Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tujuan perkawinan pada umumnya adalah untuk membina rumah tangga yang
bahagia, sejahtera, dan kekal abadi. Akan tetapi, proses kehidupan yang terjadi terkadang tak
jarang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan serta rintangannya pun bermacam-
macam dan datang dari segala penjuru. Apabila dalam perkawinan itu, sepasang suami dan
istri tidak kuat dalam menghadapinya, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah perpisahan
yang secara hukum dikenal dengan perceraian.
Tetapi, tidak selamanya masalah yang datang akan mengakibatkan perceraian. Karena
kematian pun secara otomatis akan melekatkan status cerai kepada suami atau istri yang
ditinggalkan. Selain itu, keputusan hakim juga berpengaruh dalam penentuan status. Apabila
hakim tidak menghendaki atau tidak memutus cerai maka pernikahan tersebut tidak bisa
dikatakan telah bubar.
Permasalahannya adalah setiap peceraian atau status cerai yang diinginkan dapat
tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada. Seperti, syarat bagaimana
suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai, alasan-alasan yang diajukan memenuhi atau
tidak, tata cara yang dilalui telah sesuai atau tidak, hal ini sangat penting untuk diperhatikan.
Karena, apabila tidak memenuhi hal-hal tersebut, maka akan menimbulkan kerugian
bahwasannya hubungan pernikahan dianggap masih tetap berlangsung.
Dalam sebuah hubungan rumah tangga tentunya tidak selamnya berjalan baik sesuai
dengan apa yang telah kita inginkan dari kejauhan hari, namun ternyata ada beberapa faktor
lain yang secara sengaja atau tidak di sengaja penghambat keharmonisan hubungan keluarga
tersebut. Salah satu akibat yang di timbulkan dengan adanya konflik tersebut ialah adanya
perceraian, dimana perceraian bukan lagi hal yang asing di Indonesia namun perceraian bisa
dikatakan sebagai hal yang lumrah dan sudah memasyarakat.
Perceraian tidak saja terjadi pada orang-orang kelas bawah tetapi terjadi pada orang-
orang berkelas atas yang mempunyai perekonomian lebih dari cukup, bukan hanya rakyat
biasa tetapi perceraian pun bisa terjadi pada seorang figur salah satunya artis, musisi, bahkan
terjadi pada ustadz-ustadz.
Perceraian bukan saja akan merugikan beberapa pihak namun perceraian juga sudah
jelas dilarang oleh agama (agama islam). Namun pada kenyataannya walaupun dilarang tetapi
1
Laporan Analisis Kasus Perceraian
tetap saja perceraian di kalangan masyarakat terus semakin banyak bahkan dari tahun ketahun
terus meningkat terutama contoh yang lebih konkrit yaitu terjadi kalangan para artis, dimana
mereka dengan mudah kawin-cerai dengan tidak memperhitungkan akibat psikis yang di
timbulkan dari perceraian tersebut, masalah kecilnya biaya perceraian mereka tidak jadi
permasalahan.
Undang-undang atau peraturan yang digunakan dalam proses perceraian di pengadilan
adalah UU No. 1 Tahun 1974, Undang-undang Perkawinan yaitu mengatur tentang
perceraian secara garis besar (kurang detail karena tidak membedakan cara perceraian agama
Islam dan yg non-Islam) bagi yang non-Islam maka peraturan tata perceraiannya berpedoman
pada UU No.1 Tahuh 74 ini. Kemudian PP No. 9 Tahun 1975, tentang Pelaksanaan UU No. 1
Tahun. 74 mengatur detail tentang pengadilan mana yang berwenang memproses perkara
cerai mengatur detail tentang tata cara perceraian secara praktik. UU No. 23 Tahun 1974,
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bagi seseorang yang mengalami
kekerasan atau penganiyaan dalam rumah tangganya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari perceraian itu?
2. Apa saja faktor-faktor penyebab perceraian?
3. Apa saja syarat-syarat, alasan, dan akibat dalam perceraian?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari perceraian.
2. Mengetahui berbagai faktor penyebab perceraian.
3. Mengetahui syarat-syarat, alasan, dan akibat dalam perceraian.

2
Laporan Analisis Kasus Perceraian
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perceraian

Perceraian ialah penghapusan perkawainan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah
satu pihak dalam perkawinan itu. Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera,
kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-
Undang Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan.
Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan. Perceraian merupakan
terputusnya keluarga karena salah satu atau kedua pasangan memutuskan untuk saling
meninggalkan sehingga mereka berhenti melakukan kewajibannya sebagai suami istri.

Sedangkan dalam islam, perceraian adalah melepaskan ikatan perkawinan (Arab, ‫اسم‬
‫ )لحل قيد النكاح‬aisma hall qayd alnnikah atau putusnya hubungan perkawinan antara suami dan
istri dalam waktu tertentu atau selamanya.

Perceraian biasa disebut “cerai talak” dan atas keputusan pengadilan disebut “cerai
gugat”. Cerai talak perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya yang
perkawinannya dilaksanakan menurut agama islam (Pasal 14 PP No. 9/1975). Cerai gugat
adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri yang melakukan perkawinan menurut
agama islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam (penjelasan Pasal 20 ayat (1) PP
No. 9/1975). Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
(Pasal 39 ayat (1) PP No. 9).

2.2 Faktor Penyebab Terjadinya Perceraian


Terdapat banyak penyebab perceraian yang telah tampak dari kasus-kasus yang sering terjadi
di Indonesia, diantaranya adalah :

a) Kurangnya Berkomunikasi
Dalam rumah tangga, komunikasi sangat penting dan sangat dibutuhkan antara suami-
istri. Sekecil apapun itu masalah harus memberitahu satu sama lain. Jika tidak, akan memicu
terjadinya perceraian. karena dengan berkomunikasi membuat rasa saling percaya, saling
mengerti, tidak ada kebohongan, dan tidak ada hal yang disembunyikan. Namun sebaliknya

3
Laporan Analisis Kasus Perceraian
jika dalam rumah tangga gagal berkomunikasi, maka akan sering terjadi pertengkaran karena
tidak saling percaya, tidak saling mengerti, banyaknya rahasia yang disembunyikan satu sama
lain. Hal ini akan beruung pada perceraian jika kedua pihak kurang atau gagal berkomunikasi.

b) Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)


KDRT adalah kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga baik oleh suami maupun oleh
istri yang berakibat timbulnya penderitaan fisik, seksual, psikis,dan ekonomi. Hal tersebut
menjadi salah satu penyebab utama perceraian.

c) Perzinahan
Di samping itu, masalah lain yang dapat mengakibatkan terjadinya perceraian adalah
perzinahan, yaitu hubungnan seksual diluar nikah yang dilakukan baik oleh suami maupun
istri. hal ini bisa terjadi dalam rumah tangga dikarenakan mungkin seperti yang kita bahas
sebelumnya yaitu kurangnya atau gagal berkomunikasi, ketidak harmonisan, tidak adanya
perhatian atau kepedulian suami terhadap istri atau sebaliknya, saling sibuk dengan
pekerjaannya masing-masing, merasa tidak tercukupinya kebahagiaan lahir dan batin,
ketidaksetiaan, atau hanya untuk bersenang-senang bersama orang lain.

d) Masalah Ekonomi
Uang memang tidak dapat membeli kebahagiaan. Namun bagaimana lagi, uang
termasuk kebutuhan pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, faktor
ekonomi masih menjadi penyebab paling dominan terjadinya perceraian pasutri di
masyarakat.

e) Krisis Moral dan Akhlak


Faktor-faktor terjadinya perceraian di atas seperti halnya masalah ekonomi,
perzinahan, kurangnya atau gagal berkomunikasi, dan kekerasan dalam rumah tangga dapat
menimbulkan landasan berupa krisis moral dan akhlak yang dilalaikan oleh suami mapun istri
atas peran dan tanggung j
Statistik menunjukkan bahwa sekitar 60 persen dari semua kasus perceraian terjadi dalam
sepuluh tahun pertama perkawinan. Bahkan dengan maraknya perceraian yang dilakukan
oleh kaum selebriti, membuat bercerai menjadi masalah pilihan gaya hidup semata. Angka
perceraian terus melonjak.

4
Laporan Analisis Kasus Perceraian
2.3 Syarat-Syarat Perceraian

Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3


ayat, yaitu:
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu
tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.
Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan itu
telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran
itu harus dilakukan pada Pegawai Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan
dalam waktu enam bulan setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam
waktu yang ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian kehilangan
kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan masih tetap berlangsung.

2.4 Alasan Perceraian

Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan mufakat saja antara suami dan istri,
tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam :
a. Zina.
b. Ditinggalkan dengan sengaja.
c. Penghukuman yang melebihi lima tahun karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan.
d. Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 B.W.).
Undang-undang perkawinan Pasal 19 PP No 9 Tahun 1975 menambah dua alasan, yaitu :
a. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
b. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Lebih lengkapnya, alasan-alasan ini tercakup lebih rinci dalam ayat 2 Undang-undang
Perkawinan pasal 39 dalam PP pada pasal 19:

5
Laporan Analisis Kasus Perceraian
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f. Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.

Dilihat dari pasal 116, ada tambahan dua sebab perceraian dibanding dengan pasal 14
PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative
penting karena sebelumnya tidak ada.
Alasan-alasan perceraian diatas secara limitatif (terbatas pada apa yang disebutkan
UU saja) dan disamping itu harus ada alasan seperti yang disebutkan dalam pasal 39 ayat 2
UU Perkawinan, maka jelas kepada kita bahwa UU sangat mempersulit terjadinya perceraian.
Apalagi prosedur perceraian itu, haruslah melalui pengadilan yang berwenang dan sebelum
hakim memutuskan perkara perceraian itu dia terlebih dahulu mengadakan perbagai usaha
perdamaian diantara suami istri itu, baik dilakukan sendiri maupun bantuan pihak lain.
Dengan ketentuan tersebut diatas, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan
sewenang-wenang oleh salah satu pihak suami-istri dan apabila mereka akan bercerai terlebih
dahulu harus diuji dan diperiksa, apakah perceraian tersebut dapat dibenarkan oleh UU atau
tidak.
Ketentuan ini merupakan sebagian dari tuntutan kaum wanita Indonesia, yang melihat
praktek-praktek perceraian sebelum adanya UU perkawinan. Sedangkan dalam penentuan
dalam proses perceraian ini adalah wewenang dari instansi peradilan. Oleh karena itu,
diharapkan agar hakim dapat memikul tanggung jawab yang besar dengan kesadaran tinggi
akan jiwa dan tujuan yang diatur dalam UU perkawinan serta harapan masyarakat pada
umumnya.

6
Laporan Analisis Kasus Perceraian
2.5 Akibat Perceraian

Akibat dari perceraian ada dua, yakni :


a. Akibat bagi istri dan harta kekayaan.
Undang-undang Perkawinan mengatur dengan tuntas tentang kedudukan harta benda
di dalam perkawinan. Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 37 Undang-undang Perkawinan
menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
Menurut pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta benda dalam
perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing
suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan
sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu pasal 36 menetukan bahwa harta
bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang
mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,
suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya.
Menurut penjelasan pasal 35, apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut
diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini tidak dijelaskan perkawinan putus karena
apa. Karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula
karena perceraian. Akan tetapi pasal 37 mengaitkan putusnya perkawinan itu karena
perceraian yakni apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing menurut
penjelasan pasal 37 ini ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Apa yang
dimaksud dengan hukumnya masing-masing pada penjelasan pasal 35 adalah sama dengan
pasal 37.

b. Akibat terhadap anak yang masih dibawah umur.


Akibat terhadap anak yang masih di bawah umur ada dua, yakni:
1. Perwalian
Masalah perwalian diatur dalam Pasal 220 dan Pasal 230. Dengan bubarnya perkawinan
maka hilanglah kekuasaan orang tua, terhadap anak-anak dan kekuasaan ini diganti dengan
suatu perwalian. Mengenai perwalian ini ada ketentuan-ketentuan seperti berikut :

7
Laporan Analisis Kasus Perceraian
(a) Setelah oleh hakim dijatuhkan putusan di dalam hal perceraian ia harus memanggil
bekas suami istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang
belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan seorang wali. Hakim kemudian
menetapkan untuk tiap anak siapa dari antara dua orang tua itu yang harus menjadi
wali. Hakim hanya dapat menetapkan salah satu dari orang tua. Siapa yang ditetapkan
itu terserah kepada hakim sendiri.
(b) Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi sesutau hal yang penting,
maka atas permintaan bekas suami atau istri, penetapan pengangkatan wali dapat
diubah oleh hakim.

2. Keuntungan-keuntungan yang ditetapkan menurut undang-undang atau menurut


perjanjian perkawinan.
Hal-hal yang mengatur mengenai keuntungan bagi anak-anak terdapat dalam passal
231. Dengan perceraian hubungan suami istri terputus, tetapi hubungan dengan anak-anak
tidak. Maka, sudah sepantasnya jika segala keuntungan bagi anak-anak yang timbul
berhubungan dengan perkawinan orang tuanya tetap ada. Keuntungan hak waris atau dari
perjanjian kawin, umpamanya jika pada perjanjian kawin ditentukan sesuatu keuntungan bagi
si istri maka jika si istri ini meninggal maka anak-anak berhak atas keuntungan yang
dijanjikan kepada ibunya.
Akibat lain yang dijelaskan adalah :
(a) Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-
mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan
anak-anak Pengadilan member keputusannya.
(b) Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya
tersebut.
(c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU
No. I. 1974).

8
Laporan Analisis Kasus Perceraian
2.6 Upaya Mengatasi Masalah pada Anak Korban Perceraian

Perceraian tentu disebabkan oleh orang tua itu sendiri sebaiknya orang tua bisa
mengkomunikasikan pada anak dan juga memberikan sebuah penjelasan kenapa mereka bisa
bercerai, berikut ada beberap poin yang bisa dikomunikasikan orang tua kepada anak :

a. Komunikasikan bahwa perceraian adalah berat bagi setiap anggota keluarga termasuk
orang tua. Perceraian terjadi di banyak keluarga sehinnga beri motivasi anak agar
tidak malu menghadapi pergaulan di lingkungan sosialnya.
b. Orang tua bercerai sama sekali bukan karena alasan anak. Karena anak merasa sangat
terpukul sekali apabila merasa karena merekalah orang tua bercerai. Katakan kepada
mereka fakta tentang penyebab perceraian dengan kata-kata yang tidak vulgar dan
menjelekan salah satu orang tua
c. Yakinkan bahwa mereka masih memiliki orang tua yang masih menyayangi.
Walaupun diantara mereka tidak lagi tinggal serumah dengannya.
d. Katakan maaf kepada mereka apabila anda mudah marah, sangat kritis dan cepat naik
darah. Katakan bahwa anda juga mencoba mengatasi peristiwa perceraian dengan
mengontrol diri lebih baik.
e. Berusaha mengenali teman-teman dekat tempat mereka biasa mengadu dan bercerita.
Karena umumnya remaja lebih percaya perkataan temannya ketimbang orangtua yang
dianggap bermasalah.

Namun perlu diingat sebaik apapun upaya untuk menangani perceraian dan berbagai hal yang
sudah dilakukaan, pengaruh terhadap perceraian akan selalu membekas pada diri seorang
anak dan akan mempengaruhi keperibadian menjelang dewasa. Bahkan ketika pertengkaran
hebat dan permasalahan orang tua sudah selesai dengan baik.

9
Laporan Analisis Kasus Perceraian
BAB III
ANALISIS PUTUSAN PERCERAIAN

3.1 Landasan Teori


Perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang
menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera.
Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan dan
harus putus di tengah jalan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang
wajar, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga
dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak, yang konsekuensinya dapat
lepas yang kemudian dapat disebut talak.

a. Perspektif Fiqih
Menurut istilah talak adalah melepaskan ikatan ( hall al-qaid) atau bisa
juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata -kata yang telah
ditentukan. Dalam kitab Kifarat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah
nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz Jahiliyyah yang
setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah.
Ikatan perkawinan dapat putus dan tata caranya telah diatur baik dalam
fikih maupun dalam UUP. Walaupun perkawinan merupakan sebuah ikatan suci
namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat putus.
Hadits Nabi yang popular berkenaan dengan talak adalah “Inna abghad al-
mubahat ‘inda Allah al-talak” sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah
adalah talak. Dengan memahami hadits tersebut, sebenarnya Islam mendorong
terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal dan menghindarkan terjadinya
perceraian. Yang pada prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya
perceraian kecuali ada hal-hal yang darurat.
Setidaknya ada 4 kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah
tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu:
1. Terjadinya nusyuz dari pihak istri, yaitu kedurhakaan yang dilakukan seo rang
istri terhadap suaminya. Berangkat dari sutar an -Nisaa’ ayat 34 memberikan
opsi sebagai berikut:

10
Laporan Analisis Kasus Perceraian
 Istri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar
terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
 Pisah ranjang, sebagai hukuman psikologis bagi is tri dan dalam
kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap
kekeliruannya.
 Memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, tidak boleh
memukul bagian yang membahayakan si istri.
2. Nusyuz suami terhadap istri terjadi ketika suami melalaik an kewajibannya
terhadap istri, baik lahir maupun batin. Berkenaan dengan tugas suami
berangkat dari hadits Rasulullah SAW yang intinya adalah suami harus
memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti istrinya
baik lahir maupun batin, fisik dan mental. Jika suami melalaikan kewajibannya
dan istrinya berulang kali mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan,
maka al-Qur’an seperti yang terdapat dalam surat an -Nisaa’ ayat 128
menganjurkan perdamaian di mana istri diminta untuk lebih sabar menghadapi
suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu, yang
bertujuan agar perceraian tidak terjadi.
3. Terjadinya syiqaq (percekcokan). Alasan ini merupakan alasan yang sering
menyebabkan terjadinya perceraian. Dalam UU No.7 T ahun 1989 dinyatakan
bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus -menerus antara suami
istri. Mengenai masalah ini al-Qur’an dalam surat an-Nisaa’ ayat 35 dijelaskan
bahwa aturan Islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga,
dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing pihak yang lebih mengetahui
karakter, sifat keluarga mereka sendiri untuk mempermudah mendamaikan
suami istri yang bertengkar.
4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan
saling tuduh menuduh antara keduanya. Cara menyelesaikannya adalah dengan
cara membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an.
Apabila berbagai cara yang telah ditempuh tidak membawa hasil, maka
perceraian merupakan jalan yang terbaik bagi keduanya untuk kemb ali
melanjutkan kehidupan masing-masing.
Jika diamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan seolah -
olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkatan tertentu

11
Laporan Analisis Kasus Perceraian
memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki -laki, seolah-olah talak
menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bias saja seorang suami bertindak
otoriter.

b. Perspektif UU No. 1 Tahun 1974


Sebagaimana yang disebut dalam pasal UUP dijelaskan bahwa tujuan
perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ke-
Tuhanan yang Maha Esa yang dalam bahasa KHI disebut dengan mistaqan
ghaliza (ikatan yang suci), namun dalam realitanya seringkali perkawinan
tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik
karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan
berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.

c. Perspektif KHI
KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP, walaupun
pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukk an aturan-aturan yang
lebih rinci. KHI memuat masalah Putusnya Perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113
menyatakan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas
putusan pengadilan.
Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjela skan
yang dimaksud dengan talak adalah “ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan
Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara
sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130, dan 131”.
KHI juga memuat aturan-aturan yang berkenaan dengan pembagian talak,
yaitu talak raj’I, talak ba’in sughra, dan ba’in. Permohonan cerai talak dengan
alasan terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Berkenaan dengan
alasan ini KHI dalam pasal 116 huruf f juga menjelaskan jika antara suami dan
istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selain itu permohonan cerai talak
juga dapat dilakukan dengan alasan syiqaq, yang dalam UU No. 7 tahun 1989
dijelaskan gugatan perceraian yan g didasarkan atas alasan syiqaq untuk
mendapatkan putusan perceraian harus mendengarkan keterangan saksi -saksi yang
berasal dari keluarga atau dari orang-orang yang dekat dengan suami istri.

12
Laporan Analisis Kasus Perceraian
Dalam pasal 115 KHI dijelaskan perceraian hanya dilakukan di dep an
sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

d. Perspektif PP No. 9 Tahun 1975


Hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian dalam PP No. 9 Tahun
1975 adalah:
 Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
 Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut -turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain yang
di luar kemampuan;
 Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
 Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
 Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
 Suami melanggar taklik talak dan murtad.

3.2 Studi Kasus dan Analisis Kasus Perceraian

Dhedhy Subarmo bin Somo Winoto digugat cerai istrinya Wasiyem binti Yatno
Wiyono. Penggugat dengan Tergugat bertempat tinggal di rumah kediaman bersama di rumah
dengan alamat bertempat tinggal di Dusun Gendeng RT. 15, Desa Bangunjiwo, Kecamatan
Kasihan, Kabupaten Bantul. Penyebab Wasiyem menggugat cerai Dhedhy ialah karena terus-
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dengan tergugat. Penyebab perselisihan
tersebut adalah:
 Bahwa sejak bulan November tahun 2007 Tergugat sudah tidak memberikan nafkah
lahir dan batin kepada Penggugat hingga sekarang,
 Bahwa Tergugat terlalu mengatur Penggugat dan Tergugat tidak menganggap
Penggugat sebagai seorang istri. Tergugat sering menuntut Penggugat karena
Penggugat bekerja sebagai seorang PNS yang mempunyai penghasilan tetap;

13
Laporan Analisis Kasus Perceraian
 Bahwa akibat perlakuan Tergugat tersebut Penggugat mengalami tekanan lahir dan
batin sehingga Penggugat menderita penyakit Myom atau kanker rahim;

Di persidangan terungkap 3 hal pemicu cerai yaitu adalah perselisihan, perbedaan


prinsip, dan ketidakcocokan. Dalam persidangan I Penggugat dan Tergugat diupayakan untuk
perdamaian melalui mediasi, karena sifat yang keras dari Penggugat maka tidak tercapai,
dengan alasan pokoknya; Dalam persidangan selanjutnya Penggugat dan Tergugat hanya
memberi jawaban ya atau tidak, mengangguk atau menggelengkan kepala, dan hakim tidak
pernah mengurai perkara sehingga tidak tahu ada kebohongan yang disampaikan Penggugat;

Adapun alasan Gugatan yang diajukan tertanggal 24 Februari 2014 di Pengadilan Agama
Bantul yaitu:

1) Tidak mau memberi nafkah sejak 2007;


Jawaban Tergugat :

Demi tujuan, Penggugat berani berbohong, sejak tahun 1997 sudah bekerja menjadi cleaning
service dan sudah memberikan kewajiban nafkah walaupun sedikit karena penghasilan yang
sedikit;

2) Penggugat menganggap Tergugat terlalu mengatur Penggugat;


Jawaban Tergugat :

Apakah salah sebagai kepala rumah tangga mengatur keluarga, seharusnya kalau meneliti
keadaan yang sebenarnya, tapi kalau tidak melakukan tindakan ini maka terjadi keputusan
yang salah;

3) Akibat perlakuan Tergugat, Penggugat menderita Miyom;


Jawaban Tergugat :

Apakah mungkin yang disampaikan oleh Tergugat. Secara detail sudah Pemohon Kasasi
sampaikan di Replik hal ini sebagai alasan tidak dibahas oleh hakim sehingga menimbulkan
ketidakadilan;

4) Meninggalkan rumah dengan sengaja


Jawaban Tergugat :

Penggugat mempunyai kebiasaan buruk yang tidak mau di nasehati atau diluruskan;

14
Laporan Analisis Kasus Perceraian
a) Sering memutar atau menonton film porno;
b) Sering keluar rumah;
c) Kalau di rumah Penggugat merasa terganggu kalau menerima panggilan telepon dari
temannya laki-laki yang di bumbui dengan kata-kata tidak layak untuk seorang ibu
rumah tangga;
d) Selama hubungan tidak baik dan Penggugat meninggalkan rumah tidak ada nafkah
yang diberikan;

5) Penggugat berusaha mempertahankan rumah tangga;


6) Penggugat merasa rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak dapat di bina lagi;

Hasil dari persidangan tersebut yaitu menolak permohonan kasasi dari Pemohon
Kasasi DHEDHY SUBARMO bin SOMO WINOTO tersebut; dan membebankan kepada
Pemohon Kasasi/Tergugat untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sejumlah
Rp. 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

Setelah itu Ketua Majelis Hakim pada hari Jum’at tanggal 28 Agustus 2015 oleh Prof.
Dr. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum. Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua
Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. dan Dr. H.
Amran Suadi, S.H., M.H., M.M. Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta mengabulkan
gugatan dari Wasiyem karena antara pihak Wasiyem dan Dhedhy tidak lagi ingin berdamai.

3.3 Analisis Kasus Perceraian

Setelah memaparkan perspektif Fiqih, Undang-Undang Perkawinan,


Kompilasi Hukum Islam, dan PP No. 9 tahun 1975 kasus perceraian yang
menimpa pasangan Dhedhy Subarmo dan istrinya Wasiyem saya lihat dari sudut
pandang seorang praktisi hukum. Salah satu alasan Wasiyem m enggugat cerai
Dhedhy Subarmo adalah karena seringnya terjadi perselisihan di antara Wasiyem
dan Dhedhy.

Dalam Pasal 116 huruf f KHI dinyatakan bahwa jika “antara suami dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan a kan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, selain itu dalam PP No. 9 tahun 1975

15
Laporan Analisis Kasus Perceraian
pasal 19 huruf f juga dinyatakan pernyataan yang sama persis dengan yang
dinyatakan dalam KHI, karena landasan itu salah satu pihak boleh mengajukan
Permohonan Cerai Talak ke Pengadilan Agama. Karena cerai dinyatakan sah dan
mempunyai kekuatan hukum di Indonesia ketika dinyatakan dalam Sidang
Pengadilan Agama sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 115 KHI
“perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah
Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak”, hal ini juga dinyatakan dalam pasal 39 UUP.

Perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh oleh pengadilan setelah


kedua belah pihak diberi waktu untuk mediasi tapi ked uanya tetap bersikeras
untuk cerai. Seperti halnya Dhedhy dan Wasiyem mereka berdua menolak untuk
melakukan mediasi dan sepakat untuk meneruskan perceraian.

Oleh karena itu putusan Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta yang


mengabulkan gugatan dari Wasiyem menurut penulis sudah sangat benar dan
tidak ada salahnya lagi.

16
Laporan Analisis Kasus Perceraian
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Perceraian ialah penghapusan perkawainan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah
satu pihak dalam perkawinan itu. Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-
undang perkawinan terdiri dari 3 ayat.
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu
tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan
tersendiri.
Perceraian hukumnya halal, tapi sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu jangan
menjadikan perceraian sebuah jalan keluar untuk sebuah masalah dalam keluarga. Karena
bukan hanya suami dan istri yang menderita kerugian. Tetapi juga anak hasil pernikahan
tersebut.

4.2 Saran
Bagi pasangan suami-isteri hendaknya saling memahami, saling terbuka dalam rumah
tangga untuk memecahkan masalah yang dihadapi, sehingga tidak terjadi disharmonis dalam
keluarga. Langkah yang ditempuh adalah dengan cara mengemukakan permasalahan yang
ada, kemudian permasalahan tersebut dibicarakan bersama dan dicari jalan keluarnya
bersama-sama, salah satunya adalah harus ada yang mengalah dan saling menyadari satu
sama lain, sehingga perselisihan cepat terselesaikan dengan damai
Bagi masyarakat hendaknya dilakukan penyuluhan yang menyangakut hukum
perceraian dengan segala aspeknya, guna merangsang kokohnya ikatan perkawinandan
mengurangi angka perceraian.

17
Laporan Analisis Kasus Perceraian
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
1997.
Arto, Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Cetakan ke tiga.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2000.
Sudarsono. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta. 1991.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana. 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Perceraian diakses pada tanggal Jumat, 22 April 2016.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

18
Laporan Analisis Kasus Perceraian
LAMPIRAN

19
Laporan Analisis Kasus Perceraian

Anda mungkin juga menyukai