak nyata, tingkah
laku agresif dan anti sosial, penggunaan dan ketergantungan obat terlarang, hubungan
sosial yang buruk dengan orang lain, menyalahkan diri sendiri dan merasa bersalah,
masalah tidur atau makan.
2) Rosenmen & Chesney (Lurr, 2010) tipe kepribadian juga dapat mempengaruhi stres. Tipe
kepribadian terbagi atas dua tipe kepribadian antara lain dengan ciri - ciri tipe kepribadian
“A” sebagai berikut:
h ) Kaku terhadap waktu, tidak dapat tenang dan serba tergesa-gesai)Mudah bergaul
(ramah), pandai menimbulkan perasaan empati dan bila tidak tercapai maksudnya mudah
bersikap bermusuhanj)Tidak mudah dipengaruhi, kaku (tidak fleksibel)
15
k ) Bila berliburan pikirannya ke pekerjaan, tidakdapat santail)Berusaha keras untuk dapat
segala sesuatunya terkendali.Individu dengan kepribadian tipe “B” adalah kebalikan dari
tipe kepribadian “A” yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a) Ambisinya wajar-wajar saja, tidak agresif dan sehat dalam berkompetisi serta
tidak memaksakan diri
b) Penyabar, tenang, tidak mudah tersinggung dan tidak mudah marah
c) Kewaspadaan dalam batas yang wajar, demikian pula kontrol diri dan percaya
diri tidak berlebihan.
d) Cara bicara tidak tergesa-gesa, bertindak pada saat yang tepat, perilaku tidak
hiperaktif
e) Dapat mengatur waktu dalam bekerja (menyediakan waktu untuk istirahat)
f) Dalam mengorganisasikan dan memimpin bersikap akomodatif
g) Lebih suka bekerja sama dan tidak memaksakan diri bila menghadapi
tantanganh)
h) Pandai mengatur waktu dan tenang (relaks), tidak tergesa-gesai)
i) Mudah bergaul, dan dapat menimbulkan empati untuk mencapai
kebersamaan (mutual benefit)
j) Tidak kaku (fleksibel), dapat menghargai pendapat orang lain, tidak merasa dirinya
paling benark)
k) Dapat membebaskan diri dari segala macam problem kehidupanl)
l) Dalam mengendalikan segala sesuatunya mampu menahan serta
mengendalikan diri.
d.Faktor SosialFaktor sosial yang mempengaruhi stres terbagi atas 2 bagian yakni:
1) Lingkungan Keluargaa)
a) Suksesnya perkembangan remaja dilihat dari ketika remaja terpisah dari orangtua
namuntetap menjaga keterhubungan emosional.Adanya komunikasi efektif
membuat hubungan orangtua dan anak lebih kuat dan relatif mengurangi stres yang
dialami remaja(Weichold dkk, 2007).
b) Ikatan orangtua dan anak remaja yang tidak harmonis membuat remaja merasa
orangtua tidak mampu memberikan rasa aman, tidak adanya cinta dan kasih sayang
dalam pengasuhan anak, sehingga remaja merasa hampa dan membuat remaja
16
mudah mengalami stres (Santrock, 2007). Sebuah studi, remaja dapat mengatasi
stres dengan lebih efektif apabila individu memiliki relasi afektif dengan komunikasi
dengan orangtua (Wagner, Cohen & Brook dalam Santrock, 2007).
2) Lingkungan Sosiala)
Faktor sosial budaya, meliputi stres akultural dan stres sosial ekonomi seperti
kemiskinan (Santrock, 2007)
b) Kehidupan perkotaan, gaya hidup modern, kejadian besar dalam hidup seperti
kehilangan seseorang yang disayangi, ketidakharmonisan dengan teman dan lawan
jenis (Welker, 2002).
17
keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, keberanian, kegairahan dan lain-lain yang
timbul dari lubuk hati.Memahami istilah komunikasi di atas, komunikasi dapat dikatakan
efektif apabila pesan diterima dan dimengerti sebagimana dimaksud oleh pengirim pesan,
pesan ditindaklanjuti dengan sebuah perbuatan secara suka rela oleh penerima pesan
dapat meningkatkan kualitas hubungan antarpribadi dan tidak ada hambatan untuk hal
itu (Hardjana dalam Suranto, 2011).
Komunikasi orangtua dan anak dikatakan efektif bila kedua belah pihak saling
dekat, saling menyukai dan komunikasi diantara keduanya merupakan hal yang
menyenangkan dan adanya keterbukaan sehingga tumbuh sikap percaya. Komunikasi
yang efektif dilandasi adanya kepercayaan, keterbukaan, dan dukungan yang
positif pada anak agar anak dapat menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh
orangtua (Rakhmat, 2011). Komunikasi efektif antara orangtua dananak sangat
penting untuk menumbuhkan keakraban. Ketika orangtua mendengarkan
secara aktif, kemampuan anak untuk mengungkapkan perasaan dan isi hatinya
dirangsang dan semakin meningkat. Kebutuhan komunikasi merupakan kebutuhan
vital dalam hubungan orangtua dan anak. Orangtualah yang diharapkan anak
sebagai teman untuk berkomunikasi karena hanya orangtualah yang dekat dan dapat
mendengar dengan penuh perhatian, menerima dan menanggapi segala bentuk perasaan
yang dikemukakan anak sehingga anak tidak lari mencari orang lain yang dapat
mendengar keluh kesah dan ungkapan perasaan hatinya (Laily & Matulessy, 2004).
18
a. Keterbukaan (openness)Keterbukaan adalah sikap dapat menerima masukan dari
orang lain, serta berkenan menyampaikan informasi penting kepada orang lain. Hal ini
tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat
hidupnya, tetapi relamembuka diri ketika orang lain menginginkan informasi yang
diketahuinya. Sikap keterbukaan ditandai adanya kejujuran dalam merespon
segala stimulasi komunikasi. Tidak berbohong dan tidak menyembunyikan
informasi yang sebenarnya.
2) Spontan bukan strategi. Orang yang spontan dalam komunikasi dan terus terang
serta terbuka dalam mengutarakan pikirannya, biasanya bereaksi dengan cara yang
sama, terus terang dan terbuka. Sebaliknya bila individu merasa bahwa seseorang
menyembunyikan perasaan yang sebenarnya, bahwa mempunyai rencana
tersembunyi, maka individu juga akan bereaksi secara defensif.
19
kesediaan untuk meninjau kembali pendapat yang disampaikan untuk mengetahui
bahwa pendapat manusia adalah tempat kesalahan karena itu wajar juga kalau suatu
saat pendapat dan keyakinan bisa berubah. Kata lain sikap provisionalismemerupakan
sikap tentatif dan berpikiran terbuka, serta bersedia mendengar pandangan yang
berlawanan dan bersedia mengubah posisi jika keadaan mengharuskan.
d. Rasa positif (positiveness). Sikap positif ditunjukkan dalam bentuk sikap dan
perilaku. Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong
orang lain lebih aktif berpartisipasi dan menciptakan situasi komunikasi kondusif
untuk interaksi yang efektif. Apabila seseorang berpikir positif tentang dirinya,
maka akan berpikir positif juga terhadap orang lain, sebaliknya bila menolak diri
sendiri, maka akan menolak orang lain. Bila seseorang memahami dan menerima
perasaan-perasaannya, maka akan lebih menerima perasaan-perasaan sama yang
ditunjukkan orang lain. Rasa positif dapat ditunjukkan dengan adanya ketertarikan
terhadap komunikasi disertai dengan memberikan reinforcementterhadap perilaku
yang diharapkan, seperti tepukan di bahu dan senyuman. Selain itu sikap positif
lainnya dapat ditunjukkan dengan berbagai macam perilaku dan sikap, antara lain
menghargai orang lain, tidak menaruh curiga secara berlebihan dan meyakini
pentingnya orang lain.
20
5) Komunikasi dua arah6)Saling membutuhkan
C. Hubungan Antara Komunikasi Efektif Orangtua dan Anak dengan Tingkat Stres
Pada Remaja
Anak dapat merasakan apa yang orangtua alami seperti ia mengalami sendiri tanpa
kehilangan identitas dirinya sebagai anak yang harus membantu dan bertanggung
jawab terhadap dirinya. Empati yang sama-sama dirasakan menambah kedekatan
yang lebih akrab sehingga anak dapat menjadi orang yang peduli sehingga anak mampu
mengatasi stresnya ketika menghadapi masalah dan stres yang dialami remaja
cenderung menurun.Aspek ketiga dukungan (supportivenness), komunikasi yang
dilakukan orangtua dan anak lebih bersikap deskriptif daripada evaluatif.
Suasana yang bersifat deskriptif yakni proses penyampaian perasaan dan persepsi
tanpa menilai, denganhal ini membantu terciptanya sikap mendukung bila
individu mempersepsikan suatu komunikasi sebagai permintaan akan informasi atau
uraian mengenai suatu kejadian tertentu, individu pada umumnya tidak merasakan
21
ini sebagai ancaman, sedangkan komunikasi yangbersifat evaluatif yakni komunikasi
yang bernada menilai dan hal ini sering membuat orang lain defensif, sehingga
anak didalam menggunakan pikiran dan perasannya mengalami ketakutan.
Jadi akan lebih baik orangtua melakukan komunikasi dengan sikap deskriptif
supaya anak lebih nyaman menyampaikan gagasan dan perasaan sehingga anak
merasa dihargai. Keadaan demikian membuat stres yang dialami remaja akan
cenderung menurun. Aspek keempat adalah sikap positif (positiveness),
komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak memiliki nilai-nilai penghargaan dan
memuji apa yang disampaikan anak kepada orangtua. Pujian tersebut dapat
meningkatkan rasa percaya diri anak dalam mengemukakan pendapat yang dirasakan
dan pikirkan anak sehingga membuat anak lebih menghargai dirinya, dengan
demikian anak merasa hidupnya lebih bermakna dan stres yang dialami anak
remaja akan menurun.Aspek kelima kesamaan (equality), komunikasi akan lebih
efektif jika banyak faktor yang sama diantara orangtua dan anak sehingga akan
tercipta keharmonisan komunikasi. Anak akan selalu mendapatkan kebahagiaan
dan mampu menjalin relasi dengan baik pada siapa saja sehingga membuat anak tidak
merasa sendiri dan merasa memiliki teman yang lebih dewasa untuk berbagi cerita
sehingga dengan hal ini cenderung akan menurunkan stres yang dialami remaja.
D. Hipotesis
METODE PENELITIAN
22
Sampel adalah sebagian dari populasi, maka sampel tersebut harus
memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya.Teknik pengambilan sampel
dalam penelitian ini yaitu menggunakan cluster random sampling, yaitu
melakukan randomisasi (acak) terhadap kelompok dan bukan terhadap subjek
secara individual (Azwar, 2007).Hasildari melakukan randomisasi, terpilih empat
kelas sebagai sampel penelitian yakni kelas XI Jasa Boga 2, XI Jasa Boga 3, XI
Kecantikan Rambut 1 dan XI Busana Butik SMK Negeri 6 Yogyakarta, yang
keseluruhan jumlah sampel penelitian yakni sebanyak 122 orang siswa.
2. Metode Pengumpulan
DataPenelitian ini menggunakan metode pengumpulan data kuantitatif dengan
menggunakan alat ukur berupa skala psikologis dengan metode pernyataan diri
(self report). Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini ada dua
macam, yaitu skala stres yang terdiri dari 24 aitem (rtt=0,853) dan skala
komunikasi efektif yang terdiri dari 25 aitem (rtt=0,930).
Analisis data dalam penelitian ini mengguna metode korelasi product momentdari
Karl Person dengan menggunakan fasilitas komputer dengan program
Statistical Program For Socials Science For Windows(SPSS) versi 16.00.
Sebelum dilakukan analisis teknik korelasi product moment,terlebih dahulu
dilakukan uji asumsi yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas.
HASIL PENELITIAN
23
anak dapat mengurangi stres pada remaja sebesar 18,1%, sedangkan sisanya
dipengaruhi oleh faktor lain
Komunikasiefektif Stress
Komunikasiefektif Pearson 1 -425**
Correlation
Sig. (2-tailed) N .000
122
24
<(μ+1σ) 88,6
dan kategori tinggi sebanyak 18,03 %, sehingga dapat diperoleh kesimpulan bahwa
stres yang dialami subjek dalam penelitian ini mayoritas termasuk sedang.
Pembahasan
25
Sebaliknya, jika terjalin suatu komunikasi efektif yang buruk antara orangtua dan
anak remajanya maka dapat menambah atau meningkatkan stres pada remaja.
26
Ternyata sebagian besar siswa tersebut memiliki skor komunikasi efektif yang
tergolong pada kategori rendah sehingga dapat disimpulkan bahwa komunikasi efektif
yang buruk antara orangtua dan siswa memberikan kontribusi tingginya stres pada remaja
siswa tersebut.Kategorisasi subjek menunjukkan bahwa sebagian besar remaja siswa
tersebut sudah melakukan komunikasi efektif dengan orangtuanya dalam
kategorisasi sedang yakni sebesar 63,12%, artinya ada 63,12% atau 77 siswa yang sudah
melakukan komunikasi efektif yang cukup baikdengan orangtuanya. Begitu juga dengan
stres pada remaja siswa tersebut yang mayoritas berada pada kategorisasi sedang yaitu
sebesar 74,59 %, yang memiliki arti bahwa ada 74,59% atau 91 siswa mengalami stres yang
sedang. Jadi kedua kategori ini menunjukkan bahwa sebagian besar remaja siswa kelas XI
SMK Negeri 6 Yogyakarta sudah melakukan komunikasi efektif yang cukup baik
dengan orangtuanya sehingga remaja siswa kelas XI SMK Negeri 6 Yogyakarta sudah
cukup mampu menekan atau menurunkan stres yang dialaminya.
Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah bahwa ada hubungan yang
negatif yang sangat signifikan antara komunikasi efektif orangtua dan anak yang menginjak
remaja dengan stres pada remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta. Hubungan negatif
tersebut mengindikasikan atau memiliki arti semakin baik komunikasi efektif yang
dilakukan orangtua dan anak yang menginjak remaja maka semakin rendah stres
yang dialami remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta, sebaliknya semakin buruk
komunikasi efektif orangtua dan anak yang menginjak remaja maka semakin tinggi stres yang
dialami remaja siswa SMK Negeri 6 Yogyakarta.
Sumbangan efektif (푟 2) dari komunikasi efektif orangtua dan anak
terhadap stres pada remaja sebesar 18,1 %, hal ini menunjukkan bahwa
komunikasi yang dilakukan orangtua dan anak dapat mengurangi stres pada remaja
sebesar 18,1 %, sedangkan 81,9 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang
kemungkinan dapat mengurangi tingkat stres pada remaja.
Saran
Penelitian selanjutnya dapat disarankan untuk meneliti faktor-faktor lain yang dapat
mempengaruhi stres terutama pada faktor yang memungkinan dapat menurunkan stres.
27
Hal ini diperlukan untuk pengembangan lebih lanjut untuk menjadi pembanding bagi
penelitian ini agar dapat memberikan manfaat dalam rangka meningkatkan
keilmuan.Selain itu berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan:
A. Bagi remaja
Berdasarkan hasil penelitian ternyata ada juga remaja yang mengalami stres
tinggi yakni sebesar 18,03%, untuk itu peneliti menyarankan agar remaja perlu membutuhkan
orang dewasa yang dapat diajak bertukar pikiran mengenai masalah-masalah yang dihadapi
olehremaja itu sendiri. Hal ini orangtualah yang tepat untuk diajak berbagi atau
bertukar pikiran karena orangtua merupakan sosok terdekat dan dapat dipercaya
untuk dapat memberikan penjelasan-penjelasan yang tidak diketahui oleh anak. Remaja
juga harus menjaga hubungan yang baik dengan orangtua dengan cara mau mendengarkan
kata orangtua dan bersikap lebih kooperatif. Belajar dan membiasakan diri untuk dapat
menyampaikan pendapat kepada orang lain dengan baik, dengan demikian ketika anak
remaja menghadapi masalah, anak dapat berbagi dengan orangtua tanpa merasa
canggung dan takut agar remaja dapat menekan terjadinya stres pada dirinya dan tidak
akan mengalami stres yang berat.
B. Bagi Orangtua
Berdasarkan hasil penelitian, ternyata masih ada orangtua dan anak remaja yang
memiliki komunikasi efektif yang buruk yakni sebesar 16,39%, hal ini peneliti
menyarankan agar orangtua lebih meningkatkan hubungan yang baik dengan anak
remaja dengan memperhatikan perkembangan anak tersebut dan memberi perhatian
pada anak remajanya dengan cara sering menghabiskan waktu bersama, mengobrol,
jalan-jalan sehingga anak merasa dekat dengan orangtua. Selain itu orangtua harus
lebih bersikap terbuka dengan cara mau mendengarkan pendapat anak dan mau
dikritik, sehingga anak remaja merasa lebih dihargai. Hal ini membuat remaja dapat
menekan terjadinya stres pada dirinya. Ada juga orangtua dan anak remaja yang sudah
melakukan komunikasi efektif dengan baik yakni sebesar 20,49% dan pada kategori
sedang sebesar 63,12%, dengan demikian peneliti menyaran agar orangtua tetap
menjaga dan mempertahankan hubungan yang baik dengan anak remaja dengan
melakukan komunikasi yang efektif agar remaja dapat berkembang dengan baik dan tidak
mudah mengalami stres.
28
C. Bagi Sekolah
Berdasarkan hasil penelitianterdapat 18,03% siswa yang mengalami stres yang tinggi. Hal
ini peneliti menyarankan agar pihak sekolah khususnya guru BK (Bimbingan
Konseling) lebih memperhatikan siswa-siswanya pada saat berada di lingkungan
sekolah. Jika ditemukan ada sikap dan perilaku siswa yang sudah berbeda dari
biasanya, seperti lebih banyak murung, tidak tertarik pada pelajaran, bersikap keras
pada temannya dan mengalami prestasi yang menurun maka dalam hal ini guru
harus segera mendekati siswa yang bermasalah tersebut untuk diajak mengobrol dengan
tujuan menggali penyebab siswa tersebut bersikap lain dari biasanya agar guru segera
memberikan penanganan lebih dini atas permasalahn yang dihadapi siswa agar siswa
tersebut tidak mengalami stres yang berat. Dalam menangani siswa yangbermasalah, guru
diharapkan melakukan komunikasi yang efektif dengan siswa tersebut dengan cara tidak
adanya unsur menghakimi agar siswa tidak merasa diadili, melainkan dalam proses
perbincangan diharapkan guru mampu menciptakan rasa nyaman kepada siswa agar siswa
tersebut dapat menceritakan segala permasalahan tanpa merasa takut dan canggung. Hal
ini dapat menekan atau mengurangi stres pada remaja siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M & Asrori, M. 2009. Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
29
Ariesandi. 2011. Peran Orang tua mengatasi masalah Remaja Broken Home.
http://pikrtulipmayang.blogspot.com/2011/04/.html. [on line] 19 April 2012.
Gunawati, R., Hartati, S., & Listiara, A. 2006. Hubungan Antara Efektivitas
Komunikasi Mahasiswa dan dosen Pembimbing Utama Skripsi Dengan Stres Dalam
Menyusun Skripsi Pada Mahasiswa Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Jurnal Psikologi Universitas Diponegoro. Vol. 3, No. 2 : 93
-115.
Henny, A. 2006.
Hubungan antara Komunikasi Orang Tua- Anak Mengenai Seksualitas dan Kontrol Diri
dengan Perilaku Seks Pranikah. Skripsi.(tidak diterbitkan). Malang: Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Malang.
Kemala, I. & Hasnida. 2007. Hubungan antara Stres dan Perilaku Merokok pada
Remaja Laki-laki. JurnalPsikologi. Vol. 1, No. 2 : 105-111.
Kusuma, I. 2009. Remaja Stres. http://blog-oda.blogspot.com. [on line] 16 november
2011
Laily, N. & Matulessy, A. 2004. Pola komunikasi Masalah Seksual Antara Orang Tua dan
Anak. urnalPsikologi. Vol. 19, No. 2 : 194-205.
Looker, T. & Gregson, O. 2005. Managing Stress. Yogyakarta: Baca.
Lurr, R.K. 2010. Kesehatan Mental. Yogyakarta: Stain Press.
Nasution, I.K. 2007. Stres Pada Remaja. Skripsi.(tidak diterbitkan). Palembang:
Universitas Sumatra Selatan.
Putra, H. 2011. STRESS Cara Mencegah dan Menanggulanginya. Bali: Udayana
University Press.
Rakhmat, J. 2011. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Santrock, J.W.
2007. Remaja “edisi kesebelas”.Jakarta: Erlangga.
30
Sarafino, E.P. 1994. Health Psychology. New York: John Wiley and Sons.
Stephen. 2011. Seni Mendengar dan Komunikasi yang Efektif. Jakarta: Klik Publishing.
Sulaiman, T., Hassan, A., Sapian, M.V., & Abdullah, K.S. 2009. The Level of Stress
Among Students in Urban and Rural Secondary Schools in Malaysia. European
Journal of Social Sciences. Vol. 10, No. 2 : 179-184.Supratiknya, A. 1995. Komunikasi
Antar Pribadi Tinjauan Psikologis. Yogyakarta: Kanisius.
Suranto, AW. 2011. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Walker, J. 2002. Teens In Distress Series Adolescent Stress and
Depression.http://www.extension.umn.edu/distribution/youthdevelpoment/DA3083.html[on
line]. 12 desember 2011.
Weichold, K., Buttig, S., & Silbereisen, R.K. 2008.Effects Of Pubertal Timing On
Communication Behaviors And Stress Reactivity In Young Women During Conflict
Discussions With Their Mothers.Journal of Youth Adolescence. 37:1123-1133.
Widiana, H.S. 2008. Peranan Keberfungsian Keluarga dan Efikasi Diri terhadap Reaksi
Stres. Jurnal Humanitas. Vol 5, No. 2 : 108-123.
31