Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TERSTRUKTUR DOSEN PENGAMPU

Psikologi Keluarga dalam Dr. Taufik Hidayat, M.Kes, Psikolog


Islam

KONSEP PERCERAIAN

OLEH
Soraya Parahdina (220211050110)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
BANJARMASIN
2023
BAB I
PENDAHULUAN

Harapan bagi setiap orang yang menikah ialah bertahan sebagai suami dan
istri hingga ajal memisahkan mereka. Namun tidak jarang, dalam mengarungi
perjalanan bahtera rumah tangga masalah tiap masalah selalu datang menghampiri.
Sehingga rumah tangga yang semula dibangun perlahan mulai runtuh dan mau tidak
mau perceraian bisa menjadi solusi terakhir.
Suka maupun tidak suka, perceraian merupakan sebuah fakta yang dapat
terjadi pada setiap pasangan akibat perbedaan-perbedaan prinsip yang memang
tidak dapat dipersatukan lagi melalui berbagai cara dalam kehidupan keluarga.1
Perceraian biasanya berawal dari sebuah konflik antar anggota keluarga,
yang bilamana konflik ini sampai pada puncaknya dan sudah tidak dapat
didamaikan lagi maka peristiwa perceraian berada diambang pintu. Tentu ketika
kejadian seperti ini menimpa sebuah keluarga akan mendatangkan ketidaktenangan
serta kepedihan yang cukup mendalam.
Selain itu kondisi ini biasanya disebabkan oleh beberapa faktor seperti
pasangan yang bersifat egois, kurangnya komunikasi, ketidaksiapan untuk
menikah, kekerasan dalam rumah tangga, persoalan ekonomi, ketimpangan
penghasilan, hadirnya orang ketiga, dsb.
Menurut penuturan Hurlock, efek traumatik dari perceraian biasanya lebih
besar dari pada efek kematian. Karena sebelum dan sesudah perceraian sudah
timbul rasa sakit dan tekanan emosional serta mengakibatkan cela sosial.2 Hozman
dan Froiland juga turut menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan penyesuaian
diri setelah terjadi perceraian. Mereka mengatakan ada lima tahap penyesuaian
setelah peristiwa perceraian. Pertama, menyangkal bahwa ada perceraian, kedua
timbul kemarahan di mana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat,
ketiga dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai,

1
Agoes Dariyo, “Memahami Psikologi Perceraian dalam Kehidupan Keluarga” Jurnal
Psikologi, Vol. 2. No. 2 (2004)., hal. 94.
2
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Kehidupan Sepanjang Rentang
Kehidupan, edisi kelima (Jakarta: Erlangga, 1996)., hal. 309.

1
keempat mereka mengalami depresi mental dan kelima akhirnya mereka setuju
untuk bercerai.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perceraian
Perceraian merupakan suatu perpisahan antara pasangan suami istri dan
mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami
istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama. Bagi pasangan yang
telah bercerai tetapi belum memiliki anak, maka perpisahan tidak menimbulkan
dampak traumatis psikologis bagi anak-anak. Namun, bagi pasangan yang telah
memiliki keturunan tentu saja perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional
bagi anak-anak.3 Di sisi lain, mungkin saja anak-anak yang dilahirkan selama
mereka hidup sebagai suami istri akan diikutsertakan kepada salah satu orang
tuanya, baik ayah atau ibunya.4
Perceraian juga dapat diartikan berakhirnya suatu hubungan suami istri yang
diputuskan oleh hukum karena sudah tidak ada saling ketertarikan, saling percaya
dan tidak ada kecocokan satu sama lain sehingga menyebabkan ketidakharmonisan
dalam rumah tangga.5 Sementara menurut Hurlock, perceraian merupakan
kumpulan daripada penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara
suami istri sudah tidak mampu lagi mencari jalan keluar yang dapat memuaskan
kedua belah pihak, sehingga putusnya suatu hubungan perkawinan.6
Melihat dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian ialah
putusnya suatu hubungan perkawinan antara suami dan istri manakala bahtera
rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya
dengan berbagai faktor yang melatarbelakangi.

3
Amato, P. R, “The consequences of divorce for adults and children”, Journal of marriage
and the family, Vol. 62. No. 4 (2000)., hal. 1269.
4
Olson & DeFrain, “Marriage and Family: Intimacy, diversity and strenghts” dilihat dalam
Agoes Dariyo, “Memahami Psikologi Perceraian dalam Kehidupan Keluarga” Jurnal Psikologi,
Vol. 2, No. 2 (2004)., hal. 94.
5
Untari, Ida, Kanissa Puspa D.P & Muhammad Hafiduddin, “Dampak Perceraian Orang
Tua terhadap Kesehatan Psikologis Remaja” Profesi (Profesional Islam): Media Publikasi
Penelitian, Vol. 15, No. 2 (2018)., hal. 101.
6
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Kehidupan Sepanjnag Rentang
Kehidupan, edisi kelima (Jakarta: Erlangga, 1996)., hal. 307.

3
B. Faktor Penyebab Perceraian
Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya, ada beberapa faktor yang
menjadi penyebab terjadinya perceraian. Menurut penuturan Ulfiah didasarkan
kepada berbagai penelitian dan pengalaman empirik, pereceraian dapat disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti faktor ekonomi, perbedaan usia yang cukup besar,
keinginan untuk memperoleh anak dan prinsip hidup yang berbeda sehingga tidak
ada kecocokan lagi. Ada juga yang disebabkan perselingkuhan diantara salah satu
pasangan. Ada pula yang tidak mau dimadu oleh suaminya dan sudah tidak adanya
komitmen untuk melanjutkan rumah tangganya.7
Hal ini selaras dengan apa yang diungkapkan Hong dalam artikel berjudul
“Keluarga Harmonis”, alasan lain yang menyebabkan terjadinya perceraian
diantaranya pada saat pasangan mengalami masa-masa sulit yaitu ketika tekanan
luar mengalahkan mereka dan banyak hal mulai memburuk di rumah sehingga tidak
dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak (suami-istri). Tekanan tersebut berupa
tekanan keuangan, masalah keluarga, jadwal yang ketat antara suami istri dan
kewajiban karier yang dapat menimbulkan masalah dalam hubungan rumah
tangga.8
Dalam penelitian lain yang ditulis oleh Karim juga menyimpulkan sebab
terjadinya perceraian antara lain karena pasangan sering mengabaikan kewajiban
terhadap rumah tangga misalnya masalah keuangan, adanya penyiksaan fisik
terhadap pasangan, sering mengeluarkan kata-kata kasar dan menyakitkan, tidak
setia (selingkuh), mabuk-mabukan, penjudian dan keterlibatan pihak ketiga dalam
keluarga.
Untuk melakukan perceraian di pengadilan agama, maka para pihak harus
ada cukup alasan. Adapun alasan yang dibenarkan secara yuridis termuat dalam
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Aturan Pelaksanaan
bagi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ialah sebagai

7
Ulfiah, Psikologi Keluarga: Pemahaman Hakikat Keluarga dan Penanganan
Problematika Rumah Tangga (Bogor: Ghalia Indonesia, 2016)., hal. 121.
8
Hong, dilihat dalam Ulfiah, Psikologi Keluarga: Pemahaman Hakikat Keluarga dan
Penanganan Problematika Rumah Tangga., hal.121.

4
berikut:
1. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut, tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemampuannya;
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran. Tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.
Adapun alasan lain yang dijelaskan dalam Pasal 116 KHI yakni suami
melanggar sighat taklik talak dan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

C. Menyoal Perceraian
Seperti kita ketahui, fenomena perceraian sudah banyak terjadi di semua
kalangan, terutama jika dilihat di media masa berita yang paling sering ditampilkan
akhir-akhir ini, yaitu fenomena perceraian yang sedang dihadapi oleh publik figur.
Namun, hal ini tidak hanya terjadi di kalangan publik figur, tetapi juga banyak
terjadi pada masyarakat umum, bahkan juga di level para pejabat.9
Dari tahun ke tahun angka perceraian di Indonesia terus meningkat. Di
Indonesia data perceraian untuk mereka yang beragama Islam, berdasarkan data
dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Statistik Indonesia dan Laporan Statistik
Indonesia secara berkala memberikan data terkait angka perceraian mulai tahun

9
Ulfiah, Psikologi Keluarga., hal. 119.

5
2017-2022, sebagai berikut10
No. Tahun Kasus Perceraian
1. 2017 374.516
2. 2018 408.202
3. 2019 439.002
4. 2020 291.677
5. 2021 447.743
6. 2022 516.334

Berdasarkan data di atas tingginya angka perceraian disebabkan karena


perselisihan dan pertengkaran terus menerus, faktor ekonomi, meninggalkan salah
satu pihak, kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, dan lainnya.
Perceraian bermula dari suatu konflik yang tidak menemukan benang
merahnya. Memang biasanya masing-masing pasangan akan mencari jalan keluar
dan berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan baru tetapi sering kali
mengalami jalan buntu dan jika permasalahan ini tidak segera diselesaikan yang
akhirnya menumpuk maka suasana rumah pun akan menjadi lain, sehingga
perceraian tidak bisa dielakkan.
Perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai solusi untuk
menyelesaikan permasalahan dalam rumah tangga yang tidak dapat diselesaikan
dengan alternatif lain, selain itu juga perceraian dianggap sebagai kegagalan rumah
tangga karena baik suami atau istri tidak mampu untuk menyelesaikan konflik
dalam rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
mahasiswi Fakultas Psikologi UIN Sunan Gunung Djati, bahwa perceraian
merupakan produk gagal dari sebuah pernikahan.
Perceraian akan memungkinkan terjadinya gangguan fisik dan psikis
sehingga menyebabkan penurunan sistem daya tahan tubuh dan rentan terhadap
penyakit.11 Ini diperkuat dengan hasil penelitian Kiecolt & Glaser yang menyatakan

10
Laporan Statistik Indonesia dan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam
Statistik Indonesia Tahun 2017-2022.
11
John W. Santrock, Adolescence: Perkembangan Remaja terj. Shinto B. Adeler (Jakarta:
Erlangga, 2003)., hal. 110.

6
bahwa perempuan yang baru berpisah kurang dari setahun cenderung menunjukan
kegagalan fungsi daya tahan tubuh daripada perempuan yang bercerai lebih dari
satu tahun.12
Pada masyarakat yang masih mengagungkan tingginya nilai pernikahan,
perceraian memang membuat pasangan suami-istri mendapat tantangan berat, baik
itu dari masyarakat sekitar ataupun dari keluarga. Keinginan untuk berusaha
melanjutkan hidup setelah dihadapkan pada keretakan rumah tangga ternyata
memiliki dampak sosial yang cukup besar, terutama bagi pihak perempuan. Ketika
terjadi perceraian maka seorang perempuan akan menyandang predikat janda yang
sering dipandang negatif dalam lingkungan sosial, terutama jika dialami pada usia
muda atau lebih dikenal sebagai janda kembang, selain predikat janda, perempuan
yang bercerai mempunyai peran sosial sebagai single parent.

D. Penilaian terhadap Perceraian


Setiap orang mempunyai alasan dan harapan yang berbeda dengan
pernikahan, ada yang menganggap pernikahan sebagai dorongan-dorongan
romantik, sebagai hasrat untuk mendapatkan jaminan finansial dan mencapai status
sosial tinggi, sebagai hasrat untuk melepaskan diri dari belenggu dan kungkungan
orang tua, adanya keinginan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan langgeng
bersama dengan orang yang dicintai dan yang terakhir keputusan menikah
dilakukan demi memenuhi tuntutan sosial dan untuk menghindari sebutan “gadis
tua”.13
Ketika memutuskan untuk menikah maka akan ada banyak hal yang baru,
di antaranya seseorang akan sadar memiliki status yang baru yaitu dari lajang
(single) menjadi seorang suami atau istri, kemudian menjadi orang tua bagi anak-
anaknya nanti. Dengan status baru tersebut, maka akan selalu dihadapkan dengan
tanggung jawab baru pula. Oleh karena itu dibutuhkan kesiapan mental untuk
menghadapinya, terutama pada saat awal-awal pernikahan.14

12
Kiecolt & Glaser dilihat dalam John W. Santrock, Adolescence: Perkembangan Remaja.,
hal. 114.
13
Kartono, dilihat dalam Ulfiah, Psikologi Keluarga., hal. 125.
14
Ulfiah, Psikologi Keluarga., hal. 125-126.

7
Menurut Harlock, pada masa awal pernikahan ini terjadi penyesuaian
pasangan satu sama lain, dengan anggota keluarga masing-masing dan penyesuaian
dengan teman-temannya. Masa penyesuaian ini juga menimbulkan ketegangan
emosional. Apabila pada masa ini pasangan tidak mampu untuk melakukan
penyesuaian maka akan banyak menimbulkan konflik, bahkan bisa menyebabkan
berakhirnya suatu pernikahan dengan perceraian.
Bagi perempuan dewasa yang belum menikah, penilaian terhadap
perceraian akan menentukan dugaan kecemasan terhadap perceraian dan
berhubungan dengan sikapnya terhadap pernikahan sebagaimana menurut Azwar.15
Bagi perempuan dewasa yang menilai dan memposisikan perceraian
sebagai hal yang lebih banyak memberikan keuntungan atau sebagai solusi dalam
suatu masalah pernikahan, maka tidak akan memunculkan kecemasan akan
perceraian yang berhubungan dengan sikap terhadap pernikahan. Berbeda halnya
dengan perempuan yang menilai perceraian sebagai hal yang merugikan karena
menunjukkan gagalnya pernikahan, maka akan memungkinkan munculnya
kecemasan akan perceraian sehingga akan sangat berkaitan dengan sikap terhadap
pernikahan. Seseorang akan memaknakan pernikahan berdasarkan pemikiran,
perasaan dan kecenderungan perilakunya.
Sejalan dengan hal itu, Adhim & Zakiya dalam artikel berjudul
“Pernikahan, Solusi atau Masalah?” mengemukakan bahwa sikap terhadap
pernikahan dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu sikap optimis dan sikap
pesimis, dimana orang yang mempunyai sikap optimis memaknakan pernikahan
sebagai sesuatu hal yang besar dan merupakan suatu tantangan menuju kedewasaan.
Sedangkan orang yang mempunyai sikap pesimis, ia memaknakan pernikahan
sebagai suatu masalah yang merepotkan dan membebani.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa apabila perempuan memiliki
kecemasan yang tinggi akan perceraian, maka sikap terhadap pernikahan akan
menjadi pesimis. Tetapi beagi perempuan yang memiliki kecemasan rendah akan
perceraian, maka sikap terhadap pernikahan akan menjadi optimis.

15
Azwar, dilihat dalam Ulfiah, Psikologi Keluarga., hal. 128.

8
E. Dampak Perceraian pada Perkembangan Anak
Perceraian merupakan suatu peristiwa yang sangat tidak diinginkan bagi
setiap pasangan dan keluarga. Perceraian yang terjadi tentu menimbulkan banyak
hal yang tidak mengenakkan dan kepedihan yang dirasakan oleh semua pihak,
termasuk kedua pasangan, anak dan kedua keluarga besar dari suami maupun istri.16
Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa membawa dampak yang
mendalam. Fenomena ini dapat menimbulkan stres, tekanan dan menimbulkan
perubahan fisik, juga mental bagi anggota keluarga.17
Menurut penelitian di Amerika Serikat dan Inggris, hampir 60% kasus
perceraian di Amerika Serikat dan 75% di Inggris melibatkan anak-anak. Meski
sudah ada ketentuan dan undang-undang tentang pihak siapa yang bertanggung
jawab atas diri anak dalam kasus perceraian itu, namun kenyataannya sering pihak
ibu yang mencapai 90% mengambil alih tanggung jawab itu.18 Sedangkan di
Indonesia, menurut penuturan Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin
menjelaskan berdasar kepada penelitian oleh Australia Indonesia Partnership for
justice pada 2018 menunjukkan bahwa 95% perceraian di indonesia melibatkan
anak usia di bawah 18 tahun.
Jika sebuah pasangan bercerai maka hal ini akan sangat dirasakan oleh anak
yang dihadapkan pada perpisahan orang tuanya. Pada kasus perceraian, pada
umumnya memang anak menyalahkan orang tua terhadap rasa sakit yang timbul
akibat perceraian. Namun pada kasus tertentu, anak juga menyalahkan diri sendiri
dan bahkan menganggap dirinya sebagai bagian penyebab perceraian.19
Hetherington mengadakan penelitian terhadap anak-anak usia 4 tahun pada
saat kedua orang tuanya bercerai, hasilnya menunjukkan bahwa kasus perceraian
itu akan membawa trauma pada setiap tingkat usia anak, meski dengan kadar

16
Kertamuda Fatchiah E, Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia (Jakarta:
Salemba Humanika, 2009)., hal. 53.
17
John R. Cavanagh, M.D. Fundamental Marriage Counseling dilihat dalam Save M.
Dagun, Psikologi Keluarga (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2013)., hal.113.
18
Save M. Dagun, Psikologi Keluarga (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)., hal. 113.
19
Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga (Jakarta:
Pustaka Setia, 2001)., hal. 73.

9
berbeda.20
Setiap tingkat usia anak dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru ini
memperlihatkan cara dan penyelesaian berbeda. Kelompok anak yang belum
berusia sekolah pada kasus perceraian terjadi, ada kecenderungan untuk
mempermasalahkan diri jika ia menghadapi masalah dalam hidupnya. Ia menangisi
dirinya. Umumnya anak usia kecil itu sering tidak betah, tidak menerima cara hidup
yang baru. Ia tidak akrab dengan orang tuanya. Anak ini sering dibayangi rasa
cemas, selalu ingin mencari ketenangan.
Bagi kelompok anak yang sudah menginjak usia besar pada saat terjadinya
perceraian orang tuanya memberikan reaksi lain. Kelompok anak ini tidak lagi
menyalahkan diri sendiri, tetapi memiliki sedikit perasaan takut karena perubahan
situasi keluarga dan merasa cemas karena ditinggalkan salah satu orang tuanya.
Ketika anak sudah menginjak remaja, sudah mulai memahami seluk beluk
arti perceraian, remaja memahami apa akibat yang akan terjadi, mereka menyadari
masalah-masalah yang bakal muncul, baik soal ekonomi, sosial dan faktor lainnya.
Beberapa di antara anak-anak usia remaja dalam menghadapi situasi
perceraian memahami sekali akibat yang bakal terjadi. Hetherington
mengungkapkan “jika perceraian dalam keluarga itu terjadi saat anak menginjak
usia remaja, mereka mencari ketenangan entah di tetangga, sahabat atau teman
sekolah.
Maka dari itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mathis bahwa
perceraian orang tua dapat mempengaruhi pembentukan sikap remaja terhadap
perkawinan dan perceraian. Jika sikap orang tua terhadap perceraian itu lebih positif
maka sikap anak dewasa muda terhadap perceraian juga lebih positif.21

F. Apakah Perceraian Selalu Negatif


Pembahasan tentang dampak perceraian di atas, tampaknya dinilai negatif.
Ada pemikiran kontra di dalam pembahasan ini. Memang betul kasus perceraian

20
Save M. Dagun, Psikologi Keluarga., hal. 115.
21
Shawnery L. Mathis, ”The Relationship Vetween Parental Attitudes and Behavior and
Their Adult Children’s Attitudes Toward Marriage, Divorce, and Marital Counseling” thesis, Utah
State University, 2005.

10
cenderung menyebabkan rasa tertekan, rasa beban dan penderitaan baik bagi ibu,
ayah dan anak. Namun ternyata peristiwa itu merupakan langkah terbaik dan
langkah yang paling tepat bagi sebuah keluarga yang senantiasa mengalami konflik
berkepanjangan..22
Banyak para peneliti menemukan bahwa anak yang diasuh satu orang tua
akan jauh lebih baik daripada anak yang diasuh keluarga utuh yang selalu diselimuti
rasa tertekan. Perceraian dalam keluarga tidak selalu membawa akibat yang negatif.
Sikap untuk menghindari situasi konflik, rasa tidak puas, perbedaan paham yang
terus menerus, maka peristiwa perceraian itu satu-satunya jalan keluar untuk
memperoleh ketenteraman diri. Bagi beberapa keluarga mungkin perceraian
dianggap putusan yang paling baik untuk mengakhiri rasa tertekan, rasa takut,
cemas dan ketidaktenteraman. Seperti Margaret Mead katakan “setiap saat kita
mendambakan kebahagiaan, rukun dengan anak-anak, tetapi kita mempunyai hak
untuk mengakhiri suatu perkawinan bila mendatangkan bencana dan
ketidaktentraman.”23

22
Save M. Dagun, Psikologi Keluarga., hal. 135.
23
Save M. Dagun, Psikologi Keluarga., hal. 136.

11
BAB III

PENUTUP

Dalam mengarungi perjalanan bahtera rumah tangga masalah tiap masalah


selalu datang menghampiri. Ada sebagian keluarga yang dapat menjaga
keharmonisan rumah tangga mereka walaupun dihadapkan dengan berbagai
problematika. Akan tetapi ada sebagian lainnya yang tidak dapat menjaga keutuhan
rumah tangga dan akhirnya memilih untuk berpisah.
Setiap orang yang menikah tentu mengharapkan sebuah rumah tangga yang
didalamnya penuh akan kebahagiaan dan keberkahan. Meski bukan tidak mungkin
akan ada lika liku dalam berumah tangga.
Bagi pasangan yang sedang mengalami kemelut dalam berumah tangga,
perceraian menjadi pilihan terakhir yang dipilih sebagai solusi untuk menyelesaikan
sebuah permasalahan yang memang tidak dapat diselesaikan dengan alternatif lain.
Walaupun perceraian cenderung menyebabkan efek negatif terutama terhadap fisik
dan kesehatan mental baik bagi suami, istri dan anak.

12
DAFTAR PUSTAKA

Dagun, Save M. 2013. Psikologi Keluarga. Jakarta: Asdi Mahasatya.


Dariyo, Agoes. 2004. “Memahami Psikologi Perceraian dalam Kehidupan
Keluarga” Jurnal Psikologi, Vol. 2. No. 2.
E, Kertamuda Fatchiah. 2009. Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia.
Jakarta: Salemba Humanika.
Hurlock, Elizabeth B. 1996. Psikologi Perkembangan: Suatu Kehidupan
Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi kelima. Jakarta: Erlangga.
Laporan Statistik Indonesia dan berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
dalam Statistik Indonesia Tahun 2017-2022.
Mathis, ”Shawnery L. 2005 The Relationship Vetween Parental Attitudes and
Behavior and Their Adult Children’s Attitudes Toward Marriage, Divorce,
and Marital Counseling” thesis, Utah State University.
P. R, Amato. 2000. “The consequences of divorce for adults and children”, Journal
of marriage and the family, Vol. 62. No. 4.
Santrock, John W. 2003. Adolescence: Perkembangan Remaja terj. Shinto B.
Adeler. Jakarta: Erlangga.
Ulfiah. 2016. Psikologi Keluarga: Pemahaman Hakikat Keluarga dan Penanganan
Problematika Rumah Tangga. Bogor: Ghalia Indonesia.
Untari, Ida, Kanissa Puspa D.P & Muhammad Hafiduddin. 2018. “Dampak
Perceraian Orang Tua terhadap Kesehatan Psikologis Remaja” Profesi
(Profesional Islam): Media Publikasi Penelitian, Vol. 15, No. 2.
Wahyu, Hendi Suhendi dan Ramdani. 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga.
Jakarta: Pustaka Setia.

13

Anda mungkin juga menyukai