Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

KONFLIK DALAM KELUARGA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Keluarga

Dosen Pengampu: Dr. Rahayu Ginintasasi, M. Si.

Oleh:

Allya Rachmanisa Kahani (1603696)


Diar Fatharani Safanah (1607088)
Muthi’ah Nur ‘Azizah (1608263)
Syafira Aulia (1606236)

DEPARTEMEN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis sehingga makalah yang berjudul “Konflik dalam
Keluarga” dapat diselesaikan dengan baik. Serta kami ucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada Dosen serta teman-teman sekalian yang telah membantu,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.

Kami sangat berharap makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka


menambah pengetahuan juga wawasan tentang konflik yang terjadi di dalam suatu
keluarga.

Kamipun menyadari bahwa didalam makalah ini masih terdapat banyak


kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan
adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan kami buat di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Mudah-mudahan makalah sederhana ini dapat dipahami oleh semua orang


khususnya para pembaca. Kami mohon maaf sebesar-besarnya jika terdapat kata-
kata yang kurang berkenan.

Bandung, September 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
BAB II KAJIAN TEORI.............................................................................................2
2.1 Definisi Konflik..............................................................................................2
2.2 Definisi Keluarga............................................................................................3
2.3 Hubungan dalam Keluarga.............................................................................4
2.4 Karakteristik Konflik Keluarga.......................................................................5
2.5 Konflik Orang Tua-Anak................................................................................6
2.6 Potret Konflik Orang tua – Anak....................................................................7
2.7 Pengelolaan Konflik......................................................................................12
PERTANYAAN..........................................................................................................16
JAWABAN..................................................................................................................16
BAB III PENUTUPAN..............................................................................................20
3.1 Kesimpulan...................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam setiap hubungan antara individu akan selalu muncul


konflik, tak terkecuali dalam hubungan keluarga. Konflik sering kali
dipandang sebagai perselisihan yang bersifat permusuhan dan membuat
hubungan tidak berfungsi dengan baik. Secara bahasa konflik identik
dengan percekcokan, perselisihan, dan pertengkaran (lihat Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2005). Adapun dalam bahasa Inggris conflict sebagai
noun berarti a serious disagreement or argument, sedangkan sebagai verb
berarti be incompatible or clash (lihat Concise Oxford English
Dictionary). Walaupun demikian, berbagai kajian menunjukkan bahwa
keberadaan konflik tidak selalu berakibat buruk. Selain dapat berakibat
buruk, konflik juga dapat menumbuhkan hal-hal yang positif.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan konflik dan keluarga?


b. Bagaimana karakteristik konflik dalam keluarga?
c. Bagaimana konflik antara orang tua dengan anak?
d. Bagaimana strategi pengelolaan konflik yang terjadi pada orang tua
dan anak?

1.3 Tujuan

a. Untuk mengetahui apa itu konflik dan keluarga.


b. Untuk mengetahui karakteristik apa yang ada di konflik dalam
keluarga.
c. Untuk mengetahui bagaimana konflik antara anak dan orang tua yang
sering terjadi.
d. Untuk mengetahui bagaimana strategi pengelolaan konflik yang
terjadi dalam keluarga.

1
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Definisi Konflik

Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam


kehidupan sosial, sehingga konflik bersifat inheren artinya konflik akan
senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan
saja[ CITATION Mua14 \l 1057 ].
Konflik mencerminkan adanya ketidakcocokan (incompatibility),
baik ketidakcocokan karena berlawanan atau karena perbedaan. Sumber
konflik dapat berasal dari: (1) adanya ketimpangan alokasi sumber daya
ekonomi dan kekuasaan; (2) perbedaan nilai dan identitas; (3) kesalahan
persepsi dan komunikasi juga turut berperan dalam proses evolusi
ketidakcocokan hubungan. Oleh karena itu konflik dapat berjalan ke arah
yang positif atau negative bergantung pada ada atau tidaknya proses yang
mengarah pada saling pengertian [ CITATION Lae17 \l 1057 ].
Erikson (Sri Lestari, 2012) menjelaskan bahwa konflik terjadi
dalam tiga level: (1) konflik terjadi ketika kepribadian anak atau individu
berhadapan dengan tuntutan orang tua atau masyrakat; (2) konflik yang
terjadi di dalam diri individu, misalnya antara percaya dan tidak percaya;
(3) konflik yang terjadi dalam menentukan cara beradaptasi [ CITATION
Lae17 \l 1057 ].
Thomas (1992) mendefinisikan konflik sebagai proses yang
bermula saat salah satu pihak menganggap pihak lain menggagalkan atau
berupaya menggagalkan kepentingannya [ CITATION Lae17 \l 1057 ].
McCollum (2009) mendefinisikan konflik sebagai perilaku
seseorang dalam rangka ber-oposisi dengan pikiran, perasaan dan
tindakan orang lain. Dengan demikian secara garis besar konflik dapat
didefinisikan sebagai peristiwa sosial yang mencakup pertentangan
(oposisi) atau ketidak-setujuan (Shantz, 1987) dalam [ CITATION Lae17 \l
1057 ].

2
Konflik berguna untuk menguji bagaimana karakteristik suatu
hubungan antar pribadi, dua pihak yang memiliki hubungan yang
berkualitas akan mengelola konflik dengan cara yang positif. Konflik juga
bermanfaat bagi perkembangan individu dalam hal menumbuhkan
pengertian sosial. Dunn dan Slomkowski (1995) menunjukkan empat area
pengertian sosial yang dapat berkembang karena adanya konflik yaitu: (1)
dalam memahami perasaan dan maksud orang lain; (2) dalam memegang
norma dan konvensi yang memandu perilaku; (3) dalam memilih strategi
berkomunikasi; (4) dalam mengenali berbagai perbedaan yang relevan
dalam hubungan antar pribadi [ CITATION Lae17 \l 1057 ].
James Schellenberg (McCollum, 2009) mengemukakan bahwa
konflik sepenuhnya merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat
yang harus dianggap penting, yaitu untuk merangsang pemikiran-
pemikiran baru, mempromosikan perubahan sosial, menegaskan hubungan
dalam kelompok, membantu kita dalam membentuk perasaan tentang
identitas pribadi, dan memahami berbagai hal yang kita hadapi dalam
kehidupan sehari-hari [ CITATION Lae17 \l 1057 ].

2.2 Definisi Keluarga

Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih


memiliki hubungan darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai
sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai
hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran,
adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-
anak yang belum menikah disebut keluarga batih [ CITATION Set12 \l 1057 ].
Keluarga merupakan salah satu unit sosial yang hubungan antar
anggotanya terdapat saling ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu,
konflik dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflik di dalam
keluarga dapat terjadi karena adanya perilaku oposisi antar ketidaksetujuan
antara anggota keluarga. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut-turut
adalah konflik sibling, konflik orang tua-anak dan konflik pasangan
(Sillars dkk, 2004). Walaupun demikian, jenis konflik yang lain juga dapat

3
muncul, misalnya menantu-mertua, dengan saudara ipar dan paman/bibi.
Faktor yang membedakan konflik di dalam keluarga dengan kelompok
sosial yang lain adalah karakteristik hubungan di dalam keluarga yang
menyangkut tiga aspek, yaitu intensitas, kompleksitas, dan durasi
(Vuchinich, 2003).
Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang
terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan
hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak.
Adapun ciri-ciri umum keluarga yang dikemukakan oleh Mac Iver and
Page (Khairuddin, 1985: 12) dalam [ CITATION Set12 \l 1057 ], yaitu:
1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.
2. Susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan
perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.
3. Suatu sistim tata nama, termasuk perhitungan garis keturunan.
4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-
anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus
terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan
dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan
membesarkan anak.
5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga
yang walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah
terhadap kelompok kelompok keluarga.

2.3 Hubungan dalam Keluarga

Hubungan dalam keluarga bisa dilihat dari [ CITATION Set12 \l


1057 ]:
1. Hubungan suami-istri. Hubungan antar suami-istri pada
keluarga yang institusional ditentukan oleh faktor-faktor di
luar keluarga seperti: adat, pendapat umum, dan hukum.
2. Hubungan orangtua-anak. Secara umum kehadiran anak dalam
keluarga dapat dilihat sebagai faktor yang menguntungkan
orangtua dari segi psikologis, ekonomis dan sosial.

4
3. Hubungan antar-saudara (siblings). hubungan antar-saudara
bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah anggota
keluarga, jarak kelahiran, rasio saudara laki-laki terhadap
saudara perempuan, umur orang tua pada saat mempunyai
anak pertama, dan umur anak pada saat mereka ke luar dari
rumah.

2.4 Karakteristik Konflik Keluarga

Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis


hubungan yang sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi.
Karakteristik antara pasangan, orang tua-anak, atau sesama saudara berada
dalam tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, maupun komitmen.
Ketika masalah yang serius muncul dalam sifat hubungan demikan,
perasaan positif yang selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah
menjadi perasaan negatif yang mendalam juga. Pengkhianatan terhadap
hubungan kasih sayang, berupa perselingkuhan atau perundungan seksual
terhadap anak, dapat menimbulkan kebencian yang mendalam sedalam
cinta yang tumbuh sebelum terjadinya pengkhianatan.
Benci tetapi rindu merupakan ungkapan yang mewakili bagaimana
pelik atau kompleksnya hubungan dalam keluarga. Seorang istri yang
sudah mengalami KDRT dan melaporkan suaminya ke polisi, bahkan
masih mau setia mengunjungi suaminya di penjara dengan membawakan
makanan. Hal ini dikarenakan ikatan emosi yang positif lebih besar
daripada penderitaan yang muncul karena konflik.
Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat
kekal. Oran tua akan selalu menjadi orang tua, demikian juga saudara.
Tidak ada istilah mantan orang tua atau mantan saudara. Oleh karena itu,
dampak yang dirasakan dari konflik keluarga sering kali bersifat jangka
panjang. Bahkan seandainya konflik dihentikan dengan mengakhiri
hubungan, misalnya berupa perceraian atau minggat dari rumah, sisa-sisa
dampak psikologis dari konflik tetap membekas. Konflik di dalam

5
keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandinkan dengan konflik
dalam konteks sosial yang lain (Sillars dkk., 2004).
Misalnya, penelitian Adam dan Laursen (2001) menemukan bahwa
konflik dengan orang tua lebih sering dialami remaja bila dibanding
dengan sebaya. Oleh karena sifat konflik yang normatif, artinya tidak bisa
dielakkan, maka vasilitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung
pada respons masing-masing terhadap konflik. Frekuensi konflik
mencerminkan kualitas hubungan, artinya pada hubungan yang
berkualitas, frekuensi konflik lebih sedikit.
Kualitas hubungan dapat memengaruhi cara individu dalam
membingkai persoalan konflik. Suatu topik konflik seperti yang
mendalam, apabila dibingkai sebagai karakteristik kepribadian, seperti
sikap tidak bertanggung jawab. Walaupun demikian, banyak keluarga yang
sering mengalami konflik, namun tetap dapat berfungsi dengan baik
(Vuchinich, 2003). Salah satu faktor penting yang tetap membuat keluarga
berfungsi dengan baik adalah karena konflik tersebut diselesaikan, tidak
dibiarkan atau dianggap akan hilang seiring waktu. Seperti diungkapkan
Rueter dan Conger (1995), keluarga yang memiliki interkasi hangat
menggunakan pemecahaan masalah yang kontruktif, adapun dengan
interaksi bermusuhan menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.

2.5 Konflik Orang Tua-Anak

a. Konflik pada Masa Anak-Anak


Penelusuran terhadap terjadinya konflik orang tua-anak telah
terjadi saat anak masih berupa janin di dalam kandungan. Penelitian
Haig (1993) memaparkan adanya konflik genetik dalam proses
kehamilan. Masa kehamilan merupakan masa yang peka dalam
menjaga keseimbangan antara upaya janin untuk sebesar mungkin
mengambil bagian dari tubuh ibu untuk perkembangan dirinya, dan
upaya ibu untuk mempertahankan berbagai sumber daya untuk dirinya
dan janin-janin yang lain dikemudian hari. Upaya penyeimbangan ini

6
sering kali menimbulkan gejala-gejala yang tidak menyenangkan bagi
ibu.
Ketika bayi telah lahir dan mengalami perkembangan, salah satu
konflik yang permulaan muncul dalam hubungan orang tua- anak
adalah konflik pada masa penyapihan. Proses penyapihan mulai
dialami oleh anak oleh karena kehamilan bayi berikutnya, atau karena
anak dianggap sudah berada pada usia yang cukup untuk mulai
mengalami perpisahan sementara dengan ibunya.
Terbangunnya kelekatan antara anak dengan orang tua tidak
meniadakan munculnya konflik. Pendapat mengatakan bahwa
kelekatan yang aman dapat membuahkan hasil yang positif, misalnya
saling memberikan afeksi positif dan kesediaan anak untuk mengikuti
segala nasihat dari orang tua. Pada hubungan kelekatan tak aman,
konflik bersifat kurang konstruktif karena diantara mereka hanya
sedikit mengalami proses penalaran dan lebih menonjolkan proses
penalaran dan pertentangan.

b. Konflik pada Masa Remaja


Beberapa penelitian menunjukkan pola kurva kinear pada
intensitas konflik orang tua-anak, yaitu meningkat pada remaja awal
mencapai pada puncaknya pada remaja tengah dan menurun pada
remaja akhir (Montemayor, 1983). beberapa penelitian lain juga
mengungkapkan kecenderungan menurun secara linear dengan
intensitas konflik lebih tinggi pada remaja awal dan menurun pada
remaja akhir (Allison & Schultz, 2004; Laursen, Coy & Collins,
1998).
Walaupun terdapat kesamaan dalam hal tingginya intensitas
konflik pada masa remaja awal, faktor usia agaknya tidak dapat
digunakan sebagai patokan bagi kecenderungan meningkat atau
menurunnya konflik orang tua-anak. Faktor pola interaksi mungkin
bisa lebih memprediksikan intensitas konflik, sebagaimana diungkap

7
oleh Rueter dan Conger (1995) bahwa konflik orang tua-anak
meningkat dalam keluarga yang hangat dan suportif.

2.6 Potret Konflik Orang tua – Anak

a. Gambaran Konflik Orang Tua-Anak

Dalam upaya memahami konflik orang tua – anak dalam cakupan


yang lebih luas dilakukan penelitian pada remaja. Untuk menyusun
instrument yang digunakan tersebut terlebih dahulu dilakukan
wawancara kelompok terarah (Focus Group Interviews-FGI) terhadap
remaja. Untuk memahami dinamika konflik dalam keluarga, remaja
yang menjadi partisipan dalam FGI ditentukan berdasarkan kriteria
siswa-siswi SMP yang sering mengalami masalah dan yang jarang
mengalami masalah di sekolah.

Melalui FGI diperoleh data-data tentang :


1. Kedekatan remaja dengan orang tuanya
Remaja yang tinggal dengan orang tuanya dan merasa
nyaman berinteraksi dengan ayah ibunya mengungkapkan
perasaan dekat dengan keduanya. Mereka biasa berbagi cerita
dengan orang tuanya tentang peristiwa yang dialami disekolah
dan melakukan kegiatan bersama seperti menonton TV,
melakukan tugas rumah, dan apa pula yang berekreasi. Pada
remaja tersebut cenderung tidak memiliki maslaah disekolah.
Pada umumnya mereka masih bisa menerima kemarahan orang
tua bila berbuat kesalahan. Bahkan remaja yang merasa dekat
dengan orang tua mempersepsikan kemarahan orang tua
sebagai tanda bahwa orang tua menyayangi mereka.
Berbeda halnya dengan remaja yang bermasalah di
sekolah pada umumnya adalah remaja yang berasal dari
keluarga yang bermasalah. Masalah di dalam keluarga tersebut
dapat berupa relasi ayah ibu yang bermasalah dan sering
mengalami konflik, perilaku orang tua yang bermasalah seperti

8
sering mabuk akibat minum-minuman keras dan berjudi, dan
relasi anak-dan orang tua yang bermasalah. Masalah anak dan
orang tua misalnya adalah orang tua yang terlalu sering
memarahi anak tanpa melakukan klarifikasi pada anak, mudah
memberikan hukuman pada anak seperti menjewer, mencubit,
memukul dengan sepatu dan lain sebagainya.
Pemberian hukuman fisik tidak hanya mengakibatkan
sakit fisik, tetapi juga dimaknai sebagai rasa tidak saya orang
tua kepada diri mereka. Respons psikologis yang remaja
kembangkan adalah mereka tidak betah dirumah dan
membayangkan untuk pergi dari rumah.

2. Area konflik remaja dengan orang tua yang pernah dialami


Masalah yang menjadi pemicu konflik antara remaja dan
orang tua mencakup tujuh area, yaitu terlambat pulang dari
sekolah maupun bermain, pernampilan terutama menyangkut
cara berpakaian dan modelnya, serta gaya rambut, karakteristik
teman sepergaulan, prestasi belajar, keterlibatan dalam tugas
pekerjaa rumah, penggunaan telepon, dan keterlibatan dalam
hubungan romantis atau pacaran.
Keterlambatan remaja pulang kerumah terjadi karena pada
masa remaja kebutuhan untuk bersosialisasi dengan teman
sebayanya demikian kuat. Bahkan mereka cenderung lebih
memilih teman sebayanya daripada orangtuanya untuk berbagi
perasaannya, terutama kepada remaja yang merasa kurang
dekat dengan kedua orang tuanya. Keasyikan remaja dalam
melakukan aktivitas bersama teman sebaya dapat
mengakibatkan mereka pulang kerumah melebihi batas yang
telah ditetapkan, seperti pulang larut malam.
Penampilan remaja dalam berpakaian dan memilih model
rambut juga menimbulkan konflik antara remaja dan orang
tuanya, contoh orang tua yang melarang anaknya untuk pergi

9
keluar hanya dengan menggunakan tank top. Ada juga remaja
yang dilarang menggunakan model rambut dengan highlight
berwarna-warni seperti merah, ungu, atau warna lainnya. Pada
umumnya, orang tua mengharapkan anak-anaknya berpakaian
sopan dalam penampilannya dan tidak menyimpang dari norma
umum di masyarakat.
Kriteria remaja dalam memilih teman akrab adakalanya
tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan oleh orang tua
sehingga dapat menimbulkan konflik. Remaja yang relasi
dengan orang tuanya kurang baik, cenderung memilih teman
akrab dengan mengutamakan kecocokannya dalam berinteraksi
dengan teman akrab tersebut, namun mengabaikan perilaku
temannya seperti yang suka mabuk, pernah mencuri dan lain-
lain. Namun, apabila remaja merasa cocok dan dimenegerti
maka ia dapat menjalin relasi yang akrab karena sering berbagi
dan melakukan aktivitas bersama. Menurut remaja, orang tua
menunjukkan sikap tidak sukanya apabila mereka bermian
dengan remaja lain yang berpakaian minim, sering mengajak
bermain, dan bersikap tidak tahu aturan (kurang punya tata
karma). Dalam hal tersebut, orang tua kurang memahami
penyebab kedekatan anak dengan temannya, dan lebih melihat
penampilan fisik atau atribut lainnya. Hal ini juga berbeda
dengan remaja yang memiliki relasi baik dengan kedua orang
tuanya. Remaja dalam kelompok ini cenderung mengikuti
nasihat orang tua dalam memilih teman akrab. Mereka dapat
menerima kekhawatiran orang tua apabila anaknya bergaul
dengan teman-teman yang berperilaku kurang baik, lama
kelamaan mereka akan terbawa menjadi pribadi yang kurang
baik. Mereka percaya bahwa nasihat yang diberikan oleh orang
tua merupakan nasigar yang baik untuk diri anak-anaknya.
Pencapaian prestasi belajar anak yang kurang sesuai
dengan harapan orang rua dapar menjadi penyebab konflik

10
orang tua – anak yang berikutnya. Apabila prestasi belajar anak
menurun, ada orang tua yang menasihatinya namun ada pula
yang menegur dan memarahinya.
Keterlibatan remaja dalam melakukan tugas-tugas dalam
rumahyang telah menjadi tanggung jawabnya juga dapat
menimbulkan konflik dengan orang tua. Adakalanya remaja
senang dalam membantu pekerjaan orang tua, namun hal
tersebut juga dapat menimbulkan konflik saat anak sedang
“asyik” bermain dengan ponsel, atau mendengarkan musk tiba-
tiba mendengar perintah dari orang tua. Mereka memaknai
perintah tersebut merupakan gangguan. Orang tua dianggap
tidak dapatt memahami kesenangan anak.
Penggunaan ponsel pada remaja menjadi penyebab
timbulnya konflik orang tua-anak, dimana ketika anak meminta
uang untuk membeli pulsa. Orang tua menganggap bahwa hal
tersebut merupakan pemborosan. Sementara remaja
menginginkan kebutuhannya terpenuhi, menjalin komunikasi
dengan seseorang yang disenangi dianggapnya sebagai hal
yang penting, karena dengan melalui komunikasi tersebut,
remaja mendapatkan perhatian. Apalagi bila remaja merasa
kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.
Pada remaja perempuan yang sudah memiliki pacar juga
mengalami masalah dengan orang tua, mengajak remaja
perempuan bermain hingga larut malam memicu kemarahan
pada orang tua. Kondisi yang berbeda terungkap oleh remaja
yang tidak memiliki pacar, remaja yang mendapatkan perhatian
dari kedua orang tuanya merasa belum perlu memiliki pacar
karena dapat mengganggu sekolahnya. Mereka menyatakan
bahwa perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh orang
tua sudah lebih dari cukup, sehingga tidak perlu mencari
perhatian dari orang lain.

11
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pencetus konflik remaja dengan orang tua berasal dari kedua
belah pihak. Dari pihak orang tua memandang remaja
berperilaku kurang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya
dan dari pihak remaja merasa orang tua kurang memahami
dirinya.

3. Respon orang tua terhadap konflik.


Dari wawancara dengan kelompok remaja yang sering
bermasalah di sekolah, terungkap bahwa respons pertama yang
di ekspresikan oleh orang tuanya dirumah adalah kemarahan.
Kemarahan yang dikenali oleh anak melalui nada bicara yang
tinggi, membentak-bentak, bahkan ada pula yang memberikan
hukuman fisik kepada anak seperti menjewer, mencubit,
memukul dengan sapu, memukul dengan tangan, dan lain-lain.
Setelah kedua orang tuanya mengekspresikan
kemarahannya pada remaja, langkah selanjutnya yang terjadi
adalah orang tua memberikan nasihat pada saat remaja
melakukan kesalahan. Pada umumnya orang tua akan memberi
nasihat dan meminta perjanjian kepada anaknya untuk tidak
akan melakukannya lagi. Bagi remaja yang memiliki problem
dalam relasi dengan orang tua cenderung merasa jengkel dan
sakit hati karena dimarahi oleh orang tuanya. Bagi mereka, bila
orang tua marah berarti orang tua tidak menyayangi dan
menyukai diri mereka. Pada mereka yang memiliki relasi yang
baik dengan orang tuanya akan mempersepsikan bahwa
kemarahan merupakan perwujudan dari kasih sayang dan
perhatian orang tua kepada mereka.
Dari paparan konflik tersebut, dapat dipetik kesimpulan
bahwa konflik orang tua anak merupakan hal yang wajar terjadi
dalam interaksi anak dan orang tua dalam keluarga. Yang
menjadi penting diperhatikan adalah bagaimana cara dan sikap

12
orang tua dan anak untuk menghadapi konflik tersebut untuk
mencari jalan keluarnya.

2.7 Pengelolaan Konflik

Menurut Rubin (1994), pengelolaan konflik sosial dapat dilakukan


dengan berbagai cara, yaitu: penguasaan (domination, ketika salah satu
pihak berusaha memaksakan kehendaknya baik secara fisik maupun
psikologis), penyerahan (capitulation, ketika salah satu pihak
menyerahkan kemenangan pada pihak lain), pengacuhan (inaction, ketika
salah satu pihak tidak melakukan apa-apa sehingga cenderung membiarkan
terjadinya konflik), tawar-menawar (negotiation, ketika pihak-pihak yang
berkonflik saling bertukar gagasan, dan melakukan tawar-menawar untuk
menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak),
dan campur tangan pihak ketiga (third party intervention, ketika ada pihak
yang tidak terlibat konflik menjadi penengah untuk mnghasilkan
persetujuan pada pihak-pihak yang berkonflik).
Pada dasarnya pengelolaan konflik dalam interaksi antarpribadi
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu secara konstruktif dan destruktif.
Pengelolaan konflik dengan cara negosiasi dan melibatkan campur tangan
pihak ketiga adalah pengelolaan konflik yang bersifat konstruktif.
Pengelolaan konflik yang bersifat destruktif antara lain seperti penguasaan,
pengacuhan, dan tawar-menawar, hal tersebut dapat tejadi karena hal-hal
sebagai berikut:
1. Persepsi negatif terhadap konflik. Individu yang memandang negatif
suatu konflik akan cenderung menghindari konflik. Individu ini
cenderung akan sering gagal mengenali pokok masalah yang menjadi
sumber konflik.
2. Perasaan marah. Rasa marah seharusnya dipahami sebagai gejala yang
harus diatasi dan dapat diubah. Perasaan marah harus dikendalikan
dengan kesabaran.

13
3. Penyelesaian oleh waktu. Individu memilih mengabaikan masalah
yang menjadi sumber konflik. Harapannya masalah tersebut akan
selesai dengan sendirinya oleh berjalannya waktu.
Harriet Goldhor Lerner, membedakan cara individu menyelesaikan
konflik menjadi lima macam, yaitu:
1. Pemburu (pursuer, individu yang berusaha membangun ikatan yang
lebih dekat). Ketika terjadi konflik dalam interaksi, individu ini akan
dengan sadar menghadapi konflik tersebut, berusaha mencari pokok
masalah yang menimbulkan konflik, berdiskusi untuk memahami
perspektif masing-masing, dan melakukan negosiasi untuk mencapai
kompromi yang saling menguntungkan.
2. Penghindar (distancer, individu yang cenderung mengambil jarak
secara emosi). Individu dengan karakteristik menghindar akan memilih
menarik diri dari konflik, tidak bersedia untuk berunding, dan biasanya
memilih untuk membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah.
3. Pecundang (underfuctioner adalah individu yang gagal menunjukan
kompetensi atau aspirasinya). Individu dengan ciri ini akan memilih
untuk selalu mengalah dan menuruti apa yang menjadi kemauan pihak
lain.
4. Penakluk (overfunctioner, adalah individu yang cenderung mengambil
alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain. Penakluk akan
menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan, berupaya mendominasi
dan mengedepankan ego.
5. Pengutuk (blamer, adalah individu yang selalu menyalahkan orang lain
atau keadaan). Individu dengan ciri ini akan menjadikan konflik
sebagai kancah peperangan, mengumbar amarah, bahkan seringkali
mengungkit-ungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok
masalah yang menjadi penyebab perselisihan.
Kurdek (1994) mengajukan empat macam gaya resolusi konflik, yaitu
penyelesaian masalah secara positif, misalnya melakukan perundingan dan
negosiasi. Pertikaian, misalnya melakukan kekerasan, marah, selalu
membela diri, menyerang dan lepas kontrol. Penarikan diri, misalkan

14
mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan menjaga jarak dari
konflik. Dan tunduk, misalnya selalu mengalah.
Konflik pada orang tua-anak, selain dalam meregulasi perilaku dapat
pula terjadi dalam ranah yang lebih subtil yaitu konflik nilai. Dalam
menghadapi konflik nilai antara orang tua dengan anak, Natrajan (2005)
mengajukan empat tahapan penyelesaian, yaitu:
1. Menentukan nilai yang berkonflik
2. Mencoba melakukan kompromi
3. Mempertimbangkan lagi nilai yang paling penting
4. Mencari alternatif lain untuk tetap terpenuhinya masing-masing nilai
Terdapat empat strategi yang digunakan oleh orang tua ketika
menghadapi pesan yang menimbulkan konflik menurut hasil penelitian
Padilla-Walker dan Thompson (2005), yaitu:
1. Cocooning, yaitu melindungi anak dari pengaruh masyarakat luas
dengan membatasi akses anak terhadap nilai-nilai alternatif, atau
kemampuan untuk berperilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai
orang tua.
2. Pre-arming orang tua mengantisipasi konflik nilai dan menyiapkan
anak untuk menghadapinya guna melawan dunia yang lebih luas.
3. Compromise, memberikan kesempatan kepada anak untuk terpapar
konflik nilai, namun tetap mempertahankan elemen nilai keluarga dan
kontrol sebagai orang tua.
4. Deference, orang tua mengalah demi kebutuhan anak dan membiarkan
anak mengambil keputusan sendiri meskipn hal tersebut bertentangan
dengan nilai-nilai keluarga.

15
PERTANYAAN

1. Elvira
Seperti apa konflik berdasarkan pola asuh dan bagaimana cara
mengatasinya?
2. Dhiya
Konflik seperti apa yang bisa menggunakan pihak ketiga, apakah pihak
ketiga ini dari pihak internal atau eksternal?
3. Salsabila Zahira
Apakah konflik di masa kecil akan berpengaruh ke pola asuh yang akan
diterapkannya nanti saat ia memiliki anak?
4. Tasya Khairunisa
Bagaimana konflik antara suami dengan istri?
5. Ira Septiani
Mengapa orang tua sering menyalahkan anaknya jika terdapat konflik, dan
bagaimana cara mengatasinya?
6. Syilla Eltania
Jika anak memiliki permasalahan dari luar (eksternal) lebih baik dibawa ke
internal rumah atau di pendam saja di diri anak?

JAWABAN

1. Dijawab oleh Muthi’ah Nur ‘Azizah

16
Berdasarkan jurnal yang saya baca, pola asuh otoriter itu lebih rentan
terdapat konflik antara anak dan orang tua. Hal ini disebabkan karena pada
masa perkembangan remaja, anak akan mulai mencari identitasnya serta
mencoba untuk memulai hal baru, namun jika pola asuh yang diterapkan
adalah otoriter terkadang ada orang tua yang sering melarang anaknya
untuk melakukan hal yang baru, yang menurut orangtua tidak patut untuk
dilakukan. Sedangkan keluarga yang menerapkan pola asuh demokratis
lebih kecil peluang adanya konflik, karena segala sesuatu yang akan
dilakukan oleh anaknya akan didiskusikan terlabih dahulu dengan kedua
orangtuanya.
Solusinya dari permaslahan ini, walaupun orang tua tetap ingin
menerapkan pola asuh otoriter harus tetap ada kebebasan anak dalam
memilih dan yang pasti masih dalam pengawasan oleh orang tua.

2. Dijawab oleh Syafira Aulia


Mediator ini dilakukan oleh pihak ketiga yaitu bisa dari pihak diluar dari
keluarga tersebut yang tidak ada hubungan sama sekali dengan keluarga.
Bisa juga dari pengacara, psikolog, konselor keluarga, pokoknya pihak yg
netral dan tidak memihak. Kalau kasusnya perceraian dan pasti ke
pengadilan berarti bisa dari pihak pengadilan seperti hakim atau bisa juga
hakim memilih mediatornya dari pihak keluarga suami dan istri yang
memang dapat dipercaya, bisa netral dan lain sebagainya. Bisa juga kita
sebagai anak, apalagi kita kan sudah belajar harus menjadi orang yang
netral nah dari situ kita bisa menerapkan hal yang sudah kita pelajari untuk
menjadi mediator misalnya untuk orang tua atau adik-kakak.

3. Dijawab oleh Diar Fatharani


Pasti ada ngaruhnya ke orang tersebut. Bisa jadi negatif dan positif,
misalnya dulu dia itu dikasarin sama orang tuanya, karena pola asuhnya
emang gitu, kaya main fisik sama anaknya kalau anaknya ga nurut, itu
juga bisa jadi positif dan negatif ke keluarganya nanati.

17
Negatifnya bisa dia balas dendam sama anaknya nanti, apa yang dilakukan
oleh orang tuanya dulu itu akan dia lakukan kembali ke anaknya atau bisa
juga karena dia dibesarkan dengan pola asuh yang didasari dengan
kekerasan (main fisik), dan akan berpikir kalau pola asuh yang baik itu ya
seperti itu jadi juga akan melakukan hal yang sama kepada anaknya nanti
(pola asuhnya)
Positifnya ada kaya misalkan dia tidak mau anaknya di perlakukan sama
ketika orang tuanya dulu, dia akan merasakan kalau hal tersebut itu
menyakitkan ke fidik dan mentalnya anak nanti, sehingga akan mencari
pola asuh yang lebih baik lagi kepada anaknya kelak, agar tidak terulang
lagi kepada anaknya nanti.

4. Dijawab oleh Syafira Aulia


Konflik antara suami-istri itu bisa karena:
 Kecemburuan atau kecurigaan: biasanya lebih tinggi dikalangan
pasangan suami-istri yang long distance (suami kerja di luar Kota
dan lain sebagainya), yang tinggal bersama juga biasanya ada
konfik mengenai ini contohnya istri punya banyak teman laki-laki,
suka dan sering main dengan teman-temannya itu ataupun
sebaliknya suami mempunyai banyak teman perempuan.
 Dalam suatu perkawinan terkadang apa yang diharapkan oleh
masing-masing individu tidak sesuai dengan kenyataannya setelah
individu tersebut menjalani bahtera rumah tangga. Perkawinan
menuntut ada- nya perubahan gaya hidup, menuntut adanya
penyesuaian diri terhadap tuntutan peran dan tanggung jawab baru
baik dari suami maupun istri. Ketidakmampuan untuk melakukan
tuntutan-tuntutan tersebut tidak jarang menimbulkan pertentangan,
perselisihan dan bahkan berakhir dengan perceraian. Contoh:
istrinya tuh tidak bisa masak dan takut kalau soal masak-masak
gitu karena tidak dibiasakan oleh Ibunya untuk ikutan memasak
waktu dia masih remaja, keinginan suaminya itu disediain
makanan sama istrinya setiap hari dan itu bisa menjadi konflik,

18
atau suamiya itu orangnya cuek, berantakan atau apalah itu
sedangkan istrinya perfeksionis jadinya semua harus tertata dengan
rapi, harus ada di tempat semula dan lain sebagainya dan itu juga
bisa menjadi konflik.

Kedua itu contoh yang harus diatasi bersama dan tidak membiarkannya
begitu saja, harus saling ada pengertian dari keduanya agar bisa
menemukan jalan tengahnya harus bagaimana. Contohnya istrinya jadi
ikut les masak.

5. Dijawab oleh Syafira Aulia


Sebenernya tidak menyalahkan ya, kadang mereka itu bermaksud untuk
memeberitahukan hal yang benar tapi cara mereka kurang tepat jadinya
kita merasa disalahkan, atau memberitahukannya itu sambil marah-marah,
masih emosi jadinya keluar deh kata-kata yg kurang tepat yang
memojokkan kita dan bikin kita itu kadang sakit hati gitu ya. Nah cara
untuk mengatasinya adalah dengan cara berkomunikasi dengan baik
disuasana yang baik pula, maksudnya di suasana yang tenang dan harus
tau mood orang tuanya lagi seperti apa dan harus tau situasi juga untuk
membicarakan tentang masalah itu, tentang waktu mereka “menyalahkan”
kita itu tidak enak buat kita, kitanya jadinya down dan lain sebagainya.
Komunikasi adalah kuncinya yang paling penting dan kita pasti tau
karakter orang tua itu gimana, harus bisa-bisanya kita ajalah
komunikasiinnya gimana.

6. Dijawab oleh Muthi’ah Nur ‘Azizah


Menurut kelompok kami, jika anak memiliki masalah dari luar (eksternal)
lebih baik diceritakan masalah tersebut kepada orangtua sehingga mereka
mengetahui permasalahan anaknya. Namun, jika masalah tersebut
merupakan hal yang sangat privasi anak bisa menuangkannya dalam buku
diary atau melakukan katarsis (meluapkan emosi yang dirasa) sehingga
tidak membawa masalah tersebut kedalam internal keluarga yang bisa jadi
membawa konflik baru kepada keluarga tersebut.

19
20
BAB III

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan
Konflik dalam keluarga lebih sering terjadi dan bersifat mendalam
bila dibandingkan dengan konflik konteks sosial lain. Pervalensi konflik
dalam keluarga berturut-turut adalah konflik antarsaudara, konflik orang
tua-anak, dan konflik pasangan. Frekuensi kemunculan konflik dalam
keluarga mencerminkan kualitas hubungan dalam keluarga.
Pada umumnya, sumber utama kondlik orang tua-anak adalah
ketidak cocokan antara perspektif anak dan perspektif orang tua. Para ahli
menelurusuri konflik antara orang tua dan anak sejak janin masih dalam
kandungann, masa bayi, masa kanak-kanak hingga masa remaja. Intensitas
konflik orang tua dan anak mencapai puncaknya pada masa remaja tengah
dan menurun pada remaja akhir.
Orang tua menggunakan strategi tertentu dalam menghadapi
konflik dengan anak, diantaranya melindungi, mengantisipasi,
berkompromi, dan mengalah. Pengelolaan konflik orang tua dan anak yang
bersifat konstruktif berdampak positif, sedangkan yang destruktif
berdampak negative pada perkembangan remaha. Pengelolaan konflik
yang konstruktif mendukung proses internalisasi nilai pada anak

21
DAFTAR PUSTAKA

Laela, Faizah. 2017. Bimbingan Konseling Keluarga Dan Remaja Edisi Revisi.
Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.

Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga; Penanaman Nilai Dan Penanganan


Konflik Dalam Keluarga. Jakarta: Kencana

Montemayor, R. 1983. Parents and Adolescents in Conflict: All Families Some of


the Time and Some Families Most of the Time. Journal of Early
Adolescent. 3,1/2, 83-103.

Setiawan, Eko. 2012. Disfungsi Sosialisasi dalam Keluarga sebagai Dampak


Keberadaan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta

22

Anda mungkin juga menyukai