Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INDIVIDU 14

MASALAH PERCERAIAN

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Konseling Keluarga

Dosen Pengampu : Dr. Yarmis Syukur, M.Pd., Kons

Oleh :

Meita Wulandari

22006223

DEPARTEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
PEMBAHASAN

A. Perkawinan Yang Gagal dan Penyebabnya


Pernikahan adalah suatu ikatan antara lakilaki dan perempuan yang telah menginjak
usia dewasa ataupun dianggap telah dewasa dalam ikatan yang sakral (Marlina, 2013).
Gagalnya pernikahan menyebabkan mahar yang diberikan harus dikembalikan, atau tetap
berada dipenguasaan pihak perempuan, hal ini tergantung dari pihak mana yang
memutuskan perkawinan. Perkawinan yang gagal memiliki beberapa penyebab, yaitu:
a. Diselingkuhi
b. Ketidakcocokan keluarga
c. Faktor Sosial
d. Pasangan menuntut lebih
e. Takut berkomitmen
f. Hilangnya rasa saling menghormati
g. Tidak ada rasa saling percaya

B. Perceraian dan Kaitannya Dengan Kekuatan Keluarga


Razak (2001:34) mengatakan bahwa perceraian adalah “putusnya hubungan
perkawinan”. Permasalahan perceraian dan keluarga tergantung kekuatan pada setiap
keluarga. Program penguatan pernikahan ini tidak diberikan pada pasangan saat konflik
atau menjelang perceraian, namun upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi persoalan
yang timbul dalam proses adaptasi dalam kehidupan pernikahan. Otto mendefinisikan
family strengths sebagai karakteristik secara sosial dan psikologis yang menciptakan rasa
positif terhadap identitas keluarga, meningkatkan kepuasan dalam berinteraksi di antara
anggota keluarga, dan mendorong perkembangan potensi masing-masing anggota
keluarga (Wheeler, 2008).
Kaitan dari kekuatan keluarga dengan perceraian yaitu apabila dimensi pada kekuatan
keluarga tidak terpenuhi maka akan terjadi konflik yang berujung perceraian. Dimensi
tersebut yaitu apresiasi dan afeksi, komunikasi positif, kesejahteraan spiritual, komitmen,
menikmati waktu Bersama, serta kemampuan dalam mengatasi stress.

C. Perceraian dan Kaitannya Dengan Kepuasan Perkawinan


Dalam UU No. 1 Tahun 1974, ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan perceraian
adalah: "Terlepasnya ikatan perkawinan antara kedua belah pihak, setelah putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap berlaku sejak berlangsungnya
perkawinan". Kepuasan pernikahan merupakan salah satu ciri utama dalam kesuksesan
pernikahan. Rho (dalam Khan dan Aftab, 2013) mengemukakan bahwa kepuasan
pernikahan sebagai evaluasi subjektif oleh individu pada tingkat kebahagiaan, kesenangan,
atau pemenuhan pengalaman dalam hubungan pernikahan antara pasangan dan dirinya.
Menurut Snyder (1997) salah satu aspek kepuasan perkawinan adalah komunikasi
yang efektif dan dapat membicarakan berbagai persoalan dengan pasangannya sehingga
memiliki kepuasan perkawinan yang tinggi. Menurut Sadarjoen (2005) kualitas
perkawinan yang baik ditandai oleh komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan,
seksualitas, kejujuran, dan kepercayaan sangat penting untuk menjalin relasi perkawinan
yang memuaskan. Rini & Retnaningsih (2007) menyatakan bahwa pasangan yang
menikah dibawah lima tahun memiliki kepuasan perkawinan yang lebih tinggi
dibandingkan yang menikah diatas 5 tahun. Hal ini mungkin disebabkan pasangan
masih berada pada tahap awal perkawinan dimana pasangan akan lebih banyak
menghabiskan waktu bersama pasangannya.
Perceraian dapat terjadi ketika kepuasan pernikahan tidak tercapai. Hal ini dapat terjadi
ketika dimensi kepuasan pernikahan tidak tercapai, misalnya:
a. Dalam komunikasi yang tidak berjalan dua arah, dapat mengakibatkan
kesalahpahaman sehingga menyebabkan perceraian.
b. Dalam aktivitas Bersama, yaitu ketika salah satu pasangan tidak memiliki waktu untuk
keluarga atau pasangannya maka hal tersebut dapat memicu ketidakpuasan dalam
pernikahan.
c. Dalam relasi seksual, yaitu bagaimana pasangan tidak dapat mengukur afeksi dan
seksual pasangannya juga dapat memicu ketidakpuasan dalam pernikahan.

D. Perceraian dan Kaitannya Dengan Keluarga Yang Bahagia


Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. Benokraitis (1996) juga
menyatakanbahwa komunikasi yang baik antar pasangan dengan membicarakan
permasalahan secara bersama-sama adalah salah satu solusi yang terbaik dalam
menciptakan kehidupan perkawinan yang Bahagia. Siapa pun yang menikah atau akan
menikah pasti menginginkan keluarga yang bahagia. Kemudian dikaitkan dengan target
berkeluarga atau menikah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 UU
Perkawinan: “Tujuan perkawinan adalah untuk mendirikan keluarga yang bahagia dan
abadi, yang berlandaskan ketuhanan". Artinya, kebahagiaan erat kaitannya dengan
hereditas, konservasi, dan Pendidikan (keturunan) yang menjadi hak dan kewajiban orang
tua (lainnya). Pada dasarnya keluarga sakinah berorientasi kepada kebahagiaan dunia dan
akhirat Namun jika keluarga tidak bahagia, perceraian dapat terjadi.

E. Rujuk
Menurut istilah rujuk adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya baik
yang masih dalam masa iddah atau sesudah dinikahi oleh orang lain dan bercerai kembali.
Rujuk ialah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan yang asal sebelum
diceraikan. Dapat dirumuskan bahwa rujuk ialah “mengembalikan status hukum
pernikahan secara penuh setelah terjadinya talak raj‟i yang dilakukan oleh bekas suami
terhadap bekas istrinya dalam masa iddah dengan ucapan tertentu”. Rujuk terjadi karena
adanya perceraian pada pasangan. Ketika seseorang sudah mengatakan talak kepada
pasangannya, kemudian ingin kembali lagi, maka itu disebut dengan rujuk. Dalam agama
dan hukum tidak ada yang melarang untuk melakukan rujuk. Namun, akan lebih baik kalau
sebagai pasangan selalu menjaga tutur kata agar tidak terlontar kalimat talak.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Ghozali. Fiqih Munakahat. (Jakarta: Kencana, 2008), h. 287.


Analiansyah, A., & Iqbal, M. (2018). Pengembalian Tanda Pertunangan Karena Gagal
Pernikahan (Analisis Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Nomor 5
Tahun 2016 Tentang Mahar Dalam Perspektif Fiqh, Undang-undang dan Adat
Aceh). El Usrah: Jurnal Hukum Keluarga, 1(2), 246-260.
Beni Ahmad Saebani. Fiqh Munakahat. Bandung: Pustaka Setia. 2010:100. Jurnal
Hukum Keluarga Islam.
Benokraitis, N.V. (1996).Marriage and Family. NewJersey: Prentice Hall, Inc.
Khan, F. dan Aftab, S. (2013). Marital Satisfaction and Perceived Social Support as
Vulnerability Factors to Depression. American International Journal of Social
Science. 2(5).
Marlina, N. (2013). Hubungan antara tingkat pendidikan orangtua dan kematangan
emosi dengan kecenderungan menikah dini. Empathy. 2(1).
Matondang, Armansyah. "Faktor-faktor yang mengakibatkan perceraian dalam
perkawinan." JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA
(Journal of Governance and Political Social UMA) 2.2 (2014): 141-150.
Rini, Q. K., & Retnaningsih.(2007).Kontribusi self-disclosure pada kepuasan
perkawinan pria dewasa awal. Jurnal PenelitianPsikologi
UniversitasGunadarma, 2(12), 157-163.
Sadarjoen, S. (2005). Konflik Marital. Bandung: Refika aditama.
Snyder, K. D. (1979). Multidimensional Assessmentof Marital Satisfaction. Journal
of Marriage and Family, 41(4), 813-823.
Undang-Undang Perkawinan. UU No. I Tahun 1974. Surabaya: Tinta Mas.

Anda mungkin juga menyukai