Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Psikologi Keluarga Dalam Islam Dr. Taufik Hidayat, M. Kes, Psikolog

PROBLEMATIKA KELUARGA FAKTOR INTERNAL

OLEH

HILMA MAULIDA

220211050114

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCASARJANA
HUKUM KELUARGA
BANJARMASIN
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Problematika dalam rumah tangga merupakan suatu keadaan yang bermasalah,
ketidaksesuaian antar anggota keluarga, sehingga menimbulkan konflik,
perselisihan dan pertikaian. Kehidupan dalam keluarga juga akan senantiasa
mengalami perubahan dan pasang surut, inilah yang disebut dinamika keluarga
banyak hal yang akan memengaruhi dinamika keluarga ini, sebagian keluarga
berubah menjadi tidak harmonis karena suami istri tidak siap dalam menjalani
perannya dalam perkawinan. Problem yang terjadi dalam rumah tangga, pada
pasangan suami istri, bukan hanya menyebabkan kehidupan rumah tangga
menjadi tidak harmonis saja, akan tetapi dapat berujung pada perceraian.
Problematika rumah tangga itu terjadi, baik pada pasangan suami istri yang masih
muda maupun yang sudah dewasa, dengan berbagai macam jenis problem yang di
hadapi oleh masing-masing pasangan suami istri, dalam menjalani kehidupan
rumah tangganya. Hubungan komunikasi antara pasangan suami dan istri
harusnya terjaga dengan baik, karena komunikasi merupakan bagian terpenting
dalam berbagai hal lebih-lebih dalam hubungan rumah tangga, jika hubungan
komunikasi tidak terjalin dengan baik antara suami dan istri maka sulit untuk
saling memahami dan melengkapi antara keduanya, suami dan istri harus saling
terbuka dalam menjalakan kehidupan rumah tangga sehingga dalam menghadapi
permasalahan yang ada tidak menimbulkan pertengkaran. Hak dan kewajiban
merupakan suatu perbuatan yang harus ditunaikan oleh pasangan suami istri, hak
dan kewajiban suami terhadap istri, hak dan kewajiban istri terhadap suami dan
hak dan kewajiban bersama antara keduanya, jika hal tersebut belum dijalankan
dengan baik maka akan menimbulkan problem dalam rumah tangga yaitu berupa
konflik dan berujung pada perceraian.1

1
Kemenag RI, Fondasi Keluarga Sakinah, (Jakarta: Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina
KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2017), h. 41
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masalah Komunikasi dalam Keluarga

Definisi keluarga meliputi keterkaitan (relatedness), memelihara (nurturing)


dan kontrol (control). Keterkaitan yang dimaksud adalah bagaimana setiap anggota
keluarga berfungsi satu sama lain dan sifatnya saling bergantung. Terbukti seorang
anak tidak akan mampu berkembang dengan baik tanpa adanya keterkaitan dari
orangtua. Sedangkan memelihara adalah bentuk upaya orangtua untuk selalu menjaga
dan merawat anaknya menjadi dewasa. Dan demikian kontrol adalah bagaimana
anggota keluarga dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku satu sama lain
melalui kedisiplinan dan pengajaran. Fitzpatrick dalam Morissan, mengonsepkan ada
empat tipe keluarga yang menggambarkan interksi adalah Tipe Konsensual, yaitu
sering melakukan percakapan dan mempunyai kepatuhan tinggi, keputusan ada di
pihak tertinggi dalam keluarga. Tipe Pluralistis, sering melakukan komunikasi namun
mempunyai kepatuhan rendah. Tipe Protektif, jarang melakukam komunikasi namun
memiliki kepatuhan yang tinggi. Tipe Laissez Faire yaitu mempunyai percakapan dan
kepatuhan yang rendah.2

Hubungan komunikasi antara pasangan suami dan istri harusnya terjaga


dengan baik, karena komunikasi merupakan bagian terpenting dalam berbagai hal
lebih-lebih dalam hubungan rumah tangga, jika hubungan komunikasi tidak terjalin
dengan baik antara suami dan istri maka sulit untuk saling memahami dan melengkapi
antara keduanya, suami dan istri harus saling terbuka dalam menjalakan kehidupan
rumah tangga sehingga dalam menghadapi permasalahan yang ada tidak
menimbulkan pertengkaran. Dalam menghadapi problematika kehidupan rumah
tangga sering sekali permasalahan tersebut dipendam, tanpa ada diskusi atau
komunikasi yang baik antara suami istri untuk menemukan jalan keluar masalah yang
dihadapi, semakin didiamkan permasalahan tersebut semakin tidak bisa terselesaikan
sehingga menyebabkan hubungan rumah tangga menjadi retak. Hubungan komunikasi
yang kurang baik antara suami dan istri dalam menjalani kehidupan rumah tangga

2
Prafika Adislitiar Astika, Strategi Manajemen Konflik Orangtua dan Remaja Putri Usia 19-22 Tahun
Dalam Konflik Pemilihan Pasangan. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni. Vol. 1 No. 2 h.54
dapat berakibat pada pertengkaran antara suami dengan istri bahkan berujung pada
perceraian.

Problematika yang dihadapi oleh rumah tangga adalah hubungan komunikasi


yang kurang baik dengan istrinya disebabkan oleh terlalu sering terjadi pertengkaran
antara suami dengan istri sehingga berimbas kepada hubungan komunikasi menjadi
kurang baik. Terlalu sering dihadapkan dengan permasalahan kehidupan rumah
tangga menjadikan hubungan suami istri mengalami ketidakharmonisan bahkan pada
keretakan rumah tangga. Ketika menghadapi suatu permasalahan dalam kehidupan
rumah tangga sering sekali permasalahan tersebut didiamkan tanpa melakukan suatu
permusyawarahan atau hubungan komunikasi untuk menemukan jalan keluar pada
masalah yang dihadapi.

Komunikasi merupakan salah satu aspek kehidupan dan perilaku manusia


secara keseluruhan, manusia saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya
melalui komunikasi dan dengan komunikasi pula manusia memenuhi segala
kebutuhan hidupnya. Sebagaimana kita ketahui setiap insan manusia pasti ingin
melengkapi hidupnya dengan menikah. Pada realita yang terjadi antara suami dengan
istri sering mengalami problem dipicu oleh hubungan komunikasi yang kurang baik
antara keduanya, sehingga mengakibatkan keretakan dalam hubungan rumah tangga.

Komunikasi yang kurang baik menjadi pemicu terjadinya perpecahan dan


konflik dalam sebuah hubungan keluarga, komunikasi yang tidak terjalin dengan baik
disebabkan oleh terlalu sering terjadi pertengkaran antara suami dengan istri sehingga
mengakibatkan hubungan komunikasi antara suami dengan istri menjadi kurang baik,
maka ketika menghadap suatu permasalahan hendaknya permasalahan itu di
musyawarahkan untuk menemukan penyelesaian, tanpa ada perselisihan dan
pertengkaran ataupun konflik, yakni menjalin komunikasi yang baik antara suami
dengan istri ketika menghadapi masalah.3

B. Konflik Orang Tua dan Anak

Secara naluriah orang tua akan menganggap anaknya sebagai bagian paling
penting dalam hidupnya. Dalam posisi tersebut orang tua akan berusaha mencapai

3
Musaitir, Problematika Kehidupan Rumah Tangga Pada Pasangan Suami Istri Persfektif Hukum
Keluarga Islam. Al-Ihkam: Jurnal Hukum Keluarga Juni 2020 Vol. 12, No. 2 h. 161-162
kebahagiaan dan kesejahteraan anak. Dengan perspektif yang demikian seharusnya
konflik orang tua-anak tidak akan terjadi, karena orang tua akan senantiasa berkorban
untuk anaknya. Namun dalam hubungan orang tua-anak sering kali juga mengandung
perspektif kekuasaan dan kewenangan. Selain terdapat aspek ketanggapan dalam
merespons kebutuhan anak, juga terdapat aspek tuntutan yang mencerminkan harapan
orang tua terhadap sikap dan perilaku anak. Akhirnya hubungan orang tua-anak pun
biasanya diwarnai dengan berbagai perbedaan dan konflik. Sumber utama konflik
pada umumnya adalah ketidakcocokan antara perspektif anak dan perspektif orang
tua.

1. Konflik pada Masa Kanak-kanak

Terjadinya konflik orang tua-anak sudah di-mulai sejak anak mash berupa
janin di dalam kandungan (fetal con-flict). Walaupun ibu mengandung janin dan
selalu bersedia berkorban untuk janin di kandungannya, ternyata tidak selalu memiliki
kepentingan yang sama dengan sang janin. Penelitian Haig (1993) memaparkan
adanya konflik genetik dalam proses kehamilan. Selama sembilan bulan kehamilan,
tubuh ibu akan menyediakan segala kebutuhan nutrisi bagi janin, namun
perkembangan janin berlangsung sesuai kebutuhannya sendiri. Masa kehamilan
merupakan masa yang peka dalam menjaga keseimbangan antara upaya janin untuk
sebesar mungkin mengambil bagian dari tubuh ibu untuk perkembangan dirinya, dan
upaya ibu untuk mempertahankan berbagai sumber daya untuk dirinya dan janin-janin
yang lain di kemudian hari. Gen-gen janin akan terseleksi untuk meningkatkan
perpindahan nutrisi menuju janin, demikian juga gen-gen ibu akan terseleksi untuk
membatasi perpindahan nutrisi yang dapat melibihi dari derajat optimum. Upaya
penyeimbangan ini seringkali menimbulkan gejala-gejala yang tidak menyenangkan
bagi ibu,dan bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang serius.

Ketika bayi sudah lahir dan mengalami perkembangan di luar tubuh ibu, salah
satu konflik yang permulaan muncul dalam hubungan orang tua-anak adalah konflik
pada masa penyapihan (weaning conflict), biasanya setelah anak berusia satu tahun.
Proses penyapihan mulai dialami anak oleh karena kehamilan bayi berikutnya, atau
karena anak dianggap sudah berada pada usia yang cukup untuk mulai mengalami
perpisahan sementara dengan ibunya. Pada masa ini, anak yang disapih sebenarnya
masih menghendaki andil orang tua (parent investment) yang lebih besar pada dirinya.
Karena kemampuannya yang masih terbatas, anak menggunakan cara tertentu sebagai
upaya memperoleh andil orang tua bagi dirinya, misalnya temper tantrum.

Pada saat anak menyadari bahwa andil orang tua terhadap dirinya mulai
terancam, misalnya oleh kehadiran adik, anak akan berupaya membesar-besarkan
kebutuhannya, bersikap seolah-olah masih berusia lebih muda, dan berpura-pura
tertekan. Cara-cara tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh perhatian
yang lebih dari orang tua.

Pada perkembangan berikutnya, yang banyak mendapat perhatian dalam


pengkajian konflik orang tua-anak adalah ketika anak menginjak usia dua tahun
(toddler). Pada masa tersebut anak mulai banyak mengalami perkembangan dalam
keterampilan bahasa dan motorik, dan mulai banyak mengalami masalah perilaku.
Konflik orang tua-anak yang terjadi sehari-hari dapat berupa ketidaksetujuan antara
orang tua dan anak tentang fakta-fakta. Selain itu dapat pula disebabkan oleh
ketidaksediaan atau ketidakmampuanorang tua menuruti keinginan anak.

Terbangunnya tipe kelekatan aman (secure attachment) dalam hubungan orang


tua-anak tidak berarti meniadakan munculnya konflik. Pendapat yang mengatakan
bahwa kelekatan aman memprediksi sedikitnya konflik dan kelekatan tak aman
(insecure attachment) memprediksi tingginya konflik kurang memiliki dukungan yang
teruji. Namun dapat dipercaya bahwa kelekatan aman dapat membuat konflik
membuahkan hasil yang lebih positif, misalnya saling memberi afeksi positif dan
kesediaan anak mengikuti nasihat orang tua. Pada hubungan dengan kelekatan tak
aman, konflik bersifat kurang konstruktif karena komunikasi di antara mereka hanya
sedikit mengandung proses penalaran, dan lebih menonjolkan penentangan dan
pemaksaan.

Sebagaimana halnya tipe kelekatan, temperamen anak juga memengaruhi


kualitas konflik orang tua-anak. Selain memengaruhi kualitas konflik, temperamen
anak juga berkaitan dengan frekuensi terjadinya konflik. Yang dimaksud dengan
temperamen adalah pembeda individu yang berupa kereaktifan (reactivity) dan
pengaturan diri (self-regulation), dalam hal afeksi, tindakan, dan perhatian yang
bersifat konstitusional. Kereaktifan adalah ketanggapan terhadap berbagai perubahan
dalam lingkungan internal maupun eksternal. Kereaktifan tersebut mencakup reaksi
dalam arti luas, yaitu reaksi emosi (misalnya rasa takut, marah, jantung berdebar-
debar, afeksi) dan reaksi tindakan (misalnya menyerang, merampas, merintangi,
menolong). Pengaturan diri adalah proses kontrol yang sungguh-sungguh dan
memiliki orientasi, dalam rangka mengatur kereaktifan. Temperamen bersifat konsti-
tusional, dalam arti berdasarkan faktor-faktor biologis yang dipengaruhi oleh
keturunan, kematangan, dan pengalaman. Temperamen anak selain dapat memancing
tanggapan dari orang lain, juga memengaruhi keberfungsian kognisi dan emosi
dirinya.

Anak dengan temperamen yang sulit (misanya memiliki reaksi emosi negatif
yang tinggi) cenderung menimbulkan konflik dengan pengasuhnya. Hal itu terjadi
selain karena mereka mudah berperangai buruk dan sulit bersikap tenang, mereka juga
menyita energi dan ke-sabaran pengasuhnya. Lagipula, anak dengan temperamen sulit
akan kesulitan mengembangkan konflik yang konstruktif, karena sumber daya
kognitif yang mereka butukan untuk melakukan negosiasi dan diskusi telah terkuras
energinya untuk mengatur emosi negatif.

2. Konflik pada Masa Remaja

Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam
tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja
sebagai masa storm and stress, untuk menggambarkan masa yang penuh gejolak dan
tekanan. Fenomena tersebut terjadi karena remaja menjalani proses evolusi menuju
kedewasaan. Setelah memasuki masa devasa, ibarat badai akan berlalu dan langit
menjadi cerah kembali. Masa remaja merupakan masa pertarungan antara id, yaitu
hasrat untuk mencari kesenangan seksual dan super-ego, yaitu tuntutan untuk
mematuhi norma dan moral sosial. Pergolakan yang dialami pada masa remaja
merupakan refleksi dari konflik internal dan ketidakseimbangan psikis.

Konflik remaja dengan orang tua merupakan salah satu hal yang banyak
mengundang perhatian para peneliti. Area yang menjadi perhatian pada umumnya
adalah frekuensi terjadinya konflik, topik yang menjadi konflik dan cara yang
digunakan untuk melakukan resolusi Konfik. Beberapa penelitian menunjukkan pola
kurvalinier pada intensitas konflik orang tua-anak, yaitu meningkat pada remaja awal,
mencapai puncakya pada remaja tengah, dan menurun pada remaja akhir. Sementara
beberapa penelitian lain mengungkapkan kecenderungan menurun secara linear
dengan intensitas konflik lebih tinggi terjadi pada remaja awal dan menurun pada
remaja akhir.

Walaupun terdapat kesamaan dalam hal tingginya intensitas konflik pada masa
remaja awal, faktor usia agaknya tidak dapat digunakan sebagai patokan bagi
kecenderungan meningkat atau menurunnya konflik orang tua-anak. Faktor pola
interaksi mungkin bisa lebih memprediksikan intensitas konflik, sebagaimana
diungkap oleh Rueter dan Conger (1995) bahwa konflik orang tua-anak meningkat
dalam keluarga dengan kondisi penuh permusuhan dan menurun dalam keluarga yang
hangat dan suportif.

Konflik orang tua dengan remaja pada umumnya bersifat hierarkis dan
berkenaan dengan kewajiban. Orang tua berada di posisi yang lebih tinggi yang harus
dipatuhi, dan anak dipandang memiliki kewajiban terhadap orang tua. Berbeda
dengan konflik yang dialami dengan teman sebaya yang bersifat setara dan fakultatif.
Konflik orang tua dengan remaja juga cenderung memancing tindakan koersif, yang
merupakan kombinasi antara afeksi negatif, resolusi yang bersifat mendominasi dan
akibat yang tidak setara pada masing-masing yang berkonflik. Banyak yang
beranggapan bahwa konflik orang tua-remaja disebabkan oleh sikap remaja yang
menentang orang tuanya.

Pada mulanya konflik orang tua dengan remaja dilihat dari sudut pandang
adanya kehendak menentang dari anak berhadapan dengan kehendak mengontrol
perilaku anak dari orang tua. Cara pandang orang tua dan remaja terhadap konflik dan
ketidaksetujuan di antara mereka sering kali berbeda. Orang tua selalu melihat dari
sudut pandang kewenangan orang tua dan tatanan sosial. Dalam menghadapi
ketidaksetujuan dengan remaja, orang tua sering membenarkan sudut pandangnya
berdasarkan kewenangannya sebagai Orang tua atau peraturan sosial. Dengan
perspektif demikian, orang tua menganggap konflik terselesaikan ketika remaja sudah
menyetujui dan mengikuti pendapat orang tua. Oleh karena itu, Pada umumnya orang
tua sering menilai hubungan dengan anaknya baik-baik saja dan konflik di antara
mereka tidaklah terlalu keras dan sering. Namun dari sudut pandang remaja,
mematuhi atau menurut pada pendapat orang tua setelah terjadinya perbedaan,
penentangan, atau konflik tidak selalu berarti konflik telah selesai.4

C. Masalah Ekonomi

Faktor ekonomi memunculkan berbagai macam permasalahan, seperti


ketidakmampuan suami memenuhi kebutuhan keluarga karena tidak memiliki
pekerjaan tetap atau suami malas bekerja sehingga sumber pendapatan keluarga tidak
diketahui. Bagi wanita hal tersebut tidak sesuai dengan harapan pernikahan yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari memiliki suami yang bekerja.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan rumah tangga inilah yang menjadi pemicu
terjadinya perceraian. Keadaan ekonomi yang buruk juga mempengaruhi masalah lain
pada kehidupan rumah tangga.5

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Sosial Ekonomi Menurut Sumardi


(2004) dapat dilihat dari rumahnya seperti: a. Status rumah yang ditempati. Status
rumah bisa merupakan rumah sendiri, rumah dinas, menyewa rumah, menumpang
pada saudara atau ikut orang lain. b. Kondisi fisik bangunan. Kondisi fisik bisa berupa
permanen, kayu dan bambu. Keluarga yang keadaan sosial ekonominya tinggi pada
umumnya menempati rumah permanen, sedangkan keluarga yang keadaan sosial
ekonominya menengah ke bawah lebih menggunakan semi permanen atau tidak
permanen. c. Besarnya rumah yang ditempati. Semakin luas rumah yang ditempati
pada umumnya semakin tinggi tingkat sosial ekonominya. Rumah dapat mewujudkan
suatu tingkat sosial ekonomi bagi keluarga yang menempati. Rumah yang dengan
ukuran besar, permanen dan milik pribadi dapat menunjukkan bahwa kondisi sosial
ekonominya tinggi. Berbeda dengan rumah yang kecil, semi permanen dan menyewa
menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonominya rendah. Pendapat Case dan Fair
(2007) menyebutkan bahwa pendapatan seseorang pada dasarnya berasal dari tiga
macam sumber. Sumber pendapatan yang pertama bisa berasal dari upah atau gaji
yang diterima sebagai imbalan tenaga kerja. Sumber pendapatan yang kedua bisa
berasal dari hak milik yaitu modal, tanah, dan sebagainya. Sumber pendapatan yang
ketiga bisa berasal dari pemerintah. Sementara itu, Reksohadiprodjo (2000)
mengkaitkan pendapatan dengan tingkat kesejahteraan keluarga, dan menyatakan

4
Sri Lestari, Psikologi Keluarga, (Karisma Putra Utama, Jakarta. Tahun 2012). H 105-112.
5
Reke Melida Lestari, Problem Kehidupan Berkeluarga Pasangan Suami Istri Kawin Muda. Jurnal
Sosiologi Nusantara, Vo. 2, No. 2 Tahun 2016. h. 82.
argumen bahwa manusia menilai pekerjaan berdasarkan pada besaran upah dan
kondisi kerja.

Jumlah Tanggungan Keluarga juga dapat berpengaruh pada keadaan ekonomi


sebuah keluarga. Menurut Wirosuhardjo (2006), besarnya jumlah tanggungan
keluarga akan bisa berpengaruh terhadap pendapatan. Hal ini karena semakin banyak
jumlah tanggungan keluarga atau jumlah anggota keluarga yang ikut makan, maka
secara tidak langsung akan memaksa tenaga kerja tersebut untuk mencari tambahan
pendapatan. Sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang memiliki jumlah
tanggungan keluarga yang cukup banyak, maka jumlah penghasilan yang dibutuhkan
juga akan semakin besar. Apabila penghasilan yang dibutuhkan tidak cukup maka
akan terjadi kemiskinan. Para ahli ekonomi pada umumnya sependapat bahwa
perkembangan jumlah penduduk dapat menjadi faktor pendorong maupun
penghambat dalam pembangunan ekonomi. Sebagai faktor pendorong, karena
perkembangan jumlah penduduk itu akan meningkatkan jumlah tenaga kerja, yang
akhirnya dapat memperluas pasar. Akibat buruk yang mungkin ditimbulkan oleh
perkembangan jumlah penduduk terhadap pembangunan adalah bila perkembangan
tersebut dengan tingkat produktifitas yang tinggi maka akan terjadi pengangguran di
masyarakat.6

Status sosial ekonomi merupakan peranan yang dimiliki oleh seseorang


didalam kelompok masyarakat yang terkait dengan kemampuannya dalam memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari berdasarkan tingkat pencapaian yang dimiliki individu
tersebut. Status sosial ekonomi yang dimiliki seseorang pasti berbeda-beda dan
bertingkat, ada yang tinggi, sedang, dan rendah. Hal tersebut ada akibat manusia
menjalankan kehidupan bermasyarakat. Faktor sosial ekonomi ini beragam
diantaranya pendidikan, pengetahuan tentang kesehatan gizi dan kesehatan
lingkungan, kepercayaan, nilai-nilai, dan kemiskinan. Status sosial ekonomi dapat
dilihat berdasarkan pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan pemenuhan kebutuhan
hidup dalam rumah tangga. Status sosial ekonomi seseorang menggambarkan
kedudukan seseorang dan pandangan yang diberikan orang lain dalam bermasyarakat.
Status sosial ekonomi dianggap penting, terutama dalam rangka memenuhi kebutuhan
keseharian dalam sebuah keluarga. Semakin tinggi kedudukan seseorang, maka

6
Nurlaila Hanum, Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kesejahteraan Keluarga di
Gampong Karang Anyar Kota Langsa. Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis, Vol.9, No.1 Januari 2018. h. 43-44
semakin mudah orang tersebut memperoleh suatu hal yang diperlukan dan
diinginkan.7

D. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)

Perilaku atau tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai fakta sosial
bukanlah perkara baru dari perspektif sosiologis masyarakat Indonesia. Persoalan ini
sudah terjadi sejak lama dan masih berlanjut hingga kini. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat universal karena dapat terjadi
dalam sebuah rumah tangga tanpa pembedaan budaya, agama, suku bangsa, dan umur
pelaku maupun korbannya. Karena itu, ia dapat terjadi dalam rumah tangga keluarga
sederhana, miskin dan terkebelakang maupun rumah tangga keluarga kaya, terdidik,
terkenal, dan terpandang. Tindak kekerasan ini dapat dilakukan oleh suami atau istri
terhadap pasangan masing-masing, atau terhadap anak-anak, anggota keluarga yang
lain, dan terhadap pembantu mereka secara berlainan maupun bersamaan. Perilaku
merusak ini berpotensi kuat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga
dengan sederetan akibat di belakangnya, termasuk yang terburuk seperti tercerai-
berainya suatu rumah tangga.

Tindak KDRT di Indonesia dalam rentang waktu yang panjang cenderung


bersifat laten hingga jarang terungkap ke permukaan. Akibatnya, ia lebih merupakan
kejadian sederhana yang kurang menarik ketimbang sebagai fakta sosial yang
seharusnya mendapatkan perhatian khusus dan penanangan yang sungguh-sungguh
dari masyarakat dan pemerintah. Kekerasan dalam rumah tangga Indonesia di mana
pun juga masih terus berlangsung dengan jumlah kasus dan intensitasnya yang kian
hari cenderung kian meningkat.

Sebagian besar kasus itu merupakan kekerasan suami terhadap istri. Para
perempuan korban tindak kekerasan itu antara lain mengalami kekerasan fisik, psikis,
dan ekonomi karena tidak dinafkahi atau diperas, dan kekerasan seksual atau
kombinasi di antara semuanya itu. Perkara tersebut kemudian ada yang berakhir
dengan perceraian, pidana, mediasi, maupun konsultasi pernikahan. 8

7
Nunung Nurwati, Kondisi Status Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Pendidikan Anak, Social Work Jurnal Vol. 11, No. 1 h. 74.
8
Mas’oed Mohtar, Kekerasan Kolektif; Kondisi da Pemicu. Yogyakarta; P3PK UGM. 2000.
KDRT dapat diartikan sebagai tindakan penggunaan kekuasaan atau
wewenang secara sewenang-wenang tanpa batasan (abuse of power) yang dimiliki
pelaku, yaitu suami atau istri maupun anggota lain dalam rumah tangga, yang dapat
mengancam keselamatan dan hak-hak individual masing-masing. dan atau anggota
lain dalam rumah tangga seperti anak-anak, mertua, ipar, dan pembantu.

Penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dimungkinkan karena situasi


yang terbentuk dalam rumah tangga di mana dominasi yang satu atas yang lain begitu
kuat disebabkan beberapa faktor. Dominasi tersebut akan terus berlanjut selama
tingkat ketergantungan pihak yang didominasi kepada yang dominan tetap tinggi.
Lazimnya, KDRT yang mengancam keselamatan individu-individu dalam suatu
rumah tangga yang bisa saja datang dari suami atau istri. KDRT bisa berbentuk
kekerasan fisik dalam bentuk pemukulan dengan tangan maupun benda,
penganiayaan, pengurungan, pemberian beban kerja yang berlebihan, dan pemberian
ancaman kekerasan. Kekerasan verbal dalam bentuk caci maki, meludahi, dan bentuk
penghinaan lain secara verbal. Kekerasan psikologi atau emosional yang meliputi
pembatasan hak-hak individu dan berbagai macam bentuk tindakan teror. Kekerasan
ekonomi melalui tindakan pembatasan penggunaan keuangan yang berlebihan dan
pemaksaan kehendak untuk untuk kepentingan-kepentingan ekonomi, seperti
memaksa untuk bekerja dan sebagainya.9

9
Kamal Dermawan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Persfektif Sosiologis. Jurnal Sosiologi
Vol. 1, No. 1 tahun 2018. h. 32.
BAB III

SIMPULAN

Dalam menghadapi problematika kehidupan rumah tangga sering sekali permasalahan


komunikasi dipendam, tanpa ada diskusi atau komunikasi yang baik antara suami istri
untuk menemukan jalan keluar masalah yang dihadapi, semakin didiamkan
permasalahan tersebut semakin tidak bisa terselesaikan sehingga menyebabkan
hubungan rumah tangga menjadi retak.

Secara naluriah orang tua akan menganggap anaknya sebagai bagian paling
penting dalam hidupnya. Dalam posisi tersebut orang tua akan berusaha mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan anak. Dengan perspektif yang demikian seharusnya
konflik orang tua-anak tidak akan terjadi, karena orang tua akan senantiasa berkorban
untuk anaknya. Namun dalam hubungan orang tua-anak sering kali juga mengandung
perspektif kekuasaan dan kewenangan. Akhirnya hubungan orang tua-anak pun
biasanya diwarnai dengan berbagai perbedaan dan konflik. Sumber utama konflik
pada umumnya adalah ketidakcocokan antara perspektif anak dan perspektif orang
tua.

Faktor ekonomi memunculkan berbagai macam permasalahan, seperti


ketidakmampuan suami memenuhi kebutuhan keluarga karena tidak memiliki
pekerjaan tetap atau suami malas bekerja sehingga sumber pendapatan keluarga tidak
diketahui. Bagi wanita hal tersebut tidak sesuai dengan harapan pernikahan yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari memiliki suami yang bekerja.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan rumah tangga inilan yang menjadi pemicu
terjadinya perceraian.

Perilaku atau tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai fakta sosial
bukanlah perkara baru dari perspektif sosiologis masyarakat Indonesia. Persoalan ini
sudah terjadi sejak lama dan masih berlanjut hingga kini. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat universal karena dapat terjadi
dalam sebuah rumah tangga tanpa pembedaan budaya, agama, suku bangsa, dan umur
pelaku maupun korbannya. Karena itu, ia dapat terjadi dalam rumah tangga keluarga
sederhana, miskin dan terkebelakang maupun rumah tangga keluarga kaya, terdidik,
terkenal, dan terpandang.
DAFTAR PUSTAKA

Astika, Prafika Adislitiar. Strategi Manajemen Konflik Orangtua dan Remaja Putri Usia 19-
22 Tahun Dalam Konflik Pemilihan Pasangan. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora
dan Seni. Vol. 1 No. 2.

Dermawan, Kamal. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Persfektif Sosiologis. Jurnal
Sosiologi Vol. 1, No. 1 tahun 2018.

Hanum, Nurlaila. Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kesejahteraan


Keluarga di Gampong Karang Anyar Kota Langsa. Jurnal Samudra Ekonomi dan
Bisnis, Vol.9, No.1 Januari 2018.
Kemenag RI, Fondasi Keluarga Sakinah, Jakarta: Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat
Bina KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2017.
Lestari, Sri. Psikologi Keluarga, Jakarta: Karisma Putra Utama. 2012

Lestari, Reke Melida. Problem Kehidupan Berkeluarga Pasangan Suami Istri Kawin Muda.
Jurnal Sosiologi Nusantara, Vo. 2, No. 2 Tahun 2016.

Musaitir, Problematika Kehidupan Rumah Tangga Pada Pasangan Suami Istri Persfektif
Hukum Keluarga Islam. Al-Ihkam: Jurnal Hukum Keluarga Juni 2020 Vol. 12, No. 2.

Mohtar, Mas’oed. Kekerasan Kolektif; Kondisi dan Pemicu. Yogyakarta; P3PK UGM. 2000.
Nurwati, Nunung. Kondisi Status Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Pendidikan Anak, Social Work Jurnal Vol. 11, No. 1.

Anda mungkin juga menyukai