Anda di halaman 1dari 12

NAMA : Leily Amallia

NIM : 07021282025050

DOSEN : Safira Soraida, S.Sos., M.Sos

PSIKOLOGI SOSIAL, SOSIOLOGI UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Review Jurnal : Konsep Diri dan Orang lain, Kelompok Sosial dan Dinamika Kelompok Sosial.

A..KONSEP DIRI DAN ORANG LAIN

1.Konsep Diri, Adversity Quotient dan Penyesuaian Diri pada Remaja

Penulis: Khoirul Bariyyah Hidayati dan M Farid (2016) Jurnal Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa
kehidupan orang dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan biologis dan
psikologis. Masa peralihan perkembangan dan pertumbuhan yang dihadapi oleh remaja akibat
berbagai perubahan fisik, sosial, emosional yang semuanya itu akan menimbulkan rasa cemas dan
ketidaknyamanan. Akibatnya masa ini disebut juga sebagai masa yang penuh dengan badai dan
tekanan, karena remaja harus belajar beradaptasi dan menerima semua perubahan yang sering kali
menyebabkan pergolakan emosi didalamnya.

Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkah laku seseorang. Bagaimana
seseorang memandang dirinya akan tercermin dari keseluruhan perilakunya. Artinya, perilaku
individu akan selaras dengan cara individu memandang dirinya sendiri. Jika individu memandang
dirinya sebagai orang yang tidak mempunyai cukup kemampuan untuk melakukan suatu tugas, maka
seluruh perilakunya akan menunjukkan ketidakmampuannya tersebut.

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2015 pada remaja di Panti Asuhan Muhammadiyah Probolinggo.
Lokasi ini dipilih atas pertimbangan, remaja yang berada di Panti Asuhan membutuhkan kemampuan
lebih untuk menganggap orang atau hal lain sebagai bagian dari dirinya. Sehingga dalam
perkembangannya kepemilikan penyesuaian diri menjadai sangat penting.
Hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti ini menunjukkan semakin tinggi konsep diri dan
adversity quotient maka penyesuaian diri pada remaja semakin tinggi, sebaliknya, semakin rendah
konsep diri dan adversity quotient tmaka penyesuaian diri pada remaja semakin rendah pula.
Diterimanya hipotesis pertama penelitian menunjukkan bahwa secara tidak langsung faktor konsep
diri dan adversity quotient mempengaruhi penyesuaian diri pada remaja.

2. Hubungan Antara Konsep Diri Dan Kematangan Emosi Dengan Penyesuaian Diri Istri Yang
Tinggal Bersama Keluarga Suami

Penulis: Nova Anissa dan Agustin Handayani (2012)

Perkawinan merupakan tempat bersatunya pribadi yang berbeda, yaitu antara pria dan wanita
sebagai suami istri yang mempunyai tujuan untuk membentuk sebuah mahligai keluarga yang kekal,
bahagia dan sejahtera baik lahir maupun batin.

Menurut Sunarto dan Hartono (2002, h.222) penyesuaian diri adalah proses bagaimana individu
mencapai keseimbangan diri dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan lingkungannya. Penyesuaian
diri merupakan suatu perubahan yang dialami seseorang untuk mencapai suatu hubungan yang
memuaskan dengan orang lain dan lingkungan di sekitarnya. Penyesuaian diri merupakan masalah
penting bagi setiap pasangan suami istri, karena keberhasilan atau kegagalan penyesuaian diri ini
dapat mempengaruhi keharmonisan dalam keluarga.

Istri yang mempunyai konsep diri negatif akan meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak
berdaya, tidak dapat berbuat apa- apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak menarik, tidak disukai
dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Istri yang bermasalah dengan konsep dirinya tidak hanya
akan gagal dalam menunjukkan semua potensinya, tetapi juga punya kecenderungan untuk menjadi
orang yang cemas atau menunjukkan simptom-simptom kecemasan, seperti kurang percaya diri dan
ketidakmampuan dalam menyesuaikan diri dengan keluarga suami.

Hasil penelitian diperoleh bahwa penyesuaian diri istri termasuk dalam kategori tinggi. Hasil yang
diperoleh ini mengindikasikan bahwa sebagian besar istri dapat melakukan proses penyesuaian diri
yang baik dengan keluarga suami. Istri dapat berinteraksi secara baik untuk mendapatkan hubungan
yang serasi dengan anggota- anggota keluarga suami. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan
kemampuan istri berkomunikasi yang baik dengan anggota keluarga suami, istri mampu memahami
kondisi keluarga suami, istri memiliki pengendalian diri yang baik, istri dapat bertindak sesuai norma
yang dianut keluarga suami. Kematangan emosi tersebut ternyata berpengaruh signifikan terhadap
penyesuaian diri istri dalam keluarga suami.
3. Hubungan Konsep Diri dan Kepercayaan Diri dengan Kemampuan Komunikasi
Interpersonal Pada Remaja Putus Sekolah

Penulis: Rahmah Putri Puspitasari dan Hermien LaksmiwatiProgram Studi Psikologi Universitas
Negeri Surabaya

Konsep diri merupakan faktor yang sangat menentukan dalam komunikasi interpersonal
karena setiap orang bertingkah laku sedapat mungkin sesuai dengan konsep diri (Rakhmat, 2005:
104). Brooks (dalam Rakhmat, 2005: 105) menyatakan bahwa suksesnya komunikasi interpersonal
banyak tergantung pada kualitas konsep diri seseorang, positif maupun negatif.

Remaja putus sekolah merupakan satu contoh remaja yang beresiko mengalami konsep diri negatif.
Ketika seorang remaja harus putus sekolah, secara tidak langsung ia akan menganggap dirinya
bernasib buruk atau tidak memiliki kemampuan untuk sukses, maka kepercayaan dirinya bisa
menurun yang pada akhirnya akan berusaha menghindari terjadinya komunikasi interpersonal. Ketika
individu berusaha menghindari komunikasi interpersonal, kemampuan komunikasi interpersonal pun
akan rendah, individu cenderung diam dan tidak mengungkapkan gagasan atau ide yang ada di
pikirannya.

Makin baik hubungan interpersonal, makin terbuka seseorang untuk mengungkapkan dirinya, makin
cermat persepsinya tentang orang lain dan dirinya, maka akan semakin memiliki kemampuan
komunikasi. Dari penelitian ini dapat kesimpulan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara konsep diri dan kemampuan komunikasi interpersonal pada remaja putus sekolah. Konsep diri
dan Kepercayaan diri dalam penelitian juga tidak memiliki hubungan dengan kemampuan
interpersonal pada remaja putus sekolah. Orang yang tidak menyenangi dirinya merasa bahwa dirinya
tidak akan mampu mengatasi persoalan. Orang yang kurang percaya diri akan cenderung berusaha
menghindari situasi komunikasi, ia takun orang lain akan mengejek atau menyalahkannya.

4. Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kecerdasan Emosional Pada Remaja

Penulis: Ika Fauziah Nur dan Agustina Ekasari

Secara sosial, Remaja berada dalam masa pencarian identitas diri, serta melemahnya ikatan
afektif dengan orangtua. Remaja juga mulai memperluas hubungan dengan teman sebaya yang pada
umumnya menjadi anggota kelompok sebaya. Dalam kelompok, remaja menjadi sangat bergantung
dan terikat, hal ini terlihat dengan terjadinya konformitas kelompok yang membuat remaja berusaha
untuk dapat menyesuaikan diri dan menyatu dengan kelompoknya.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi, serta mengatur keadaan jiwa. Remaja
yang mempunyai konsep diri positif akan terlihat lebih optimis, penuh percaya diri dan selalu bersikap
positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialaminya. Mereka juga mampu
menghargai dirinya dan melihat hal-hal positif yang dapat dilakukan demi keberhasilan di masa yang
akan datang. Sementara itu, remaja dengan konsep diri negatif akan bersikap meyakini dan
memandang bahwa dirinya lemah, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, tidak disukai dan
kehilangan daya tarik terhadap hidup, pesimistik terhadap kehidupan dan kesempatan yang
dihadapinya.

Remaja dikatakan memiliki kecerdasan emosional yang baik (tinggi) bila terlihat dalam hal-hal seperti
bagaimana remaja mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu mengungkapkan
dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri dengan lingkungan, dapat mengendalikan
perasaan dan mampu mengungkapkan reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada
sehingga interaksi dengan orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif.

Dari Penelitian ini, kesimpulannya yaitu bahwa faktor yang paling signifikan terhadap perubahan
perilaku dan emosional remaja adalah lingkungan tempat tinggal. Lingkungan teman sebaya
memberikan pengaruh lebih besar bila dibandingkan dengan pengaruh lainnya. Seiring dengan
perkembangan kematangan diri, remaja akan mencari identitas dirinya melalui bergabung dengan
kelompok sebaya baik sesama jenis/lain jenis. Segala polah, gaya, dan tingkah laku teman sebaya
sangat cepat merasuk ke dalam jiwa anak.

5. Hubungan Dukungan Sosial dan Konsep Diri dengan Penyesuaian Diri Remaja Kelas X SMA
Angkasa 1 Jakarta

Penulis: Della Nur Aristya dan Anizar Rahayu, Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia
Y.A.I, Jakarta, Indonesia

Siswa SMA termasuk kategori remaja, yang memiliki ciri perkembangan fisik, emosi, sosial,
intelektual, psiko-seksual, dan pemahaman diri. hal tersebut menyebabkan remaja SMA harus mampu
melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan – perubahan yang dialaminya. Proses penyesuaian ini
tidak terjadi dengan sendirinya, mereka harus belajar agar dapat berhasil dalam melakukan
penyesuaian diri, dan ini memerlukan waktu dan kemampuan individu untuk merespon tuntutan –
tuntutan yang timbul baik berasal dari dalam maupun luar dirinya.

Untuk memperoleh penyesuaian diri di SMA, remaja SMA harus bisa menyesuaikan dengan dirinya,
sekolah dan lingkungan sosialnya, yang meliputi penyesuaian diri terhadap guru, mata pelajaran,
teman sebaya dan lingkungan sekolah. Dukungan sosial dalam hal ini sangat berperan penting bagi
penyesuaian diri remaja SMA yang sedang mencari jatidirinya dan menyesuaikan diri dari Sekolah
Menengah Pertama ke Sekolah Menengah Atas. Remaja akan merasa didukung apabila dihargai dan
dicintai orang-orang sekitarnya dengan baik.

Pembentukan konsep diri positif ditandai dengan percaya diri, penerimaan dirinya baik, optimis, dan
harga dirinya tinggi, juga mempunyai rasa aman. Sebaliknya remaja yang memiliki konsep diri
negatif merupakan siswa yang tidak percaya diri, kurang penerimaan diri, menarik diri dari pergaulan,
pesimis, dan harga diri rendah.

Berdasarkan penelitian ini, bahwa terdapat hubungan yang signifikan dengan arah positif antara
dukungan sosial dan konsep diri dengan penyesuaian diri remaja kelas X SMA Angkasa I Jakarta.
Dengan adanya dukungan sosial dari seorang guru dalam prose belajar mengajar di sekolah maka,
konsep diri remaja akan baik dan tanggapan serta pemikiran remaja akan semakin positif.

6. Konsep Diri dan Keterbukaan Diri Remaja Broken Home yang Diasuh Nenek

Penulis: Luthfita Cahya Irani, Jurnal Pendidikan: Teori, Penelitian, dan Pengembangan

Konsep diri dan keterbukaan diri merupakan aspek-aspek penting dan menentukan dalam
komunikasi antar pribadi. Konsep diri menjadi inti dari pola perkembangan kepribadian seseorang,
yang bila mana tidak dapat berkembang secara positif maka cenderung membawa seseorang dalam
situasi ketidakpuasan dalam hidup, pesimis, ragu, kurang percaya diri, bahkan penyesuaian sosial
yang buruk (Hurlock, 2007).

Subjek dalam penelitian ini adalah Mawar dan Melati. Mawar cenderung lebih tertutup dibandingkan
Melati. Nenek Mawar harus senantiasa mengontrol dan memerhatikan perubahan perilaku subjek
Mawar lalu memancingnya dengan pertanyaan-pertanyaan khusus agar Mawar terbuka. Selain kepada
nenek mereka, keduanya sama sekali enggan bercerita atau menginformasikan keadaan diri mereka
baik kepada Ayah atau Ibu bahkan teman mereka.

Remaja yang memiliki kondisi lingkungan keluarga yang kurang harmonis memiliki kecenderungan
yang lebih besar untuk mengembangkan hubungan yang buruk bahkan cenderung tertutup dengan
orang di sekitarnya (Hurlock, 2007).

Pernyataan tersebut memperkuat temuan penelitian yang menunjukkan masing-masing subjek baik
Mawar maupun Melati memiliki karakteristik yang cenderung tertutup bahkan mengalami kesulitan
dalam membentuk hubungan sosial dengan individu lain di sekitarnya.
Dalam penelitian ini, bahwa seorang anak yang menjadi korban penceraian orang tuanya akan
cenderung lebih tertutup dan enggan membicarakan hal pribadinya. Mereka akan membicarakan dan
terbuka kepada orang terdekatnya atau orang yang selalu bersamanya dari kecil hingga dewasa, hal
tersebut tentu sangat sulit bagi mereka untuk berbaur dan berinteraksi di dunia luar seperti anak
lainnya.
B. KELOMPOK SOSIAL DAN DINAMIKA KELOMPOK SOSIAL

1. Peran Kelompok Sosial Argowayang dalam Menanamkan Nilai Kesadaran Lingkungan

Penulis: Seka Andriani, M. Syahri dan M. Mansur, FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Kondisi sungai yang ada di Desa Galengdowo yang terletak di Kecamatan Wonosalam
Kabupaten Jombang masih kurang layak. Tingkat kesadaran masyarakat tentang menjaga kebersihan
lingkungan masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari masih banyaknya sampah yang berada di sungai.
Persoalan yang terjadi tidak hanya sampah rumah tangga saja yang dibuang ke sungai, melainkan
kotoran hewan ternak juga dibuang ke sungai. Hal ini berakibat mencemari kualitas air sungai yang
ada disekitar, sehingga air sungai bau dan tidak dapat digunakan.

Berdasarkan hasil observasi munculah sebuah kelompok sosial di Kecamatan Wonosalam


yang berdiri dengan memiliki latar belakang alam dan lingkungan. Kelompok sosial tersebut diberi
nama Argowayang, yang terletak di Desa Galengdowo Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang.
Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok sosial Argowayang seperti kegiatan pembelajaran yang
dilakukan di luar sekolah. Pendidikan luar sekolah sebagai salah satu institusi yang memang dibuat
oleh pemerintah untuk pemberdayaan masyarakat, harus mampu membuat program pemberdayaan
masyarakat secara professional dan bertanggung jawab.

Upaya yang dilakukan oleh kelompok sosial Argowayang dalam menanamkan nilai kesadaran
terhadap lingkungan hidup dilakukan dengan dua macam, dilakukan bersama masyarakat dan anak-
anak sekolah. Bentuk kegiatan yang dilakukan bersama masyarakat berupa pembuatan biogas dan
penghijauan. Sedangkan dengan anak-anak berupa wisata edukasi.

Dari penelitian ini, bahwa dengan adanya kelompok sosial agrowayang maka dapat
menimbulkan kesadaran para masyarakat akan lingkungan dan sungai tempat tinggal, para masyarakat
akan lebih mencintai dan memelihara lingkungan dengan baik serta terciptanya rasa kekeluargaan
diantara mereka.
2. Eksistensi Kelompok- Kelompok Sosial Dalam Melestarikan Nilai-Nilai Budaya Di Desa
Kamangta Kecamatan Tombulu Kabupaten Minahasa

Penulis: Frangky Benjamin Kandioh, Johny Lumolos dan Markus Kaunang

Keberadaan beberapa kelompok sosial desa Kamangta didukung dengan kearifan budaya dari
kelompok-kelompok sosial masyarakatnya. Kelompok Sosial yang berdasarkan Marga seperti Regar,
Mandagi, Worotikan, dan Wollah. Kelompok Sosial duka dan kelompok sosial tolong menolong.
Keberagaman dari kelompok-kelompok sosial ini menjadikan desa Kamangta sarat dengan nilainilai
budaya yang diwariskan oleh para leluhur. Keberagaman ini didukung juga oleh beberapa kelompok
agama yang eksis di desa (wanua) Kamangta, yaitu Protestan (GMIM), Katolik, Pantekosta, Advent,
Islam, dan Hindu.

Kelompok-kelompok sosial ini dalam kegiatannya langsung maupun tidak langsung, sengaja maupun
tidak sengaja tetap mempertahankan tradisinya padahal arus perubahan modern begitu dekat dengan
desa ini, mengingat letak desa Kamangta yang hanya berjarak sekitar 8 km dari ibukota Provinsi
Sulawesi Utara, yaitu Kota Manado.

Eksistensi kelompok sosial yang ada di desa Kamangta jelas terlihat pada saat rukun ini melaksanakan
kewajibannya lewat anggota pada waktu terjadi peristiwa duka. Dimana anggota rukun berkumpul
dengan masyarakat dalam acara dan melaksanakan tahap-tahap dalam acara kematian, dimulai dengan
acara 3 malam, Mingguan, dan 40 hari. Keberadaan ini terlihat jelas ketika setiap anggota rukun
melaksanakan kewajibannya dengan membawa makanan untuk dimakan bersama yang artinya bahwa
keluarga yang mengalami duka tidak dibebankan untuk menyediakan makanan.

Pembentukan dan implementasi sistem nilai tebusan tidak mungkin terwujud, jika di dalamnya tidak
melibatkan aktor. Sama halnya dengan sistem nilai tebusan di desa Kamangta yang terimplementasi di
dalam dan melalui eksistensi Kelompok Rukun Duka dan rukun keluarga yang terdiri dari kumpulan
aktor pelaksana kegiatan pembangunan di Desa. Berdasarkan berbagai pertimbangan, dari
pembentukan panitia pembangunan desa disepakatilah pembentukan lembaga masyarakat desa di
tingkat jaga demi efektifitas kerja pembangunan.

Eksistensi kelompok sosial yang ada di desa Kamangta sampai saat ini tentu menyatakan bahwa
kekerabatan, tolong-menolong saling membantu antara individu yang merupakan nilai-nilai yang telah
membudaya secara turun-temurun oleh orang Minahasa, masih tetap hadir dalam kehidupan
masyarakat desa Kamangta. Kenyataan ini membuktikan bahwa pelestarian budaya yang sarat dengan
nilai kemanusiaan dan gotong royong masih dibawah dalam wujud pelaksanaan tebusan di desa
Kamangta.
3. Dinamika Kelompok Sosial Anak Dalam Pelestarian Permainan Tradisional

Penulis: Sri Hilmi Pujihartati dan Mahendra Wijaya

Permainan tradisional di era modern perlu dilestarikan, karena banyak nilai sosial yang
terkandung di dalam berbagai permainan tradisional. Selain itu, permainan tradisional penting untuk
membentuk anak yang memiliki karakter sosial. Proses pembentukan nilai sosial atau kepedulian
sosial tidak bisa lepas dari lingkungan yang paling terdekat dengan orang tersebut. keluarga, teman
sebaya, dan masyarakat yang hidup bersamanya memengaruhi pembentukan nilai sosial pada setiap
individu dalam suatu masyarakat (Wijaya dan Pujihartati, 2018).

Fasilitator berperan penting dalam proses dinamisasi kelompok sosial anak dalam upaya pelestarian
permainan tradisional. Dinamika kelompok sosial anak dimulai dari fase pembentukan berbasis
ketetanggaan, fase pancaroba dalam upaya memperjelas tujuan kebersamaan, fase pembentukan
norma saling tolong menolong dan terakhir fase berprestasi muncul ide dan kreativitas (Tuckman dan
Jensen, 1977). Dalam fase-fase tersebut, peran fasilitator penting dalam upaya membangun dinamika
dalam kelompok sosial anak agar tertarik dengan permainan tradisional.

Dari penelitian ini, bahwa Fasilitator memiliki peran yang penting dalam upaya mendorong
pelestarian permainan tradisional melalui kelompok sosial anak, sekaligus memiliki empat fungsi
utama, yaitu komunikasi, fasilitasi, motivasi, dan dinamisasi. Diharapkan kelompok Dolanan Anak di
lingkungan Jebres tetap eksis dan berkelanjutan, sehingga permainan tradisional akan lestari. Dengan
adanya kelompok sosial maka, permainan tradisional dapat dilestarikan dan berkembang dengan baik,
apalagi dikalangan anak-anak muda yang berbakat dan menjadi pelestari permainan tradisional.

4. Hubungan Variasi Bahasa dengan Kelompok Sosial dan Pemakai Bahasa

Penulis: Tangson. R. Pangaribuan, Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan

Sosiolinguistik adalah ilmu interdisipliner, karena sosiolinguistik dalam kajiannya tidak dapat
dilepaskan dari disiplin ilmu yang lain yaitu sosiologi. Sebagai ilmu antar disiplin, sosiolinguistik
sangat bermakna jika dikaji dengan teliti dan seksama. Melalui kajian sosiolinguistik kita dapat
mengetahui variasi bahasa dan sekaligus kelompok-kelompok sosial suatu masyarakat.

Setiap penutur bahasa mempunyai variasi bahasa tertentu dalam mengutarakan indenya. Bahasa
Indonesia mempunyai variasi atau ragam resmi dan ragam tak resmi atau informal. Suatu kenyataan
yang tak dapat dipungkiri bahwa tidak semua kelas sosial mampu menguasai variasi bahasa tertentu
seperti di Inggris (kelas buruh) sehingga kelas sosial mengalami kesulitan dalam menggunakan variasi
bahasa yang biasa digunakan kelas sosial yang lebih tinggi. Perbedaan tingkat kesejahteraan dan
pendapatan mempengaruhi variasi bahasa yang digunakan oleh masyarakat tersebut.

Masyarakat yang mempunyai tingkat kesejahteraan dan pendapatan yang lebih tinggi akan
mempunyai wawasan yang lebih luas karena mereka lebih banyak memperoleh informasi terutama
informasi yang membutuhkan materi seperti majalah, surat kabar, tv, radio, dan lain-lain. Namun
sejauhmana pengaruh tingkat kesejahteraan dan pendapatan terhadap variasi bahasa kiranya perlu
diadakan penelitian. Perbedaan tingkat pendidikan juga akan menghasilkan variasi bahasa. Orang
yang berpendidikan tinggi berbeda variasi bahasa yang digunakan dengan orang yang berpendidikan
rendah apalagi orang tersebut tidak berpendidikan (pendidikan akademik). Perbedaan ini terutama
terlihat pada penggunaan struktur dan pilihan kosa kata yang digunakannya pada waktu berinteraksi.

Dari penelitian ini, bahwa dalam pengucapan dan kosa kata, Bahasa memiliki banyak variasi, hal
tersebut tergantung pada tempat dan lingkungan. Setiap kelompok, seperti guru, karyawan dan
pedagang memiliki variasi Bahasa masing-masing, hal tersebut menunjukkan babhwa tingkat
Pendidikan seseorang dapat mempengaruhi Bahasa dan ucapannya.

5. Pengaruh Dinamika Kelompok Sosial Terhadap Angka Kejadian Dan Penyembuhan


Penyakit Tuberkulosis Paru di Wilayah Puskesmas Mojoroto

Penulis: Pardjono, Puguh Santoso, Dyah Ika Krisnawati, Erna Susilowati, Elfi Quyumi, Novita
Setyowti

Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat
global, regional, nasional, maupun lokal. Tuberkulosis menyebabkan 5000 kematian per hari, atau
hampir 2 juta kematian per tahun di seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan malaria secara bersama-sama
merupakan penyebab 6 juta kematian setiap tahun.

Banyak cara untuk menurunkan peningkatan angka penderita TBC diantaranya dengan berprilaku
sehat, perlu adanya pembinaan dan pendampingan dengan memberikan pengetahuan dan praktik
tentang tata cara mencegah penularan penyakit TBC baik dalam keluarga maupun di masyarakat
berupa penyuluhan tentang perilaku sehat baik untuk penderita TBC maupun yang beresiko dan
demonstrasi tentang cara pencegahan penularan penyakit TBC tersebut. Salah Satu upaya tersebut
adalah dengan Dinamika Kelompok Sosial dimana dalam kegiatannya akan menghasilkan suatu itikad
untuk berbuat sesuatu. Kegiatannya meliputi Promkes tentang perilaku sehat pada penderita TBC,
pembuangan dahak penderita, mengajarkan batuk efetif, postural drainage, pembuatan larutan
desinfektan dan pemeriksaan BTA untuk mendeteksi angka kejadian TBC, dengan harapan akan
terjadi perbaikan dalam pola hidup pasien TBC dan keluarganya yang merupakan resiko tinggi
tertular sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kejadian dan meningkatkan angka
penyembuhan.

Berdasarkan analisis data dengan menggunakan McNemar-Bowker Test menunjukkan tidak ada
pengaruh yang signifikan dinamika kelompok terhadap angka kejadian tuberkulosis dan
penyembuhan penyakit tuberkulosis paru.

6. Penerapan Terapi Aktivitas Kelompok Sosial Pada Pasien Skizofrenia dengan Isolasi di
Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soerojo Magelang

Penulis: Mitha Nurul Falah dan Emilia Puspitasari, Universitas Widya Husada Semarang

Menarik diri adalah gangguan hubungan sosial dimana seseorang menemukan kesulitan
dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain (Afnuhazi, 2015). Gangguan jiwa isolasi
sosial menarik diri terdapat beberapa penatalaksanaan terapi yaitu terapi individu dan kelompok.

Terapi aktivitas kelompok sosial (TAKS) adalah terapi aktivitas kelompok dengan aktivitas
belajar tahapan komunikasi dengan orang lain untuk meningkatkan kemampuan dalam berhubungan
sosial (Keliat, 2012). Terapi ini berupaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan
masalah hubungan sosial, memberikan pelatihan serta ketrampilan pasien dalam berinteraksi dengan
orang lain melalui aktifitas berkelompok.

Hasil dari penelitian ini bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari terapi aktivitas kelompok sosial
kepada Pasien Skizofrenia dengan Isolasi di Rumah Sakit Jiwa Prof Dr Soerojo Magelang, dari data
yang di dapatkan bahwa terdapat penurunan pasien isolasi dari sebelum dan sesudah terapi aktivitas
kelompok. Sebelum dilakukan terapi aktivitas kelompok pasien berjumlah 51 dan setelah terapi
mengalami penurunan menjadi 10 orang.

7. Peran Kelompok Sosial dalam Penguatan Ketahanan Pangan

Penulis: Mochamad Syawie

Ketahanan sosial masyarakat adalah suatu kemampuan komunitas dalam mengatasi resiko
akibat perubahan sosial, ekonomi dan politik yang mengelilinginya.

Kelompok Kesenian Tradisional, kelompok ini meningkatkan kemajuan kelompok seni tradisional
lokal yang relatif memiliki potensi. Potensi tersebut diantaranya adalah munculnya trust diantara
sesama anggota, sehingga memungkinkan mereka berinteraksi secara baik.
Kelompok P2WKSS dan munculnya Kepercayaan Sebagai Penyangga Modal Sosial. kelompok ini
melakukan kegiatannya melalui usaha ekonomi produktif. Peningkatan perbaikan hidup secara terus
dan menjamin pula peranan wanita yang semakin meningkat.

Kelompok Karang Taruna. kegiatan yang bisa dilakukan antara lain mengadakan pendataan masalah
sosial, khususnya permasalahan di kalangan remaja atau pemuda di tingkat banjar (setingkat RT).

Kelompok PKK. kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini adalah penimbangan bayi setiap bulan
bersama dengan Posyandu pada tiap-tiap banjar, memberikan makanan tambahan yaitu kacang ijo dan
susu untuk anak-anak balita.

8. DINAMIKA KELOMPOK SOSIAL BUDAYA DI KOTA MAKASSAR: MEMUDARNYA


STRATIFIKASI SOSIAL BERBASIS KETURUNAN

Penulis: Rochmawati

Sistem stratifikasi sosial masyarakat Bugis-Makassar sejak dahulu telah memberikan


posisiyang istimewa dan kedudukan yang strategis terhadap kaum bangsawan sebagai elite jika
dibandingkan kelompok masyarakat lainnya dalam struktur sosial yang ada. Para bangsawan tersebut
menjadi pemimpin tertinggi dalam struktur politik atau struktur kekuasaan. Stratifikasi masyarakat
Bugis-Makassar dibagi berdasarkan kasta-kasta atau golongan-golongan dan kasta-kasta atau
golongan-golongan tersebut dianggap sebagai faktor penting yang menguasai sehingga dapat
mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan religius masyarakat Sulawesi Selatan.

Kelompok bangsawan yang sudah modern adalah mereka yang sudah mau membuka diri dengan
lingkungannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama di dalam kehidupan lingkungan pekerjaan. Hal
ini terjadi karena mereka pada umumnya memiliki pendidikan yang cukup tinggi dan mampu
menyekolahkan anak-anaknya keluar Sulawesi Selatan, seperti kota-kota besar di Pulau Jawa.

Di kota makassar terdapat kelompok sosial yaitu paguyuban. fungsi dari paguyuban seringkali beralih
menjadi kendaraan politik dalam pemilu ataupun pilkada. Oleh karena itu, peran dan keberadaan
paguyuban tersebut harus tetap dipertahankan, jangan sampai dipolitisasi untuk kepentingan
sekelompok orang yang memanfaatkan keberadaannya dan tidak bertanggungjawab. Walaupun
kegiatan-kegiatannya hanya bersifat temporer, keutuhan paguyubanpaguyuban tersebut tetap
diperlukan untuk mempertahankan solidaritas sosial masyarakat setempat. Lebih lanjut, keberadaan
paguyuban harus difikirkan untuk kepentingan keutuhan masyarakat dalam jangka panjang, bukan
hanya sekadar untuk kepentingan politik yang bersifat sesaat.

Anda mungkin juga menyukai