Anda di halaman 1dari 15

GEJALA SOSIAL

PENGARUH DISORGANISASI KELUARGA


TERHADAP KENAKALAN REMAJA

KELOMPOK 2:
ACI PAHRI PASARIBU
ALIFAH QURRATU AIN
KINANTI AZIZAH SYAFITRI
RIFQI ABDUL HAKIM
SUFFIA AYU NINGSIH

SMA NEGERI 1 SUNGAILIAT


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. Yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah tentang “Pengaruh Disorganisasi
Keluarga Terhadap Kenakalan Remaja”.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya, tidak akan bisa
maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, kami dengan
rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki karya
ilmiah ini.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan manfaat dan juga
inspirasi untuk pembaca.

Sungailiat, 23 Mei 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah suatu sistem interaksi yang mana tiap komponennya memiliki
batasan yang selalu berubah dan derajat ketahanan untuk berubah bervariasi. Menurut
Horton dan Hunt (1987), istilah keluarga umumnya digunakan untuk menunjuk
beberapa pengertian sebagai berikut: suatu kelompok yang memiliki nenek moyang
yang sama, suatu kelompok keterabatan yang disatukan darah dan perkawinan,
pasangan perkawinan tanpa anak dan satu duda janda dengan beberapa anak.

Disorganisasi keluarga merupakan perpecahan keluarga sebagai suatu unit karena


anggota-anggotanya gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan
peranan sosialnya. Disorganisasi Keluarga adalah salah satu masalah sosial yang
serius. Hal ini ditandai dengan terjadinya perpecahan keluarga sebagai unit sosial
karena anggota-anggotanya gagal dalam menjalankan peranannya. Pengaruh terhadap
perkembangan anak yang menyebabkan perilaku menyimpang yaitu di terjadinya
kenakalan remaja seperti mabuk, mencuri dan mengisap aibon.

Perilaku Menyimpang adalah perilaku dari para warga masyarakat yang dianggap
tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan atau norma sosial yang berlaku. Macam-
macam perilaku sosial menyimpang yaitu: tindakan yang nonconform, tindakan yang
antisosial atau asosial dan tindakan- tindakan kriminal.

Faktor-faktor disorganisasi keluarga, yaitu :


a) Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan diluar nikah.
b) Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian, perpisahan
meja dan tempat tidur, dan seterusnya.
c) Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut, yaitu dalam hal komunikasi antara
anggota-angotanya.
d) Krisis keluarga, karena salah satu bertindak sebagai kepala keluarga, di luar
kemampuannya sendiri meniggalkan rumah tangga, mungkin karena meninggal
dunia, dihukum, atau karena peperangan.
e) Krisis keluarga yang disebabkan oleh karena faktor-faktor intern.

Pada zaman modern ini, disorganisasi keluarga mungkin terjadi karena konflik
peranan sosial atas dasar perbedaan ras, agama, atau faktor sosial ekonomis. Ikatan
keluarga dalam masyarakat agraris didasarkan atas dasar faktor kasih sayang dan
faktor ekonomis didalam arti keluarga tersebut merupakan suatu unit yang
memproduksi sendiri kebutuhan-kebutuhan primernya. Pada hakikatnya, disorganisasi
keluarga pada masyarakat yang sedang dalam keadaan transisi menuju masyarakat
modern dan kompleks disebabkan karena keterlambatan untuk menyesuaikan diri
dengan situasi-situasi sosial ekonomis yang baru. Kondisi dilapangan terhadap
perilaku sosial anak ini sangat memperihatinkan karena kurangnya kasih sayang dari
orang tua yang mengalami BrokenHome sehingga anak-anak tersebut berperilaku
menyimpang.

Manusia hidup di dunia ini di sunahkan untuk menikah agar mempunyai keturunan
yang sholeh dan sholehah, tetapi ada juga didalam menjalankan berkeluarga antara
suami dan istri tidak sependapat maka akan mengalami perceraian, sehingga anak
akan menjadi korban dalam rumah tangga tersebut.

Padahal seorang anak tidak mempunyai permasalahan terhadap ayah dan ibunya tetapi
anak yang menjadi korban didalam suatu keluarga yang mengalami perceraian.
Permasalahan disorganisasi keluarga ini sudah menjadi hal yang biasa ditemukan
dalam ruang lingkup masyarakat, mulai dari masalah perceraian yang dipenuhi
konflik panjang sampai perceraian yang penuh ketenangan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk kekerasan yang terjadi dalam disorganisasi keluarga?


2. Kenapa disorganisasi keluarga bisa terjadi?
3. Bagaimana pengaruh pola asuh keluarga terhadap perilaku anak?
4. Bagaimana pengaruh kekerasan dalam keluarga terhadap potensi anak dalam
melakukan kenakalan remaja?
5. Bagaimana cara mengatasi disorganisasi keluarga?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi dalam keluarga


2. Menganalisis pengaruh pola asuh keluarga terhadap perilaku anak
3. Menjelaskan pengaruh kekerasan di dalam keluarga terhadap potensi anak
dalam melakukan kenakalan remaja

D. Manfaat Penelitian

1. Pemahaman yang lebih baik: Menulis mengenai gejala sosial ini dapat
membantu kita memahami penyebab dan konsekuensi dari fenomena ini
dengan lebih baik. Melalui penulian ini, kita dapat mengeksplorasi masalah-
masalah ini dengan lebih mendalam dan memahami hubungan antar masalah
yang satu dengan yang lainnya.
2. Pengembangan solusi: Melalui penulisan ini, kita dapat membangun ide dan
solusi untuk mengatasi gejala sosial tersebut. Dengan mempertimbangkan
masalah dari bsrbagai sudut pandang dan melibatkan pemikiran kritis, kita
dapat mengembangkan solusi yang lebih efektif
3. Kesadaran masyarakat: Penulisan tentang gejala sosial dapat membantu
meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya masalaah ini. Hal ini
dapat memotivasi orang untuk terlibat dalam Gerakan sosial yang berfokus
pada solusi dan pemecahan masalah.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Pengertian Disorganisasi Keluarga

Disorganisasi keluarga adalah perpecahan yang terjadi di lingkungan keluarga dan


dapat mengakibatkan ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Kondisi ini disebabkan
oleh anggota keluarga yang gagal dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan
peranan sosial mereka.

Disorganisasi keluarga dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah


single parent yang kesulitan karena memutuskan bercerai, keluarga yang broken
home, komunikasi yang tidak baik karena orangtua terlalu otoriter, dan kekerasan
pada anak (child abuse).

Disorganisasi keluarga dapat menyebabkan berbagai permasalahan dan dampak


negatif bagi anggota keluarganya. Dalam ilmu sosiologi, kondisi ini tergolong sebagai
masalah serius.

B. Bentuk Kekerasan dalam Disorganisasi Keluarga


Bentuk disorganisasi keluarga menurut (Idianto, 2004). Bentuk-bentuk keretakan
keluarga tersebut di antaranya adalah:

1. Keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar nikah. Misalnya anak
tanpa Ayah. Maka dalam hal ini Ayah kandung gagal dalam mengisi peran
sosialnya, begitu pula keluarga pihak Ayah dan Ibu anak yang bersangkutan.
2. Keluarga yag mengalami pisah ranjang atau perceraian, yang sering disebut
Broken home.
3. Buruknya komunikasi di dalam keluarga.
4. Hilangnya pimpinan rumah tangga atau orang yang berkedudukan sebagai
pimpinan karena meninggal, dihukum atau bertugas ke luar kota dalam jangka
waktu yang lama.
5. Terganggunya keseimbangan jiwa (gila) salah-satu anggota keluarga, terutama
jika menimpa ayah dan ibu.

Menurut (Soerjono, 2000) secara sosiologis, bentuk-bentuk disorganisasi keluarga


antara lain adalah.

1. Unit keluarga yang tidak lengkap karena hubungan di luar perkawinan.


Walaupun dalam hal ini secara yuridis dan sosial belum terbentuk suatu
keluarga, tetapi bentuk ini dapat digolongkan sebagai disorganisasi keluarga.
Sebab ayah (biologis) gagal dalam mengisi peranan sosialnya dan demikian
juga halnya dengan keluarga pihak ayah maupun keluarga pihak ibu.
2. Disorganisasi keluarga karena putusnya perkawinan sebab perceraian,
perpisahan meja dan tempat tidur, dan seterusnya.
3. Adanya kekurangan dalam keluarga tersebut, yaitu dalam hal komunikasi
antara anggota-anggotanya. Goede menamakannya sebagai empty shell
family.
4. Krisis keluarga, oleh karena salah-satu yang bertindak sebagai kepala keluarga
di luar kemampuannya sendiri meninggalkan rumah tangga, mungkin karena
meninggal dunia, dihukum atau karena peperangan.
5. Krisis keluarga yang disebabkan oleh karena faktor-faktor intern, misalnya
karena terganggu keseimbangan jiwa salah seorang anggota keluarga.

C. Penyebab Terjadinya Disorganisasi Keluarga


Ada banyak hal yang bisa menjadi pemicu atau penyebab terjadinya disorganisasi
keluarga.

Namun, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kondisi ini adalah trauma berulang
yang terjadi di dalam keluarga.

Trauma tersebut menyebabkan setiap anggota keluarga tidak mampu mengatasi


perasaan dan emosi mereka secara sehat.

Akibatnya, bisa timbul dampak-dampak negatif dalam menjalin hubungan di dalam


keluarga.

Melansir dari Brown University, berdasarkan pemicunya, disorganisasi keluarga bisa


dibagi ke dalam beberapa jenis. Berikut beberapa pemicu disorganisasi keluarga.

1. Komunikasi yang buruk

Dalam kasus disorganisasi keluarga, kebanyakan anggota keluarga umumnya tidak


tahu cara berkomunikasi secara terbuka dengan satu sama lain.
Akibatnya, masalah yang timbul di dalam keluarga sering kali disembunyikan,
sehingga tidak ditangani dengan baik.

Keluarga dengan kondisi ini tidak mampu menciptakan lingkungan yang sehat untuk
berdiskusi.

Sebaliknya, mereka tidak mau saling mendengarkan, dan biasanya menggunakan cara
komunikasi lain, seperti berteriak atau berkelahi.

2. Kurang empati dan dukungan emosional

Tanpa adanya kasih sayang di dalam keluarga, anak-anak bisa mudah merasa kecewa
dengan dirinya sendiri. Terlebih jika orangtua sering kali memarahi anak hanya
karena kesalahan kecil.

Anak pun akan lebih mudah merasa takut untuk berbuat kesalahan atau mengalami
kegagalan. Ini bisa membuat anak sulit berkembang dan mencoba hal baru.
Orangtua yang menelantarkan anak secara emosional juga bisa membuat anak merasa
tidak memiliki ruang aman untuk meluapkan emosinya secara jelas dan positif.

Akibatnya, anak mungkin akan merasa kesepian atau terisolasi dari orangtua mereka
dalam situasi ini.

3. Terlalu mengekang

Terkadang, orangtua juga bisa terlalu mengekang anak, misal dengan membatasi
secara berlebihan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak. Ini juga
termasuk ciri dari toxic parenting.
Meski anak butuh arahan dan pengawasan dari orangtua, kontrol semacam ini dapat
menyebabkan anak-anak ragu terhadap kemampuan mereka, sehingga menjadi tidak
percaya diri.

Anak juga bisa merasa kurang mendapat privasi dari orangtua karena tidak memiliki
kebebasan dalam mengambil keputusan.

Hal ini bisa membuat anak tidak mandiri atau sebaliknya, tidak jujur kepada orangtua.

4. Kecanduan zat terlarang

Menurut penelitian pada jurnal Social Work in Public Health, anak yang diasuh oleh
orangtua yang mengalami kecanduan zat terlarang (NAPZA) atau alkohol cenderung
memiliki masalah kecanduan yang sama pada kemudian hari.
Sebagai contoh, anak-anak yang menyaksikan orangtua mereka menggunakan
narkotika akan lebih mudah terdorong untuk menggunakan zat yang sama.

5. Gangguan Mental

Sering kali, bukan hanya penderita yang mengalami dampak negatif gangguan mental,
tetapi juga orang-orang di sekitarnya, terutama anggota keluarganya.

Gangguan mental pada orangtua bisa memengaruhi fungsi keluarga, sehingga tidak
berjalan dengan baik atau mengalami disorganisasi.

Ini karena orangtua dengan gangguan mental lah yang cenderung bergantung kepada
anak untuk mendapat dukungan emosional, bukan sebaliknya.
Bahkan, orangtua mungkin bersikap manipulatif terhadap anak dan menyebabkan
anak merasa terbebani secara emosional.

Anak-anak dari orangtua penderita gangguan mental juga memiliki kecenderungan


untuk menderita penyakit yang sama karena faktor genetik.
6. Terlalu menuntut dan mengkritik

Setiap orangtua pasti mengharapkan anaknya berprestasi. Namun, jika orangtua


terlalu menuntut anak untuk bisa sesuai dengan harapan mereka, anak mungkin akan
merasa tertekan.

Tentunya, hal ini bisa berdampak buruk pada tumbuh kembang anak. Anak mungkin
akan menjadi takut gagal dan terlalu perfeksionis.
Orangtua yang sering merendahkan dan menggurui anak dengan kejam juga bisa
menanamkan rasa tidak berdaya dan kurang percaya diri pada anak. Anak pun
berisiko memiliki harga diri yang rendah.

7. Kekerasan dan pelecehan

Pelecehan dan kekerasan dalam rumah tangga, baik fisik maupun verbal, bisa
berdampak buruk pada anak.

Anak yang terbiasa dibentak atau dipukul sedari kecil bisa menganggap bahwa hal ini
merupakan sesuatu yang wajar, sehingga ia berpotensi melakukan hal yang sama
kepada keturunannya.
Bisa juga, anak yang tahu bahwa ini sesuatu yang salah mungkin akan merasa malu.
Anak pun akhirnya menjadi takut untuk meminta pertolongan dan memilih
menyembunyikannya dari orang lain.

D. Dampak Disorganisasi Terhadap Anak


Tumbuh dengan disorganisasi keluarga umumnya dapat memiliki dampak negatif
pada anak-anak. Dampak tersebut sering kali dapat diamati dari pola perilaku anak
yang meliputi berikut ini.

1. Memiliki citra diri yang buruk serta rasa percaya diri dan harga diri yang rendah.
2. Sulit membentuk hubungan yang sehat saat dewasa, pemalu, atau memiliki
gangguan kepribadian.
3. Anak mudah marah dan lebih suka menyendiri.
4. Memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri sendiri atau bahkan pikiran untuk
bunuh diri.
5. Rentan mengalami kecanduan alkohol, obat-obatan, atau merokok.
6. Rentan terhadap masalah kesehatan mental, seperti depresi, kecemasan, dan
paranoia.
7. Prestasi akademik anak biasanya buruk karena anak sulit berkonsentrasi dan
fokus.
8. Anak kurang disiplin dan tidak bertanggung jawab karena tidak memiliki panutan
untuk diteladani saat tumbuh dewasa.
9. Anak kehilangan sifat polos anak kecil karena harus mengambil tanggung jawab
besar sejak usia dini.
E. Pengaruh Kekerasan Dalam Kelurga Terhadap Potensi Anak Dalam Melakukan
Kenakalan Remaja

Menurut Abla Basat Gomma bahwa anak selalu belajar dari orang dewasa dengan
cara memperhatikan, kemudian mengikuti mereka. Jika sejak kecil anak- anak melihat
dan merasakan sesuatu hal yang menakutkan, menggelisahkan, maka lambat laut hal-
hal tersebut akan berpindah dan tertanam dalam jiwanya.

Perilaku sosial adalah kegiatan yang berhubungan dengan orang lain, kegiatan yang
berkaitan dengan pihak lain yang memerlukan sosialisasi dalam hal bertingkah laku
yang dapat diterima oleh orang lain, belajar memainkan peran sosial serta upaya
mengembangkan sikap sosial yang layak diterima oleh orang lain. Perilaku sosial
anak adalah sikap seorang anak yang mengalami broken home, sehingga anak
perilaku sosial anak ini sangat menyimpang karena tidak didasari modal agama dan
iman didalam diri anak tersebut.

Ada beberapa kasus brokenhome yang terjadi di Desa Purwodadi yang menyebabkan
anak-anak menjadi biasa dengan perilaku menyimpang seperti mabuk, mencuri dan
mengisap aibon dan. Faktornya sangat bervariasi sesuai dengan kondisi yang dihadapi
oleh masing- masing keluarga. Kondisi rumah tangga yang broken, anak-anak sering
mengalami depresi mental (tekanan mental) sehingga tidak jarang anak-anak yang
hidup dalam keluarga yang demikian biasannya akan berperilaku sosialnya yang jelek
seperti mabuk, mencuri dan mengisap aibon dan berbeda dengan anak-anak pada
umunya.

Orang tua yang mengalami perceraian atau bisa disebut brokenhome, maka akan
berdampak buruk pada sikap sosial emosional dan sosial agama anak-anak yang
berada pada ruang lingkup tersebut. Karena perilaku sosial yang tertanam dari orang
tua sejak kecil akan menghasilkan perilaku mereka di masa dewasa kelak, hal tersebut
akan berdampak buruk kepada mereka dan orang-orang di sekitar mereka karena
perbedaan keterbelakangan kondisi atau keterbelakangan remaja.Perilaku sosial anak
yang mengalami disorganisasi keluarga tersebut menyebabkan anak berperilaku
menyimpang berupa kenakalan remaja, seperti mabuk, mencuri dan mengisap aibon.

F. Solusi Mengatasi Disorganisasi Keluarga

1. Belajar bertanggung jawab terhadap keluarga

Sebagai orang dewasa, sangat penting bagi Anda untuk mulai bertanggung jawab
terhadap setiap hal yang Anda lakukan.

Anda juga perlu belajar memenuhi kewajiban bukan hanya terhadap diri Anda sendiri,
tetapi juga keluarga Anda. Usahakan untuk selalu menjadi panutan yang baik bagi
seluruh anggota keluarga.
2. Cari bantuan ahli

Jika dirasa perlu, Anda juga bisa meminta bantuan ahli, seperti psikolog, untuk
membantu Anda mengatasi masalah yang memengaruhi hubungan di dalam keluarga.
Ini utamanya perlu dilakukan jika sudah timbul perilaku atau kecenderungan yang
berbahaya, misal perkelahian hingga melakukan kekerasan fisik.

3. Jalin komunikasi yang baik dengan keluarga

Coba utarakan kepada keluarga dengan cara yang lebih baik mengenai keinginan
Anda untuk memperbaiki hubungan. Hindari memarahi atau berlaku kasar kepada
pasangan atau anak.
Anda mungkin bisa mengusulkan untuk melakukan diskusi bersama terkait apa saja
keinginan dan saran dari masing-masing anggota keluarga.

4. Bangun kepercayaan di dalam keluarga

Mungkin cukup sulit untuk mulai percaya pada seseorang yang sudah membuat Anda
kecewa berulang kali, terutama keluarga yang diharapkan bisa dekat dengan Anda.

Namun seiring waktu, kepercayaan di antara sesama bisa timbul jika terus dibangun
dan dijaga. Awali dengan saling memaafkan dan mendukung satu sama lain di dalam
keluarga.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Penelitian Kualitatif

Penelitian ini merupakan penilaian kualitatif. Penelitian kualitatif dapat dipahami


sebagai metode penelitian yang menggunakan data deskriptif berupa bahasa tertulis
atau lisan dari orang dan pelaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif ini
dilakukan untuk menjelaskan dan menganalisis fenomena individu atau kelompok,
peristiwa, dinamika sosial, sikap, keyakinan, dan persepsi. Oleh karena itu, proses
penelitian pendekatan kualitatif dimulai dengan pengembangan asumsi-asumsi dasar.
Kemudian dikaitkan dengan kaidah-kaidah pemikiran yang digunakan dalam
penelitian. Data yang dikumpulkan dalam survei kemudian diinterpretasikan.
Contohnya penelitian dengan pendekatan kualitatif di bidang sosiologi, maka akan
mengungkap makna sosial dari fenomena yang diperoleh subjek penelitian. Topik ini
biasanya diterima dari partisipan atau responden. Dengan cara ini, peneliti dengan
pendekatan ini kemudian berusaha menjawab bagaimana pengalaman sosial budaya
manusia terbentuk dan kemudian diberi makna. Subjek penelitian dengan pendekatan
kualitatif mencakup semua aspek atau bidang kehidupan manusia, yakni manusia dan
semua yang dipengaruhi olehnya. Metode kualitatif tidak secepat dalam menganalisis
data seperti halnya penelitian kuantitatif.

B. Lokasi Penelitian
Lokasi ini terletak pada kecamatan Sungailiat, kabupaten Bangka induk, SMA Negeri
1 Sungailiat Provinsi Bangka Belitung.

C. Waktu Penelitian
Penelitian ini di rancang pada bulan Mei Tahun 2023

D. Teknik Pengumpulan data

1. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data yang kompleks karena melibatkan
berbagai faktor dalam pelaksanaannya. Metode pengumpulan data observasi tidak
hanya mengukur sikap dari responden, namun juga dapat digunakan untuk
merekam berbagai fenomena yang terjadi. Teknik pengumpulan data observasi
cocok digunakan untuk penelitian yang bertujuan untuk mempelajari perilaku
manusia, proses kerja, dan gejala-gejala alam. Metode ini juga tepat dilakukan
pada responden yang kuantitasnya tidak terlalu besar. Metode pengumpulan data
observasi terbagi menjadi dua kategori, yakni:a. Participant observationDalam
participant observation, peneliti terlibat secara langsung dalam kegiatan sehari-
hari orang atau situasi yang diamati sebagai sumber data.b. Nonparticipant
observationBerlawanan dengan participant observation, nonparticipant
observation merupakan observasi yang penelitinya tidak ikut secara langsung
dalam kegiatan atau proses yang sedang diamati.

2. Studi Dokumen
Studi dokumen adalah metode pengumpulan data yang tidak ditujukan langsung
kepada subjek penelitian. Studi dokumen adalah jenis pengumpulan data yang
meneliti berbagai macam dokumen yang berguna untuk bahan analisis. Dokumen
yang dapat digunakan dalam pengumpulan data dibedakan menjadi dua, yakni:a.
Dokumen primerDokumen primer adalah dokumen yang ditulis oleh orang yang
langsung mengalami suatu peristiwa, misalnya: autobiografi.b. Dokumen
sekunderDokumen sekunder adalah dokumen yang ditulis berdasarkan oleh
laporan/ cerita orang lain, misalnya: biografi.

E. Teknik Analisis Data

1. Pengumpulan (collecting data)


Langkah pertama adalah mengumpulkan data responden yang dibutuhkan. Teknik
pengumpulan data ini bisa menggunakan kuesioner, focus group discussion, atau
metode lainnya. Pengolahan data adalah proses yang mengubah data mentah menjadi
informasi yang berguna dan mudah diterima. Data mentah biasanya berupa angka atau
catatan yang tidak memiliki arti bagi pengguna, sehingga membutuhkan proses
pengolahan untuk mengubahnya menjadi informasi berguna menggunakan teknik dan
metode tertentu.
2. Seleksi dan editing
Biasanya, data yang dikumpulkan adalah data-data mentah alias masih ada beberapa
bagian yang harus dibuang. Proses inilah yang dinamakan seleksi dan penyuntingan.
3. Pengkodean (coding)
Setelah menerima data yang benar-benar dibutuhkan dalam riset tersebut, lakukanlah
pengkodean. Langkah ini dilakukan dengan mengidentifikasi dan mengelompokkan data
berdasarkan variabel.

F. Sumber Data

Sumber Data adalah subjek dari mana data dapat diperoleh. Sumber data bisa berupa
benda, perilaku manusia, tempat dan sebagainya. Dalam penelitian ini yang menjadi sumber
data ialaah field research yaitu sumber data yang didapatkan dari lapangan penelitian, yaitu
mencari data dengan cara angket dan wawancara untuk mendapatkan data yang lebih jelas
yang berkaitan dengan hal yang diteliti. Adapun sumber data ini ada 2 macam yaitu

1. Data Primer
Yaitu sumber yang secara langsung memberikan data kepada peneliti dari informan
yang mengetahui secara jelas dan rinci tentang masalah yang sedang diteliti. Informan
adalah orang yang dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan
kondisi dalam penelitian. Diantara informan yang masuk dalam penelitian ini antara lain
meliputi; tutor atau pengajar, masyarakat sekitar dan warga belajar yang dianggap
mampu memberikan informasi yang jelas dan relevan.
2. Data Sekunder
Yaitu jenis data yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan. Data yang dikumpulkan
oleh peneliti ini, sebagai penunjang dari sumber pertamanya. Data sekunder itu,
biasanya telah tersusun dalam bentuk berupa dokumen-dokumen sekolah, majalah,
buku, jurnal, dan yang lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembentukan pribadi-pribadi yang tangguh dalam keluarga merupakan unsur penentu


bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam masyarakat sehingga
memenuhi kualitas yang diperlukan sebagai manusia pembangunan.

Melalui keterlibatannya secara penuh sebagai orang tua berkeluarga dituntut untuk
berperan sebagai kodratnya selaku suami sebagai ayah dan istri sebagai ibu dalam
melaksanakan pembentukan pribadi-pribadi putra-putrinya, maupun anggota keluarga
lain yang berada dibawah tanggung jawabnya.

Disorganisasi keluarga sebagai salah satu problema sosial dalamkehidupan


bermasyarakat sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pertumbuhan, baik
fisik dan mental serta kepribadian anak. Disorganisasi keluarga terjadi karena
disebabkan oleh faktor-faktor antara lain :
1) Faktor Internal, seperti ketiadaan dalam keluarga, norma dan etika yang
seharusnya dipelihara, ditinggalkan serta ketiadaan saling pengertian dalam
keluarga.
2) Faktor Eksternal, pola kehidupan yang modern yang sangat peka terhadap pribadi
dan struktur sosial, kehidupan yang serba bebas tidak terkontrol, lingkungan
hidup yang buruk serta situasi perekonomian dan lain-lain.
3) Secara konrit sumber-sumber terjadinya Disorganisasi Keluarga serta
pengaruhnya terhadap kepribadian anak, yaitu :
- Kasih sayang yang tidak diwujudkan dalam kehidupan keluarga itu.
- Tidak adanya/kurangnya waktu luang yang disediakan bagi keluarga.
- Berkurangnya pola anutan orang tua serta pengaruh lingkungan.

B. Saran

1. Melalui norma-norma yang berlaku didalam kehidupan bermasyarakat, kiranya


tidak memberi peluang terhadap orang tua berkeluarga untuk melaksanakan
poligami maupun praktek-praktek prositusi.
2. Bagi instansitempat bekerja dari orang tua untuk mencari nafkah dengan tidak
mengabaikan policy yang berlaku, kiranya tidak membiarkan orang tua
berkeluarga terlalu sering melakukan tugas kedinasan yang harus meninggalkan
keluarga terlalu lama, tetapi memiliki cukup banyak waktu untuk berkumpul
bersama keluarganya.
3. Dalam kaitannya dengan Tuhan sang pencipta, kiranya orang tua berkeluarga
senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, agar segala perilakunya dapat
dimanifestasikan/diwujudkan ke dalam kehidupan keluarga serta mendapat
bimbingan kearah tujuan hidup yang hakiki.
DAFTAR PUSTAKA

http://repository.radenintan.ac.id/14261/1/perpus%20pusat%20bab%201.2.pdf
https://kumparan.com/sejarah-dan-sosial/disorganisasi-keluarga-pengertian-faktor-penyebab-
dan-contohnya-1zyTg7bwaCV/3
https://hellosehat.com/parenting/disorganisasi-keluarga/
http://repo.unsrat.ac.id/637/1/KARYA_ILMIAH_LASUT1.pdf
https://m.mediaindonesia.com/humaniora/539107/teknik-pengumpulan-data-dan-metode-
penelitian
https://greatnusa.com/artikel/teknik-pengolahandata/#:~:text=Pengolahan%20data%20adalah
%20proses%20yang,menggunakan%20t
file:///C:/Users/home/Downloads/PROPOSAL%20PENELI-WPS%20Office%20(2).pdf

Anda mungkin juga menyukai