Anda di halaman 1dari 17

Mata Kuliah : Psikologi Perkembangan Dewasa dan Lanjut Usia

Dosen Pebimbing : 1. Dian Novita Siswanti, S.Psi., M.Si., M.Psi., Psikolog

2. Wilda Ansar, S.Psi., M.A.

KONFLIK PERNIKAHAN DAN KELUARGA

OLEH :

Nuramalia (1871040022)

Nur Rahmadhani (1871040041)

Nur Mawaddah Adam (1871042051)

Kelas : E

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2020
DAFTAR ISI

SAMPUL .....................................................................................................................1
DAFTAR ISI ...............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................3

a. Latar Belakang..................................................................................................4
b. Rumusan Masalah ............................................................................................4
c. Tujuan...............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................5

a. Definisi Konflik Pernikahan Dan Keluarga..…………………………………5


b. Sumber-Sumber Konflik Perkawinan...............................................................7
c. Konflik Pernikahan Pada Dewasa Awal……………………….......................8
d. Konflik Perkawinan Pada Masa Dewasa Madya……………………………10
e. Masalah Pernikahan Dan Keluarga Pada Masa Dewasa Akhir……………..12
BAB III PENUTUP...................................................................................................15

a. Kesimpulan ....................................................................................................15
b. Saran...............................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................16

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan pernikahan menurut Santrock (1995) dalam Satih dan
Very (2016) adalah masuknya individu ke dalam lima tahapan siklus
kehidupan keluarga, yaitu dengan persiapan meninggalkan rumah sebagai
individu yang mandiri dan bertanggung jawab emosional, dan finansial.
Sayangnya dalam menjalani bahtera rumah tangga tidak selamanya akan
berjalan mulus, dan membahagiakan kadang kala akan terjadi koflik,
perselisihan, maupun masalah-masalah yang dapat menguji kekuatan sebuah
keluarga.
Mc Gonagle, dkk dalam Sears, dkk (1994) dalam Eva, dkk (2008)
menyatakan bahwa pada pasangan yang sudah menikah, konflik adalah
keadaan yang sudah biasa terjadi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Gurin dkk dalam Sears dkk (1994) yang menyimpulkan
bahwa konflik akan senantiasa terjadi pada kehidupan perkawinan. Hal itu
ditunjukkan oleh hasil penelitiannya dimana 45% orang yang sudah menikah
menyatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan selalu muncul berbagai
masalah, dan 32% pasangan yang menilah pernikahan mereka sangat
membahagiakan dan melaporkan bahwa mereka juga pernah mengalami
pertentangan.
Selain hal yang dipaparkan oleh Mc Gonagle, dkk juga terdapat
beberapa laporan dalam Satih dan Very (2016), yang menyebutkan bahwa
tingkat perceraian lima tahun terakhir mengalami peningkatan, dengan
rincian dari dua juta pasangan menikah sebanyak 15 hingga 20 persen
bercerai. Sementara, jumlah kasus perceraian yang diputus Pengadilan Tinggi
Agama Seluruh Indonesia pada 2014 mencapai 382.231, naik sekitar 131.023
dibandingkan tahun 2010 sebanyak 251.208. Dari data tersebut kita dapat
melihat bahwa tingkat konflik, masalah dalam pernikahan butuh perhatian
khusus agar pernikahan itu dapat terjaga. Maka makalah ini dinuat untuk
mengetahui lebih dalam tentang masalah-masalah pernikahan.

3
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi konflik pernikahan dan keluarga?
2. Apa saja sumber atau faktor penyebab konflik pernikahan dan keluarga?
3. Bagaimana konflik pernikahan dan keluarga pada dewasa awal?
4. Bagaimana konflik pernikahan dan keluarga pada masa dewasa tengah?
5. Bagaimana konflik pernikahan dan keluarga pada masa dewasa akhir?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu konflik pernikahan dan keluarga.
2. Mengetahui sumber atau faktor penyebab konflik pernikahan dan
keluarga.
3. Mengetahui apa saja masalah pernikahan pada masa dewasa awal.
4. Mengetahui apa saja masalah pernikahan pada masa dewasa tengah.
5. Mengetahui apa saja masalah pernikahan pada masa dewasa akhir.

D. Manfaat Penulisan
1. Untuk menambah wawasan pembaca mengenai konflik pernikahan dan
keluarga.
2. Untuk menambah wawasan pembaca mengenai faktor konflik pernikahan
dan keluarga perkembangan bahasa pada remaja

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Konflik Pernikahan Dan Keluarga


1. Definisi Konflik
Menurut Thomas & Kilmann, dalam Theresia dan Veronika (2014)
mendefinisikan konflik sebagai kondisi adanya ketidakcocokan antara nilai
atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik dari dalam diri individu maupun
dalam hubungan dengan orang lain. Adapun menurut Brigham (1991), dalam
Dewi & Basti (2008) Konflik terjadi saat dimana terdapat dua orang atau dua
kelompok yang akan me-ngambil keputusan mempunyai potensi untuk
menimbulkan suatu konflik. Sum-ber konflik dapat berasal dari kontak
interaksi ketika dua pihak bersaing atau salah satu pihak mencoba untuk me-
ngeksploitasi pihak lain.
Menurut Johnson dalam Supratiknya (1995) dalam Laila (2013) yang
dimaksud dengan konflik adalah situasi dimana tindakan salah satu pihak
berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu tindakan pihak lain.
Menurut Webster dalam Pruitt dan Rubin, (2004) dalam Laila (2013) istilah
“conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan,
atau perjuangan”, yaitu berupa konfrontasi fisik antara pihak. Berkembang
lagi definisinya menjadi “ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas
berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain”.
Adapun menurut Pruit dan Rubin (2004) dalam Laila (2013)
mendefinisikan konflik sebagai “persepsi mengenai perbedaan kepentingan
(perceved divergence of interest) atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi
pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara stimultan”.
2. Definisi Pernikahan
Menurut (Marlina, 2013) pernikahan adalah suatu ikatan antara laki-laki
dan perempuan yang telah menginjak usia dewasa ataupun dianggap telah
dewasa dalam ikatan yang sakral. Pernikahan merupakan titik awal dari
kehidupan berkeluarga dan tujuan untuk ditetapkan dalam pernikahan akan

5
berdampak dalam kehidupan pernikahannya secara keseluruhan (Manap,
dkk., 2013).
3. Definisi Keluarga
Menurut (Alawiyya, 2017) keluarga adalah unit sosial terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Keluarga yberperan sangat
besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap
anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga
memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai
tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga disamping
beberapa anggota keluarga lainnya.
4. Konflik Pernikahan dan Keluarga
Konflik perkawinan menurut Sadarjoen (2005) dalam Laila (2013) yaitu
perbedaan persepsi dan harapan-harapan yang terjadi pada pasangan suami
istri tentang masalah pernikahan. Masalah-masalah itu antara lain dilatar
belakang pengalaman berbeda, kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang
mereka anut sebelum memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan.
Adapun beberapa kategori dalam konflik keluarga, yaitu :
a. Konflik antara suami-istri
Konflik suami istri biasanya terjadi akibat dari rendahnya
kemampuan adaptasi dan komunikasi pasangan, permasalahan ini
banyak terjadi ketika awal-awak menikah, misalnya konflik dalam
perbedaan hobi, selera, sifat dan perilaku (kebiasaan), bila pasangan
tidak mampu beradaptasi dengan cepat maka pernikahan bisa berakhir
dengan cepat.
b. Konflik antara anak
Dalam kehidupan keluarga biasanya terjadi persaingan antara
anak yang satu dengan yang lain, terjadi rivalitas atau yang dikenal
dengan istilah Sibling rivalry merupakan kompetisi atau persaingan
antara saudara kandung (anak) dalam sebuah keluarga untuk
mendapatkan cinta kasih, afeksi dan perhatian dari kedua orang
tuanya, atau untuk mendapatkan pengakuan atau suatu yang lebih,

6
biasanya persaingan semakin ketat bila usia mereka tidak jauh
berbeda dan jenis kelamin yang sama. Menurut Adler dalam
Whiteman (2011) teorinya mengenai kompleks inferioritas,
menyatakan bahwa sibling rivalry berawal dari kebutuhan anak untuk
mengatasi perasaan inferioritas dirinya dengan memunculkan perilaku
maladaptif ketika anak merasa kurang disukai dibandingkan anak-
anak lain.
c. Konflik antara orang tua dan anak
Konflik ini terjadi karena pola asuh dan pola komunikasi yang
dibangun tidak sesuai dengan proses perkembangan anak dan orang
tua, persoalan ini sering terjadi ketika anak memasuki masa remaja,
dimana anak memiliki keinginan dan rasa ingin tahu yang tinggi dan
mencoba berbagai macam hal, kegagalan orang tua berkomunikasi
dengan anak usia remaja akan menimbulkan konflik besar, seperti
pertengkaran, lari dari rumah hingga bunuh diri karena anak merasa
tertekan.
B. Sumber-Sumber Konflik Perkawinan
Lima sumber utama konflik perkawinan berdasarkan penelitian Arond
dan Pauker dalam Handayani, (2008) dalam Laila (2013):
a. Finansial
b. Keluarga
c. Gaya komunikasi
d. Tugas-tugas rumah tangga
e. Selera pribadi
Adapun menurut Sadarjoen (2005) dalam Laila (2013)
mengungkapkan area konflik dalam perkawinan antara lain menyangkut
persoalan-persoalan:
a. Keuangan (perolehan dan penggunaannya).
b. Pendidikan anak-anak (misalnya jumlah anak dan penanaman disiplin).
c. Hubungan pertemanan.
d. Hubungan dengan keluarga besar.

7
e. Pertemanan, rekreasi (jenis, kualitas, dan kuantitasnya).
f. Aktivitas-aktivitas yang tidak disetujui oleh pasangan (persoalan
minum-minuman keras, perjudian, exramarital affair).
g. Pembagian kerja dan rumah tangga.
h. Berbagai macam masalah (agama, politik, seks, komunikasi dalam
perkawinan, dan aneka macam masalah sepele).
C. Konflik Pernikahan Pada Dewasa Awal
Menurut Hurlock (1986) dalam Desty (2016) mengatakan bahwa
tahap dewasa awal berusia kisaran 18 tahun sampai kira-kira 40 tahun. Yang
mana masa dewasa awal merupakan masa beralihnya pandangan egosentris
menjadi sikap empati. Pada masa ini pula permulaan dimana seseorang mulai
menjalin hubungan secara intim dengan lawan jenisnya.
Adapun menurut Hurlock (1986) dalam Desty (2016) ciri-ciri masa dewasa
awal:
1. Masa dewasa awal sebagai usia reproduktif.
Masa ini ditandai dengan membentuk rumah tangga, pada masa ini pula
alat-alat reproduksi manusia telah mencapai kematangannya dan sudah
siap bereproduksi.
2. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah.
Masa dimana dia harus mengalami perubahan dalam dirinya, dimana pada
masa dewasa awal, seseorang harus banyak melakukan kegiatan
penyesuaian diri dengan kehidupan perkawinan, peran sebagai orang tua
dan sebagai warga negara yang dianggap dewasa secara hukum.
3. Masa dewasa awal sebagai masa penuh ketegangan emosional.
Pada masa ini sering ditampakkan pada ketakutan-ketakutan dan
kekhawatiran-kekhawatiran yang timbul pada umumnya bergantung pada
tercapainya penyesuaian terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi pada
suatu saat tertentu atau sejauh mana sukses atau kegagalan yang dialami
dalam penyelesain persoalan.

8
4. Masa dewasa awal sebagai masa ketergantungan dan perubahan nilai.
Perubahan nilai masa dewasa awal terjadi karena beberapa alasan seperti
ingin diterima pada kelompok orang dewasa, kelompok-kelompok sosial
dan ekonomi orang dewasa.
Dari ciri-ciri tersebut dapat dilihat akan terjadi konflik dalam pernikahan
maupun keluarga apa bila terjadi ketidaksesuaian dengan tugas
perkembangan pada dewasa awal.
Menurut Sadarjoen (2005) dalam Laila (2013) adapun tipe-tipe konflik
perkawinan yang umum terjadi pada masa dewasa muda:
1. Zero Sum dan Motive Conflict
Dalam sebuah konflik kedua belah pihak tidak bisa kalah, maka hal ini
disebut Zero Sum. Sedangkan Motif Konflik terjadi karena salah satu
pasangan mengharapkan keuntungan lebih dari apa yang diberikan
pasangannya, tetapi mereka berharap untuk menghabisi secara total,
pasangannya sebagai lawan.
2. Personality Based dan Situational Conflict
Konflik pernikahan sering kali disebabkan oleh konflik situasional dan
konflik atas dasar perbedaan kepribadian. Sebaiknya suami dan istri
saling memahami kebutuhan masing-masing dan saling memberikan
kesempatan untuk melakukan aktivitas lain.
3. Basic dan Non-Basic Conflict
Konflik yang terjadi akibat perubahan situasional disebut dengan non
basic conflict. Namun apabila konflik tersebut berangkat dari harapan-
harapan pasangan suami-istri dalam masalah seksual dan ekonomi disebut
sebagai basic conflict.
4. Konflik yang tak terelakkan
Keinginan manusia yang cenderung untuk mendapatkan keuntungan yang
semaksimal mungkin dengan biaya yang seminimal mungkin akan
menimbulkan konflik yang tak terelakkan dalam sebuah relasi sosial
seperti pernikahan.

9
D. Konflik Perkawinan Pada Masa Dewasa Madya
Masa dewasa madya adalah periode perkembangan yang dimulai pada
usia 35 tahun hingga 45 tahun dan berlangsung hingga seorang individu
berusia 60 tahun, Santrock (Rahmatika, S.N dan Handayani, M.M 2012).
Dual karir adalah pasangan yang terlibat dalam pekerjaan profesional
dengan kualifikasi keahlian tertentu, menjalani karir sembari tidak menunda
kehadiran anak atau memiliki anak dan menjalani kehidupan keluarga,
Rapoport dan Rapoport (Rahmatika, S.N dan Handayani, M.M, 2012).
Adapun konflik yang terjadi pada masa dewasa madya:
1. Konflik padangan dual karir
Fenomena istri dan suami yang sama-sama bekerja dikenal dengan
istilah pasangan dual karir.Pasangan dapat disebut dual karir jika
memenuhi beberapa karakteristik yaitu kedua pasangan bekerja dalam
lingkup profesional, menjalani karir, memiliki anak, dan
bertanggungjawab dalam pengasuhan, Saraceno (Rahmatika, S.N dan
Handayani, M.M, 2012).
Konsekuensi negatif dari dual karir diantaranya adalah stressor
lebih besar yang dapat berasal dari sulitnya menyeimbangkan urusan
pekerjaan dan keluarga, waktu untuk berkumpul bersama keluarga yang
terbatas atau kelelahan baik secara fisik maupun psikologis (Rahmatika,
S.N dan Handayani, M.M, 2012).
Berkurangnya perasaan kasih sayang dan cinta akibat kesibukan
dan intensitas pertemuan yang terbatas membuat komitmen personal
pasangan dapat berkurang. Selain itu, ketika harus berjauhan karena
urusan pekerjaan pasangan mungkin akan dihadapkan pada hal-hal yang
berbenturan dengan prinsip dan nilai, Lydon (Rahmatika, S.N dan
Handayani, M.M, 2012).
Jaringan sosial yang luas dan tidakdapat dikontrol antara pasangan
memungkinkanpasangan untuk memiliki persepsi bahwa hal-haldi luar
perkawinannya seperti adanya pria atauwanita lain dan pilihan-pilihan

10
lain di luarperkawinan lebih menarik dan membuatnyaberkeinginan
mengakhiri perkawinan (Rahmatika, S.N dan Handayani, M.M, 2012).
2. Konflik tidak memiliki anak
Ketidakmampuan untuk memiliki anak akan mengakibatkan beban
emosional yang besar pada pasangan. Selain itu, menurut (Van Hoose &
Worth, dalam Grace, 2009) pasangan juga harus siap menghadapi kritik
sosial dari masyarakat yangberorientasi pada anak, Beckmann
(Pandanwati, S.K dan Suprapti, V, 2012).
Konflik rumah tangga berkepanjangan juga sangat mungkin terjadi.
Berawal dari rasa kecewalalu menimbulkan f rus t ras i dan
kadangmenyebabkan pasangan saling menyalahkan tentangpenyebab
ketidakhadiran anak, Muskibin, 2005(Pandanwati, S.K dan Suprapti, V,
2012).
Pasangan suami istri dewasa madyadihadapkan pada kemungkinan
kecil untukmemperoleh keturunan akibat penurunan aktivitasseksual.
Padahal tugas perkembangan usia dewasamadya seharusnya lebih banyak
berkaitan denganparenthood(Pandanwati, S.K dan Suprapti, V, 2012).
Penelitian yang dilakukanoleh Ratna (2012) menunjukkan bahwa
pasangan saling mengisi, saling menghibur, melakukanberbagai usaha
untuk memperoleh keturunan, bersabar hingga akhirnya pasrah
(Pandanwati, S.K dan Suprapti, V, 2012). Penelitian lain menunjukkan
bahwa pasangan dewasa madya sudah dapat menyesuaikandiri dan
berusaha mempertahankan pernikahantanpa anak, Hidayah (Pandanwati,
S.K dan Suprapti, V, 2012).
Sementara itu, studi Hayesmenunjukkan bahwaketidakhadiran anak
menyebabkan perceraian.Rubrik konsultasi lain menegaskan dampak
negatif ketidakhadiran anak kandung yaitu poligami, Handayani
(Pandanwati, S.K dan Suprapti, V, 2012).
Meski terdapat variasi respon namun secara umum ketidakhadiran
anak kandung merupakan masalah bagi banyak pasangan dewasa madya.
Besarnya tekanan dari dalam maupun luar diri pasangan dapat

11
menyebabkan stres yang cukup berat (Pandanwati, S.K dan Suprapti, V,
2012).

E. Masalah Pernikahan Dan Keluarga Pada Masa Dewasa Akhir


Menurut Maryam, dkk (dalam Ego Ayu Permana Sakti, 2018 ) bahwa
salah satu faktor lansia mengalami depresi yaitu karena perpisahan dengan
pasangan.Sehingga menjadikan lansiahidup tanpa pasangan atauberstatus
janda atau duda. Berkaitan dengan hal tersebut seperti yang sudah dinyatakan
oleh subjek berinisial GY berstatus janda berusia 75 tahun menyatakan
bahwa rasa kesepian yang kerap menghampiri subjek itu dikarenakan jauh
dengan anak sehingga tidak ada yang melayani ketika dirumah, seperti tidak
ada yang membantu membereskan rumah, membantu memasak dan
sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut Merz dan Gierveld (Ego Ayu Permana Sakti,
2018) menyatakan bahwa ketidak adanya kehadiran pasangan akan
berdampak pada hilangannya jaringan sosial yaitu tidak ada tempat untuk
bertukar ide atau pendapat, kedua ketika membutuhkan bantuan yang
biasanya selalu bergantung pada pasangan kini tidak ada yang membantu, dan
ketiga orang-orang yang hidup tanpa pasangan setelah kematian sangat
mungkin mengalami kesepian yang terlarut hingga intensitas yang lama.
Menurut Moniung, dkk (Ego Ayu Permana Sakti, 2018) perasaan
kesepian muncul karena adanya faktor situasional yaitu adanya perubahan
situasional dalam keluarga, seperti anak yang sibuk bekerja sehingga tidak
memiliki banyak waktu untuk menemani orang tuanya, kemudian anak yang
sudah berumah tangga dan tinggal jauh, sehingga tidak ada yang merawat
lansia dirumah. Selain itu kesepian yang terjadi pada lansia dengan ststus
menikah juga dapat disebabkan oleh faktor keintiman yaitu adanya perubahan
seksual pada wanita (menopause). Sebagian besar orang menganggap bahwa
pada stadium menopause para wanita biasanya merasakan efek dari
perubahan seksualitas yang terjadi, khususnya mereka tidak bisa memberi

12
kepuasan seksual bagi suaminya dan tidak dapat menikmati hubungan intim
dengan suaminya karena jaringan genitalnyaberkurang elasitisitasnya.
Lain daripada itu, ada anggapan lain bahwa efek dari perubahan
seksualitas terbesar berada pada stadium pasca menopause. Wanita pasca
menopause, minat terhadap seks akan menurun dengan sendirinya. Karena
pada waktu itu, liang vagina menjadi tipis, lebih kering dan kurang elastis.
Hal ini memungkinkan rasa sakit ketika melakukan hubungan intim dan
libido seksual sangat rendah, bahkan ada anggapan wanita yang sudah pada
stadium pasca menopause seharusnya tidak melakukan hubungan seksual
karena akan mengakibatkan munculnya penyakit. Keyakinan ini menggiring
wanita untuk mengurangi atau menghindari aktivitas seksual yang akan
berpengaruh pada berkurangnya keharmonisan hubungan suami istri (Sakti,
2018 ).
Dari beberapa masalah pernikahan pada dewasa akhir,
menduda/menjanda adalah salah satu masalah besar dalam hubungan
pernikahan pada usia dewasa akhir. Menurut Suardiman (Nunun, 2017), duda
adalah pria yang telah kehilangan istrinya atau tidak lagi beristri disebabkan
oleh perceraian atau kematian. Masa menjanda atau menduda sama-sama
merupakan suatu peristiwa hidup yang paling menekan/ stressful. Pada tahun-
tahun pertama setelah kematian pasangan, duda maupun janda menunjukkan
kehilangan dan kesedihan, tapi kemudian tergantung pada terkondisikan
tidaknya mereka dengan peran-peran jender yang kaku sebelumnya. Bila pria
terbiasa dirawat dan diladeni oleh pasangannya, maka kehidupan sebagai
duda akan menjadi lebih berat. Terlebih bila lingkungannya mendorongnya
untuk segera mempunyai pendamping.
Berdasarkan riset yang dilakukan, E. Mavis Hetherington menemukan
ada enam jalur yang umumnya dilalui pria dan wanita setelah bercerai
(Santrock, 2012)
1. Mereka yang mengalami peningkatan (the enchancers)
Sebagian besar wanita yang telah bercerai tumbuh menjadi lebih
kompeten. Menyesuaikan diri dengan baik, dan mencapai pemenuhan

13
diri. Secara jelas mereka memperlihatkan Memperlihatkan kemampuan
untuk pulih kembali dari situasi yang menekan dan menciptakan sesuatu
yang berharga di luar masalah
2.  Mereka yang baik-baik saja (the good enough)
Pria dan  wanita yang  telah bercerai,  mereka terlihat memiliki
sejumlah kekuatan dan sejumlah kelemahan.  ketika menghadapi sebuah
masalah mereka berusaha untuk mengatasinya. 
3. Pencari  (the seekers)
Individu  dalam kelompok ini memiliki motivasi untuk mencari
pasangan baru sesegera mungkin. tetapi, ketika orang telah menemukan
pasangan baru atau menikah kembali dan setelah merasa lebih aman atau
puas dengan kehidupan sendirinya, jumlah orang-orang masuk di dalam
kategori (pencari) menjadi menyusut dan dalam kategori ini lebih banyak
terjadi pada pria.
4. Mereka yang bebas (the libertines)
Mereka sering  kali menghabiskan banyak waktu sendirian di club
malam dan lebih sering berganti-ganti pasangan seks dibandingkan
kategori lain. Namun, diakhir tahun pertama setelah perceraian, mereka
sering kecewa dengan gaya hidupnya yang mencari sensasi dan
menginginkan sebuah relasi yang stabil.
5. Mereka yang penyendiri (the competent loners)
Individu yang berada dalam kategori ini adalah individu yang
menyesuaikan diri dengan baik, puas dengan diri mereka dan memiliki
keterampilan sosial yang baik. Namun, kurang berminat menceritakan
kehidupan pribadinya kepada orang lain.
6. Mereka yang kalah (the defeated)
Individu yang berada dalam kategori ini adalah individu yang telah
memiliki masalah sebelum mereka bercerai dan masalah mereka menjadi
semakin meningkat setelah bercerai. Setelah bercerai, mereka menjadi
tertekan dalam taraf diluar kendalinya sehubungan dengan kegagalan
pernikahannya.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Masa dewasa merupakan masa dimana hasil dari pencarian identitas di
masa remaja telah di dapatkan. Pada masa ini pula seseorang akan
membentuk suatu keintiman dengan orang lain, baik itu dalam pernikahan
dan keluarga. Pada masa ini pula terjadi proses penyatuan dua karakter yang
berbeda menjadi satu dalam ikatan pernikahan.
Namun dalam pernikahan tersebut kadang kala mengalami suatu
masalah maupun konflik diantara kedua belah pihak.
B. Saran
Dalam makalah ini masih perlu untuk dikembangkan, apabila ada
masukan, kritik dan saran pembangun sangat dibutuhkan.

15
DAFTAR PUSTAKA
Alawiyya, Tahniatul. (2017). Konflik Terselubung dalam Keluarga: Studi Kasus
Perseteruan antara Suami Istri di Desa Prasung Tambak Kecamatan
Buduran Kabupaten Sidoarjo. Surabaya: UIN Sunan Ampel.

Desty, Agitha, M, N. (2016). Studi Deskriptif Mengenai Body Image pada Wanita
Usia Dewasa Awal yang Aktif Menggunakan Media Sosial di Kota
Bandung. Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas Negeri Bandung.

Dewi, P , M , E.,& Basti. ( 2008 ). Konflik Perkawinan dan Model Penyelesaian


Konflik. Jurnal Psikologi. 2. 42-43.

Hilda, Nunun Fautia. (2017). Penyesuaian Perkawinan pada duda lanjut usia yang
menikah lagi. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah
purwekerto. Purwekerto.

Laila, Kharisma. (2013). Kemampuan Mengelola Konflik Perkawinan pada Remaja


yang Mengalami Kehamilan. Skripsi: Universitas Negeri Semarang.

Manap, J., dkk. (2013). The Purpose of Marriage Among Single Malaysian Youth.
Procedia, Social and Behavioral Sciences: Vol. 82, Hal. 112-116.

Marlina, N. (2013). Hubungan antara Tingkat Pendidikan Orang Tua dan


Kematangan Emosi dengan Kecenderungan Menikah Dini. Jurnal
Empathy: Vol. 02, No. 01.

Pandanwati, S.K., & Suprapti, V. (2012). Resiliensi Keluarga Pada Pasangan


Dewasa Madya yang Tidak Memiliki Anak. Jurnal Psikologi Pendidikan
dan Perkembangan. 1(1), No. 03.

Rahmatika, S.N., &Handayani, M.M. (2012). Hubungan antara Bentuk Strategi


Coping dengan Komitmen Perkawinan pada Pasangan Dewasa Madya
Dual Karir. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan. 1 (3).

16
Sakti, Ego Ayu Permana. (2018). Kesepian lansia ditinjau dari status pernikahan
dan jenis kelamin. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Surakarta

Santrock, J.W. (2012). Life-Span Development: Perkembangan masa hidup, edisi


ketiga belas jilid 2. Penerjemah: Benedictine Widyasinta, Editor:
Novieth I. Salamma. Jakarta: Erlangga.

Satih, S., & Very, J. (2016). Problem Pernikahan dan Strategi Penyelesaiannya:
Studi Kasus pada Pasangan Suami Istri dengan Usia Perkawinan di
Bawah Sepuluh Tahun. Jurnal Psikologi Undip. 15 (2). 124-133.

17

Anda mungkin juga menyukai