OLEH
HILMA MAULIDA
220211050114
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Problematika dalam rumah tangga merupakan suatu keadaan yang bermasalah,
ketidaksesuaian antar anggota keluarga, sehingga menimbulkan konflik,
perselisihan dan pertikaian. Kehidupan dalam keluarga juga akan senantiasa
mengalami perubahan dan pasang surut, inilah yang disebut dinamika keluarga
banyak hal yang akan memengaruhi dinamika keluarga ini, sebagian keluarga
berubah menjadi tidak harmonis karena suami istri tidak siap dalam menjalani
perannya dalam perkawinan. Problem yang terjadi dalam rumah tangga, pada
pasangan suami istri, bukan hanya menyebabkan kehidupan rumah tangga
menjadi tidak harmonis saja, akan tetapi dapat berujung pada perceraian.
Problematika rumah tangga itu terjadi, baik pada pasangan suami istri yang masih
muda maupun yang sudah dewasa, dengan berbagai macam jenis problem yang di
hadapi oleh masing-masing pasangan suami istri, dalam menjalani kehidupan
rumah tangganya. Hubungan komunikasi antara pasangan suami dan istri
harusnya terjaga dengan baik, karena komunikasi merupakan bagian terpenting
dalam berbagai hal lebih-lebih dalam hubungan rumah tangga, jika hubungan
komunikasi tidak terjalin dengan baik antara suami dan istri maka sulit untuk
saling memahami dan melengkapi antara keduanya, suami dan istri harus saling
terbuka dalam menjalakan kehidupan rumah tangga sehingga dalam menghadapi
permasalahan yang ada tidak menimbulkan pertengkaran. Hak dan kewajiban
merupakan suatu perbuatan yang harus ditunaikan oleh pasangan suami istri, hak
dan kewajiban suami terhadap istri, hak dan kewajiban istri terhadap suami dan
hak dan kewajiban bersama antara keduanya, jika hal tersebut belum dijalankan
dengan baik maka akan menimbulkan problem dalam rumah tangga yaitu berupa
konflik dan berujung pada perceraian.1
1
Kemenag RI, Fondasi Keluarga Sakinah, (Jakarta: Subdit Bina Keluarga Sakinah Direktorat Bina
KUA & Keluarga Sakinah Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, 2017), h. 41
BAB II
PEMBAHASAN
2
Prafika Adislitiar Astika, Strategi Manajemen Konflik Orangtua dan Remaja Putri Usia 19-22 Tahun
Dalam Konflik Pemilihan Pasangan. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora dan Seni. Vol. 1 No. 2 h.54
dapat berakibat pada pertengkaran antara suami dengan istri bahkan berujung pada
perceraian.
Secara naluriah orang tua akan menganggap anaknya sebagai bagian paling
penting dalam hidupnya. Dalam posisi tersebut orang tua akan berusaha mencapai
3
Musaitir, Problematika Kehidupan Rumah Tangga Pada Pasangan Suami Istri Persfektif Hukum
Keluarga Islam. Al-Ihkam: Jurnal Hukum Keluarga Juni 2020 Vol. 12, No. 2 h. 161-162
kebahagiaan dan kesejahteraan anak. Dengan perspektif yang demikian seharusnya
konflik orang tua-anak tidak akan terjadi, karena orang tua akan senantiasa berkorban
untuk anaknya. Namun dalam hubungan orang tua-anak sering kali juga mengandung
perspektif kekuasaan dan kewenangan. Selain terdapat aspek ketanggapan dalam
merespons kebutuhan anak, juga terdapat aspek tuntutan yang mencerminkan harapan
orang tua terhadap sikap dan perilaku anak. Akhirnya hubungan orang tua-anak pun
biasanya diwarnai dengan berbagai perbedaan dan konflik. Sumber utama konflik
pada umumnya adalah ketidakcocokan antara perspektif anak dan perspektif orang
tua.
Terjadinya konflik orang tua-anak sudah di-mulai sejak anak mash berupa
janin di dalam kandungan (fetal con-flict). Walaupun ibu mengandung janin dan
selalu bersedia berkorban untuk janin di kandungannya, ternyata tidak selalu memiliki
kepentingan yang sama dengan sang janin. Penelitian Haig (1993) memaparkan
adanya konflik genetik dalam proses kehamilan. Selama sembilan bulan kehamilan,
tubuh ibu akan menyediakan segala kebutuhan nutrisi bagi janin, namun
perkembangan janin berlangsung sesuai kebutuhannya sendiri. Masa kehamilan
merupakan masa yang peka dalam menjaga keseimbangan antara upaya janin untuk
sebesar mungkin mengambil bagian dari tubuh ibu untuk perkembangan dirinya, dan
upaya ibu untuk mempertahankan berbagai sumber daya untuk dirinya dan janin-janin
yang lain di kemudian hari. Gen-gen janin akan terseleksi untuk meningkatkan
perpindahan nutrisi menuju janin, demikian juga gen-gen ibu akan terseleksi untuk
membatasi perpindahan nutrisi yang dapat melibihi dari derajat optimum. Upaya
penyeimbangan ini seringkali menimbulkan gejala-gejala yang tidak menyenangkan
bagi ibu,dan bahkan dapat menimbulkan komplikasi yang serius.
Ketika bayi sudah lahir dan mengalami perkembangan di luar tubuh ibu, salah
satu konflik yang permulaan muncul dalam hubungan orang tua-anak adalah konflik
pada masa penyapihan (weaning conflict), biasanya setelah anak berusia satu tahun.
Proses penyapihan mulai dialami anak oleh karena kehamilan bayi berikutnya, atau
karena anak dianggap sudah berada pada usia yang cukup untuk mulai mengalami
perpisahan sementara dengan ibunya. Pada masa ini, anak yang disapih sebenarnya
masih menghendaki andil orang tua (parent investment) yang lebih besar pada dirinya.
Karena kemampuannya yang masih terbatas, anak menggunakan cara tertentu sebagai
upaya memperoleh andil orang tua bagi dirinya, misalnya temper tantrum.
Pada saat anak menyadari bahwa andil orang tua terhadap dirinya mulai
terancam, misalnya oleh kehadiran adik, anak akan berupaya membesar-besarkan
kebutuhannya, bersikap seolah-olah masih berusia lebih muda, dan berpura-pura
tertekan. Cara-cara tersebut dilakukan sebagai upaya untuk memperoleh perhatian
yang lebih dari orang tua.
Anak dengan temperamen yang sulit (misanya memiliki reaksi emosi negatif
yang tinggi) cenderung menimbulkan konflik dengan pengasuhnya. Hal itu terjadi
selain karena mereka mudah berperangai buruk dan sulit bersikap tenang, mereka juga
menyita energi dan ke-sabaran pengasuhnya. Lagipula, anak dengan temperamen sulit
akan kesulitan mengembangkan konflik yang konstruktif, karena sumber daya
kognitif yang mereka butukan untuk melakukan negosiasi dan diskusi telah terkuras
energinya untuk mengatur emosi negatif.
Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit dalam
tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label masa remaja
sebagai masa storm and stress, untuk menggambarkan masa yang penuh gejolak dan
tekanan. Fenomena tersebut terjadi karena remaja menjalani proses evolusi menuju
kedewasaan. Setelah memasuki masa devasa, ibarat badai akan berlalu dan langit
menjadi cerah kembali. Masa remaja merupakan masa pertarungan antara id, yaitu
hasrat untuk mencari kesenangan seksual dan super-ego, yaitu tuntutan untuk
mematuhi norma dan moral sosial. Pergolakan yang dialami pada masa remaja
merupakan refleksi dari konflik internal dan ketidakseimbangan psikis.
Konflik remaja dengan orang tua merupakan salah satu hal yang banyak
mengundang perhatian para peneliti. Area yang menjadi perhatian pada umumnya
adalah frekuensi terjadinya konflik, topik yang menjadi konflik dan cara yang
digunakan untuk melakukan resolusi Konfik. Beberapa penelitian menunjukkan pola
kurvalinier pada intensitas konflik orang tua-anak, yaitu meningkat pada remaja awal,
mencapai puncakya pada remaja tengah, dan menurun pada remaja akhir. Sementara
beberapa penelitian lain mengungkapkan kecenderungan menurun secara linear
dengan intensitas konflik lebih tinggi terjadi pada remaja awal dan menurun pada
remaja akhir.
Walaupun terdapat kesamaan dalam hal tingginya intensitas konflik pada masa
remaja awal, faktor usia agaknya tidak dapat digunakan sebagai patokan bagi
kecenderungan meningkat atau menurunnya konflik orang tua-anak. Faktor pola
interaksi mungkin bisa lebih memprediksikan intensitas konflik, sebagaimana
diungkap oleh Rueter dan Conger (1995) bahwa konflik orang tua-anak meningkat
dalam keluarga dengan kondisi penuh permusuhan dan menurun dalam keluarga yang
hangat dan suportif.
Konflik orang tua dengan remaja pada umumnya bersifat hierarkis dan
berkenaan dengan kewajiban. Orang tua berada di posisi yang lebih tinggi yang harus
dipatuhi, dan anak dipandang memiliki kewajiban terhadap orang tua. Berbeda
dengan konflik yang dialami dengan teman sebaya yang bersifat setara dan fakultatif.
Konflik orang tua dengan remaja juga cenderung memancing tindakan koersif, yang
merupakan kombinasi antara afeksi negatif, resolusi yang bersifat mendominasi dan
akibat yang tidak setara pada masing-masing yang berkonflik. Banyak yang
beranggapan bahwa konflik orang tua-remaja disebabkan oleh sikap remaja yang
menentang orang tuanya.
Pada mulanya konflik orang tua dengan remaja dilihat dari sudut pandang
adanya kehendak menentang dari anak berhadapan dengan kehendak mengontrol
perilaku anak dari orang tua. Cara pandang orang tua dan remaja terhadap konflik dan
ketidaksetujuan di antara mereka sering kali berbeda. Orang tua selalu melihat dari
sudut pandang kewenangan orang tua dan tatanan sosial. Dalam menghadapi
ketidaksetujuan dengan remaja, orang tua sering membenarkan sudut pandangnya
berdasarkan kewenangannya sebagai Orang tua atau peraturan sosial. Dengan
perspektif demikian, orang tua menganggap konflik terselesaikan ketika remaja sudah
menyetujui dan mengikuti pendapat orang tua. Oleh karena itu, Pada umumnya orang
tua sering menilai hubungan dengan anaknya baik-baik saja dan konflik di antara
mereka tidaklah terlalu keras dan sering. Namun dari sudut pandang remaja,
mematuhi atau menurut pada pendapat orang tua setelah terjadinya perbedaan,
penentangan, atau konflik tidak selalu berarti konflik telah selesai.4
C. Masalah Ekonomi
4
Sri Lestari, Psikologi Keluarga, (Karisma Putra Utama, Jakarta. Tahun 2012). H 105-112.
5
Reke Melida Lestari, Problem Kehidupan Berkeluarga Pasangan Suami Istri Kawin Muda. Jurnal
Sosiologi Nusantara, Vo. 2, No. 2 Tahun 2016. h. 82.
argumen bahwa manusia menilai pekerjaan berdasarkan pada besaran upah dan
kondisi kerja.
6
Nurlaila Hanum, Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Kesejahteraan Keluarga di
Gampong Karang Anyar Kota Langsa. Jurnal Samudra Ekonomi dan Bisnis, Vol.9, No.1 Januari 2018. h. 43-44
semakin mudah orang tersebut memperoleh suatu hal yang diperlukan dan
diinginkan.7
Perilaku atau tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai fakta sosial
bukanlah perkara baru dari perspektif sosiologis masyarakat Indonesia. Persoalan ini
sudah terjadi sejak lama dan masih berlanjut hingga kini. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat universal karena dapat terjadi
dalam sebuah rumah tangga tanpa pembedaan budaya, agama, suku bangsa, dan umur
pelaku maupun korbannya. Karena itu, ia dapat terjadi dalam rumah tangga keluarga
sederhana, miskin dan terkebelakang maupun rumah tangga keluarga kaya, terdidik,
terkenal, dan terpandang. Tindak kekerasan ini dapat dilakukan oleh suami atau istri
terhadap pasangan masing-masing, atau terhadap anak-anak, anggota keluarga yang
lain, dan terhadap pembantu mereka secara berlainan maupun bersamaan. Perilaku
merusak ini berpotensi kuat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan rumah tangga
dengan sederetan akibat di belakangnya, termasuk yang terburuk seperti tercerai-
berainya suatu rumah tangga.
Sebagian besar kasus itu merupakan kekerasan suami terhadap istri. Para
perempuan korban tindak kekerasan itu antara lain mengalami kekerasan fisik, psikis,
dan ekonomi karena tidak dinafkahi atau diperas, dan kekerasan seksual atau
kombinasi di antara semuanya itu. Perkara tersebut kemudian ada yang berakhir
dengan perceraian, pidana, mediasi, maupun konsultasi pernikahan. 8
7
Nunung Nurwati, Kondisi Status Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Pendidikan Anak, Social Work Jurnal Vol. 11, No. 1 h. 74.
8
Mas’oed Mohtar, Kekerasan Kolektif; Kondisi da Pemicu. Yogyakarta; P3PK UGM. 2000.
KDRT dapat diartikan sebagai tindakan penggunaan kekuasaan atau
wewenang secara sewenang-wenang tanpa batasan (abuse of power) yang dimiliki
pelaku, yaitu suami atau istri maupun anggota lain dalam rumah tangga, yang dapat
mengancam keselamatan dan hak-hak individual masing-masing. dan atau anggota
lain dalam rumah tangga seperti anak-anak, mertua, ipar, dan pembantu.
9
Kamal Dermawan, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Persfektif Sosiologis. Jurnal Sosiologi
Vol. 1, No. 1 tahun 2018. h. 32.
BAB III
SIMPULAN
Secara naluriah orang tua akan menganggap anaknya sebagai bagian paling
penting dalam hidupnya. Dalam posisi tersebut orang tua akan berusaha mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan anak. Dengan perspektif yang demikian seharusnya
konflik orang tua-anak tidak akan terjadi, karena orang tua akan senantiasa berkorban
untuk anaknya. Namun dalam hubungan orang tua-anak sering kali juga mengandung
perspektif kekuasaan dan kewenangan. Akhirnya hubungan orang tua-anak pun
biasanya diwarnai dengan berbagai perbedaan dan konflik. Sumber utama konflik
pada umumnya adalah ketidakcocokan antara perspektif anak dan perspektif orang
tua.
Perilaku atau tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai fakta sosial
bukanlah perkara baru dari perspektif sosiologis masyarakat Indonesia. Persoalan ini
sudah terjadi sejak lama dan masih berlanjut hingga kini. Kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat universal karena dapat terjadi
dalam sebuah rumah tangga tanpa pembedaan budaya, agama, suku bangsa, dan umur
pelaku maupun korbannya. Karena itu, ia dapat terjadi dalam rumah tangga keluarga
sederhana, miskin dan terkebelakang maupun rumah tangga keluarga kaya, terdidik,
terkenal, dan terpandang.
DAFTAR PUSTAKA
Astika, Prafika Adislitiar. Strategi Manajemen Konflik Orangtua dan Remaja Putri Usia 19-
22 Tahun Dalam Konflik Pemilihan Pasangan. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora
dan Seni. Vol. 1 No. 2.
Dermawan, Kamal. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Persfektif Sosiologis. Jurnal
Sosiologi Vol. 1, No. 1 tahun 2018.
Lestari, Reke Melida. Problem Kehidupan Berkeluarga Pasangan Suami Istri Kawin Muda.
Jurnal Sosiologi Nusantara, Vo. 2, No. 2 Tahun 2016.
Musaitir, Problematika Kehidupan Rumah Tangga Pada Pasangan Suami Istri Persfektif
Hukum Keluarga Islam. Al-Ihkam: Jurnal Hukum Keluarga Juni 2020 Vol. 12, No. 2.
Mohtar, Mas’oed. Kekerasan Kolektif; Kondisi dan Pemicu. Yogyakarta; P3PK UGM. 2000.
Nurwati, Nunung. Kondisi Status Sosial Ekonomi Keluarga Terhadap Pemenuhan Kebutuhan
Pendidikan Anak, Social Work Jurnal Vol. 11, No. 1.