Anda di halaman 1dari 11

1

ANGKA PERCERAIAN PASUTRI DI KOTA DUMAI TAHUN 2019

Yeni Anggraini
Nim
Jurusan
Kampus
ABSTRAK
Data statistik yang didapat dari Pengadilan Agama 1B Kota Dumai, Angka
perkara perceraian dari tahun 2018 ke tahun 2019 mengalami kenaikan dari 512
kasus pada tahun 2018 menjadi 674 kasus pada tahun 2019 ini. Dari semua kasus
yang terjadi pada tahun 2019 ini 57% adalah gugatan dari pihak isteri. Padahal dari
hasil penelitian mengatakan bahwa orang yang menikah lebih bahagia dan sehat
bila dibandingkan dengan yang tidak menikah, karena sejatinya pernikahan bisa
menjadi tempat aman bagi konflik, dan bisa mengatasi krisis atau permasalahan
yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui bagaimana dinamika
psikologis istri yang menggugat cerai suaminya, dilihat dari bagaimana istri
memaknai arti atau nilai pernikahan tersebut. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Sugiyono (2005: 21) menyatakan
bahwa metode deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk
menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan
untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.
Kata Kunci : Perceraian

ABSTRACT
Statistical data obtained from the Religious Court 1B Dumai City, the
number of divorce cases from 2018 to 2019 has increased from 512 cases in 2018
to 674 cases in 2019. Of all the cases that occurred in 2019 57% were claims from
the wife. Though from the results of the study said that people who get married are
happier and healthier when compared to those who are not married, because
actually marriage can be a safe place for conflict, and can overcome the crisis or
existing problems. This study aims to determine how the psychological dynamics
of the wife who sued for divorce from her husband, seen from how the wife
interpreted the meaning or value of the marriage. The method used in this research
is descriptive method. According to Sugiyono (2005: 21) states that the descriptive
method is a method used to describe or analyze a research result but is not used to
make broader conclusions
Keyword : Divorce
2

PENDAHULUAN

Menurut Islam perkawinan merupakan salah satu sunnah Rasulullah saw,

sehingga merupakan bagian dari ibadah dan bersifat sakral. Perkawinan merupakan

perpaduan instink manusiawi antara pria dan perempuan dalam rangka

mewujudkan keluarga yang bahagia, sakinah mawaddah dan rahmah. Keluarga

sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan suatu model atau performance keluarga

yang didambakan setiap insan. Perkawinan merupakan awal hidup bersama dalam

suatu ikatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan tujuan

membentuk keluarga bahagia sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 1

Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa “tujuan

perkawinan adalah juga untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Bila ditinjau dari makna pernikahan itu sendiri, Cristensen (dalam Wahyu

Trihantoro, 2016) mengatakan bahwa makna pernikahan berkaitan dengan 3 hal

yakni; (a).mewujudkan fungsi sosial keluarga, (b). melengkapi sifat alamiah jenis

kelamin, dan (c).kebahagiaan sebagai tolak ukur sukses nya sebuah pernikahan.

Namun pada kenyataan nya, tidak semua pasangan suami istri bisa memenuhi

makna pernikahan tersebut untuk mendapatkan kebahagiaan seutuhnya. Perceraian

pun pada akhirnya menjadi pilihan. Perceraian dipandang sebagai solusi positif

untuk menghindari konflik yang destruktif seperti permasalahan, perselisihan, dan

pertikaian yang terjadi di antara suami istri dalam pernikahan.2

1
Jakarta RUU RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2
E jhones & Gallois dalam Rice & Dolgin 2008
3

Sedangkan menurut pendapat Scott S.Hall (2006) mengemukakan bahwa

ada sebuah istilah yang disebut dengan Symbolic Interactionism (SI) untuk

mempelajari makna pernikahan. Salah satu aspek nya adalah bagaimana proses

kognitif individu terkait dengan pernikahan. Pada system Symbolic Interactionism

(SI), dikatakan bahwa cara seseorang mendefinisikan atau memahami sesuatu akan

mengarahkan perilaku seseorang.3 Selanjutnya dikatakan bahwa proses kognitif

yang terkait dengan pernikahan – atau bagaimana seseorang menerima atau

memproses informasi terkait dengan pernikahan akan berhubungan dengan

keberfungsian pernikahan, karena hal itu mempengaruhi perilaku seseorang

terhadap pernikahan.

Dalam mencapai keluarga yang bahagia ditempuh upaya menurut

kemampuan masing-masing keluarga. Namun demikian, banyak juga keluarga

yang gagal dalam mengupayakan keharmonisannya, impian buruk akan terjadi

yaitu timbulnya suatu benturan “perceraian” yang tidak pernah mereka harapkan.

Dampak perceraian mengakibatkan timbul berbagai masalah antara lain pecahnya

keluarga tersebut dari ikatan tali perkawinan, hubungan kekeluargaan menjadi

renggang dan dampak yang paling berat yang nyata akan dialami oleh anak yang

merupakan buah hati dari perkawinan itu sendiri.4

Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan istri dapat

membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan

putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan

3
Hall, Scott S. ,(2006), Exploring Young Adults Belief System About Marriage. Journal of Family
Issues. Volume 27, No. 10, Sage Publications
4
Rukmana, N. 1992. Tuntunan Praktis Perkawinan. Jakarta: Penebar Swadaya
4

dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan

kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun istri benarbenar menghargai satu

sama lain. Berdasarkan observasi sementara di lokasi penelitian, penulis melihat

bahwa angka perceraian dikalangan masyarakat sangat memprihatinkan, hal ini

dapat dilihat dari banyaknya wanita memiliki status janda, maupun pria yang

memiliki status duda, dan umumnya mereka yang memiliki status tersebut, bukan

bercerai karena ditinggal mati oleh salah satu diantara keduanya, namun mereka

bercerai hidup dalam arti kata keduanya masih hidup lalu memutuskan untuk

mengakhiri ikatan perkawinan. Perbedaan pendapat, pertengkaran, percekcokan,

perselisihan yang terus menerus menyebabkan hilangnya rasa cinta dan kasih

sayang. Pertengkaran menyebabkan bersemainya rasa benci dan buruk sangka

terhadap pasangan. Pertengkaran yang meluap-luap menyebabkan hilangnya rasa

percaya dan terus memicu perceraian. Penyebab perceraian juga dipicu maraknya

pernikahan di bawah umur. Pernikahan di bawah umur membuat mereka belum siap

mengatasi pernik-pernik pertikaian yang mereka jumpai.

Ajaran Islam telah menetapkan aturan bagi orang yang ingin bercerai,

meskipun ajaran Islam telah menetapkan aturan perceraian bukan berarti Allah

SWT sangat ridha dengan hal itu, tapi sebaliknya bahwa perceraian (talak)

merupakan perbuatan yang halal, akan tetapi sangat dibenci oleh Allah

sebagaimana hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah No. Riwayat 2008.17

yang berbunyi sebagai berikut :


5

Artinya: …Dari Abdillah bin Umar berkata, bersabda Rasulullah saw. “perbuatan

yang paling dibenci oleh Allah adalah talak”.

Jika perceraian merupakan jalan yang harus ditempuh bagi sebuah rumah

tangga yang telah dibangun dengan utuh sebelumnya dan tidak bisa dipertahankan

lagi untuk sementara waktu. Islam tidak melarang seorang suami untuk

menceraikan tanpa adanya prosedur yang harus dilalui, jika suami telah

mengucapkan kata-kata cerai baik secara sarih (jelas) atau kinayah (sindiran)

dengan niat perceraian, maka jatuhlah cerai terhadap istrinya. Karena dalam ajaran

Islam atau fiqh masalah perceraian adalah masalah antara suami istri semata tidak

memerlukan instansi serta alat bukti bahwa telah terjadi perceraian antara suami

istri, seperti adanya akta perceraian atau bukti tertulis lainnya. Hal yang sama juga

dengan hukum adat atau kebiasaan yang ada di masyarakat, bahwa sebuah

perceraian tidak diharuskan adanya bukti atau akta lainnya sebagai bukti formil

adanya suatu perceraian antara suami dan istri dalam suatu rumah tangga.

Selanjutnya dalam kebiasaan masyarakat perceraian murni hak suami bukan hak

dari instansi tertentu atau dari adanya bukti formil secara yuridis.

METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut

Sugiyono (2005: 21) menyatakan bahwa metode deskriptif adalah suatu metode
6

yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian

tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.5

HASIL

Dari hasil survey awal yang penulis lakukan, dengan cara mencari data pada

halaman web Pengadilan Agama Tingkat 1B kota Dumai, didapatkan hasil bahwa

angka perceraian sepanjang tahun 2019 ini dari bulan Januari-November terdapat

674 kasus yang mana terdiri dari 286 kasus cerai talak dan 386 kasus cerai gugat.

PEMBAHASAN

Putusnya perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat dibenarkan itu dapat

terjadi dalam dua keadaan: 1. Kematian salah satu pihak, 2. Putus akibat perceraian.

Berakhirnya perkawinan dalam keadaan suami dan isteri masih hidup (perceraian)

dapat terjadi atas kehendak suami, dapat terjadi atas kehendak isteri dan terjadi di

luar kehendak suami isteri. Menurut hukum Islam, berakhirnya perkawinan atas

inisiatif atau oleh sebab kehendak suami dapat terjadi melalui apa yang disebut

talak, dapat terjadi melalui apa yang disebut dengan ila' dan dapat pula terjadi

melalui apa yang disebut dengan li'an, serta dapat terjadi melalui apa yang disebut

zihar. (Syaifuddin, Muhammad 2013)

Angka Perceraian di Kota Dumai cukup tinggi, 57% perceraian yang

ditangani Pengadilan Agama Kelas 1B Kota Dumai merupakan perkara gugatan

cerai istri terhadap suami. Terhitung sejak bulan Januari-November 2019, sudah

674 perkara perceraian yang ditangani pengadilan. Hal ini disampaikan langsung

5
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta
7

oleh Humas Pengadilan Agama Kelas 1B Kota Dumai, Dr Hasan Nul Hakim, M.A.

“Hampir 57% persen perkara cerai merupakan perkara cerai gugat atau istri

mengungat cerai suami, ini lebih tinggi dibanding perkara cerai talak atau suami

gugat cerai istri,” ujarnya. 6

Faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian telah banyak dikemukakan

oleh para ahli. Penelitian Clarke dan Berrington (1999) menemukan bahwa faktor

sosio-demografis dapat digunakan untuk memprediksi perceraian. Faktor sosio-

demografis disini meliputi kondisi sosial ekonomi, tingkat pendidikan, dan

perkawinan usia dini. Faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi yang mendorong

munculnya sikap dan perilaku terhadap munculnya ketidakbahagian perkawinan

sehingga mendorong terjadinya perceraian. (Oktary, Novie. 2014)7

Sulistyawati (2003) menemukan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan

perceraian adalah kurangnya kesiapan mental, permasalahan ekonomi, kurangnya

komunikasi antar pasangan, campur tangan keluarga pasangan dan adanya

perselingkuhan. Selanjutnya faktor lain yang mempengaruhi perceraian adalah

perubahan nilai keluarga, integrasi sosial, nilai budaya individu, faktor demografis

(status sosial ekonomi, status pekerjaan, pendapatan, tingkat pendidikan, suku,

agama), situasi hidup yang dijalani (transmisi antargenerasi, kehamilan sebelum

menikah dan kelahiran anak, dan perkawinan ulang), dan proses keluarga

(kebahagiaan perkawinan, anak-anak, dan masalah perkawinan).8

6
Halaman web : http://riaupos.co/207376-berita-tingkat-perceraian-di-dumai-tinggi.html
7
Oktary. Novie, Sari. Lapeti, Maulida. Yusni, 2014. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat cerai gugat di Kota Pekanbaru. JOM FEKON Vol. 1 No. 2 Oktober 2014
8
Sulistyawati. A. 2003. Faktor Determinan Penyebab Terjadinya Perceraian dalam keluarga. Tesis.
Program Pasca Sarjana, Psikologi. ITB: Bandung.
8

Jika di bandingkan dengan cerai talak hanya pada angka 43 persen. “Jika di

angka untuk cerai gugat ada sekitar 386 perkara, sedangkan cerai talak pada angka

288 perkara,” jelasnya. Ia mengatakan faktor penyebab perceraian ada beberapa

faktor mulai dari ekonomi, adanya pihak ketiga yang menganggu keutuhan rumah

tangga, media sosial dan suami tidak bertanggung jawab. “Namun dari sekian

banyak faktor memang lebih didominasi karena pihak ketiga dan suami yang tidak

bertanggung jawab,” (Humas PA IB Kota Dumai)9

Santrock (2002) menyebutkan bahwa pernikahan kaum muda dan tingkat

pendidikan rendah dan penghasilan rendah merupakan faktor yang memicu

perceraian. Stanley dan Markman (2001) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi perceraian adalah:10

a. Memiliki kecenderungan kepribadian yang terlalu

reaktif/defensif/menghindari masalah.

b. Orangtua bercerai.

c. Memiliki kegagalan pada perkawinan sebelumnya.

d. Perbedaan agama.

e. Melakukan perkawinan pada usia dini (18 atau 19 tahun)

f. Waktu untuk mengenal pasangan singkat.

g. Masalah keuangan

h. Gaya komunikasi yang negatif

i. Kemampuan yang buruk dalam menyelesaikan masalah.

9
Halaman web : http://riaupos.co/207376-berita-tingkat-perceraian-di-dumai-tinggi.html
10
Stanley, S.M and Markman, H.J. 2001. What Factors are Associated with Divorce and/or Marital
Unhappiness? USA : PREP, Inc.
9

j. Memiliki sikap yang berbeda.

k. Komitmen rendah

Untuk usia bervariatif mulai dari 30 – 50 tahun. Dengan status wanita yang

gugat cerai didominasi oleh Ibu Rumah Tangga bahkan PNS. “Hingga Agustus ini

ada 20 perkara cerai yang di ajukan PNS,” terangnya. Ia menilai solusi untuk

menekan laju perceraian adalah penguatan pendidikan berkeluarga bagi pasangan

yang akan atau baru secara intensif dan serius. “Selain itu, kita meningkatkan

nasehat perkahwinan atau konseling pra pernikahan sehingga mereka memahami

makna sebenarnya dari pernikahan,” ujarnya. Ia mengatakan namun tidak semua

perkara diputuskan dengan perceraian, karena biasanya sebelum sidang kedua belah

pihak akan dilakukan mediasi terlebih dahulu. “Hasilnya dari ratusan kasus

perceraian hanya 20 perkara perceraian yang bisa dimediasi atau rujuk kembali,”

tutupnya.11

KESIMPULAN

Angka Perceraian di Kota Dumai cukup tinggi, 57% perceraian yang

ditangani Pengadilan Agama Kelas 1B Kota Dumai merupakan perkara gugatan

cerai istri terhadap suami. Terhitung sejak bulan Januari-November 2019, sudah

674 perkara perceraian yang ditangani pengadilan. Hal ini disampaikan langsung

oleh Humas Pengadilan Agama Kelas 1B Kota Dumai, Dr Hasan Nul Hakim, M.A.

“Hampir 57% persen perkara cerai merupakan perkara cerai gugat atau istri

11
Sholehah. Mar’atus, 2017. Studi Deskriptif terhadap Kalangan Wanita Karier yang Menggugat
Cerai Suami di Kota Surabaya. Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik Universitas Airlangga
10

mengungat cerai suami, ini lebih tinggi dibanding perkara cerai talak atau suami

gugat cerai istri,” ujarnya.

Jika di bandingkan dengan cerai talak hanya pada angka 43 persen. “Jika di

angka untuk cerai gugat ada sekitar 386 perkara, sedangkan cerai talak pada angka

288 perkara,” jelasnya. Ia mengatakan faktor penyebab perceraian ada beberapa

faktor mulai dari ekonomi, adanya pihak ketiga yang menganggu keutuhan rumah

tangga, media sosial dan suami tidak bertanggung jawab. “Namun dari sekian

banyak faktor memang lebih didominasi karena pihak ketiga dan suami yang tidak

bertanggung jawab,” 12

12
Halaman web : http://riaupos.co/207376-berita-tingkat-perceraian-di-dumai-tinggi.html
11

DAFTAR PUSTAKA

F.P., Rice,K.G.,Dolgin. (2008). The Adolescent : Development, Relationship,and


Culture ( 12 th ed). Boston : Pearson Education,Inc.
Hall, Scott S. ,(2006), Exploring Young Adults Belief System About Marriage.
Journal of Family Issues. Volume 27, No. 10, Sage Publications.
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah dan Annalisa Yahana, Hukum Perceraian,
Jakarta Timur: Sinar Grafika, 2013.
Oktary. Novie, Sari. Lapeti, Maulida. Yusni, 2014. Analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat cerai gugat di Kota Pekanbaru. JOM FEKON Vol.
1 No. 2 Oktober 2014
Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
(Jakarta: Pradnya Paramita, 1977
Rukmana, N. 1992. Tuntunan Praktis Perkawinan. Jakarta: Penebar Swadaya
Santrock, J.W. 2002. Life-Span Development : Perkembangan Masa Hidup. Edisi
Kelima. Alih Bahasa : Juda Damanik dan Achmad Chusairi. PT. Airlangga:
Jakarta.
Sholehah. Mar’atus, 2017. Studi Deskriptif terhadap Kalangan Wanita Karier yang
Menggugat Cerai Suami di Kota Surabaya. Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik
Universitas Airlangga
Stanley, S.M and Markman, H.J. 2001. What Factors are Associated with Divorce
and/or Marital Unhappiness? USA : PREP, Inc.
Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta
Sulistyawati. A. 2003. Faktor Determinan Penyebab Terjadinya Perceraian dalam
keluarga. Tesis. Program Pasca Sarjana, Psikologi. ITB: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai