Anda di halaman 1dari 46

Keluarga dan Pendidikan Moral

Joko Wahyono ; Pemerhati Sosial dan Masyarakat


di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SUARA KARYA, 08 Agustus 2012

Sampai hari ini, pendidikan masih dipercaya sebagai medium strategis untuk
mengenalkan diri dan menanamkan nilai-nilai moral kemanusiaan kepada anak.
Namun, tak dapat disangkal, beragam masalah yang saling berkaitkelindan satu
sama lain masih mendera di lembaga-lembaga pendidikan kita. Pada
kenyataannya, lembaga pendidikan kurang memfasilitasi anak dalam melatih diri
untuk berbuat sesuatu sesuai nilai-nilai moral.

Implikasinya, proses pendewasaan diri bagi anak tidak berlangsung secara baik,
semultan dan berkesinambungan. Tak jarang, proses tersebut justru
membelenggu dan memangkas perkembangan kepribadian anak. Sinyal ini telah
didengungkan oleh Azyumardi Azra (2002) bahwa lembaga pendidikan telah
gagal dalam membentuk anak bangsa hingga memiliki akhlak, moral dan budi
pekerti.

Faktanya jelas banyak anak bangsa mengalami demoralisasi perilaku. Nilai-nilai


moral kemanusiaan dialpakan dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Tidak
mengherankan, jika kenakalan anak/remaja, pergaulan bebas, ketidakjujuran,
rendahnya belas kasih dan solidaritas, hilangnya budaya sopan santun dan rasa
hormat, makin marak terjadi. Di luar sekolah, banyak anak usia sekolah terlibat
kasus kekerasan, kerusuhan, tawuran antar-pelajar, kriminalitas dan aksi-aksi
anarkis lainnya.

Tak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Rahmad H (2010)
bahwa 67,9 persen pelajar SMA terlibat aksi kekerasan. Dari 100 remaja usia
sekolah, 8 di antaranya menggunakan narkoba dan obat-obat terlarang.
Sedangkan 32 persen remaja usia 14-18 tahun di tiga kota besar di Indonesia
sudah terlibat hubungan seks di luar nikah.

Kenyataan ini mengindikasikan bahwa lembaga pendidikan belum berhasil


mewujudkan cita-cita idealnya. Beberapa hal yang menjadi pemicu kegagalan
lembaga pendidikan adalah beban kurikulum terlalu berat dan lebih banyak
diorientasikan pada pengembangan ranah kognitif (kepekaan intelektual).

Padahal, untuk menjadi manusia seutuhnya sesuai tujuan pendidikan adalah


terintegrasinya nilai-nilai moral yang termanifestasi ke dalam kepekaan
intelektualitas, emosionalitas dan spiritualitas kepribadian anak. Selain itu,
model pembelajaran yang berjalan sampai hari ini lebih mengutamakan alih
pengetahuan moral (transfer of moral knowledge).

Dengan paradigma ini, pendidik lebih menekankan pada penguasaan materi


dalam kurikulum dan lebih mementingkan daya serap atau hafalan (memorisasi)
dari anak. Praktik ini tergambar jelas dalam model soal ujian atau test-test
tertentu. Akibat jangka panjang yang tidak dirasakan secara langsung adalah
bahwa pendidikan moral dan akhlak terlalu banyak berorientasi pada
intelektualisme etis. Padahal, paradigma pembelajaran moral (humanities)
semestinya tidaklah seperti pembelajaran sains (natural sciences) yang memang
memerlukan ketajaman analisis intelektual. Paradigma pembelajaran moral
menghendaki adanya pola-pola internalisasi nilai melalui pembiasaan dan
keteladanan.

Pada saat yang sama, anak kerap dihadapkan pada nilai-nilai yang sering
bertentangan antara sikap dan perilaku guru dengan apa yang dipikirkannya.
Sehingga, anak akan mengalami kesulitan dalam mencari sosok keteladanan. Di
sinilah akar kegagalan sistem pendidikan tersebut, sehingga output yang
dihasilkan miskin moralitas. Nilai-nilai kemanusiaan terkubur dalam hafalan dan
tak terejawantahkan menjadi perilaku anak di lingkungan sosialnya. Menjadi
problem serius ketika sekolah sudah tidak lagi mampu melahirkan tunas-tunas
muda yang bermoral dan berperilaku sesuai nilai-nilai luhur kamanusiaan.

Peran Keluarga

Kini kahadiran keluarga sangat dibutuhkan. Ketika lembaga pendidikan tidak lagi
kondusif bagi penanaman nilai-nilai moral bagi anak, maka keluarga harus cepatcepat mengambil peran. Derasnya arus demoralisasi akibat gerak dinamika
sosial budaya, teknologi komunikasi dan informasi membawa ekses yang luar
biasa bagi anak. Oleh karena itu, keluarga adalah agen untuk mencipakan
kondisi yang ramah bagi penanaman nilai-nilai moral, kebiasaan dan perilaku
anak dalam kehidupan pribadi maupun sosial masyarakat. Anak harus
diposisikan sebagai subjek utama pendidikan dalam keluarga.

Kegiatan pembelajaran dalam keluarga harus dimulai dari apa yang telah
diketahui oleh anak. Di sini, orangtua berperan sebagai fasilitator dalam proses
penanaman nilai-nilai moral kemanusiaan melalui interaksi dengan anak dalam

kehidupan sehari-hari. Peran orangtua hanya sebagai perancang dan pengelola,


sehingga tidak boleh melakukan indoktrinasi terhadap anak. Sebagai fasilitator,
orangtua dalam keluarga harus memiliki pribadi yang berkarakter dan mampu
memberikan keteladanan. Di sinilah orangtua berperan sebagai teladan dalam
memberikan contoh yang baik bagi anak. Keteladanan harus dipelihara dengan
menjaga komitmennya untuk selalu bersikap dan berperilaku serta mewujudkan
nilai-nilai moral dalam kehidupan keluarga.

Orangtua juga harus mencegah berlakunya nilai-nilai buruk. Tak kalah penting
adalah pemberian perhatian dan penghargaan ketika anak melakukan kebaikan.
Semua ini harus menjadi pola dan kebiasaan berperilaku dalam keluarga yang
dilakukan secara konsisten dan terus-menerus. Upaya ini diharapkan membentuk
kepribadian anak yang bermoral, sehingga mampu menjalankan perbuatan
utama.

Pribadi yang bermoral adalah pribadi yang memiliki kemampuan untuk


mengelola hidupnya sesuai dengan nilai-nilai moral kemanusiaan. Nilai-nilai
tersebut menjadi standar kualitas kebaikan, kebajikan dan moral yang mendasari
perilaku, pengambilan keputusan dan kepedulian anak. Akhirnya, nilai-nilai moral
kemanusiaan menjadi living values dalam kehidupan dan perilaku anak seharihari.

Keluarga, Sumber Utama Pemberi Dukungan


Agustine Dwiputri ; Penulis kolom Konsultasi Psikologi Kompas
KOMPAS, 25 Mei 2014

Dalam tulisan sebelum ini, saya mengulas mengenai pentingnya dukungan sosial
bagi para penyintas (korban) peristiwa mencekam, seperti kekerasan seksual,
ataupun untuk menghadapi stres. Raymond B Flannery Jr menyebutkan bahwa
sumber daya paling potensial bagi setiap penyintas yang mengalami musibah
adalah keluarganya sendiri. Tentunya yang dimaksud adalah keluarga yang
sehat. Seperti apa dan bagaimana keluarga sehat yang dapat menjadi pemberi
dukungan positif akan dibahas berikut ini.

Keluarga yang sehat adalah yang kohesif dan apabila ada suatu masalah yang
menimpa salah satu anggotanya, anggota keluarga lain mampu menyelesaikan

masalahnya dengan tepat. Keluarga dapat membantu penyintas membangun


kembali berbagai perasaan untuk menguasai dirinya, dapat membantu
memerangi perasaan yang menyakitkan, serta mengetahui jalan terbaik untuk
pemulihannya. Mereka akan menggalang dukungan bagi penyintas dalam
mencari solusi konstruktif.

Keluarga memang tak dapat membantu jika mereka tidak tahu apa yang dialami
penyintas. Meski demikian, keluarga yang mampu memberikan dukungan sosial
akan bersabar untuk menunggu kesiapan penyintas membuka diri dan
menceritakan hal-hal yang dialami dan dirasakan. Penyintas yakin bahwa
anggota keluarga lain akan dapat mendengarkan dan memahaminya.

Memang sangat dapat dimengerti dan merupakan sesuatu yang wajar bila
anggota keluarga merasa marah, kecewa, jijik, sedih, tertekan, ataupun dendam
atas peristiwa yang disampaikan penyintas. Namun, anggota keluarga yang bijak
dapat menahan diri dari reaksi negatif yang justru membuat penyintas makin
takut dan merasa bersalah. Contoh reaksi negatif adalah menyalahkan penyintas
dengan menyampaikan bahwa penyintas selama ini masih kurang beribadah
atau bersedekah, atau memberi banyak nasihat pada saat penyintas baru
berbagi rahasia. Ada banyak tindakan anggota keluarga yang justru
menghasilkan komunikasi yang buruk antaranggota keluarga.

Berbagai perasaan yang disampaikan kepada keluarga benar-benar dapat lebih


membantu penyintas untuk memahami pengalamannya sendiri mengenai
peristiwa yang dialami. Dalam hal apa pun, perasaan kuat akan berkurang, tetapi
energi yang telah dikeluarkan akan memobilisasi keluarga untuk menemukan
solusi yang membantu kebutuhan penyintas.

Pendukungan

Bagaimana keluarga menjadi pendukung anda sebagai penyintas?


Flannery, Jr (1992) menguraikannya sebagai berikut:

1. Para anggota keluarga perlu terampil dalam membantu anda mengungkapkan


rasa sakit yang telah terjadi. Mereka akan tahu bahwa ada sesuatu yang tidak
benar dan dengan kepedulian yang suportif mereka dapat membuat anda lebih
mudah berbagi tentang hal-hal yang telah terjadi. Apabila anda telah mampu

mengungkapkan peristiwanya, keluarga dapat membantu dengan beberapa cara


mendasar lainnya.

Mereka dapat memastikan bahwa setiap orang sekarang aman. Mereka dapat
mendorong anda untuk mengungkapkan secara lebih lengkap berbagai pikiran
dan perasaan anda tentang apa yang telah terjadi. Mereka dapat menghibur dan
mendukung anda dan mereka dapat memastikan bahwa anda menerima
perawatan medis yang mungkin diperlukan. Mereka juga dapat membantu anda
menghindari penarikan diri dari keluarga, menjaga anda dari asumsi bahwa anda
tak berdaya serta membantu menghindari berbagai perilaku adiktif sebagai
metode mengobati diri sendiri.

2. Keluarga yang bijaksana akan berupaya membantu anda tetap tenang di


tengah krisis dengan cara mendorong anda untuk pergi berjalan-jalan,
melakukan latihan aerobik, dan/atau menggunakan teknik relaksasi untuk
meredam berbagai ketegangan fisiologis. Banyak keluarga yang melakukan hal
ini ternyata membantu semua pihak tetap tenang dan juga dapat memberikan
rasa pertemanan kepada penyintas.

3. Keluarga dapat membantu anda mengembalikan beberapa rasa penguasaan


dan pengendalian diri. Mereka bisa melibatkan anda dalam pemulihan anda
sendiri secara segera, anda dan mereka dapat menggunakan informasi yang
telah diperoleh untuk mengembangkan rencana pemulihan.

Rencana ini mungkin termasuk konseling, bantuan hukum, ataupun langkahlangkah lainnya, seperti: siapa yang akan menemani anda pergi ke dokter? Siapa
yang akan memberi tahu atasan anda bahwa anda akan cuti untuk beberapa
hari? Selain itu, keluarga bisa sangat membantu anda jika mereka berlatih
bagaimana melakukan kendali atas setiap ledakan agresif yang mungkin anda
lakukan. Ada keseimbangan yang membantu antara mendukung pemulihan anda
dan menetapkan batas pada perilaku anda yang berpotensi berbahaya bagi anda
atau bagi anggota keluarga lainnya.

4. Anda akan membutuhkan kedekatan yang peduli selama masa sulit ini dan
anggota keluarga anda adalah sosok yang ahli dalam mengetahui kebutuhan
anda. Keluarga dapat memberikan persahabatan, dukungan emosional, dan
bantuan instrumental. Anda perlu mendengar bahwa anda aman, bahwa
tindakan kekerasan itu bukan kesalahan anda, bahwa anda tidak berdosa secara
permanen, dan bahwa anda tetap dicintai. Keluarga anda bisa sangat membantu
anda dengan berulang kali mengingatkan anda tentang hal-hal ini.

5. Keluarga anda dapat memulai proses membantu anda untuk menemukan


beberapa tujuan baru dalam hidup. Mereka dapat membantu anda merefleksikan
apa yang telah terjadi, mengapa anda berespons seperti yang anda lakukan,
bagaimana peristiwa-peristiwa semacam itu dapat diletakkan di belakang anda
sehingga tidak terus terbayang, dan apa yang bisa dilakukan secara berbeda
pada waktu berikutnya sehingga peristiwa buruk seperti yang lalu tidak terjadi
lagi.

Dengan demikian, tepatlah pandangan yang mengatakan bahwa keluarga adalah


tempat yang dapat membuat anda tersenyum dan mencintai anda apa pun yang
terjadi.

Ironi Kekerasan Seksual pada Anak


Rita Pranawati ; Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)
KORAN SINDO, 20 Mei 2014

DUA bulan terakhir ini tema pelecehan seksual terhadap anak terus mengemuka.
Topik ini menjadi perbincangan menarik di media massa, baik nasional maupun
lokal. Sebab, belum tuntas kasus pedofil yang melibatkan satu anak TK/PAUD
Jakarta International School (JIS) sebagai korbannya (dan ada indikasi korban
lebih dari satu), kini publik kembali terperangah akibat ulah bejat Andri Sobari,
alias Emon, remaja asal Sukabumi yang melakukan sodomi terhadap lebih dari
100 anak.

Kasus pelecehan seksual terhadap anak sejatinya bukan berita yang benar-benar
baru, melainkan setiap tahun terjadi. Kasus Robot Gedek pada tahun 1995 yang
telah melakukan kejahatan seksual kepada 12 anak dan memutilasi korbannya
membuktikan bahwa kasus seperti ini sudah lama terjadi. Sayangnya, problem
tersebut selama ini masih minim publikasi, perhatian, serta upaya pencegahan
dari banyak pihak, tak terkecuali dari elemen pemerintah.

Hingga kini pun tema-tema mengenai perlindungan anak masih menjadi opini
yang tersubordinasi dibanding kisruh politik dan pemberitaan korupsi yang tak
produktif. Nomenklatur perlindungan anak yang telah hadir melalui undangundang pada tahun 2002, baru muncul pada kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2
dengan nama Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Bisa kita bayangkan di daerah, isu perlindungan anak masih belum mendapat
tempat.

Padahal, aksi penyelewengan seksual terhadap anak-anak trennya mengalami


peningkatan setiap tahun. Menurut data pengaduan Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), total kasus pelecahan seksual terhadap anak pada 2011
mencapai 329, tahun 2012 naik menjadi 746 kasus, dan 525 kasus pada 2013.
Sementara di tahun ini (hingga triwulan pertama), dari pengaduan ke KPAI dan
laporan media, kasus kekerasan seksual mencapai 459 kasus).

Hasil pantauan KPAI menemukan rata-rata 45 anak mengalami kekerasan


seksual setiap bulannya. Tentu saja, kondisi yang tidak berpihak pada anakanak
ini sangat menyayat hati, terutama bagi para orangtua.

Bukan hanya kekerasan seksual yang mereka alami, melainkan masa depan
mereka yang terenggut karena sakit psikologis. Ironisnya, dalam kondisi yang
demikian parah penegakan hukum kita belum bekerja secara optimal. Bahkan
para penyelenggara baru bersikap agresif ketika korban pelanggaran seksual
anak mendapat pemberitaan yang massif dari media massa.

Padahal, sejatinya anak-anak memiliki hak konstitusional mendapat


perlindungan dari kekerasan seksual. Hak perlindungan anak tertuang dalam UU
Nomor 23 Tahun 2002 pasal 4 Tentang Perlindungan Anak, yaitu setiap anak
berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.

Sementara dalam pasal 82 disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja


melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana paling lama 15
tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan
paling sedikit Rp 60 juta.

Hukuman ini pun perlu direvisi mengingat kejahatan seksual terhadap anak
sangat membahayakan masa depan anak-anak sekaligus masa depan bangsa
ini. Berdasarkan norma itu, pemerintah dipandang berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap perlindungan anak dari kekerasan seksual.

Negara dituntut berperan aktif untuk mewujudkan kondisi sosial yang ramah
terhadap tumbuh kembang mereka. Sebab, anakanak masih memiliki masa
depan yang tidak mustahil di antara mereka akan memegang estafet
kepemimpinan bangsa di masa mendatang.

Di tengah hiruk-pikuk dinamika politik menjelang pemilihan presiden (Pilpres)


yang tinggal sebentar lagi (Juli 2014), diharapkan ada di antara partai politik
maupun capres-cawapres yang menjadikan tema perlindungan anak sebagai
salah satu visi dan misi mereka.

Sayangnya, harapan itu masih jauh panggang dari api karena elite politik
tampaknya lebih sibuk bicara koalisi dibanding mengedepankan berbagai
problem yang akan mengemuka lima tahun mendatang. Bahkan, nyaris tidak
ditemukan para calon anggota legislatif di pileg kemarin yang menempatkan
problem perlindungan anak sebagai visi perjuangan.

Padahal aksi kekerasan seksual, tindakan asusila, dan penjualan anak terus
memekatkan langit bumi pertiwi. Setiap sudut ruang publik, mulai dari sekolah,
bus kota, angkutan umum, tempat pariwisata, hingga di lingkungan desa
sekalipun dinilai tidak aman dari aksi predator anak.

Tak ayal, bila banyak pengamat pendidikan dan psikolog anak yang menyebut
situasi ini sebagai darurat kekerasan seksual pada anak. Bahkan informasi
terbaru menyebutkan, guru SD berinisial AM asal Samarinda diciduk polisi
setempat karena berbuat cabul terhadap 20 murid perempuannya.

Sungguh situasi elegis ini sangat tidak masuk akal, mestinya guru bisa menjadi
pengayom bagi muridmuridnya, bukan justru mematikan masa depan mereka.
Dalam kondisi seperti ini ada beberapa hal yang mesti dilakukan.

Pertama , untuk pemerintah tidak cukup bila darurat penyelewengan seksual


yang menempatkan anak-anak sebagai korbannya tersebut disikapi dengan rasa

prihatin saja. Dalam hal ini, pemerintah perlu bertindak tegas terhadap pelaku
pedofil anak, meski itu melibatkan sekolah internasional.

Pemerintah melalui kepolisian diharapkan bisa bekerjasama dengan berbagai


elemen sosial lain untuk membuka kasus secara transparan di depan hukum.
Apapun kasusnya jika itu melibatkan anak-anak sebagai korbannya, maka tidak
perlu ditutup-tutupi.

Dengan begitu setiap penyelewengan seksual anak bisa diselesaikan hingga ke


akar-akarnya. Kedua, bagi para guru. Dengan maraknya aksi predator anak di
berbagai sekolah, baik di Jakarta maupun daerah-daerah lain, para stakeholder
pendidikan perlu melakukan pengawasan secara lebih terhadap anak-anak,
dengan tanpa mengikat gerak mereka untuk bermain dan bersosialisasi dengan
teman-temannya.

Sementara ketiga, bagi kalangan pendidik dan orangtua berkewajiban memberi


bimbingan kepada anak-anaknya agar tidak suka berdiam diri, bersikap mudah
menerima pemberian orang, atau mengikuti kehendak orang lain yang belum
dikenal.

Mereka mesti dirangsang untuk selalu aktif dan mudah berkomunikasi dengan
lingkungannya. Akhirnya, dengan beberapa langkah kecil itu diharapkan
kekerasan seksual yang terjadi di kalangan anak-anak dapat diminimalisasi.

Selain memberi hukuman yang berat terhadap pelaku, para orang tua dan guru
juga dituntut untuk lebih aktif melihat perkembangan anak. Sebab,
terungkapnya beberapa kasus pelecehan seksual di beberapa daerah akhir-akhir
ini menunjukkan bahwa predator pedofil ada di sekeliling kita. Sungguh situasi
yang menyayat hati.

Anak dan Kekerasan Seksual


Hanny Muchtar ; Darta-EI Parenting Consultant,
PSYCH-K Practitioner, Vancouver, Kanada
KORAN SINDO, 17 Mei 2014

Kekerasan seksual terhadap anak-anak sering terjadi karena yang melakukan


juga adalah orang yang dekat dengan anak sehingga jarang sekali kejadian ini
dilaporkan karena adanya salah persepi bahwa hal ini dilakukan untuk menutupi
aib.

Data dari Komnas Perlindungan Anak di semester I tahun 2013 menunjukkan ada
1032 kekerasan anak di Indonesia dimana 52% atau 535 kasus adalah kekerasan
seksual, 28% kekerasan fisik dan 20% kekerasan psikis atau emosional.
Fenomena ini seperti gunung es, jumlah kekerasan anak yang sebenarnya jauh
lebih banyak dari yang dilaporkan. Kejadian yang menimpa seorang anak TK
yang mendapat kekerasan seksual di sekolah bertaraf internasional sangat
menyakitkan hati dan menggelorakan kemarahan semua orangtua.

Saya sangat kagum dan bersimpati kepada ibu sang anak yang berani untuk
melaporkan kejadian yang dialami anak pertamanya. Sang ibu mengatakan
anak saya adalah pahlawan, sang ibu pun adalah seorang pahlawan bagi
anaknya, dan pahlawan bagi anak-anak lain yang terhindar dari pelecehan
seksual sebagai dampak positif dari keberanian sang ibu melaporkan musibah
yang tak terkirakan besarnya.

Untuk menghindarkan keluarga dari hal serupa, maka ada beberapa hal yang
harus orang tua lakukan dan waspadai. Orang tua harus mempu membangun
kesehatan emosi anak. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama ,
bangun kedekatan emosional. Pastikan anak mendapatkan perhatian optimal
dari kedua orang tua. Dan anak merasa nyaman untuk berbicara apa saja tanpa
perasaan takut untuk dihakimi, disalahkan, diperbaiki, diabaikan dan dimarahi.
Kedua, dialog dan dua pilihan. Usahakan untuk selalu membuka dialog dengan
anak dan memberikan dua pilihan sehingga anak terbiasa membuat pilihan.

Ketiga, dukung penuh anak. Berikan anak anda dukungan penuh baik untuk
urusan sekolah maupun kegiatan di luar sekolah. Tunjukkan Anda mempunyai
minat atas kegiatan anak-anak dan Anda pun membina hubungan baik dengan
guru, counsellor, coach dan pengasuh anak-anak. Keempat, ajarkan anak
ekspresikan emosi negatif. Biasakan anak anda untuk mengekspresikan emosi
negatifnya kalau dia marah biarkan dia marah dengan cara yang benar, kalau
dia takut biarkan dia menyampaikan perasaan takutnya hindari melarangnya
dengan mengatakan Kamu anak laki, anak laki harus berani tidak boleh takut!

Kelima , sayangi anak secara total. Dengan memberikan anak Anda pelukan,
ciuman dan belaian yang hangat sehingga anak merasa diterima dan dicintai
apa adanya. Berikan pula pujian pada tempat dan waktu yang tepat dan secara
spesifik fokus pada usaha anak.

Selain itu anak harus diajarkan teknik melindungi diri (guideline prevention from
sexual abuse). Ketika anak berusia tiga tahun, anak sudah mulai bisa diajarkan
untuk menjaga diri dengan memberitahu bagian tubuh khusus atau pribadi yang
harus dilindungi dengan baik dan tidak boleh dipegang secara tidak senonoh
oleh orang lain. Berikut teknik yang bisa anda terapkan. Pertama, gunakan nama
yang sebenarnya untuk bagian tubuh. Orangtua jangan menyebut bagian tubuh
pribadi/private dengan istilah yang dibuat-buat misal, untuk anak laki burung
dan anak perempuan dompet. Karena hal ini hanya membuat anak merasa ada
sesuatu yang aneh atau memalukan tentang bagian tubuhnya. Kedua, ajarkan
anak untuk mengenal tiga jenis sentuhan, yaitu:sentuhan baik misal menepuk
pundak dan high five, sentuhan kasar misal memukul, menendang dan sentuhan
rahasia seperti memegang vagina, penis, payudara dan sebagainya atau diminta
untuk memegang, mencentuh bagian pribadi dari orang lain.

Ketiga, tidak ada rahasia dengan orang tua. Ajarkan pada anak bahwa apapun
boleh diceritakan kepada Anda dan artinya ini adalah bahwa tidak ada rahasia
antara anak-anak dan orang tua. Jika ada orang lain yang meminta anak untuk
merahasiakan sesuatu artinya orang tersebut bukan orang baik. Keempat,
menghargai dan melindungi diri. Adalah penting untuk mengajarkan anak untuk
menghargai orang yang lebih tua/guru dsb dan sekaligus ajarkan anak juga
untuk bisa mengatakan tidak dan teriak keras keras jika ada yang berusaha
menyentuh bagian pribadi dari tubuhnya.

Kelima, berikan pertanyaan dengan spesifik. Hindari pertanyaan yang membuat


anak anda menjawab dengan jawaban ya atau tidak. Ketika anak anda belum
mau menjawab hindari untuk memaksa.

Mengajarkan anak anda untuk tidak bicara dengan orang yang tidak dikenal atau
dalam bahasa English dont talk to stranger itu diperlukan. Namun hal ini tidak
cukup karena 90% pelaku kekerasan seksual pada anak adalah orang yang dekat
yang terdiri dari 30% adalah pihak keluarga dan 60% adalah orang yang dikenal
baik oleh anak dan hanya 10% adalah orang asing yang tidak dikenalnya.

Berikut adalah hal yang orangtua seharusnya orangtua lakukan. Pertama,


perikasa rekam jejak orang-orang yang akan berada dekat anak anda seperti

pengasuh/perawat, pembantu dan supir. Kedua, ketika anak bercerita kalau dia
menjadi favorit guru dan merasa disayang, anda harus waspada. Ketiga,
perhatikan jika ada pihak yang sudah dewasa tetapi senang berperilaku seperti
anak-anak dan meluangkan waktu lebih banyak dengan anak-anak daripada
dengan orang seusianya.

Keempat, ketahuilah bahwa kebanyakan pelaku kekerasan seksual pada anak


adalah laki-laki. Dimana korban bisa saja anak laki dan perempuan. Kebanyakan
pelaku kekerasan seksual ini juga mengalami kekerasan dimasa lalunya dan bisa
kekerasan fisik, emosional dan seksual. Kelima, ketika anak Anda menunjukkan
perubahan perilaku, misal seperti takut ke sekolah, atau mimpi buruk, sering
marah dan ketakutan dan tidak mau ditinggal sendiri, segera luangkan waktu
untuk lebih melakukan observasi.

Lakukan dialog dengan anak melalui pendekatan cerita tanpa memaksa dan
menakutnakuti. Luangkan waktu untuk menemaninya mandi dan melihat bagianbagian tubuh dan jika ada yang mencurigakan lebih baik Anda ajak untuk
pemeriksaan lebih jauh ke dokter anak dan jika terbukti anak Anda mengalami
korban kekerasan seksual, segeralah untuk melakukan konseling dengan ahlinya
supaya anak Anda terbebas dari trauma tersebut. Pelaku kekerasan seksual ada
di mana-mana dan kita sebagai orang tua tidak selalu bisa mengontrol anak
setiap saat. Yang bisa kita lakukan adalah mengedukasi anak supaya anak bisa
melakukan perlindungan diri dengan baik sehingga tidak menjadi korban. Dan
lebih baik kita mencurigai hal yang sepertinya tidak wajar dan salah false
positive dari pada merasa semuanya aman dan baik dan ternyata kita salah.

Melacak Akar Kekerasan Seksual terhadap Anak


Yulina Eva Rany ; Kandidat Doktor Bidang Ilmu Perkembangan Manusia dan
Ilmu Rehabilitasi Kesehatan di The University of Queensland, Australia
KORAN SINDO, 13 Mei 2014

Sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang kian
marak merupakan fenomena memilukan yang menghentak kesadaran sosial
akan pentingnya penciptaan kesehatan jiwa di lingkungan masyarakat.

Belum lekang dari ingatan kita kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh
petugas kebersihan sekolah dan guru terhadap murid Taman Kanak-Kanak (TK)
Jakarta International School (JIS) (15/4), masyarakat sudah dikagetkan kembali
oleh kasus kekerasan seksual lainnya yang melibatkan anak sebagai korban.
Sebut saja tindakan kekerasan seksual oleh Emon di Sukabumi (3/5) yang
mengorbankan lebih dari 100 anak di bawah umur dan kasus sodomi terhadap
lima anak di Pagaralam, Sumatera Selatan (6/5).

Meskipun alasan terjadinya tindak kekerasan seksual bervariasi, setidaknya


terdapat dua penyebab utama yang dapat memicu seseorang melakukan tindak
pelecehan seksual kepada anak di bawah umur dilihat dari sudut pandang teori
perkembangan manusia (human development). Faktor utama yang dipercaya
sebagai pemicu seseorang berperilaku seks menyimpang dengan melibatkan
anak sebagai korbannya adalah faktor trauma yang berkepanjangan.

Pengalaman anak mendapatkan kekerasan seksual di awal usia


perkembangannya, baik dari lingkungan keluarga maupun dari orang lain di
lingkungan tempat tinggalnya memiliki pengaruh yang signifikan dalam memicu
anak tersebut untuk melakukan hal serupa yang sebelumnya dialaminya ketika
ia beranjak dewasa. Efek trauma yang dialami anak sejak usia dini akibat
perlakuan tidak menyenangkan dapat memunculkan perilaku kekerasan dan
tindak amoral terhadap orang lain sebagai bentuk tindakan perlawanan jiwa
anak tersebut.

Efek trauma yang melekat di dalam jiwa sang anak tersebut sebagai akibat dari
ketidakmampuan anak dalam melakukan perlawanan terhadap pihak yang telah
melakukan tindakan kekerasan terhadapnya. Efek trauma yang tertanam pada
jiwa sang anak tersebut akan berkembang menjadi luapan emosi jiwa atau
bahkan dapat tumbuh menjadi penyakit psikologis saat anak tersebut
berkembang menjadi individu dewasa. Sebagai dampak adanya trauma tersebut,
penelitian menunjukkan bahwa 35% lakilaki pelaku kekerasan seksual terhadap
anak adalah mereka yang pernah mendapatkan kekerasan seksual di usia
kanakkanaknya (Lee, 2002).

Selain itu, beberapa ahli menyimpulkan bahwa individu yang pernah mengalami
kekerasan seksual di usia awal pertumbuhannya akan berkembang menjadi

dewasa dengan gangguan paedophilia (Dhawan & Marshall, 1996). Pada


umumnya luapan emosi jiwa sang anak korban kekerasan seksual akan
terekspresi ketika ia tumbuh menjadi individu dewasa. Ekspresi kemarahan yang
tecermin dari perilaku kekerasan serupa kepada anak di bawah umur merupakan
eksternalisasi luapan trauma yang tumbuh sejak usia kanak-kanak.

Anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual lebih berpotensi untuk
mengarahkan reaksi mereka secara eksternal ketika tumbuh menjadi individu
laki-laki dewasa. Berbeda halnya dengan korban kekerasan seksual anak
perempuan yang lebih memiliki kecenderungan untuk menginternalisasi
perasaan dan mengekspresikannya dalam perilaku merusak diri sendiri. Oleh
karena itu, pelaku tindakan pelecehan seksual terhadap anak pada umumnya
berjenis kelamin laki-laki.

Namun, tidak semua korban tindak kekerasan seksual pada usia dini
berkembang menjadi pelaku tindak kekerasan, faktor lingkungan keluarga dan
lingkungan sosial lainnya juga memerankan peran yang tidak kalah pentingnya
dalam mendorong tercetusnya tindakan kekerasan terhadap anak. Faktor
keluarga adalah faktor kunci lain yang bertanggung jawab akan lahirnya perilaku
kekerasan seksual terhadap anak. Lingkungan keluarga tempat individu
bersosialisasi dipercaya memegang peranan yang penting bagi individu dalam
melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap anak.

Minimnya kehangatan hubungan emosional antaranggota keluarga dapat


memicu seseorang mengalami gangguan orientasi seksual. Ketidakharmonisan
hubungan dengan pasangan merupakan salah satu pemantik untuk mencari
upaya alternatif dalam memuaskan kebutuhan biologis. Namun fatalnya, perilaku
seksual mereka dilakukan kepada anak di bawah umur dengan maksud untuk
menekan tingkat perlawanan saat aksi kekerasan seksual dilakukan. Selain itu,
ketidakharmonisan hubungan anggota keluarga tidak hanya terjadi pada
hubungan individu dengan pasangannya.

Lebih lanjut, teori kelekatan emosi (attachment theory) mengungkapkan bahwa


gangguan yang terjadi di dalam hubungan individu dengan orang tuanya pada
masa kanakkanak juga dapat menyebabkan gangguan kejiwaan pada saat
individu tersebut menginjak usia dewasa. Hubungan kelekatan emosi antara
orang tua dan anak yang tidak sehat sejak dini mendorong individu untuk
tumbuh dan berkembang dengan kondisi jiwa yang sakit.

Bowlby (1960) menjelaskan bahwa seorang anak yang berkembang pada kondisi
emosi yang tidak aman dan nyaman dalam hubungan emosionalnya dengan
orang tua sejak usia dini akan tumbuh menjadi individu yang sarat dengan
segala permasalahan yang berkaitan dengan gangguan psikologis. Hubungan
kelekatan emosi yang tidak aman salah satunya dapat disebabkan oleh
pengasuhan orang tua yang terbiasa menggunakan kekerasan baik verbal
maupun fisik kepada anak maupun pengasuhan yang bersifat mengacuhkan
anak.

Kondisi jiwa anak yang sering kali terluka tersebut akan mendorong proses
hilangnya rasa percaya anak terhadap orang terdekatnya akan kemampuan
mereka sebagai orang tua dalam menciptakan zona aman dan nyaman bagi
anak. Maka itu, anak tersebut akan berkembang menjadi individu dewasa
dengan beberapa masalah kepribadian yang mendorongnya untuk tidak segan
melakukan tindakan kekerasan kepada orang lain termasuk terhadap anak di
bawah umur sekalipun.

Penelitian yang dilakukan oleh psikolog Australia Jan Grant dan rekan-rekannya
pada 2008 mendukung teori yang diungkapkan oleh Bowlby sebelumnya. Grant
berhasil mengelompokkan karakteristik pelaku tindak kekerasan seksual
terhadap anak menjadi tiga golongan kriteria masalah kepribadian. Sebagian
besar pelaku tindak kekerasan (41%) biasanya memiliki kepribadian yang
antisosial. Kepribadian ini dicirikan dengan karakter yang sulit diatur, bersifat
melawan arus, sering berselisih dengan keluarga dan teman, dan memiliki
kecenderungan sifat yang impulsif.

Selain itu, 37% pelaku tindak kekerasan seksual pada anak memiliki kepribadian
yang labil, yaitu dicirikan dengan karakter yang mudah cemas, depresi, mudah
dipengaruhi, mudah berselisih, dan memiliki ketidaknyamanan seksual dalam
kesehariannya. Kriteria pelaku tindak kekerasan seksual lainnya memiliki
kepribadian yang narcissistic (22%). Tipe kepribadian ini dicirikan dengan sikap
yang suka mendramatisasi keadaan, egois, dan agresif.

Dengan demikian, selaiknya kita sebagai orang tua sangat diharapkan untuk
dapat menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak kita
untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat baik fisik
maupun mental. Seyogianya kita juga dapat menghindarkan anakanak kita dari
pengaruh negatif lingkungan sosial di sekitar dengan memberikan penjagaan
dan kontrol yang terukur kepada anak kita.

Selain itu, penerapan metode pengasuhan yang bersifat hangat, mengayomi,


dan menghindari penggunaan kekerasan baik fisik dan mental juga diharapkan
mampu untuk membentuk ikatan emosional yang sehat antara orang tua dan
anak yang dapat menciptakan karakter individu yang sehat secara emosional.
Harapannya, karakter individu yang memiliki jiwa sehat dapat terbentuk dan
berkembang di masyarakat, sehingga perilaku kekerasan yang melibatkan anak
dapat ditekan dalam level yang paling rendah dalam lingkungan sosial
masyarakat kita.

Hantu Kekerasan Seksual


Fathur Rokhman ; Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 12 Mei 2014

MASYARAKAT pendidikan punya musuh baru bernama kekerasan seksual. Bagai


hantu, musuh ini menebar ketakutan, ancaman, bahkan kengerian yang bisa
membuat bulu kuduk berdiri. Hantu kekerasan seksual tidak hanya
menyeramkan, tapi agresif. Hantu ini merebut sesuatu yang sangat berharga
pada anak-anak kita, yakni masa depan.

Belum tuntas pengusutan terhadap pelecehan seksual di Jakarta International


School (JIS), kasus serupa juga terdengar di berbagai daerah. Di Sukabumi
misalnya, Polda Jawa Barat telah menemukan kasus serupa yang dilakukan AS
alias Emon. Jika di JIS jumlah korban dapat dihitung jari, korban Emon ditaksir
lebih dari 100 orang. Bagai gunung es, kasus JIS dan Emon hanyalah puncak.

Bagi masyarakat pendidikan, kasus ini merupakan tamparan keras. Saat kita
sibuk merancang berbagai program pendidikan standar tinggi, ternyata anakanak kita justru terancam bahaya. Maka, siapa pun patut memberi perhatian
pada kasus semacam ini sebagai refleksi dan antisipasi. Tidak ada kewajiban lain
bagi kita selain menghentikannya.

Ada tiga perspektif mendasar yang membuat kekerasan seksual harus dihentikan
sekarang juga. Pertama; kekerasan seksual adalah pelecehan terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Pelaku telah menjatuhkan martabat diri dan korbannya. Pelaku
merampas kebebasan korban sebagai manusia merdeka. Pelaku juga menafikan
aturan-aturan moral yang berlaku di komunitas beradab.

Kedua; pelecehan seksual telah menjadi arena reproduksi kejahatan sejenis.


Terbukti, pelaku kekerasan seksual yang kini terungkap ternyata adalah korban
kejahatan serupa pada masa lalu. Kekerasan seksual membentuk rantai siklis
dari generasi ke generasi. Jika tidak dihentikan, rantai siklis terus membesar
dengan jumlah korban lebih banyak.

Komnas Perlindungan Anak (KPA) merilis, tiap tahun setidaknya 400 anak
menjadi korban kekerasan seks. Pelaku berasal dari berbagai latar belakang, baik
keluarga maupun orang asing. Berdasarkan catatan KPA, anak laki-laki lebih
berisiko jadi korban karena mudah dibujuk pelaku. Jika dipetakan, daerah tujuan
wisata seperti Bali, NTB, dan Sumatara Utara adalah daerah paling rawan.

Ketiga; kekerasan seksual berakibat sangat koersif bagi perkembangan


psikologis dan sosial korban. Para korban mengalami perubahan sikap sangat
mendadak. Lazimnya, mereka menutup diri dan mempersepsi bahwa dirinya
tidak berguna. Perasaan ini terus terakumulasi karena mereka tidak berani
menceritakan musibah yang dialaminya.

Pendekatan Kultural

Pendekatan hukum sebagaimana kini ditempuh polisi tentu harus tetap


dijalankan. Namun, pendekatan kultural tak boleh ditinggalkan untuk
mendekonstruksi pemahaman yang keliru tentang seks dan seksualitas. Adapun
pendekatan pendidikan ditempuh agar guru dan pendidik kembali pada spirit
mendasar pendidikan, yaitu asah, asih, dan asuh.

Meski pendekatan ilmiah telah banyak disodorkan, cara masyarakat


mempersepsi seks masih dominan dipengaruhi pandangan lama. Seks masih jadi
tema yang tak populer diperbincangkan. Seks dianggap tema domestik yang tak
layak disodorkan ke publik. Oleh karena itu, persoalan-persoalan seks dinilai tak
patut diungkap.

Berbagai kejadian kekerasan seksual membuat hati miris. Ternyata, anak-anak


yang telah kita lindungi dengan sekuat tenaga, tetap saja tidak aman. Padahal,
orang tua telah memberi proteksi sebisa mungkin. Bagi kalangan tertentu,
proteksi itu bahkan diberikan dengan porsi berlebihan, misalnya antar jemput
sekolah, larangan bermain di lingkungan tertentu, dan lain sebagainya.

Maka, patutlah kalau kini kita koreksi hubungan kita dengan anak-anak. Apakah
benar, perlindungan semacam itu yang mereka perlukan? Atau, jangan-jangan,
perlindungan yang sebenarnya adalah kasih sayang? Ki Hadjar Dewantara
menawarkan tiga bentuk kasih sayang bagi orang tua dan pendidik, yakni asah,
asih, dan asuh. Meski itu konsep klasik, substansinya tak lekang waktu.

Dalam pengertian sederhana, asah berarti mendidik, mengajari, dan


mencerdaskan. Anak-anak adalah anggota baru masyarakat. Orang tua perlu
mengenalkan aturan main bermasyarakat agar mereka bisa memainkan peran
sosialnya. Maka, sejumlah kecakapan perlu diajarkan. Kecakapan bertahan hidup
(survive), kecakapan berkomunikasi, juga kecakapan bekerja sama.

Asih adalah perwujudan rasa mencintai orang tua. Hubungan anak dengan orang
tua (termasuk guru) bukan hubungan sosial belaka. Keduanya ditautkan rasa
cinta. Sebagai gejala psikologis perasaan cinta sangat unik dan kerap sulit
dideskripsikan. Namun perasaan demikian dapat dirasakan oleh orang tua mana
pun. Rasa asih inilah yang kerap tersublim menjadi energi tiada habis bagi orang
tua untuk melindungi dan membahagiakan anak.

Asuh berarti membina. Tiap-tiap orang tua adalah konselor dan psikolog bagi
anak. Orang tua memahami kehendak anak dan memfasilitasi anak meraih
kebahagiaan tertinggi. Sebagaimana tugas konselor, orang tua tidak
memberikan ikan, tetapi pancing. Dengan begitu, anak-anak memiliki
keleluasaan secara memadai untuk memutuskan sesuatu.

Meski di dunia pendidikan modern saat ini konsep pedagogis bertebaran, tiga
prinsip Ki Hadjar Dewantara tetap merupakan prinsip lengkap. Semoga kita bisa
mengamalkannya, demi anak-anak kita tercinta.

Jaga Indra Baik-Baik!


Titik Firawati ; Staf pengajar pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM,
Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM
MEDIA INDONESIA, 12 Mei 2014

MENJAGA indra baik-baik dapat menyelamatkan masa depan anak. Karena anak
yang sebagian besar hidupnya masih bergantung pada orang dewasa, dia
beserta pancaindra atau organ tubuhnya harus betul-betul dijaga. Silap sedikit
akan mempertaruhkan masa depan anak seperti cerita-cerita (rekaan berbasis
fakta) di bawah ini.

Indra yang berumur 5 tahun hampir setiap malam bermimpi buruk. Tidak hanya
itu, kadangkadang ia takut atau temperamental tanpa alasan yang jelas.
Perilakunya berubah drastis dari Indra yang tadinya periang meski pemalu
menjadi Indra penakut dan emosional.

Di kesempatan yang berbeda, Indra yang lain ditangkap polisi karena terbukti
melakukan pelecehan seksual kepada seorang anak laki-laki 8 tahun. Di penjara,
ia yang masih relatif muda (27 tahun) menemui ajalnya setelah melakukan
bunuh diri. Indra, kebetulan namanya sama, seorang kakek berusia 66 tahun
merasa sangat terganggu setiap kali ditanya teman dan tetangganya mengapa
tidak menikah. Pertanyaan ini memaksa dia menarik diri dari pergaulan sosial.

Di tempat lain, ada seorang Indra menjadi aktivis di bidang perlindungan anak.
Dia tidak pernah absen menyuarakan betapa pentingnya hak-hak anak dijamin
dan dilindungi negara. Perjuangannya yang tak kenal lelah membuatnya
diundang PBB untuk menyampaikan pidatonya dalam rangka Hari Anak Sedunia.
Usia Indra baru 21 tahun.

Indra dengan cerita nasib yang berbeda-beda dalam satu momen kehidupan
mereka dipicu satu pengalaman traumatis yang sama, yaitu pernah mengalami
pelecehan seksual di sekolah. Sekolah yang dipercayai banyak orang sebagai
tempat yang aman dan menyenangkan untuk belajar dan bermain bisa berubah
menjadi tempat yang berbahaya bagi anak-anak. Predator seks mengintai
mereka setiap saat, tidak terkecuali di sekolah.

Definisi dan ciri-ciri

Menurut Working Together to Safeguard Children (panduan bagi pekerja sosial


yang diterbitkan Departemen Pendidikan Pemerintah Inggris pada Maret 2013),
pelecehan seksual artinya memaksa atau membujuk anak-anak untuk
berpartisipasi dalam aktivitas seksual, baik sadar maupun tidak sadar, baik

melibatkan kontak fisik (penetrasi seperti pemerkosaan atau seks oral dan
nonpenetrasi seperti masturbasi, mencium, atau meraba) maupun nonkontak
fisik (mengajak anakanak melihat, atau memproduksi, gambar-gambar seksual,
menonton aktivitas seksual, memotivasi anak-anak untuk berperilaku seks
menyimpang, atau menyiapkan anak untuk dilecehkan (termasuk melalui
internet)). Pelakunya bisa saja laki-laki atau perempuan, baik orang dewasa
maupun anak-anak.

Mengutip National Society for the Prevention of Cruelty to Children/NSPCC


(sekumpulan masyarakat peduli anak di Inggris yang didirikan abad ke-19), anak
yang mengalami pelecehan seksual memiliki ciri-ciri antara lain sakit, gatal,
lebam, atau berdarah di daerah alat kelamin dan anus, menderita penyakit
menular karena aktivitas seksual, ke luar cairan dari alat kelamin berulang
kali/infeksi saluran kencing tanpa sebab yang jelas, sakit perut/tidak nyaman
ketika anak jalan atau duduk, dan perilaku berubah secara mendadak/perubahan
perilaku yang tidak dapat dijelaskan.

Dampak buruk

Dari kisah Indra di atas, pelecehan seksual terhadap anak sudah barang tentu
memberikan dampak negatif meski ia mungkin berhasil bangkit dan memiliki
pribadi gigih memperjuangkan kebaikan. Dampak negatif yang dimaksud
cenderung menyerang psikis yang kemudian menimbulkan efek berantai
terhadap persoalan lain. Korban pelecehan biasanya menjadi fobia, emosional,
malu, mengalami krisis kepercayaan terhadap orang dewasa, dan rendah diri
atau kikuk terutama ketika berkomunikasi dengan lawan jenis.

Dampak psikologis menunjukkan dampak yang tidak terlihat, tapi bisa dirasakan
dan karena itu justru berbahaya. Jika tidak ditangani sesegera mungkin dan
setepat-tepatnya, dampak tersebut perlahan-lahan dapat menggerogoti
keutuhan jiwa dan raga anak.

Misalnya, rasa takut akibat intimidasi pelaku agar tidak buka mulut juga
memberikan efek berantai yang menggoyahkan kepercayaan diri dan
konsentrasi belajar korban sehingga memengaruhi prestasi akademik di sekolah.

Di kala dewasa, tak jarang efek berantai ditunjukkan korban dengan berperilaku
agresif dan melakukan kekerasan seksual terhadap pasangannya. Bahkan, dalam
beberapa kesempatan, dia bisa menjadi pelaku pelecehan berikutnya. Lalu

dampak buruk yang paling tragis adalah kematian. Biasanya korban yang tidak
sanggup menanggung beban penderitaan batiniah akan melakukan bunuh diri.

Penanganan

Apa yang dapat dilakukan pihak sekolah untuk mencegah atau mengintervensi
isu pelecehan seksual? Ada banyak langkah yang bisa diambil dan berdasarkan
sejumlah sumber bacaan yang penulis gunakan, beberapa di antaranya,
pertama, di level individu, anak-anak sejak usia dini perlu dibekali dengan
pemahaman mengenai apa saja dan apa fungsi organ tubuh manusia, termasuk
alat vital, dan apa konsekuensi apabila fungsi alat vital disalahgunakan.
Pemahaman semacam ini dapat memperkaya pengetahuan dan menumbuhkan
sensitivitas pada diri anak bahwa mereka harus melindungi organ tubuh sendiri
dan orang lain dengan sebaik-baiknya.

Pendidikan seks saja tidak cukup. Sebagai antisipasi, anak perlu dibekali
keterampilan menimbang risiko apakah per hatian/sentuhan orang lain dapat
dikategorikan berbahaya atau tidak dengan cara, antara lain, mengingatkan
mereka supaya selalu bertanggung jawab sepenuhnya atas tubuh mereka,
membedakan mana sentuhan aman dan mana yang tidak, menerapkan strategi
`No! Go! Tell!' (tegas bilang tidak pada sentuhan fisik yang tidak dikehendaki, lari
dari tempat yang berbahaya, dan beri tahu guru/orang dewasa apa yang sudah
terjadi secepat mungkin), dan ajari untuk membedakan apa yang termasuk good
secret dan bad secret (sesuatu yang membuat anak gelisah, takut, stres, dan
emosi negatif lainnya sehingga membuat dia bungkam dan biasanya perilaku ini
disukai pelaku).

Kedua, di level sekolah, pendekatan manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS)


dapat menjadi alternatif dalam mencegah atau menangani persoalan pelecehan
seksual. Pendekatan MKBS ditopang lima pilar utama dan kelimanya saling
memperkuat: budaya sekolah yang damai, kelas yang damai, kurikulum yang
damai, mediasi sejawat, dan partisipasi masyarakat. Karena keterbatasan
tempat, penulis akan mengambil tiga pilar dan menguraikan masing-masing
secara ringkas.

Pilar budaya sekolah yang damai mengacu pada pembiasaan berpikir,


berperasaan, dan beraktivitas yang mendukung perdamaian. Warga sekolah
menyepakati apa saja norma perdamaian dan secara konsisten menerapkannya
bersama-sama, termasuk orang luar yang masuk ke lingkungan sekolah. Contoh
budaya damai ialah membuat slogan di tempat-tempat strategis seperti

`Hormati hak anak!', membuat sanksi edukatif bagi pelanggar, dan anak
berpartisipasi sebagai duta perdamaian yang mengampanyekan antipelecehan
anak.

Pilar kelas yang damai bersumber dari proses interaksi antarwarga kelas yang
diwarnai dengan keterbukaan, saling menghormati, kesetaraan, empati, kerja
sama (daripada kompetisi), dan nilai-nilai positif lainnya. Interaksi yang demikian
itu bergantung pada peran guru. Nilai keterbukaan, misalnya, tergambarkan dari
cara guru dan murid/murid dan murid berkomunikasi di kelas, termasuk
membicarakan masalah seks. Kelas yang damai membutuhkan guru yang
berpikiran terbuka, kreatif dengan berbagai macam metode meng ajar, dan
mengajar dengan tulus demi pendidikan (bukan demi uang, sertifikat, jabatan,
nama baik sekolah). Tidak ada orang lain di sekolah yang lebih tahu sekaligus
dekat dengan anak didiknya kecuali guru.

Pilar partisipasi masyarakat merujuk pada dukungan pihak-pihak di luar sekolah


dalam rangka menuju sekolah damai. Partisipasi masyarakat di sini juga
melibatkan keluarga. Masyarakat dan sekolah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan satu dengan yang lainnya. Banyak hal kreatif yang bisa diusahakan
masyarakat. Salah satunya dengan melakukan kampanye antipelecehan anak.

Sejak insiden pelecehan di Jakarta International School, ada dua petisi dari ibuibu melalui Change.org (wadah petisi daring global) yang penulis ikuti. Yang satu
menghendaki revisi UU No 23 Tahun 2002 yang menghukum pelaku 5-15 tahun
agar diperberat minimal 25 tahun dan maksimal penjara seumur hidup dan
kemudian disusul dengan aksi bersama Pasukan Jarik. Yang satu lagi meminta
pemerintah membuat `daftar nasional predator seksual' yang bisa diakses siapa
saja.

Akhirnya, kata indra di atas merupakan personifikasi dari nasib setiap anak
Indonesia dan ia juga berarti menunjuk pada pancaindra atau organ tubuh yang
melekat kepada kita semua, terutama anak-anak. Pancaindra yang terekspos
sekali atau berulang kali pada aktivitas seksual yang menyimpang, bahkan
mengarah pada kekerasan, niscaya merenggut kehidupan mereka saat kejadian
itu juga atau perlahan-lahan hingga hari tuanya. Oleh karena itu, jaga indra baikbaik bila kita tidak ingin kehilangan generasi muda Indonesia yang cerdas akal
dan hatinya.

Kekerasan di Sekitar Kita

Tb Ronny R Nitibaskara, KRIMINOLOG


SUMBER : KOMPAS, 9 Maret 2012

Akhir-akhir ini kekerasan berupa pembunuhan semakin meningkat. Kenyataan


menunjukkan, perbuatan menghilangkan nyawa orang lain itu dilakukan tanpa
pandang usia, tempat, dan waktu.
Pembunuhan yang dilakukan anak SMP dan percobaan pembunuhan yang
dilakukan anak SD terhadap temannya, pembunuhan terhadap Ayung di
sebuah hotel, pembantaian satu keluarga di Bali, serta pembunuhan terhadap
orang yang sedang melayat kerabatnya di RSPAD Gatot Soebroto
menggambarkan betapa masyarakat Indonesiayang dikenal ramah, berjiwa
sosial, dan bersemangat gotong royongkini tega berperilaku sadistis.
Penyebab tindak pidana di atas beragam, mulai dari masalah sangat sepele
hingga teramat kompleks.
Beberapa fakta di atas menunjukkan betapa mahal keamanan di negeri ini.
Nyawa manusia sudah tak ada nilainya. Seakan moto bunuh dulu, urusan
belakangan menjadi suatu perilaku yang tumbuh subur di sini. Mengapa
seseorang sedemikian mudah melakukan kejahatan kekerasan, khususnya
pembunuhan? Suatu pertanyaan yang tidak bisa dijawab memuaskan oleh
kriminologi. Berikut beberapa kemungkinannya.
Pembunuhan dan Perilaku
Perspektif klasikal telah mencoba menjelaskan bahwa dalam masyarakat
terdapat sejumlah orang yang tak merasa takut terhadap sanksi, baik sanksi
sosial maupun hukum. Dalam keadaan frustrasi, mereka tak segan
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan dan kepentingan yang
bermacam-macam.
Perilaku yang mengedepankan membunuh dulu, sedangkan akibatnya
dipikirkan belakangan banyak ditemui dalam perspektif sosial. Ketegangan
dan frustrasi yang dialami seseorang yang tinggal atau hidup di daerah kumuh
kelas bawah menyebabkan mereka mudah berperilaku menyimpang.
Sebagaimana diketahui, nilai-nilai kelas bawah menekankan pada kekerasan
dan kekuatan, yang mengakibatkan mereka sering berurusan dengan
penegak hukum.

Perspektif lainnya mengacu pada proses sosial. Pada dasarnya, di


masyarakat terdapat sejumlah orang yang tak punya kesempatan menikmati
institusi konvensional, seperti sekolah, pekerjaan, dan keluarga. Mereka
umumnya bereaksi keras terhadap tekanan hidup sehari-hari.
Dalam mengekspresikan diri secara verbal, mereka berusaha menonjolkan
diri agar dihormati orang lain. Cara yang ditempuh untuk mengejar
penghargaan tersebut dapat menjurus pada ancaman fisik dan kekerasan. Ini
termasuk perspektif psychological behaviourist, yang melihat tindakan
kekerasan mungkin meningkatkan derajat/tingkat penggerak agresi.
Perspektif lain dalam pendekatan kognitif yang melihat perkembangan sampai
batas (titik) di mana mereka dapat memahami akibat dari tindakannya.
Pembunuh jenis ini tidak pernah berpikir dua kali sebelum membunuh
korbannya.
Tentu saja keseluruhan uraian di atas tak berpengaruh terhadap mereka yang
berasal dari kalangan atas atau terdidik. Kebanyakan dari mereka, apabila
dikaitkan dengan tindak pidana pembunuhan, menjadi dalang yang tak terjun
langsung ke lapangan.
Pembunuhan dan Budaya
Dalam negara Indonesia dengan beragam suku bangsa dan budaya, tidak
dipungkiri terdapat suatu kelompok yang menganggap pembunuhan bukan
perilaku yang menyimpang selama ditempatkan pada tujuan menegakkan
harga diri dan kehormatan. Budaya siri dari Makassar dan carok dari Madura,
misalnya, merupakan perilaku yang bertujuan untuk membela harga diri dan
kehormatan keluarga. Tindakan itu dianggap lebih penting daripada ancaman
sanksi tindak pidana pembunuhan. Mereka menganggap tindakan tersebut
bentuk kelakuan yang dihargai.
Hal ini tecermin dalam teori subkultur kekerasan yang melihat bahwa semakin
kuat seseorang berintegrasi dengan subkultur itu, semakin ia menerima
aturan-aturan bertingkah laku yang dianut. Ia akan menyesuaikan
kelakuannya dengan aturan bertingkah laku demikian.
Dalam banyak kejadian, orang segera mengambil senjata guna melindungi
dirinya dari orang lain. Memiliki semacam senjata lebih dipandang sebagai
pertanda keterarahan kepada sifat agresif itu. Orang senantiasa waspada
terhadap kemungkinan terjadi tindakan kekerasan dari orang lain. Jika itu

terjadi, dia sendiri pun bersedia ambil bagian dalam tindakan kekerasan
tersebut.
Perspektif lain yang perlu dicermati dalam teori psikoanalisis. Tak terpecahkan
dalam konflik yang dihasilkan dalam trauma sejak masa kanak-kanak
mengakibatkan ketidakteraturan kepribadian dan tingkah laku agresif kepada
seseorang.
Sehubungan dengan itu, teori Freud berpendapat, pada dasarnya manusia
punya dua insting dasar: insting seksual (libido) dan insting agresif atau
disebut pula sebagai insting kematian. Insting seksual atau libido adalah
insting yang mendorong manusia untuk mempertahankan hidup,
mempertahankan jenis, atau melanjutkan keturunan. Di lain pihak, insting
agresif adalah insting yang mendorong manusia untuk menghancurkan
manusia lain.
Tingkatan laku agresif tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu tingkatan laku
agresif yang mengandung kebencian dan laku agresif yang memberikan
kepuasan tertentu. Tingkah laku yang mengandung kebencian ditandai oleh
kepuasan yang diperoleh karena lawan menderita, luka, atau sakit. Tingkah
laku yang memberikan kepuasan ditandai oleh kepuasan yang diperoleh
karena lawan gagal mencapai obyek yang diinginkan.
Pembunuhan dan Media
Banyak pihak berpendapat, terjadinya pembunuhan memiliki keterkaitan
dengan kekerasan yang ditayangkan media, khususnya media layar kaca.
Dalam literatur kriminologi menunjukkan, studi-studi dan fakta di negara lain
tidak sepenuhnya menunjang hipotesis tersebut. Seperti kasus-kasus yang
terjadi di Jepang dan Amerika Serikat.
Kalau dicermati secara saksama, terlihat bahwa budaya populer di kedua
negara itu sama-sama mengandung tingkat kekerasan yang tinggi.
Kebudayaan kontemporer Jepang penuh diwarnai adegan kekerasan, baik di
teater, film, maupun televisi. AS sendiri dikenal sebagai salah satu produsen
terbesar film yang sarat dengan adegan kekerasan.
Tingkat kekerasan di Jepang lebih rendah daripada AS. Menurut Bayley
(1991), rendahnya tingkat kriminalitas di Jepang atau tingginya angka
kriminalitas di AS tampaknya tidak dipengaruhi media layar kaca, tetapi
karena penerapan UU senjata api.

Hasil penelitian Himmelweit (1958), De Four (1968), dan Belson (1978) turut
mengindikasikan bahwa acara televisi yang menampilkan karakter manusia
yang menunjukkan kekerasan tidak dipahami dan dihayati penonton sebagai
isi yang penting dan signifikan. Tidak ditemukan hubungan kuat antara
pemahaman kekerasan dan timbulnya emosi secara keseluruhan. Pengaruh
tayangan media lebih kelihatan dan berbahaya lewat adegan seks dan
pornografi.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat berbagai faktor terkait maraknya tindak
pidana pembunuhan di sekitar kita. Adalah tugas dan kewajiban pemerintah
mengambil langkah-langkah positif untuk mengatasi fenomena di atas
Kekerasan Seharusnya bukan Pilihan
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 12 Mei 2014

KEKERASAN, dalam metafora yang luas,bisa mencakup beragam perlakuan yang


tidak menyenangkan baik secara fisik maupun psikologis. Efek kekerasan
terhadap anak sungguh amat dahsyat karena secara fisik ataupun psikologis,
kekerasan akan membekas lama dan dalam di relung jiwa seorang anak. Dalam
jangka panjang, efek psikologis mungkin yang paling mengkhawatirkan karena
bisa memengaruhi perilaku seseorang ketika dewasa bahkan di masa tuanya.

Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan dan mencuat dalam
sebulan terakhir di Indonesia ini mengindikasikan adanya tindak kekerasan yang
melibatkan hampir semua stakeholder sekolah, yaitu guru, pegawai, siswa, dan
bahkan orang tua. Kasus pedofilia di Jakarta Internasional School yang
melibatkan pegawai dan guru, kasus guru `Emon' di Sukabumi yang luar biasa
keji dan tak beradab, serta perlakuan kasar kakak kelas terhadap adik kelas di
salah satu sekolah dasar di Jakarta Timur dan STIP, merupakan contoh buruk
betapa dunia pendidikan seolah tak mampu menghindari dan sekaligus melawan
kekerasan.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam waktu dekat, bahkan akan


mengeluarkan peraturan presiden yang berkaitan untuk mencegah terjadinya

tindak kekerasan di dunia pendidikan. Hal itu menandakan kekerasan di dunia


pendidikan sudah masuk kriteria kejadian luar biasa sehingga Presiden harus
turun tangan menangani isu tersebut. Jika perpres itu jadi dirilis, sesungguhnya
juga bisa merupakan penanda lemahnya birokrasi pendidikan kita dalam
menangani masalah ini secara kelembagaan. Mengapa penanganan isu dan
masalah kekerasan harus dimulai di tingkat sekolah, bukan oleh sebuah
peraturan presiden? Karena sekolah merupakan penanggung jawab secara
langsung bagaimana seharusnya pola perilaku dan cara berpikir anak harus
dibentuk, bukan oleh peraturan yang terlalu jauh jaraknya dengan kondisi
lingkungan sekolah.

Soal caranya, Michael J Furlong, dalam Preventing School Violence: A Plan for
Safe and Engaging Schools (2005), memberikan sedikitnya empat ilustrasi
program yang memungkinkan sekolah dapat mencegah munculnya aksi
kekerasan dan radikalisme di lingkungan anak-anak sekolah. Pertama, apa yang
disebut dengan anger coping program. Dengan menggunakan bantuan para
konselor atau guru BK dan orangtua, sekolah dapat membuat serial pelatihan
tentang bagaimana cara mengelola rasa marah ke dalam bentuk yang lebih
positif.
Sekolah juga dapat meminta bantuan para psikolog dari perguruan tinggi untuk
memikirkan skema training jenis itu, termasuk ketersediaan waktu yang bagi
anak-anak.

Kedua, memasukkan pengertian dan pengetahuan tentang jenis-jenis kekerasan


ke desain ajar yang relevan dengan situasi psikologis siswa, terutama untuk dan
dalam rangka memperkenalkan makna empati, problem solving, dan mengelola
amarah. Kegiatan tersebut perlu didahului sebuah workshop yang berkaitan
dengan keterampilan guru dalam merancang desain pembelajaran yang ramah
dengan cara-cara nirkekerasan.

Ketiga, sekolah juga diharapkan berani mengambil keputusan untuk membuat


pelatihan tentang pengelolaan rasa marah dengan menggunakan teknik role
playing, modeling, dan rewarding terhadap anak, orangtua, dan bahkan guru
secara berkala, minimal dua kali dalam setahun. Jika mekanisme itu berjalan,
selebihnya akan menjadi tugas guru dan tim untuk melakukan evaluasi terhadap
potensi kekerasan yang mungkin muncul di kalangan siswa.

Keempat, Furlong juga menyarankan agar sekolah memiliki dokumen tertulis


semacam statuta sekolah, yang memungkinkan setiap anggota dari komunitas
sekolah dapat memiliki panduan yang dapat dijadikan semacam saluran dalam
menumpahkan seluruh persoalan yang berkaitan bukan hanya dengan masalah

kekerasan di sekolah, melainkan juga mekanisme pengaturan tata tertib yang


sepatutnya berlaku di sekolah.

Keempat jenis program tadi akan lebih efektif jika dilakukan secara bersama
antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Kerja sama di antara ketiganya
akan memudahkan sekolah dalam menjaring sumber daya yang dibutuhkan,
termasuk pendanaan hingga implementasi program. Hanya, sekarang, seberapa
besar muncul kesadaran semacam itu di lingkungan sekolah kita?

Penting bagi setiap sekolah untuk menyertakan siswa, anak-anak muda kita,
dalam setiap tahapan kegiatan yang menyangkut kepentingan mereka secara
bersama. `Nothing about us, without us' harus menjadi semacam jargon yang
harus dikedepankan dalam menarik minat para siswa terhadap seluruh aktivitas
belajar-mengajar di sekolah.

Lawan dari kekerasan adalah perdamaian, dan damai adalah karakter. Untuk
mencapainya, dibutuhkan laku sikap dan cara berpikir positif yang dirancang
melalui sebuah skenario. Jika skenario adalah sebuah rencana, pendidikan adalah
domain yang mampu mewadahi setiap orang untuk menggali potensi damai
dalam diri masing-masing.

Dalam pendidikan, seseorang harus bersedia belajar tentang semua hal,


termasuk menggali rasa dan situasi damai. Seperti semua ajaran agama, rasa
dan situasi damai adalah pesan abadi yang dibawa setiap nabi dengan agama
masing-masing. Karena itu, pendidikan merupakan sarana keselamatan setiap
orang.

Saya kira setiap kepala sekolah, guru, orangtua, dan para pendidik harus
membaca memoar Jodee Blanco, Please Stop Laughing at Me.... One Womens's
Inspirational Story yang diterbitkan Penerbit Alvabet menjadi Bencana Sekolah!
Memoar Mengejutkan, Menggugah, dan Menginspirasi tentang Bullying (2013).
Dalam pengakuan Jodee, Saya membiarkan para siswa tahu bahwa bullying bisa
merusak kita selamanya dan bahwa bullying bukan cuma berarti hal-hal keji
yang kita lakukan, melainkan juga hal-hal baik yang tidak kita lakukan, seperti
membiarkan seseorang duduk sendirian saat makan siang, selalu memilih
terakhir orang yang sama ketika membagi-bagi tim di kelas, atau berbicara
tentang seseorang alih-alih berbicara dengan mereka.

Kita harus terus meyakinkan para kepala sekolah, guru, siswa, pegawai, dan para
pendidik bahwa kekerasan seharusnya bukan pilihan utama untuk menjalankan
proses pendidikan yang baik dan benar.
Diposkan oleh Budi Santoso di 06.36 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Link ke posting ini
Label: Ahmad Baedowi, Kekerasan dalam Pendidikan, Kekerasan terhadap Anak
Reaksi:
MINGGU, 01 SEPTEMBER 2013
Kekerasan dalam Pendidikan
Kekerasan dalam Pendidikan
Mila Wulandari ; Aktivis Pendidikan di Universitas Pedidikan Indonesia
SUARA KARYA, 31 Agustus 2013

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, yang berarti
bahwa setiap manusia berhak mendapat dan berharap dapat berkembang dalam
pendidikan secara nyaman. Bagaimanapun pendidikan dapat mencetak generasi
emas yang diharapkan menjadi tombak peradaban dan obor pencerahan bagi
bangsa dan negaranya. Negara yang maju adalah negara yang memiliki sumber
daya manusia (SDM) yang mumpuni. Untuk mewujudkannya maka setiap warga
negaranya perlu diberikan pendidikan yang memadai.

Indonesia memang sangat berharap dapat mencetak generasi emas. Hal ini
dapat dilihat dari tujuan pendidikan di Indonesia yang dituangkan dalam UndangUndang No 20 Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab."

Namun, UU tersebut hanyalah sebuah rencana tertulis yang belum menjamin


realisasinya. Jika kita berbicara tentang pendidikan di Indonesia, tentunya tidak
akan terlepas dari masalah apa yang sebenarnya terjadi dalam pendidikan itu
sendiri. Pada kenyataannya, banyak sekali terjadi masalah dalam dunia
pendidikan di Indonesia terutama kasus kekerasan yang selalu menghantui para
pelajar dan orangtua murid, khususnya yang terjadi di lembaga pendidikan.

Berdasarkan data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), tahun 2012
terdapat 3.871 kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan oleh
masyarakat. Sedangkan kekerasan yang dihimpun KPAI melalui media sebanyak
2.471 kasus, beberapa di antaranya terjadi di lingkungan sekolah. Salah satu
kasus kekerasan yang dialami anak dalam dunia pendidikan yaitu kasus tawuran
pelajar, yang masih dijumpai di beberapa sekolah dan perguruan tinggi.

Baru-baru ini, seorang siswa dilaporkan tewas akibat terkena lemparan batu
menyusul tawuran antar-pelajar usai melaksanakan Ujian Nasional (UN). Belum
lagi, tawuran klasik antar mahasiswa yang melibatkan dua universitas terkenal.
Padahal, mahasiswa yang secara derajat intelektual dan pengalamnnya lebih
tinggi dari siswa seharusnya lebih dapat mengendalikan emosi dan
menggunakan otak daripada ototnya. Sungguh, sangat disayangkan bila perilaku
anarkis menimpa kalangan siswa dan mahasiswa. Lembaga pendidikan seakan
terjebak pada kubangan persoalan yang bersifat anarkis.

Kekerasan yang tak kalah seriusnya adalah pembulian atau bullying,


menekan/menyerang fisik dan mental anak di lembaga-lembaga pendidikan.
Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, tindak pembulian fisik sebenarnya tidak
terlalu sulit kita deteksi ketika misalnya ada seorang pelajar melakukan tindakan
kekerasan dengan memukul, menendang, menggigit, menampar, menjambak
rambut, dan mencakar yang merugikan pihak yang dibuli.

Berbeda dengan pembulian fisik. Pembulian kata-kata tidak mudah kita


identifikasikan, karena luka yang ditimbulkannya tidak tampak pada fisik
melainkan pada mental anak. Akan tetapi, fenomena pembulian itu sendiri bisa
kita amati melalui kata-kata yang diucapkan. Kata-kata itu pada umumnya
bernada menghina, mengejek, merendahkan, dan mengancam. Bahkan bisa
terjadi bukan dengan kata-kata melainkan dengan tindakan seperti meludah,

menjulurkan lidah, memandang dengan sinis, mengucilkan teman dari


lingkungan pergaulan atau mendiami teman dengan tidak bertegur sapa.

Tindakan pembulian sebabnya bisa bermacam-macam, biasanya banyak terjadi


ketika masa orientasi sekolah. Orang yang melakukan pembulian biasanya
dilakukan dari senior ke juniornya yang ingin menampakkan tingkat status
sosialnya dalam berkuasa. Ketika akan memasuki sekolah tingkat pertama
sampai PT selalu terdapat ajang-ajang yang biasa disebut ospek. Dalam kegiatan
tersebut marak terjadi pemukulan, penghinaan, bahkan pelecehan seksual.
Pembulian guru terhadap muridnya pun sering terjadi di beberapa sekolah. Guru
yang seharusnya menjadi panutan kepada siswanya seakan dianggap angker
sehingga tak jarang siswa merasa tertekan dan enggan sekolah. Fenomena
tindakan pembulian pun sayangnya dijadikan bahan tontonan di acara televisi
Indonesia.

Sebenarnya masih banyak lagi beraneka macam kekerasan yang terjadi di dunia
pendidikan. Namun, kekerasan yang paling fatal dan marak terjadi adalah
tawuran dan pembulian. Sangat bijak jika kasus kekerasan yang terjadi disekolah
dalam kegiatan apa pun dihentikan. Semua pihak sudah saatnya belajar dari
pengalaman bahwa apa pun bentuk kekerasan, dan apa pun alasan serta tujuan
yang dikemukakan, ketika terjadi korban maka masalah tidak selesai begitu saja.
Perlu adanya tindakan yang dapat membuat jera para pelaku kekerasan.

Tidak penting bagi kalangan sekolah untuk saling menyalahkan atau mencari
kesalahan orang lain, meski sudah menjadi tabiat umum bahwa manusia paling
senang menyalahkan orang lain. Maka, yang paling penting adalah bagaimana
semua pihak belajar dari semua pengalaman untuk kemudian mengambil
hikmah dari semua kejadian negatif itu.

Akhirnya, bagi para orangtua, pelajar, guru, dan pihak-pihak lain yang terkait
agar dapat bercermin, dan mengintropeksi diri serta dapat bekerja sama
merealisasikan tujuan pendidikan Indonesia untuk membentuk SDM-SDM yang
mumpuni di masa depan. Mungkin bila dilihat dari segi kuantitas, sekarang ini
jauh lebih banyak orang yang bisa mengenyam pendidikan sampai jenjang yang
lebih tinggi, dibandingkan dahulu. Tapi, apabila dilihat dari segi kualitas, apakah
kualitas pendidikan sekarang ini sudah lebih baik dari dahulu?
Diposkan oleh Budi Santoso di 05.43 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!

Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Link ke posting ini
Label: Kekerasan dalam Pendidikan, Mila Wulandari
Reaksi:
SELASA, 13 AGUSTUS 2013
Mata Rantai Kekerasan dalam Pendidikan
Mata Rantai Kekerasan dalam Pendidikan
Agus Wibowo ; Magister Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 12 Agustus 2013

TAHUN ajaran 2013/2014 ini dunia pendidikan masih menyisakan persoalan


kekerasan yang terjadi pada saat orientasi siswa. Beberapa waktu lalu seorang
siswi sekolah menengah kejuruan (SMK) di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, harus
tewas mengenaskan lantaran mengikuti kegiatan masa orientasi siswa (MOS).
Adalah Anindya Ayu Puspita, meninggal karena diminta melakukan squat jump
oleh seniornya hanya gara-gara tidak membawa sepatu. Rupanya, panitia MOS di
sekolah itu tidak tahu jika Anindya tidak kuat dan pingsan jika dibentak apalagi
dihukum berat. Tak ayal, kejadian tragis itu membuat gerah Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh. Mendikbud segera
memerintahkan jajaran di bawahnya untuk menginvestigasi kejadian yang
mencoreng korps pendidikan itu (Media Indonesia, 23/7).

Dengan belajar dari tragedi MOS di Bantul itu, kita bisa mengambil kesimpulan
bahwa kekerasan ternyata masih membayangi dunia pendidikan. Meski berbagai
tuntutan sudah dialamatkan kepada para stakeholders, tetapi kekerasan masih
menjadi alat dominan dalam pendidikan kita. Alih-alih bukannya anak didik
semakin menikmati proses pendidikan yang menyenangkan dan mencerahkan,
malah justru bersiap menanti giliran menjadi korban keberingasan itu. Ironis
sekali.

Sebenarnya Mendikbud Mohammad Nuh (2013) jauh hari sudah mengingatkan


para stakeholders di tingkat sekolah untuk berhati-hati dalam melaksanakan
MOS. Itu karena tindak kekerasan mengalami kenaikan yang cukup signifikan
justru pada pelaksanaan MOS. Jika dikelola dengan baik, kata Nuh, MOS bisa

menjadi sarana efektif bagi siswa untuk mengenal, memahami, dan berusaha
menjadi bagian dari sekolah, sebelum mereka terlibat dalam proses
pembelajaran. Singkatnya, melalui orientasi ini diharapkan siswa mengenal
bagaimana proses pembelajaran yang nantinya akan mereka jalani: mengenal
lingkungan sekolah, sarana prasarana sekolah dan pemanfaatannya, sistem
pembelajaran, guru dan model pembelajarannya, serta daya dukung
pembelajaran.

Namun, jika tidak dikelola dengan baik, lanjut Nuh, bisa saja MOS menjadi ajang
kekerasan bahkan anarkisme. Kekerasan itu bisa berwujud kekerasan lisan atau
kata-kata kasar yang bisa menimbulkan kekerasan psikologi. Kekerasan dalam
MOS tidak jarang menyebabkan kematian. Itulah yang harus menjadi perhatian
utama stakeholders pendidikan di sekolah.

Balas dendam?

Berdasarkan data, sampai dengan tahun ajaran 2012/2013 lalu, MOS dan
sejenisnya lebih sering menjadi monster mengerikan--yang siap merampas
nyawa anak didik. Data yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) setahun lalu menunjukkan bahwa angka kekerasan kepada siswa, baik
dalam proses MOS maupun kegiatan belajar mengajar (KBM) masih tinggi. Hasil
survei di 9 provinsi, yaitu Sumatra Barat, Lampung, Jambi, Banten, Jawa Tengah,
DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Timur, dengan total 1.026
responden, menyebutkan masih tingginya tindak kekerasan kepada siswa. Survei
tersebut juga menunjukkan bahwa 56,3% siswa (578 siswa) pernah mengalami
kekerasan yang dilakukan senior mereka selama MOPDB, kemudian 66,5% siswa
(628 siswa) pernah mengalami kekerasan yang dilakukan guru, dan 74,8% siswa
(767 siswa) pernah mengalami kekerasan yang dilakukan teman sekelas.

Kekerasan tidak dianjurkan dalam pendidikan, apalagi jika sampai menimbulkan


korban jiwa, jelas sangat dikutuk. Benar dalam ajar tuk. Benar dalam ajaran
kitab-kitab klasik (baca: kitab kuning) kekerasan bisa dijadikan alternatif
mendidik siswa. Namun, menurut penulis, itu sudah tidak relevan dengan
konteks kekinian. Pendidikan bukan lagi tempat pukul-memukul dan penjara bagi
siswa--dengan aneka kebengisan di dalamnya. Pendidikan, kata Ki Hadjar
Dewantara (1977:14), mestinya menjadi proses sebuah bangsa mempersiapkan
generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan secara baik, untuk memajukan
budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmaninya, serta agar bisa
selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Sementara itu, menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU


Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa pendidikan
bertujuan agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Ber dasarkan UU Sisdiknas itu, jelas bahwa
kekerasan bukan bagian dan metode tepat dalam pendidikan kita.

Jika benar kekerasan diharamkan dalam dunia pendidikan, pertanyaannya


kemudian, mengapa tindak kekerasan itu masih terus terjadi? Galtung (2003)
dan Robert Gurr (2000) melihat kekerasan dalam dunia pendidikan disebabkan
deprivasi relatif. Sementara itu, Abdurrahman Assegaf (2004) dan Simon Fisher
(2001) menyebut kekerasan dalam dunia pendidikan sebagai kekerasan konteks
dan struktur, yaitu tindak kekerasan berdasarkan sistem yang mengakibatkan
penderitaan orang lain.

Senada dengan Assegaf dan Fisher, penulis berpendapat jika kekerasan di


sekolah lebih sering dipicu budaya `balas dendam' yang terus dilestarikan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Hal tersebut akan sangat terasa,
khususnya dalam dunia pendidikan militer dan kedinasan.

Segera hentikan

Tujuan panitia MOS memerintahkan siswa baru memakai aneka atribut aneh
memang baik. Namun, mereka lupa--atau memang belum tahu--bahwa
psikologis siswa sekarang berbeda dengan 10 tahun lalu. Sebagian besar siswa
mungkin merasa malu mengenakan atribut itu! Karena takut mendapat sanksi
jika tidak menuruti pihak sekolah, siswa rela menjadi `badut' yang ditonton para
senior mereka (Agus Wibowo, 2012). Ketika junior mendapatkan tindak
kekerasan dari seniornya, tidak ada keberanian untuk langsung membalasnya,
kecuali menyimpan dan menjadi dendam psikologis yang menumpuk.

Dendam yang mendalam akan di lampiaskan manakala ada kesempatan. Apabila


menjadi panitia MOS, tersalurkan sudah dendam yang selama ini menumpuk
kepada para junior mereka. Belum lagi jika kekerasan juga kerap dipertontonkan
para guru mereka, baik di dalam maupun di luar kelas. Guru beranggapan jika
kekerasan merupakan sarana efektif `menundukkan' dan `mendisiplinkan'
siswa.

Sementara itu, istilah `disiplin' atau mendisiplinkan siswa, selama ini lebih sering
menjadi tameng bagi sekolah, khususnya para guru dalam memberikan
hukuman fisik. Padahal, berbagai bentuk hukuman fisik bisa membuat trauma
siswa, serta berakibat buruk bagi perkembangan psikologis mereka kelak.
Menurut banyak ahli pendidikan, kekerasan akan terus terulang selama mata
rantainya tidak secara bertahap dan komprehensif dihilangkan. Guna
meminimalkan tindak kekerasan pada siswa, Mendikbud dan KPAI
merekomendasikan agar pihak sekolah dan dinas pendidikan memastikan bahwa
pelaksanaan MOS tidak melenceng dari tujuan pendidikan. Kepala Sekolah
bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan MOS dan tidak boleh lengah.

Pengawasan yang ekstra ketat juga harus dilaksanakan Kemendikbud. Tidak


kalah pentingnya masyarakat, termasuk wali murid dan komite sekolah, harus
berpartisipasi mengontrol pelaksanaan MOS ini agar berjalan bagus, bermakna,
sejalan dengan prinsip pendidikan, dan terbebas dari kekerasan.

Bagaimanapun MOS diperlukan agar anak didik menjadi `kenal' dengan


lingkungan beserta seluk-beluk pembelajaran di sekolah, sebelum mereka terjun
di dalamnya. Yang perlu dihilangkan ialah budaya kekerasan dalam
pelaksanaannya. Sudah saatnya para guru dan stakeholders sekolah memahami
bahwa esensi dasar pendidikan adalah wahana membentuk jati diri dan perilaku
dalam koridor kognitif (kecerdasan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perilaku).
Bukan sarana balas dendam yang mengarah pada tindak kekerasan sehingga
muaranya mencetak siswa yang beringas dan tidak berkemanusiaan.
Semoga.
Jangan Pernah Remehkan Bullying School
Shinta TMS ; Ketua Komisariat Dwilogi GMNI Pekanbaru,
Mahasiswa jurusan Kriminologi, Universitas Islam Riau-Pekanbaru
SINAR HARAPAN, 16 Mei 2014

Permasalahan yang dihadapi Indonesia sekarang ini salah satunya dalam dunia
pendidikan. Belakangan ini, banyak sekali muncul kejadian dan peristiwa yang
mencemari dunia pendidikan.

Pada 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyebutkan, bullying di


sekolah dalam masa orientasi sebagai sikap yang telah keluar dari nilai-nilai
kemanusiaan dan tujuan pendidikan.

Sikap presiden ini menunjukkan perhatian khusus terhadap maraknya praktik


bullying dalam masa orientasi sekolah. Hal itu disampaikan presiden menaggapi
aksi kekerasan dalam masa orientasi sekolah, khusus peristiwa bullying pada
SMA Don Bosco Jakarta.

Tahun ini kita dikejutkan dua peristiwa terkait bullying, yaitu tewasnya murid
Dimas Dikita Handoko (19), taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP),
Marunda, Cilincing, Jakarta Utara setelah dianiaya tujuh seniornya.

Mirisnya lagi, bullying juga menimbulkan korban Renggo Khadafi, siswa yang
masih duduk di kelas V SDN Makasar 09 Pagi, Jakarta Timur. Korban tewas
dianiaya kakak kelasnya setelah tanpa sengaja menjatuhkan makanan milik
pelaku.

Perilaku pada anak dan remaja yang tidak sesuai sistem nilai yang berlaku atau
norma-norma di masyarakat, menimbulkan jenis kenakalan yang biasa, juga
perilaku yang menjurus kepada tindakan kriminal. Fenomena sosial yang kerap
terjadi di lingkungan sekolah ini termasuk dalam kategori bullying school.

Dalam bahasa Inggris, bullying berasal dari kata bully yang berarti menggertak
atau mengganggu orang yang lemah. Secara konsep, bullying merujuk perilaku
agresif seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan berulang-ulang
terhadap orang atau sekelompok orang lain yang lebih lemah, untuk menyakiti
korban secara fisik maupun mental.

Tindakan para pelaku bullying bisa berupa kekerasan dalam bentuk fisik
(menampar, memukul, menganiaya, menciderai), verbal (mengejek, mengolokolok, memaki), juga mental atau psikis (memalak, mengancam, mengintimidasi,
mengucilkan) atau gabungan antara ketiganya (Olweus, 1993:24).

Bullying yang terjadi di sekolah memiliki dampak sangat serius, baik dalam
jangka pendek maupun panjang. Dampak jangka pendek yang ditimbulkan
berupa perasaan tidak aman, takut pergi ke sekolah, merasa terisolasi, perasaan
harga diri yang rendah, bahkan dapat menyebabkan stres yang mengakibatkan

korban bunuh diri. Dalam jangka panjang, korban dapat menderita gangguan
perilaku dan emosional.

Perspektif Kriminologi

Awalnya, para kriminolog berasumsi faktor niat dan kesempatan menjadi sebab
timbulnya kejahatan atau kenakalan anak. Dalam perkembangannya, muncul
teori differential association oleh Edwin A Sutherland, menjelaskan pengaruh
perilaku kelompok pada sikap seseorang dengan cara berinteraksi melalui proses
belajar.

Secara rinci terdapat sembilan preposisi menjelaskan proses terjadinya


kejahatan, sebagai berikut: (1) Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari.
Artinya, perilaku itu tidak diwariskan. (2) Perilaku kejahatan dipelajari dalam
interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut
terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh. (3) Bagian
terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok
personal yang intim. Secara negatif ini berarti komunikasi interpersonal seperti
melalui bioskop atau surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan
penting dalam terjadinya kejahatan. (4) Ketika perilaku kejahatan dipelajari, yang
dipelajari termasuk: (a) teknik melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongandorongan, alasan pembenar, dan sikap-sikap tertentu. (5) Arah dan motif
dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam
suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara
bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu
yang perlu diperhatikan dan dipatuhi. Namun, kadang ia dikelilingi orang-orang
yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang
dilakukannya kejahatan. (6) Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola
pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan
kejahatan, daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan
dan dipatuhi. (7) Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas,
serta intensitasnya. (8) Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui
hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam
setiap proses belajar secara umum. (9) Perilaku jahat merupakan ekspresi
kebutuhan nilai umum. Namun, tidak dijelaskan perilaku yang bukan jahat pun
merupakan ekspresi kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama.

Selain teori Sutherland, terdapat teori kontrol sosial yang dapat menjelaskan
latar belakang perilaku jahat pada anak. Teori ini berangkat dari asumsi dasar,
individu mempunyai kecendrungan yang sama kemungkinannya menjadi baik
dan jahat. Baik dan jahatnya seseorang tergantung pada masyarakatnya.

Menjadi baik kalau masyarakatnya membuat baik dan menjadi jahat bila
masyarakatnya membuatnya jahat (John Hegen, Modern Criminology).

Perlindungan Anak

Upaya penanggulangan kenakalan anak haruslah benar-benar dilakukan sedini


mungkin. Berdasarkan satu penelitian, ditemukan 80 persen anak delinkuen jika
tidak ditangani secara benar akan dapat menjadi penjahat atau kriminal pada
masa dewasa (A Phelps dan Henderson, 1981).

Dalam perspektif kriminologi, para ahli membahasnya melalui pendekatan


biologis, psikologis, dan sosial. Pada zaman modern ini, lingkungan cenderung
menjadi salah satu faktor dominan yang menyebabkan terjadinya kenakalan
anak. Faktor lingkungan juga dapat digunakan sebagai salah satu saran atau
solusi dalam upaya penanggulangan kenakalan anak.

Salah satu dampak negatif yang dikhawatirkan bila permasalahan ini tidak
terselesaikan adalah menyebabkan generasi muda bangsa ini menjadi loyo. Di
sisi yang lain, anak merupakan aset masa depan bangsa dan generasi penerus
cita-cita bangsa. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, berpartisipasi, serta berhak atas perlindungan dari tindak
kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Dalam UU Perlindungan Anak Nomor 23/2002 Pasal 54 menyatakan, anak di


dalam dan lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang
dilakukan guru, pengelola sekolah atau teman-temannya dalam sekolah
bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.

Ini berarti, anak-anak di lingkungan sekolah memiliki hak untuk mendapat


pendidikan dalam lingkungan aman dan bebas dari rasa takut. Dalam hal ini,
pengelola sekolah dan pihak lain yang bertanggung jawab dalam
penyelengaraan pendidikan berkewajiban melindungi siswa dari intimidasi,
penyerangan, kekerasan, atau gangguan.
Diposkan oleh Budi Santoso di 03.04 0 komentar
Kirimkan Ini lewat Email
BlogThis!

Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Link ke posting ini
Label: Kekerasan Anak Berwajah Pendidikan, Shinta TMS
Reaksi:
SELASA, 22 APRIL 2014
Kekerasan Anak Berwajah Pendidikan
Kekerasan Anak Berwajah Pendidikan
Agus Wibowo ; Penulis Buku Malpraktik Pendidikan,
Magister Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 21 April 2014

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akhirnya menutup


sementara Jakarta International School (JIS) sampai semua perlengkapan
perizinan terpenuhi.

Penutupan JIS ini terkait kasus kekerasan seksual yang dialami beberapa siswa di
sekolah tersebut. Berdasarkan hasil investigasi tim dari Kemendikbud, dalam
pertemuan dengan para orang tua siswa, diduga kekerasan seksual itu sudah
terjadi bertahun-tahun.

Sayangnya, para orang tua siswa tidak berani melaporkan tindak kekerasan
seksual itu. Kekerasan seksual yang terjadi di JIS semakin menambah daftar
panjang kasus kekerasan pada anak didik.

Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2004, kekerasan
pelajar mulai umur 9-20 tahun yang dilaporkan ke kepolisian meningkat 20
persen pada 2013.

Sementara itu, hasil survei KPAI di sembilan provinsi, yaitu Sumatera Barat,
Lampung, Jambi, Banten, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Kalimantan Timur, dengan total responden 1.026 siswa, menyebutkan masih
tingginya tindak kekerasan pada siswa.

Kekerasan dalam pendidikan juga dilakukan guru, seperti kasus dugaan


pelecehan seksual di SMAN 22 Jakarta, SD negeri di Depok, atau dugaan
kekerasan fisik yang dilakukan guru di salah satu SD negeri di Tanjung Priok.

Pertanyaannya, mengapa kekerasan terhadap siswa masih terus terjadi di


sekolah yang mestinya menjadi rumah kedua bagi mereka? Bagaimana
sebaiknya para pemangku pendidikan memutus mata rantai kekerasan
terhadap siswa?

Trauma Psikologis

Maraknya tindak kekerasan terhadap siswa mengindikasikan disorientasi


pendidikan kita. Pendidikan mestinya menjadi sarana humanisasi bagi anak
didik. Itu disebabkan pendidikan memberikan ruang bagi pengajaran etika moral
dan segenap aturan luhur yang membimbing siswa mencapai humanisasi.

Melalui proses itu, anak didik menjadi terbimbing, tercerahkan, dan tabir
ketidaktahuannya terbuka sehingga mereka mampu meniadakan aspek-aspek
yang mendorong ke arah dehumanisasi.

Itulah ancangan pendidikan bangsa kita, yang tidak saja menggaransikan


keluaran manusia sejati, tetapi juga sosok yang kaya akan visi humanisme dalam
kerangka kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.

Berdasarkan data kekerasan tersebut, jelas pendidikan kita belum mampu


menjadi wahana humanisasi bagi anak didiknya. Pendidikan kita bukannya
menjadi ruang menyemai humanisasi, malah menjadi wahana melanggengkan
kekerasan (bullying) dan ketidakmanusiawian terhadap anak didiknya.

Pendidikan kita sepertinya justru digegas menjadi ajang unjuk kekerasan guru
atas siswa atau senior terhadap juniornya.

Kekerasan berarti penganiayaan, penyiksaan, atau perlakuan yang salah.


Menurut WHO (2000), kekerasan terhadap anak atau child abuse dan neglect
adalah tindakan melukai berulang-ulang secara fisik dan emosional anak yang
ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali,
degradasi, dan cemoohan permanen atau kekerasan seksual.

Kekerasan terhadap anak dalam dunia pendidikan bisa berbentuk kekerasan


fisik, psikologis, verbal, emosi, dan sosial. Menurut Francis Wahono (2003),
kekerasan lebih sering terjadi pada unsur utama pendidikan, yakni pelaku
pendidikan. Kekerasan itu bersifat horizontal, individu vis a vis individu yang lain.
Bentuk kekerasan struktural dan kultural terjadi pada unsur selain pelaku utama
pendidikan.

Kekerasan itu mewujud dalam kerangka, pranata, dan kurikulum pendidikan.


Kekerasan itu bersifat vertikal karena melibatkan negara melalui aparatus,
institusi, dan kebijakan vis a vis masyarakat.

Anak didik menjadi objek langsung dari kurikulum yang didukung kerangka dan
pranata pendidikan. Pendekatan pendidikan yang digunakan para guru lebih
sering bersifat top down, dari atas ke bawah dan mendikte.

Pendekatan seperti itu berasumsi guru ialah pusat kebenaran dan pengetahuan,
lebih bermoral dan pandai sehingga tidak dapat dibantah. Sistem pendidikan
model itu sebenarnya cocok dalam dunia militer, dengan disiplin seragam, ketat
ideologi, dan taat perintah tanpa boleh banyak bertanya.

Hentikan Kekerasan

Sebelum anak didik kita satu per satu menjadi korban, kekerasan dalam
pendidikan harus dihentikan. Sudah saatnya para guru dan stakeholder
pendidikan memahami esensi dasar pendidikan ialah wahana humanisasi anak
didik melalui pembentukan jati diri dan perilaku dalam koridor kognitif
(kecerdasan), afektif (sikap), dan psikomotorik (perilaku).

Lingkungan, kurikulum, metode, dan kultur budaya merupakan unsur-unsur yang


bertalian erat dengan outcome pendidikan.

Sekolah yang dikelola secara humanis, nirkekerasan, tanpa eksploitasi, dan


pelaksanaan disiplin yang tidak kaku akan menciptakan iklim budaya yang
nyaman. Sekolah dengan budaya yang demikian akan melahirkan anak didik
yang kaya akan perspektif humanisasi di samping berkarakter, bukan mereka
yang beringas lantaran diedukasi dengan kekerasan.

Menurut banyak ahli pendidikan, kekerasan akan terus terulang selama mata
rantainya tidak secara bertahap dan komprehensif dihilangkan.

Menurut Doni Koesuma (2014), kekerasan lebih sering terjadi karena selama ini
belum ada sinergi antara KPAI, Kemendikbud, dan dinas-dinas pendidikan di
seluruh Indonesia untuk menyosialisasikan UU No 23/2002 tentang Perlindungan
Anak.

Padahal, kerja sama lintas sektoral ini diperlukan agar perilaku kekerasan di
lingkungan pendidikan tidak terjadi lagi. Karena itu, sangatlah penting dan
mendesak untuk segera dilakukan sinergi agar semua pihak tahu bagaimana
melindungi anak dari berbagai bentuk kekerasan.

Guna meminimalkan tindak kekerasan pada siswa, mendikbud dan KPAI


merekomendasikan optimalisasi peran dinas pendidikan dan pengawas sekolah.
Para pengawas sekolah agar lebih jeli dan lebih sering turun ke lapangan.
Meminjam istilah Hamrin (2010), pengawas sekolah jangan hanya datang,
duduk, periksa administrasi, dan mencari kesalahan. Namun, pengawas
hendaknya menjadi mitra efektif kepala sekolah, sekaligus ikut menjamin tidak
terjadinya tindak kekerasan.

Tidak kalah pentingnya masyarakat, termasuk wali murid dan komite sekolah,
harus berpartisipasi mengontrol sekolah agar berjalan bagus, bermakna, sejalan
dengan prinsip pendidikan, dan terbebas dari kekerasan.

Akhirnya, kita berharap tidak ada lagi tindak kekerasan terhadap anak didik
dengan berkedok pendidikan. Kekerasan tidak akan mengantarkan anak didik
menggapai tujuan pendidikan. Pendidikan pun tidak akan menciptakan generasi
berkarakter jika masih melanggengkan kekerasan.

2015, Tahun Buram Kekerasan Anak


Fahira Idris ; Wakil Ketua Komite III DPD RI; Senator Asal Jakarta
REPUBLIKA, 30 Desember 2015

Walau implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak sudah berjalan lebih dari satu dekade, tindak kekerasan
terhadap anak masih marak terjadi di seluruh wilayah Indonesia, bahkan trennya
meningkat tajam dari tahun ke tahun. Dalam lima tahun terakhir saja, jumlah
kekerasan terhadap anak di seluruh Indonesia menembus 21,6 juta kasus
(Republika.co.id, 22/12). Sebanyak 58 persen kasus merupakan kekerasan
seksual dan sisanya kekerasan fisik, penelantaran, penculikan, eksploitasi
ekonomi, dan perdagangan anak.

Jumlah ini diyakini bisa lebih besar karena banyak kasus kekerasan anak yang
tidak terungkap atau tidak dilaporkan karena berbagai sebab. Kasus Engeline
dan PNF (bocah yang meninggal dalam kardus) yang terjadi pada 2015 dapat
dikatakan potret buram dan puncak gunung es kekerasan anak di Indonesia.

Hingga saat ini, Indonesia belum punya sistem perlindungan anak yang
komprehensif. Upaya perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap anak
masih parsial dan bergerak sendiri-sendiri. Upaya perlindungan anak semakin
melemah karena belum ada keberpihakan anggaran, dan ini berlangsung sudah
puluhan tahun.

Kita masih belum punya strategi bagaimana membangun sistem perlindungan


anak yang mampu menjamin agar anak tidak lagi menjadi korban kejahatan
seksual. Pemerintah juga belum mampu menggerakkan semua struktur yang ada
dalam masyarakat mulai dari yang terkecil, mulai dari RT/RW, sekolah, dan
lainnya, sebagai basis upaya preventif kekerasan anak termasuk upaya
menciptakan lingkungan yang ramah bagi anak serta memastikan anak terbebas
dari potensi kejahatan terutama seksual.

Persoalan lainnya adalah mindset masyarakat yang masih menganggap


kekerasan terhadap anak adalah kejahatan biasa. Padahal, komitmen
internasional sudah menegaskan bahwa kejahatan terhadap anak masuk dalam
ketegori kejahatan luar biasa. Kondisi ini ditambah dengan masih lemahnya
penegakan hukum atas kasus-kasus kekerasan anak dan rendahnya komitmen
stakeholders (pemangku kepentingan) terutama kementerian/ lembaga untuk
mengintegrasikan isu perlindungan anak dalam perencanaan pembangunan.
Regulasi juga menjadi persoalan tersendiri. Walau Indonesia sudah 13 tahun
punya UU Perlindungan Anak, tetapi pemahaman masyarakat terhadap UU ini
sangat minim. Bahkan, banyak orang tua, tidak tahu sama sekali ada UU
Perlindungan Anak.

Sehingga tak heran, kekerasan fisik, seksual, dan psikologis terhadap anak
dengan berbagai macam cara meningkat tiap tahun. Bahkan, banyak pelaku
kekerasan terhadap anak ternyata adalah orang-orang terdekatnya. Kondisi ini
makin diperparah dengan keraguan masyarakat melapor ke pihak berwenang
jika di lingkungannya ditemukan indikasi orang tua yang melakukan kekerasan
terhadap anak.

Selain itu, ancaman bagi pelaku kekerasan terhadap anak belumlah menjerakan.
Pasal 82 UU Perlindungan Anak hanya mengancam pidana penjara maksimal 15
tahun dan minimal tiga tahun bagi pelaku kekerasan terhadap anak. Pasal 292
KUHP malah lebih ringan. Pelaku pencabulan terhadap anak hanya dihukum
maksimal lima tahun penjara.

Padahal, kekerasan baik fisik maupun seksual kepada anak adalah kejahatan
kemanusian luar biasa. Namun, hukum kita menganggapnya biasa. Harus ada
hukuman maksimal terhadap pelaku kekerasan anak dari hukuman seumur hidup
hingga hukuman mati serta ancaman tambahan seperti kebiri untuk kejahatan
pedofil.

Belum jadi perhatian

Coba perhatikan setiap pemilu, sangat jarang calon anggota dewan yang punya
program perlindungan anak. Sangat sedikit calon kepala daerah yang
mencantumkan konsep perlindungan anak dalam program aksinya. Atau saat
pilpres kemarin, ada tidak, debat calon presiden tentang perlindungan anak? Kita
masih menepikan persoalan perlindungan anak. Konsekuensinya, peristiwa
seperti yang dialami Engeline akan terus terulang. Hingga saat ini kita belum
mendengar ketegasan presiden dengan lantang mengatakan bahwa negara

berperang melawan kekerasan anak. Saat Hari Anak Nasional (23/7), Presiden
sama sekali tidak memaparkan terobosan perlindungan anak. Perlindungan anak
di Indonesia seperti tanpa arah dan komando.

Pada saat menyampaikan pidato kedua dalam rangka HUT ke-70 Proklamasi
Kemerdekaan, Presiden mengakui tahun 2015 kekerasan anak semakin
meningkat, tetapi Presiden tidak memaparkan apa komitmen, strategi, dan
program aksi pemerintah untuk meretas persoalan kekerasan anak. Walau
terakhir ada terobosan hukuman kebiri bagi pelaku pedofil, tapi hingga saat ini
kita belum lihat ada tindak lanjut dari wacana ini. Persoalan lainnya adalah,
hingga saat ini masih ada oknum penegak hukum yang belum tanggap dalam
menangani kekerasan terhadap anak yang sebenarnya adalah kejahatan luar
biasa. Bahkan, masih ditemukan hakim yang memutus vonis ringan pelaku
kekerasan seksual terhadap anak dan jaksa penuntut umumnya sama sekali
tidak mengajukan banding.

Padahal, kekerasan terhadap anak apalagi pemerkosaan bukan delik aduan.


Artinya, polisi harus menanganinya dengan cepat dan serius tanpa harus
menunggu laporan. Hakim juga harus tegas. Semua kejahatan anak harus
dihukum berat bahkan jika sampai menghilangkan nyawa bisa dihukum mati. Ini
sebagai tanda bahwa negara ini perang terhadap kekerasan anak. Kalau negara
tegas, jangankan berbuat, berniat menyakiti anak saja, orang-orang sudah tidak
berani.

Perlu sistem

Pemerintah harus segera menyiapkan sistem perlindungan anak melalui


pelibatan masyarakat serta mulai menerapkan pendidikan karakter dan budi
pekerti sejak dini karena itu cara yang efektif mencegah terjadinya kekerasan.
Sistem perlindungan anak dengan pelibatan penuh masyarakat sangat efektif
mencegah terjadinya kekerasaan.

Apa yang dilakukan Pemerintah Norwegia yang membuka kesempatan bagi


masyarakat luas untuk menjadi relawan perlindungan anak di lingkungannya
masing-masing, mungkin bisa kita adopsi. Lewat seleksi yang ketat, para relawan
ini dilatih menjadi mediator dan konselor di lingkungan tempat tinggalnya serta
secara rutin berdiskusi dan mencari solusi jika terjadi tindak kekerasan terhadap
anak, terlebih jika korban dan pelakunya adalah anak-anak juga.

Sebagai insentif, masyarakat yang menjadi relawan diberikan keringanan pajak


oleh pemerintah. Jadi, tidak hanya penekanan lewat hukuman maksimal bagi
pelaku kekerasan terhadap anak, tetapi juga harus ada sistem perlindungan
anak yang terorganisasi sebagai tindakan pencegahan. Kita bisa memanfaatkan
RT/RW atau organisasi PKK yang jaringan sampai ke lapisan paling bawah
masyarakat.

Jika ada sistem atau cetak biru perlindungan anak, maka semua
kementerian/lembaga dan pemerintah daerah diharuskan punya program dan
kegiatan sosialisasi perlindungan anak. Misalnya, Kementerian Agama punya
program sosialisasi dan konsultasi bagi pasangan yang akan menikah mengenai
hak-hak anak dan UU Perlindungan Anak termasuk ancaman pidananya. Atau
Kominfo punya program sosialisasi yang masif bahwa kekerasan anak adalah
tindakan kriminal dengan hukuman maksimal 15 tahun penjara. Ini yang selama
ini belum terjadi.

Presiden harus diingatkan bahwa pemerintahannya saat ini, bukan hanya buat
Indonesia lima tahun ke depan, tetapi bagaimana bisa menjadikan Indonesia
negara kuat di masa mendatang. Satu-satunya cara adalah lindungi anak-anak
kita dari kekerasan dan jadikan pemenuhan hak-hak mereka dalam berbagai
bidang sebagai prioritas. Karena wajah Indonesia ke depan adalah mereka.

Anda mungkin juga menyukai