Anda di halaman 1dari 37

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN KOMUNIKASI

INTERPERSONAL DENGAN KEPUASAN PERNIKAHAN DI


USIA AWAL PERNIKAHAN
(Masyarakat Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir)

SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Memenuhi Syarat Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Pada Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

OLEH
RIZKA MUSTIKA ROZA
NIM. 11261204054
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM
PEKANBARU
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu tugas seorang individu yang berada pada tahap dewasa awal menurut
Erikson (Desmita, 2005) adalah adanya keinginan untuk melakukan pembentukan
hubungan intim dan akrab yang mengarah pada perkembangan hubungan seksual. Di
berbagai masyarakat, hubungan seksual dan keintiman dapat diperoleh melalui
lembaga pernikahan.
Menurut Sarwono (2009), pernikahan merupakan sebuah komitmen yang diakui
secara sosial untuk menjadi pasangan suami istri. Duvall dan Miller (Sarwono, 2009),
juga menyatakan bahwa pernikahan adalah hubungan antara pria dan wanita yang
diakui secara sosial untuk dapat melakukan hubungan seksual, membesarkan anak,
serta membagi peran di antara pasangan.
Pernikahan di Indonesia merupakan satu-satunya hubungan legal yang diakui
antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk mengekspresikan kebutuhan
seksual, ekonomi, pengasuhan anak, dan membagi peran diantara pasangan.
Indonesia yang masih kental menganut budaya tradisi filsafat Timur, pemuasan
spiritual dan bertahannya hidup spesies dianggap penting diatur dalam pernikahan
sehingga menambah penting arti ideal penyatuan antara sepasang laki-laki dan
perempuan (Gardiner & Kosmitzky dalam Papalia, Olds & Feldman, 2009 ).
Pentingnya pernikahan membuat individu mendambakan pernikahan yang
memuaskan. Kepuasan dalam pernikahan ditentukan oleh sejauh mana pasangan
suami istri dapat merasakan kepuasan pernikahan dengan saling memenuhi
kebutuhan fisik, ekonomi, emosional, dan psikologis ( Lavner dkk, 2013). Kepuasan

pernikahan adalah sesuatu yang dicari dan diharapkan oleh setiap pasangan yang
menikah. Kepuasan pernikahan sendiri dapat diartikan sebagai suatu perasaan akan
kesenangan dalam suatu pernikahan dalam hubungan suami dan istri (Nawaz, 2014).
Perasaan senang ini muncul berdasarkan evaluasi subjektif terhadap kualitas
pernikahan secara keseluruhan. yang berupa terpenuhinya kebutuhan, harapan dan
keinginan suami isteri dalam pernikaha (Azeez, 2013). Pernikahan yang memuaskan
juga ditandai dengan keintiman, komitmen, persahabatan, afeksi, pemuasan seksual,
keamanan ekonomi, dan kesempatan untuk pertumbuhan emosional (Papalia, Olds &
Feldman, 2009).
Kepuasan dalam pernikahan memegang peranan penting dalam keberlangsungan
pernikahan itu sendiri. Levenson dkk (1993) mengungkapkan bahwa kepuasan dalam
pernikahan membuat pernikahan itu bertahan lama dan mengurangi kemungkinan
berakhirnya ikatan pernikahan (perceraian). Individu yang puas dalam pernikahannya
cenderung akan merasa lebih bahagia dan memiliki kualitas kehidupan yang baik
(Levenson, 1993). Berdasarkan hal ini maka para ahli berusaha untuk merumuskan
berbagai macam faktor yang mempengaruhi kepuasan dalam pernikahan. Dahuji
dkk(2014) meneliti bahwa komunikasi interpersonal memiliki pengaruh yang besar
terhadap kepuasan dalam pernikahan pada wanita. Begitu juga Azeez (2013) yang
melakukan penelitian terhadap wanita pekerja yang menemukan bahwa kepuasan
pernikahan sangat dipengaruhi oleh keterampilan interpersonal dalam berkomunikasi
dengan pasangan. Tentunya komunikasi interpersonal tidak hanya harus dimiliki oleh
wanita saja. Keterampilan komunikasi merupakan keterampilan diadik yang perlu

dikembangkan oleh pasangan, keduanya perlu bersinergi untuk membangun


komunikasi yang baik.
Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang efektif, yang mempunyai ciri
saling terbuka, empati, saling mendukung, sikap positif dan kesetaraan (Devito,
1997). Hasil penelitian Defrain dan Olson menyimpulkan bahwa 90% pasangan
suami istri merasa bahagia dalam hubungannya dengan berkomunikasi satu dengan
lainnya sehingga mereka dapat merasakan dan mengerti keinginan dan perasaan
pasangan, dan apabila terdapat suatu perbedaan atau masalah dapat diselesaikan
dengan saling berkomunikasi (dalam Pratiwi, 2006).
Namun sayangnya keadaan ideal tersebut tidak selamanya dapat terjadi.
Masalah-masalah dalam kehidupan pernikahan dan keluarga di masyarakat telah
berkembang sedemikian rupa dengan aneka tantangan dan problemanya yang kian
kompleks. Hal itu berkembang seiring dengan perkembangan dan perubahan dalam
berbagai sektor kehidupan yang terjadi di masyarakat dewasa ini. Lembaga
pernikahan dan keluarga pun turut terkena imbasnya.
Seperti fenomena yang penulis temukan dilapangan. Penulis
melakukan penelitian di Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir.
Penduduk Kecamatan Reteh pada tahun 2014 berjumlah 44.084 jiwa dan jumlah
rumah tangga adalah 10.404. Rata-rata jiwa perrumah tangga adalah 4 jiwa.
Penduduk reteh terdiri dari berbagai suku, diantaranya: Suku Banjar, Suku Bugis,
Suku Jawa, Suku Batak dan Tionghoa.

Berdasarkan observasi dan wawancara awal yang dilakukan di Kecamatan Reteh


Kabupaten Indragiri Hilir, penulis menemukan banyaknya kasus pasangan yang baru
menikah 2-3 tahun, dimana pasangan suami-istri yang sama-sama bekerja dari pagi
sampai sore, saling sibuk bekerja dan hanya memiliki sedikit waktu bersama-sama,
sehingga yang terjadi adalah komunikasi interpersonal yang minim dan buruk. Hal ini
menjadi

pemicu

hadirnya

orang

ketiga

dalam

pernikahan

mereka

yang

mengakibatkan pertengkaran suami-istri yang berujung pada ketidak harmonisan


rumah tangga. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh A dan EB yang diwawancarai
pada tanggal 18 Juni 2016 dikediaman A dan EB, kutipannya sebagai berikut:
Selama 3 tahun menikah,Abang merasa pernikahan yang dijalani hambar,
mungkin karna kita berdua sama-sama bekerja. Paling kalau ada masalah
saling diam. (Subjek A)
Selama menjalani pernikahan, Kakak sering berbeda pendapat dan selisih
paham dengan suami. Cuman lebih banyak didiamkan. Belum ketemu cara
dan waktu yang tepat untuk dibahas baik-baik. (Subjek EB)
Komunikasi dalam kehidupan pernikahan merupakan faktor yang cukup penting,
karena komunikasi merupakan faktor penentu bagi tercapai atau tidaknya kepuasan
dalam pernikahan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Weiss dan Heyman
(dalam Christensen, Elridge, Bohem dkk, 2006) yang menyatakan bahwa kualitas
komunikasi sangat berhubungan erat dengan stabilitas dan kepuasan sebuah
hubungan. Menurut Olson 2000, (dalam Olson & Defrain, 2006) komunikasi sangat

penting pada setiap tahapan hubungan, karena komunikasi adalah inti dari sebuah
hubungan, komunikasi ini menciptakan dan berbagi pengertian diantara individu
dalam hubungan tersebut. Marksman, Stanley, dan Blomberg menambahkan bahwa
komunikasi yang baik merupakan gambaran dari hubungan yang berhasil.
Berdasarkan data yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti ingin mengetahui
hal tersebut secara lebih dalam dan ilmiah. Bagaimana hubungan antara kemampuan
komunikasi interpersonal dan kepuasan pernikahan, dengan judul Hubungan Antara
Kemampuan Komunikasi Interpersonal Dengan Kepuasan Pernikahan Di Usia Awal
Pernikahan
B. Rumusan Masalah
Permasalahan yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah apakah ada
hubungan antara kemampuan komunikasi interpersonal dengan kepuasan pernikahan
di usia awal pernikahan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kemampuan
komunikasi interpersonal dengan kepuasan pernikahan pada masa pernikahan awal
pernikahan.

D. Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penelitian terlebih dahulu yang menggunakan tema kepuasan


pernikahan sebagai topik utamanya. Berkenaan dengan variabel kepuasan pernikahan,
beberapa peneliti telah membahasnya. Penelitian Ahmadi, Marzabadi, dan Ashrafi
(2008) mengungkapkan bahwa religiusitas mempengaruhi kepuasan pernikahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasangan religius memiliki kepuasan
pernikahan yang tinggi.
Penelitian Fauziah dan Numan (2008) mengungkapkan bahwa kepercayaan pada
pasangan memiliki hubungan dengan kepuasan pernikahan. Pasangan suami istri
yang saling mempercayai mencapai kepuasan dalam kehidupan pernikahannya.
Penelitian Nyoman Riana Dewi dan Hilda Sudhana (2013) mengungkapkan
bahwa ada hubungan positif antara komunikasi interpersonal pasutri dengan
keharmonisan pernikahan. Hal ini menandakan bahwa apabila komunikasi
interpersonal pasutri semakin efektif maka pernikahannya semakin harmonis.
Penelitian selanjutnya dilakukan Parung pada tahun (2014) dengan judul Studi
Deskriptif Kepuasan pernikahan pada suami yang menjadi Caregiver dari istri yang
menderita kanker. Subjek dalam penelitian ini adalah suami yang istrinya menderita
kanker dengan jenis kanker apapun, dan berdomisili di Surabaya. Parung
menggunakan teknik snowball sampling, dengan jumlah sampel 20 orang. Penelitian
ini menggunakan angket

Fower dan Olson yang bernama ENRICH Marital

Satisfaction Scale. Pada peneliti ini ditemukan bahwa 11 subjek memiliki kepuasan
pernikahan yang sangat tinggi dan tidak ada suami yang memiliki tingkat kepuasan
pernikahan yang rendah.

Penelitian yang ingin dilakukan oleh penulis juga mengangkat tema kemampuan
komunikasi interpersonal dengan kepuasan pernikahan. Perbedaannya, peneliti
menggunakan skala kepuasan pernikahan menurut Fowers& Olson (1989) dan skala
komunikasi interpersonal menurut Devito (1997). Selain istri sebagai subjek
penelitian, penulis mengikutsertakan suami dalam penelitian agar data yang akan
didapatkan juga lebih komprehensif.
E. Manfaat Penelitian
Berikut ini adalah manfaat yang diperoleh dari penelitian ini.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah keilmuan Psikologi khususnya
pada bidang kajian Psikologi Keluarga dan Psikologi Perkembangan, terkait
hubungan antara kemampuan komunikasi interpersonal dengan kepuasan
pernikahan.
2. Manfaat Praktis
Sedangkan manfaat praktis dari penelitian ini adalah:
a. Bagi subjek penelitian, hasil penelitian dapat digunakan sebagai referensi untuk
menjaga dan meningkatkan kemampuan komunikasi interpersonal pada
pasangan suami-istri dalam kehidupan pernikahan.
b. Penelitian ini dapat menjadi masukan bagi masyarakat khususnya pasangan
suami istri tentang pentingnya memaksimalkan kemampuan komunikasi
interpersonal dalam pencapaian kepuasan pernikahan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kepuasan Pernikahan

1. Pengertian
Menurut Walgito (2004) dalam pernikahan terdapat ikatan lahir dan batin, yang
berarti bahwa dalam pernikahan itu perlu adanya ikatan secara fisik dan psikologis
pada dua individu. Ikatan lahir adalah ikatan yang tampak, seperti ikatan fisik pada
saat individu melangsungkan pernikahan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada.
Ikatan ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya yaitu suami dan istri, maupun
bagi orang lain yaitu masyarakat luas. Sedangkan ikatan batin adalah ikatan yang
tidak tampak secara langsung atau merupakan ikatan psikologis. Antara suami dan
istri harus ada ikatan lahir dan batin, harus saling mencintai satu sama lain dan tidak
adanya paksaan dalam pernikahan. Bila pernikahan dilakukan dengan paksaan, tidak
adanya cinta kasih satu dengan yang lain, maka salah satu hal yang tidak dapat
terpenuhi adalah kepuasan dalam pernikahan.
Kepuasan pernikahan adalah perasaan yang bersifat subjektif dari pasangan
suami istri mengenai perasaan bahagia, puas, dan menyenangkan terhadap
pernikahannya secara menyeluruh (Olson, dkk, 2010). Sejalan dengan itu Gullota,
Adams dan Alexander (dalam Aqmalia, 2009) mengatakan bahwa kepuasan
pernikahan merupakan perasaan pasangan terhadap pasangannya mengenai hubungan
pernikahannya. Hal ini berkaitan dengan perasaan bahagia yang pasangan rasakan
dari hubungan yang dijalani.
Adapun kepuasan pernikahan menurut Pinson dan Lebow (dalam Rini dan
Retnaningsih, 2008) mengatakan bahwa kepuasan pernikahan adalah suatu
pengalaman subjektif, suatu perasaan yang berlaku, dan suatu sikap, dimana semua

itu didasarkan pada faktor dalam diri individu yang mempengaruhi kualitas yang
dirasakan dari interaksi dalam pernikahan. Hal tersebut sejalan dengan pengertian
Chapel dan Leigh (dalam Sumpani, 2008) yang menyebut kepuasan pernikahan
sebagai evaluasi subyektif terhadap kualitas pernikahan secara keseluruhan. Arti
kepuasan pernikahan menurut Clayton (dalam Sititi, 2014) menyatakan kepuasan
pernikahan merupakan evaluasi secara keseluruhan tentang segala hal yang
berhubungan dengan kondisi pernikahan atau evaluasi suami istri terhadap seluruh
kualitas kehidupan pernikahan.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan
pernikahan adalah evaluasi subyektif seseorang terhadap kualitas pernikahannya
yangberhubungan erat dengan perasaan bahagia terhadap pernikahannya.
Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Fowers dan Olson (1989), aspekaspek kepuasan pernikahan terdiri dari:
a. Komunikasi
Aspek ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu terhadap
komunikasi dalam hubungan mereka sebagai suami istri. Aspek ini berfokus pada
tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam membagi dan
menerima informasi emosional dan kognitif.
b. Aktivitas Waktu Luang
Aspek ini mengukur pada pilihan kegiatan yang dipilih untuk
menghabiskan waktu senggang. Aspek ini merefleksikan aktivitas sosial versus

aktivitas personal, pilihan untuk saling berbagi antar individu, dan harapan dalam
menghabiskan waktu senggang bersama pasangan.
c. Orientasi Keyakinan Beragama
Aspek ini mengukur makna kepercayaan agama dan praktiknya dalam
pernikahan. Nilai-nilai yang terkandung dalam agama merupakan bagian yang
penting dalam pernikahan. Nilai-nilai moralitas, interaksi antara suami istri,
pengasuhan anak, serta urusan rumah tangga lainnya diatur oleh agama untuk
kehidupan

pernikahan.

Pengimplementasian

nilai-nilai

tersebut

akan

menciptakan pergaulan yang baik antara suami istri serta sebuah keluarga yang
tenteram dan harmonis. Kepercayaan terhadap suatu agama serta beribadah
cenderung memberikan kesejahteraan secara psikologis, norma prososial dan
dukungan sosial diantara pasangan.
d. Pemecahan Masalah
Aspek ini mengukur persepsi pasangan mengenai eksistensi dan resolusi
terhadap konflik dalam hubungan mereka. Aspek ini berfokus pada keterbukaan
pasangan terhadap isu-isu pengenalan dan penyelesaian, dan strategi-strategi
yang digunakan untuk menghentikan argument, serta saling mendukung dalam
mengatasi masalah bersama-sama dan membangun kepercayaan satu sama lain.

e. Pengaturan Keuangan
Aspek ini berfokus pada sikap yang berhubungan dengan bagaimana cara
pasangan mengelola keuangan. Aspek ini mengukur pola bagaimana pasangan

membelanjakan uang yang dimiliki dan perhatian pasangan terhadap keputusan


finansial rumah tangga. Konsep yang tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang
melebihi kemampuan keuangan, harapan untuk memiliki barang yang
diinginkan, serta ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan hidup dapat
menjadi masalah dalam pernikahan. (Hurlock, 1999). Konflik dapat muncul jika
salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap pasangannya dan tidak percaya
terhadap kemampuan pasangan dalam mengelola keuangan.
f. Orientasi Seksual
Aspek ini mengukur perasaan pasangan mengenai afeksi dan hubungan
seksual mereka. Orientasi seksual menunjukkan sikap mengenai isu-isu seksual,
perilaku seksual, kontrol kelahiran, dan kesetiaan. Penyesuaian seksual dapat
menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan apabila tidak dicapai
kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat terus meningkat seiring
berjalannya waktu. Hal ini dapat terjadi karena kedua pasangan telah memahami
dan mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain, mampu mengungkapkan
hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang diberikan pasangan
sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri.

g. Keluarga dan Kerabat


Aspek ini menunjukkan perasaan-perasaan yang berhubungan dengan
relasi dengan anggota keluarga, keluarga dari pasangan, dan teman-teman. Aspek

ini menunjukkan harapan-harapan dan kenyamanan dalam menghabiskan waktu


bersama keluarga dan teman-teman.
h. Peran Menjadi Orang tua
Aspek ini mengukur sikap dan perasaan mengenai peran sebagai orang tua,
kepemilikan, dan pengasuhan anak. Aspek ini berfokus pada keputusankeputusan yang berhubungan dengan anak-anak dan pengaruh hadirnya anak
terhadap hubungan pasangan. Kesepakatan antara pasangan dalam hal mengasuh
dan mendidik anak penting halnya dalam pernikahan. Orang tua biasanya
memiliki cita-cita pribadi terhadap anaknya yang dapat menimbulkan kepuasan
bila hal tersebut dapat terwujud.
i. Kepribadian Pasangan
Aspek ini mengukur persepsi individu mengenai karakter pribadi pasangan
yang ditunjukkan dari tingkah laku. Apabila individu menyenangi karakter
pribadi dan kebiasaan pasangannya maka hal ini dapat mendukung kepuasan
pernikahannya.
j. Peran dalam Keluarga
Aspek ini mengukur perasaan-perasaan dan sikap-sikap individu mengenai
peran-peran pernikahan dan keluarga. Aspek ini berfokus pada pekerjaan,
pekerjaan rumah, dan seks. Semakin tinggi nilai ini menunjukkan bahwa
pasangan memilih peran-peran egalitarian (Fowers & Olson, 1989).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kepuasan
pernikahan berdasarkan teori yang dikemukakan oleh (Fowers & Olson, 1989), terdiri

dari komunikasi, aktivitas waktu luang, orientasi keyakinan beragama, pemecahan


masalah, pengaturan keuangan, orientasi seksual, keluarga dan kerabat, peran menjadi
orangtua, kepribadian pasangan dan peran dalam keluarga.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan
Kepuasan pernikahan tidak terjadi begitu saja tetapi tentu ada faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan tersebut. Menurut Papalia, Olds &
Feldman (2008) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan antara
lain:
b. Komunikasi
Kepuasan pernikahan dalam kehidupan berumah tangga sangat berkaitan
dengan cara pasangan suami-istri dalam berkomunikasi,membuat keputusan dan
mengatasi konflik.
c. Usia Saat Menikah
Usia saat menikah merupakan salah satu predictor utama. Remaja memiliki
rating penceraian yang tinggi, sementara orang-orang yang menikah pada usia
dua puluhan memiliki kesempatan lebih sukses dalam pernikahan.

d. Latar Belakang Pendidikan dan Pendapatan


Lulusan perguruan tinggi dengan pendapatan keluarga yang tinggi
cenderung bertahan lama dalam pernikahannya dari pada mereka yang
berpendidikan dan berpendapatan rendah.

e. Agama
Orang yang memandang agama sebagai hal yang penting, relatif jarang
mengalami masalah pernikahan dibandingkan orang yang memandang agama
sebagai hal yang tidak penting.
f. Dukungan Emosional
Kegagalan dalam pernikahan ini terjadi karena ketidakcocokan serta
kurangnya dukungan emosional termasuk kekerasan pada pasangan.
g. Perbedaan Harapan
Faktor yang mendasari konflik dan kegagalan dalam pernikahan adalah
perbedaan harapan antara pria dan wanita dalam apa yang diharapkan dari
pernikahan. Bagi wanita, intimasi pernikahan menuntut berbagai perasaan dan
kepercayaan. Sedangkan pria cenderung mengekspresikan intimasi melalui seks,
bantuan praktis pendampingan dan aktivitas dan pendapatan, dukungan
emosional serta perbedaan harapan.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan pernikahan Menurut Papalia,Olds & Feldman (2008) terdiri
dari komunikasi, usia saat menikah, latar belakang pendidikan dan pendapatan,
agama, dukungan emosional dan perbedaan harapan.
B. Komunikasi Interpersonal
1. Pengertian
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap
muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara

langsung, baik secara verbal maupun nonverbal Mulyana(2008). Salah satu tipe
komunikasi interpersonal yang digunakan dalam berinteraksi pada pasangan suami
istri adalah yang bersifat diadik yaitu melalui komunikasi dalam situasi yang lebih
intim, lebih dalam dan personal. Komunikasi interpersonal yang terjalin antar suami
istri mempunyai peranan yang penting untuk menjaga kelangsungan berumah tangga.
Sastropoetro (1986) menyatakan bahwa dengan komunikasi yang baik berarti
memelihara hubungan yang telah terjalin sehingga menghindari diri dari situasi yang
dapat merusak hubungan. Komunikasi yang baik adalah komunikasi yang efektif,
yang mempunyai ciri saling terbuka, empati, saling mendukung, sikap positif dan
kesetaraan Devito (1997). Hasil penelitian Defrain dan Olson menyimpulkan bahwa
90% pasangan suami istri merasa bahagia dalam hubungannya dengan berkomunikasi
satu dengan lainnya sehingga mereka dapat merasakan dan mengerti keinginan dan
perasaan pasangan, dan apabila terdapat suatu perbedaan atau masalah dapat
diselesaikan dengan saling berkomunikasi (dalam Pratiwi, 2006).
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka,
yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung,
baik secara verbal maupun nonverbal.
2. Aspek-aspek Komunikasi Interpersonal
Devito (1997) menguraikan aspek-aspek komunikasi interpersonal antara lain,
yaitu:

a. Keterbukaan yaitu adanya kesediaan untuk membuka diri secara wajar,


kesediaan memberikan respon yang jujur, dan adanya rasa tanggung jawab
pada pikiran serta perasaan yang diungkapkan dalam proses komunikasi.
b. Empati yaitu adanya kemampuan untuk memahami apa yang sedang dialami
oleh orang lain.
c. Sikap mendukung yaitu memiliki komitmen agar proses komunikasi menjadi
sumber informasi bukan suatu penilaian, ketika individu memiliki pikiran
yang terbuka dan memiliki keinginan untuk mendengarkan pendapat berbeda
dari orang lain.
d. Sikap positif yaitu dapat menampilkan sikap dan perilaku positif serta dapat
menghargai diri sendiri dan orang lain baik dalam bentuk perasaan maupun
pikiran yang ditampilkan sesuai dengan tujuan komunikasi interpersonal.
e. Kesetaraan yaitu adanya pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki
kepentingan, bernilai dan berharga, dan saling membutuhkan.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek komunkasi
interpersonal berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Devito (1997), terdiri dari
keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, kesetaraan.

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Komunikasi


Interpersonal

Rahmat (2000) dalam bukunya Psikologi Komunikasi menuliskan beberapa


faktor-faktor yang mempengaruhi komunikasi interpersonal dalam kaitannya untuk
menumbuhkan hubungan interpersonal yaitu:
1. Percaya (trust)
Percaya didefinisikan sebagai mengandalkan perilaku orang untuk mencapai
tujuan yang dikehendaki, yang pencapaianya tidak pasti dan dalam situasi yang
penuh resiko. Definisi ini menyebutkan tiga unsur percaya :
a) Ada situasi yang menimbulkan resiko, bila orang menaruh kepercayaan pada
seseorang, ia akan menghadapi resiko. Resiko itu dapat berupa kerugian yang
anda alami. bila tidak ada resiko percaya tidak diperlukan.
b) Orang yang menaruh kepercayaan kepada orang lain berarti menyadari bahwa
akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.
c) Orang yang yakin bahwa perilaku orang lain akan berakibat baik baginya.
2. Sikap Supportif
Sikap supportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi.
Komunikasi defensif dapat terjadi karena faktor personal atau faktor situasional.
Defensif dapat mencakup sikap tidak menerima, tidak jujur dan tidak empati.
3. Sikap Terbuka
Sikap terbuka adalah sikap untuk menerima dan memahami persoalan dalam
berbagai macam sudut, mengolahnyakemudian membuat sintesa secara objektif
dengan menggunakan data dan keajegan logika.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor komunkasi


interpersonal berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Rahmat (2000), terdiri dari
percaya, sikap supportif, sikap terbuka.
Jenis Komunikasi
Stacks dan Sellers (2009) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis komunikasi
yaitu:
1. Komunikasi Intrapersonal
Komunikasi yang terjadi dalam diri seseorang
2. Komunikasi Interpersonal
Bagaimana individu menggunakan bahasa (verbal) dan nonverbal untuk
mencapai tujuannya seperti menginformasikan, mempersuasi, menyediakan,
dukungan emosional kepada orang lain.
Stacks dan Sellers (2009) menjelaskan bahwa komunikasi intrapersonal meliputi
self talk, inner speech, imajinasi, fantasi, mendengarkan, dan kesadaran emosi.
Adapun tujuan dari komunikasi interpersonal menurut Baker dan Edward 1980,
(dalam Stacks & Sellers, 2009) adalah agar individu mengerti dirinya sendiri dan
lingkungannya. Dalam komunikasi intrapersonal hanya membutuhkan satu individu
saja, dimana pemberi dan penerima pasan adalah individu yang sama. Cunningham,
1989 (dalam Stacks & Sellers, 2009). Komunikasi ini terjadi ketika seseorang
mendapatkan suatu informasi dan melakukan refleksi diri, sehingga hal ini juga
melibatkan proses kognitif.

Sedangkan dalam komunikasi interpersonal dijelaskan Hartley (1999) memiliki


tiga buah karaktiristik yang pertama, komunikasi yang terjadi antara satu individu
dengan individu lain. Kedua, komunikasi bersifat tatap muka. Hal ini dikarenakan
adanya kemungkinan karakteristik khusus yang akan mempengaruhi makna
komunikasi jika dilakukan dengan menggunakan media. Ketiga, bentuk dan isi dari
komunikasi merefleksikan karakteristik pribadi dari individu sesuai dengan hubungan
mereka dan role mereka.

Alasan dimasukkannya karakteristik pribadi dan role dari

individu adalah:

Menciptakan rasa diri dalam berdiskusi

Siap untuk membuka diri dalam berdiskusi

Memunculkan sifat genuine mutual liking dari kedua individu


5. Tahapan komunikasi Interpersonal

Dalam setiap komunikasi yang dilakukan, biasanya terjadi beberapa tahapan


yang membedakan isi dari komunikasi tersebut. Secara lebih lanjut komunikasi atau
percakapan antara dua orang dapat dilihat dalam berbagai tahapan. Steward (1977)
mengatakan bahwa terdapat lima tahapan dalam komunikasi interpersonal, yaitu:
Tahap 1: komunikasi puncak (peak communication)
Dalam tahap ini diperlakukan adanya keterbukaan dan kejujuran. Tahap ini sulit
dicapai, namun dalam hal persahabatan atau pernikahan tahap ini dapat terwujud
meskipun tidak selalu berlangsung sesuai dengan harapan. Dalam tahap ini dua

individu dapat merasakan saat-saat mengalami empati mutual dan komunikasi


yang hampir sempurna.
Tahap 2: membicarakan perasaan-perasaan
Hal-hal yang membedakan seseorang dari orang lain dan menunjukkan keunikan
manusia adalah emosi dan perasaannya. Perasaan merupakan hal yang lebih
pribadi. Dalam tahap ini individu membagi perasaannya dengan orang lain baik
senang, sedih, cemas, dan lain-lain.
Tahap 3: membicarakan ide-ide dan penilaian pribadi
Didalam tahap ini sudah ada komunikasi dimana individu meninggalkan
kesendirian dan mengambil resiko menceritakan ide, gagasan atau penilaian.
Namun sebenarnya komunikasi tidak sepenuhnya terjalin, karena individu masih
menjaga jarak dengan melihat respon lawan bicaranya, kemudian melanjutkan
percakapan sesuai dengan persepsi akan respon lawan bicaranya.
Tahap 4: membicarakan fakta-fakta tentang hal-hal diluar diri
Individu membicarakan apa yang terjadi dan fakta-fakta lain tanpa komunikasi
yang bersifat pribadi.
Tahap 5: percakapan klise (clice conversation)
Merupakan tahapan terendah dan terlemah dalam komunikasi dimana
komunikasi sebenarnya terjadi hanya faktor kebetulan.

C. Kerangka Berpikir
Pernikahan adalah dasar pertama bagi pertahanan suatu rumah tangga dalam
masyarakat. Pasangan suami istri yang bersangkutan tentu menginginkan pernikahan
yang langgeng seumur hidup dan memperoleh kepuasan dalam pernikahan mereka.
Kepuasan dalam pernikahan tidak akan muncul dengan sendirinya, tetapi harus
diusahakan dan diciptakan oleh kedua individu tersebut. Di dalam suatu pernikahan
setiap pasangan suami istri akan berusaha untuk mencapai kepuasan pernikahan,
diantara berbagai macam faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan
diantaranya adalah komunikasi interpersonal yang baik di antara pasangan.
Olson dan Fower (1993) menyatakan bahwa kepuasan pernikahan merupakan
evaluasi subjektif suami atau istri atas kehidupan pernikahannya yang berdasarkan
pada perasaan puas, bahagia, dan pengalaman menyenangkan yang dilakukan
bersama pasangan. Kepuasan pernikahan dapat terjadi apabila individu mampu
berkomunikasi dengan baik terhadap pasangan, melakukan aktivitas bersama,
menerapkan hal-hal keagamaan dalam kehidupan sehari-hari, mampu memecahkan
masalah dengan baik, mengelola keuangan keluarga dengan baik, menjalin
kemesraan dengan pasangan, hubungan dengan anggota keluarga dan teman baik,
mengasuh dan membesarkan anak, menerima kebiasan-kebiasaan yang dilakukan
pasangan, dan mampu bekerja sama dengan pasangan (Olson dan Fower, 1993).
Kecakapan berkomunikasi interpersonal merupakan salah satu faktor yang sangat
penting untuk menjaga kelangsungan pernikahan. Jika terjadi konflik dalam
kehidupan rumah tangga akan sulit untuk diselesaikan, jika salah satu pasangan atau

kedua pasangan tidak memiliki kemampuan berkomunikasi interpersonal yang baik.


Bahkan banyak pasangan yang memutuskan untuk pisah ranjang atau bahkan
memilih untuk bercerai.

Berkorelasi

Komunikasi Interpersonal

Kepuasan Pernikahan
(Y)
-

(X)
Kerangka Berfikir

D. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada Hubungan Antara
Kemampuan Komunikasi Interpersonal Dengan Kepuasan Pernikahan Di Usia Awal
Pernikahan. Semakin baik kemampuan komunikasi interpersonal maka semakin
tinggi kepuasan pernikahan pada usia awal pernikahan. Sebaliknya semakin buruk
kemampuan komunikasi interpersonal maka semakin rendah pula kepuasan pada usia
awal pernikahan.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan
korelasional yang bertujuan menyelidiki sejauh mana variasi pada suatu variabel
berkaitan dengan variasi pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan koefisien
korelasi (Azwar, 2013).
B. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi interpersonal
dengan kepuasan pernikahan. Adapun identifikasi variabel adalah sebagai berikut:
1. Variabel bebas (X)

: Komunikasi interpersonal

2. Variabel terikat (Y)

: Kepuasan pernikahan
C. Definisi Operasional

Definisi operasional dikemukakan dengan tujuan untuk memudahkan analisis


dan menghindari kesalahan penafsiran, maka peneliti merasa perlu untuk menjelaskan
konsep-konsep dalam penelitian yaitu konsep operasional untuk masing-masing
variabel penelitian.

1. Komunikasi interpersonal

Komunikasi interpersonal adalah proses pengiriman dan penerimaan pesan antara


dua orang atau kelompok kecil dengan feed back, baik secara langsung maupun tidak
langsung.Devito (1997) menguraikan aspek-aspek komunikasi interpersonal, yaitu:
a. Keterbukaan yaitu adanya kesediaan untuk membuka diri secara wajar,
kesediaan memberikan respon yang jujur, dan adanya rasa tanggung jawab pada
pikiran serta perasaan yang diungkapkan dalam proses komunikasi.
b. Empati yaitu adanya kemampuan untuk memahami apa yang sedang dialami
oleh orang lain.
c. Sikap mendukung yaitu memiliki komitmen agar proses komunikasi menjadi
sumber informasi bukan suatu penilaian, ketika individu memiliki pikiran yang
terbuka dan memiliki keinginan untuk mendengarkan pendapat berbeda dari
orang lain.
d. Sikap positif yaitu dapat menampilkan sikap dan perilaku positif serta dapat
menghargai diri sendiri dan orang lain baik dalam bentuk perasaan maupun
pikiran yang ditampilkan sesuai dengan tujuan komunikasi interpersonal.
e. Kesetaraan yaitu adanya pengakuan bahwa kedua belah pihak memiliki
kepentingan, bernilai dan berharga, dan saling membutuhkan.
2.

Kepuasan Pernikahan
Kepuasan pernikahan adalah perasaan subyektif pasangan suami istri terhadap

kehidupan pernikahannya apakah menyenangkan, bahagia, atau harmonis setelah


menjalani hubungan pernikahan. Fowers dan Olson (1989) menguraikan aspek-aspek
kepuasan pernikahan, yaitu:

a. Komunikasi, yaitu perasaan terhadap komunikasi dalam hubungan sebagai


pasangan suami istri serta kenyamanan yang dirasakan oleh pasangan dalam
membagi dan menerima informasi emosional dan kognitif.
b. Aktivitas Waktu Luang, mencakup kegiatan yang dilakukan untuk mengisi
waktu luang baik secara personal maupun bersama.
c. Orientasi Keyakinan Beragama, meliputi pelaksanaan kegiatan ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang dianut dan penerapan nilai-nilai agama dalam
keluarga serta sikap terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan.
d. Pemecahan Masalah, mencakup keterbukaan pasangan dalam mengenal dan
memecahkan masalah serta sikap saling mendukung dalam mengatasi
masalah.
e. Pengaturan Keuangan, yaitu sikap dalam mengatur keuangan dan pembuatan
keputusan dalam hal pengeluaran.
f. Orientasi Seksual, mencakup sikap yang berhubungan dengan masalah
seksual, kemampuan untuk mengungkapkan hasrat dan cinta, serta perasaan
yang dialami ketika berhubungan seksual.
g. Keluarga dan Kerabat, mencakup perasaan dan perhatian pasangan terhadap
masing-masing keluarga, mertua, dan teman.
h. Peran Menjadi Orangtua,mencakup sikap dan perasaan tentang memiliki dan
membesarkan anak.

i. Kepribadian Pasangan, mencakup persepsi individu mengenai pasangan


mereka dalam menghargai dirinya dan tingkat kepuasan yang dirasakan
terhadap masalah kepribadian pasangan.
j. Peran dalam Keluarga, mencakup perasaan dan sikap individu mengenai
peran-peran pada pekerjaan, pekerjaan rumah, dan seks.
D. Subjek Penelitian
a. Populasi Penelitian
Populasi adalah keseluruhan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah
dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian, atau
keseluruhan unit atau individu alam ruang lingkup yang akan diteliti. Populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh pasangan menikah diusia awal pernikahan.
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan laki-laki dan
perempuan yang sudah menikah pada masa pernikahan awal
pernikahan yang ada di Kecamatan Reteh Kabupaten Indragiri Hilir.
b. Sampel Penelitian
Karakteristik dari partisipan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Laki-laki atau perempuan yang telah menikah, masih memiliki
pasangan (tidak bercerai atau meninggal), dan berusia antara
20-35 tahun. Usia 20-35 tahun termasuk dalam masa dewasa
awal (Papalia,Old, & Feldman,2007). Menurut Erikson (dalam

Papalia, Olds, &

Feldman, 2007), untuk memenuhi tugas

perkembangan psikososial (intimacy versus isolation) pada


masa tersebut, individu menjalani hubungan dengan orang lain
dan berkomitmen dengan hubungan tersebut yang bentuknya
dapat berupa pernikahan.
b. Masa usia awal pernikahan. Hal ini dikarenakan pernikahan
awal pernikahan merupakan masa transisi yang kritis dewasa
bujang ke kehidupan pernikahan.
c. Pendidikan minimal Sekolah Menengah Atas (SMA) atau
sederajat. Hal ini bertujuan agar responden dapat memahami
setiap item cara pengerjaan kuesioner.
Menurut Gravetter dan Forzano (2009), semakin besar sampel penelitian, akan
lebih akurat untuk menggambarkan populasi. Meskipun demikian, banyak peneliti
menggunakan 25 atau 30 individu untuk dijadikan sampel penelitian karena dapat
dikatakan cukup baik untuk menggambarkan populasi. Pada penelitian ini, peneliti
mengambil 200 orang dimana terdiri dari 100 laki-laki dan 100 perempuan karena
semakin besar sampel tersebut berada diatas batas minimal individu untuk dijadikan
sampel, serta agar dapat lebih menggambarkan populasi.
c. Teknik Pengambilan Sampel
Pendekatan yang digunakan untuk memilih subjek adalah nonprobability sampling. Pada non-probability sampling tidak semua

elemen dari populasi memiliki kesempatan yang sama untuk


dimasukkan kedalam sampel penelian (Shaughnessy, Zechmeister,
& Zechmeister, 2000). Sedangkan

jenis non-probability sampling

yang digunakan adalah accidental sampling. Melalui accidental


sampling peneliti memilih partisipan berdasarkan ketersediaan
partisipan untuk menjadi subjek penelitian ini. Pada penelitian ini,
peneliti memilih subjek yang paling mudah dijangkau berdasarkan
tempat dan waktu namun tetap berdasarkan karakteristik subjek
yang telah ditetapkan sebelumnya.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian mempunyai tujuan mengungkap
fakta mengenai variabel yang diteliti. Tujuan untuk mengetahui (goal of knowing)
haruslah dicapai dengan menggunakan metode atau cara-cara yang efisien dan akurat
(Azwar, 2013). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode skala psikologi yang disusun berdasarkan skala likert.Adapun skala
yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala komunikasi interpersonal dan skala
kepuasan pernikahan.
1. Alat Ukur
a. Skala Komunikasi Interpersonal
Variabel komunikasi interpersonal akan diukur menggunakan skala komunikasi
interpersonal yang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek komunikasi

interpersonal dari Devito (1997) yaitu keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap
positif, kesetaraan.Skala penelitian ini terdiri dari 28 aitem pertanyaan yang
menggunakan empat alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak
Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). yang terdiri dari pernyataan favorabel dan
unfavorabel. Penilaian yang diberikan pada pernyataan tersebut dijelaskan pada tabel
dibawah ini:

Tabel 3.1
Rentang Skor Aitem Skala Komunikasi Interpersonal
Penilaian Jawaban
Alternatif Jawaban
Favorabel
Unfavorabel
Sangat Sesuai
4
1
Sesuai
3
2
Tidak Sesuai
2
3
Sangat Tidak Sesuai
1
4

N
o
1.
2.
3.
4.
5.

Tabel 3.2
Blue print Skala Komunikasi Interpersonal
Aspek Komunikasi
Nomor Aitem
Interpersonal
Indikator
F
UF
Keterbukaan
1, 2, 5
3, 4
Empati
6, 7, 9,11
8, 10, 12
Sikap Mendukung
13, 15
14, 16, 17
Sikap Positif
18, 19, 22 20, 21, 23
Kesetaraan
24, 25, 26
27, 28
15
13
Jumlah

Keterangan F: Favorabel, UF: Unfavorabel

b. Skala Kepuasan Pernikahan

Jumla
h
5
7
5
6
5
28

Variabel kepuasan pernikahan akan diukur menggunakan skala kepuasan


pernikahanyang disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kepuasan
pernikahan dari Fowers dan Olson (1989) yaitu komunikasi, aktivitas waktu luang,
orientasi keyakinan beragama, pemecahan masalah, pengaturan keuangan, orientasi
seksual, keluarga dan kerabat, peran menjadi orang tua, kepribadian pasangan, dan
peran dalam keluarga. Skala peneliti ini terdiri dari 60 aitem pertanyaan yang
menggunakan lima alternatif jawaban, yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Kurang
Sesuai (KS), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS) yang terdiri dari
pernyataan favorabel dan unfavorabel. Penilaian yang diberikan pada pernyataan
tersebut dijelaskan pada tabel dibawah ini:
Tabel 3.3
Rentang Skor Aitem Skala Kepuasan Pernikahan
Penilaian Jawaban
Alternatif Jawaban
Favorabel
Unfavorabel
Sangat Sesuai
5
1
Sesuai
4
2
Kurang Sesuai
3
3
Tidak Sesuai
2
4
Sangat Tidak Sesuai
1
5

Tabel 3.4
Blue print Skala Kepuasan Pernikahan
Aspek Kepuasan
No
Nomor Aitem
Pernikahan
Indikator
F
UF
1 Komunikasi
1, 4, 5
2, 3, 6
Aktivitas
Waktu
2
7, 10, 11,12
8, 9
Luang
Orientasi Keyakinan
3
14, 15, 16, 18
13, 17
Beragama
4
5
6
7
8
9
10

Pemecahan Masalah
Pengaturan
Keuangan
Orientasi Seksual
Keluarga
dan
Kerabat
Peran
Menjadi
Orangtua
Kepribadian
Pasangan
Peran
dalam
Keluarga
Jumlah

Jumlah
6
6
6

19, 20, 22, 24

21, 23

25, 26, 27, 29

28, 30

31, 33, 36

32, 34, 35

37, 38, 41

39, 40, 42

43, 45, 46, 47

44, 48

49, 50, 52

51, 53, 54

55, 57, 58

56, 59, 60

35

25

60

Keterangan F: Favorabel, UF: Unfavorabel

F. Reliabilitas dan Validitas


a. Reliabilitas
Menurut Azwar (2012) pengertian reliabilitas mengacu kepada keterpercayaan
atau konsistensi hasil ukur, yang mengandung makna seberapa tinggi kecermatan
pengukuran. Dalam aplikasinya, reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (r xx')
berada dalam rentang angka dari 0 sampai 1,00. Sekalipun bila koefisien reliabilitas

semakin tinggi mendekati angka 1,00 berarti pengukuran semakin reliabel, namun
dalam kenyataan pengukuran psikologi koefisien sempurna yang mencapai angka
rxx'= 1,00 belum pernah dijumpai.
b. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana ketepatan
dan kecermatan suatu instrumen pengukur (tes) dalam melakukan fungsinya. Suatu
tes dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan
fungsi ukurnya, atau memberikan hasil ukur yang tepat dan akurat sesuai dengan
maksud dikenakannya tes tersebut. Suatu tes yang menghasilkan data yang tidak
relevan dengan tujuan diadakannya pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki
validitas rendah. (Azwar, 2013).
Validitas yang digunakan dalam penelitian ini yaitu validitas isi, dimana validitas
isi menunjukkan sejauh mana aitem-aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan
isi yang hendak diukur oleh tes itu. Pengujian validitas isi menggunakan analisis
rasional oleh para ahli, dalam hal ini dilakukan oleh dosen pembimbing dan
narasumber.
G. Teknik Analisis Data
Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi product
moment. Menurut Sugiyono

(2013) korelasi product moment bertujuan untuk

menguji hipotesis hubungan variabel komunikasi interpersonal (X) dengan variabel


kepuasan pernikahan (Y). Analisis data yang dilakukan menggunakan bantuan
komputerisasi SPSS versi 24 for windows.

DAFTAR PUSTAKA
Atwater, E. & Duffy, K. G (2005). Psychology For Living: Adjustment, Growth, and
Behavior Today (7th ed). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Aqmalia. (2009). Kepuasan Pernikahan pada Pekerja Seks Komersial (PSK).Jurnal
UniversitasGunadarma.http://www.gunadarma.ac.id/library/articles/graduate
/psychology/2009/Artikel_10503148.pdf. Diunduh Tanggal 10 Oktober
2015.
Azwar, Saifuddin. (2012). Penyusunan

Skala Psikologi.

Yogyakarta:

Pustaka

Pelajar.
Azwar, Saifuddin. (2013). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, Saifuddin. (2013). Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Burleson, R. Brant, & Denton, H. Wayne. 1997. The Relationship Between
Communication Skill and Marital Satisfaction: Some Moderating Effects.
Jurnal Of Marriage and Family. 59 (4), 884.
Christensen, A. E. (2006). Cross cultural consistency of the demand / withdraw
interaction pattern in couple. Jurnal of marriage and family, nov. 2006 64, 4.
Proquest religion Pg. 1029.
Desmayanti, S. (2009). Hubungan antara Resolusi Konflik dan Kepuasan Pernikahan
pada Pasangan Suami Istri Bekerja Pada Masa Awal Pernikahan. Skripsi.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Duvall, E. M & B. C. Miller. 1985. Marriage and Family Development. 6th ed. New
York: Harper & Row Publisher, Inc.
Fauzia, Mutia Dani & Thobagus Moh Numan. (2008). Hubungan Kepercayaan pada
Pasangan dengan Kepuasaan Pernikahan. Yogyakarta: UII.
Fower, Blaine J & Olson, David H. (1989). Enrich Marital Inventory: A Discriminant
Validity and Cross Validity Assessment. Jurnal of Marital and Family
Therapy15, 1 65-79.

Hajizah, Yulida Nur. (2012). Hubungan Antara Komunikasi Intim dengan Kepuasan
Pernikahan pada Masa Pernikahan 2 Tahun Pertama. Skripsi. Depok:
Universitas Indonesia.
Hartley, P. (1999). Interpersonal Communication 2nd Edition: London., Routledge.
Hurlock, Elizabeth

B. (1999). Psikologi Perkembangan

(Edisi Kelima),

(diterjemahkan oleh: Istiwidayanti & Soedjarwo). Jakarta: Erlangga.


Mufida, Aulia. (2008). Hubungan work-family conflict dengan Psychological well
being ibu yang bekerja. Skripsi. Depok: Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia.
Nurjanah, Ena. 2006. Perbedaan Kepuasan Pernikahan pada istri dengan Berbagai
Gaya Komunikasi Pasangan. Depok. Universitas Indonesia.
Olson, David H, John Defrain, & Linda Skogrand. (2010), Marriage Family;
Intimacy, Diversity, and Strengths. Edisi Ketujuh. New York: McGraw Hill.
Papalia, D. E, Olds, S. W, & Feldman, R, D. (2007). Human Development (10th ed).
Boston: McGraw-Hill
Papalia, Diane E, Sally, WO. & Ruth, DF. (2008). Human Development (Edisi
Kesembilan), (diterjemahkan oleh: A.K. Anwar). Jakarta: Kencana.
Parung. (2014). Studi Deskriptif Kepuasan Pernikahan Pada Suami yang Menjadi
Caregiver dari Istri yang Menderita Kanker. Calyptra: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Universitas Surabaya. 3 1.
Rini, Quroyzhin Kartika & Retnaningsih. (2008). Keterbukaan Diri dan Kepuasan
Pernikahan pada Pria Dewasa Awal. Jurnal Psikologi1, 2. Fakultas Psikologi
Universitas Gunadharma.
Sititi, N. Fatimah. (2014). Konsep Diri Wanita Yang Tidak Perawan dan Kepuasan
Pernikahan. Jurnal Psikologi: 2 2, 195-205.
Stacks, D. W. & Salwen, M. B. (2009). Integrated Approach to Communication
Theory and Research., Communication Series, Communication Theory, and
Methodology, 2nd ed. New York., Taylor and Francis Routledge.

Steward, John. Interpersonal Communication: A meeting between personal dalam


john steward (ed) 1977. Bridges not walls: a book about interpersonal
communication, (2nd ed) reading: Addison Wesley publidshing company.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Sumpani, Dewi. (2008). Kepuasan Pernikahan Ditinjau Dari Kematangan Pribadi dan
Kualitas

Komunikasi.

Skripsi.

Etd.Eprints.

Ums.

Ac.

Id/Skripsi/851/1/F100010200.Pdf. Diunduh Tanggal 30 Januari 2016.


Walgito, Bimo. (2004). Bimbingan dan Konseling Pernikahan. Yogyakarta: Andi
Offset
Williams, B. K., Sawyer, S. C., & Wahlstrom, C. M. (2006). Marriages. Families,
and Intimate Relationships: A Practical Introduction. Bostom: Pearson
Education, Inc.

Anda mungkin juga menyukai