Oleh:
DEPARTEMEN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2018
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. atas limpahan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis sehingga makalah yang berjudul “Konflik dalam
Keluarga” dapat diselesaikan dengan baik. Serta kami ucapkan terimakasih
sebesar-besarnya kepada Dosen serta teman-teman sekalian yang telah membantu,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................1
1.3 Tujuan.............................................................................................................1
BAB II KAJIAN TEORI.............................................................................................2
2.1 Definisi Konflik..............................................................................................2
2.2 Definisi Keluarga............................................................................................3
2.3 Hubungan dalam Keluarga.............................................................................4
2.4 Karakteristik Konflik Keluarga.......................................................................5
2.5 Konflik Orang Tua-Anak................................................................................6
2.6 Potret Konflik Orang tua – Anak....................................................................7
2.7 Pengelolaan Konflik......................................................................................12
PERTANYAAN..........................................................................................................16
JAWABAN..................................................................................................................16
BAB III PENUTUPAN..............................................................................................20
3.1 Kesimpulan...................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................21
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1
BAB II
KAJIAN TEORI
2
Konflik berguna untuk menguji bagaimana karakteristik suatu
hubungan antar pribadi, dua pihak yang memiliki hubungan yang
berkualitas akan mengelola konflik dengan cara yang positif. Konflik juga
bermanfaat bagi perkembangan individu dalam hal menumbuhkan
pengertian sosial. Dunn dan Slomkowski (1995) menunjukkan empat area
pengertian sosial yang dapat berkembang karena adanya konflik yaitu: (1)
dalam memahami perasaan dan maksud orang lain; (2) dalam memegang
norma dan konvensi yang memandu perilaku; (3) dalam memilih strategi
berkomunikasi; (4) dalam mengenali berbagai perbedaan yang relevan
dalam hubungan antar pribadi [ CITATION Lae17 \l 1057 ].
James Schellenberg (McCollum, 2009) mengemukakan bahwa
konflik sepenuhnya merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat
yang harus dianggap penting, yaitu untuk merangsang pemikiran-
pemikiran baru, mempromosikan perubahan sosial, menegaskan hubungan
dalam kelompok, membantu kita dalam membentuk perasaan tentang
identitas pribadi, dan memahami berbagai hal yang kita hadapi dalam
kehidupan sehari-hari [ CITATION Lae17 \l 1057 ].
3
muncul, misalnya menantu-mertua, dengan saudara ipar dan paman/bibi.
Faktor yang membedakan konflik di dalam keluarga dengan kelompok
sosial yang lain adalah karakteristik hubungan di dalam keluarga yang
menyangkut tiga aspek, yaitu intensitas, kompleksitas, dan durasi
(Vuchinich, 2003).
Keluarga pada dasarnya merupakan suatu kelompok yang
terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap, untuk menyelenggarakan
hal-hal yang berkenaan dengan keorangtuaan dan pemeliharaan anak.
Adapun ciri-ciri umum keluarga yang dikemukakan oleh Mac Iver and
Page (Khairuddin, 1985: 12) dalam [ CITATION Set12 \l 1057 ], yaitu:
1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.
2. Susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan
perkawinan yang sengaja dibentuk dan dipelihara.
3. Suatu sistim tata nama, termasuk perhitungan garis keturunan.
4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-
anggota kelompok yang mempunyai ketentuan khusus
terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan
dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan dan
membesarkan anak.
5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau rumah tangga
yang walau bagaimanapun, tidak mungkin menjadi terpisah
terhadap kelompok kelompok keluarga.
4
3. Hubungan antar-saudara (siblings). hubungan antar-saudara
bisa dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah anggota
keluarga, jarak kelahiran, rasio saudara laki-laki terhadap
saudara perempuan, umur orang tua pada saat mempunyai
anak pertama, dan umur anak pada saat mereka ke luar dari
rumah.
5
keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandinkan dengan konflik
dalam konteks sosial yang lain (Sillars dkk., 2004).
Misalnya, penelitian Adam dan Laursen (2001) menemukan bahwa
konflik dengan orang tua lebih sering dialami remaja bila dibanding
dengan sebaya. Oleh karena sifat konflik yang normatif, artinya tidak bisa
dielakkan, maka vasilitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung
pada respons masing-masing terhadap konflik. Frekuensi konflik
mencerminkan kualitas hubungan, artinya pada hubungan yang
berkualitas, frekuensi konflik lebih sedikit.
Kualitas hubungan dapat memengaruhi cara individu dalam
membingkai persoalan konflik. Suatu topik konflik seperti yang
mendalam, apabila dibingkai sebagai karakteristik kepribadian, seperti
sikap tidak bertanggung jawab. Walaupun demikian, banyak keluarga yang
sering mengalami konflik, namun tetap dapat berfungsi dengan baik
(Vuchinich, 2003). Salah satu faktor penting yang tetap membuat keluarga
berfungsi dengan baik adalah karena konflik tersebut diselesaikan, tidak
dibiarkan atau dianggap akan hilang seiring waktu. Seperti diungkapkan
Rueter dan Conger (1995), keluarga yang memiliki interkasi hangat
menggunakan pemecahaan masalah yang kontruktif, adapun dengan
interaksi bermusuhan menggunakan pemecahan masalah yang destruktif.
6
sering kali menimbulkan gejala-gejala yang tidak menyenangkan bagi
ibu.
Ketika bayi telah lahir dan mengalami perkembangan, salah satu
konflik yang permulaan muncul dalam hubungan orang tua- anak
adalah konflik pada masa penyapihan. Proses penyapihan mulai
dialami oleh anak oleh karena kehamilan bayi berikutnya, atau karena
anak dianggap sudah berada pada usia yang cukup untuk mulai
mengalami perpisahan sementara dengan ibunya.
Terbangunnya kelekatan antara anak dengan orang tua tidak
meniadakan munculnya konflik. Pendapat mengatakan bahwa
kelekatan yang aman dapat membuahkan hasil yang positif, misalnya
saling memberikan afeksi positif dan kesediaan anak untuk mengikuti
segala nasihat dari orang tua. Pada hubungan kelekatan tak aman,
konflik bersifat kurang konstruktif karena diantara mereka hanya
sedikit mengalami proses penalaran dan lebih menonjolkan proses
penalaran dan pertentangan.
7
oleh Rueter dan Conger (1995) bahwa konflik orang tua-anak
meningkat dalam keluarga yang hangat dan suportif.
8
sering mabuk akibat minum-minuman keras dan berjudi, dan
relasi anak-dan orang tua yang bermasalah. Masalah anak dan
orang tua misalnya adalah orang tua yang terlalu sering
memarahi anak tanpa melakukan klarifikasi pada anak, mudah
memberikan hukuman pada anak seperti menjewer, mencubit,
memukul dengan sepatu dan lain sebagainya.
Pemberian hukuman fisik tidak hanya mengakibatkan
sakit fisik, tetapi juga dimaknai sebagai rasa tidak saya orang
tua kepada diri mereka. Respons psikologis yang remaja
kembangkan adalah mereka tidak betah dirumah dan
membayangkan untuk pergi dari rumah.
9
keluar hanya dengan menggunakan tank top. Ada juga remaja
yang dilarang menggunakan model rambut dengan highlight
berwarna-warni seperti merah, ungu, atau warna lainnya. Pada
umumnya, orang tua mengharapkan anak-anaknya berpakaian
sopan dalam penampilannya dan tidak menyimpang dari norma
umum di masyarakat.
Kriteria remaja dalam memilih teman akrab adakalanya
tidak sesuai dengan kriteria yang diharapkan oleh orang tua
sehingga dapat menimbulkan konflik. Remaja yang relasi
dengan orang tuanya kurang baik, cenderung memilih teman
akrab dengan mengutamakan kecocokannya dalam berinteraksi
dengan teman akrab tersebut, namun mengabaikan perilaku
temannya seperti yang suka mabuk, pernah mencuri dan lain-
lain. Namun, apabila remaja merasa cocok dan dimenegerti
maka ia dapat menjalin relasi yang akrab karena sering berbagi
dan melakukan aktivitas bersama. Menurut remaja, orang tua
menunjukkan sikap tidak sukanya apabila mereka bermian
dengan remaja lain yang berpakaian minim, sering mengajak
bermain, dan bersikap tidak tahu aturan (kurang punya tata
karma). Dalam hal tersebut, orang tua kurang memahami
penyebab kedekatan anak dengan temannya, dan lebih melihat
penampilan fisik atau atribut lainnya. Hal ini juga berbeda
dengan remaja yang memiliki relasi baik dengan kedua orang
tuanya. Remaja dalam kelompok ini cenderung mengikuti
nasihat orang tua dalam memilih teman akrab. Mereka dapat
menerima kekhawatiran orang tua apabila anaknya bergaul
dengan teman-teman yang berperilaku kurang baik, lama
kelamaan mereka akan terbawa menjadi pribadi yang kurang
baik. Mereka percaya bahwa nasihat yang diberikan oleh orang
tua merupakan nasigar yang baik untuk diri anak-anaknya.
Pencapaian prestasi belajar anak yang kurang sesuai
dengan harapan orang rua dapar menjadi penyebab konflik
10
orang tua – anak yang berikutnya. Apabila prestasi belajar anak
menurun, ada orang tua yang menasihatinya namun ada pula
yang menegur dan memarahinya.
Keterlibatan remaja dalam melakukan tugas-tugas dalam
rumahyang telah menjadi tanggung jawabnya juga dapat
menimbulkan konflik dengan orang tua. Adakalanya remaja
senang dalam membantu pekerjaan orang tua, namun hal
tersebut juga dapat menimbulkan konflik saat anak sedang
“asyik” bermain dengan ponsel, atau mendengarkan musk tiba-
tiba mendengar perintah dari orang tua. Mereka memaknai
perintah tersebut merupakan gangguan. Orang tua dianggap
tidak dapatt memahami kesenangan anak.
Penggunaan ponsel pada remaja menjadi penyebab
timbulnya konflik orang tua-anak, dimana ketika anak meminta
uang untuk membeli pulsa. Orang tua menganggap bahwa hal
tersebut merupakan pemborosan. Sementara remaja
menginginkan kebutuhannya terpenuhi, menjalin komunikasi
dengan seseorang yang disenangi dianggapnya sebagai hal
yang penting, karena dengan melalui komunikasi tersebut,
remaja mendapatkan perhatian. Apalagi bila remaja merasa
kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.
Pada remaja perempuan yang sudah memiliki pacar juga
mengalami masalah dengan orang tua, mengajak remaja
perempuan bermain hingga larut malam memicu kemarahan
pada orang tua. Kondisi yang berbeda terungkap oleh remaja
yang tidak memiliki pacar, remaja yang mendapatkan perhatian
dari kedua orang tuanya merasa belum perlu memiliki pacar
karena dapat mengganggu sekolahnya. Mereka menyatakan
bahwa perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh orang
tua sudah lebih dari cukup, sehingga tidak perlu mencari
perhatian dari orang lain.
11
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pencetus konflik remaja dengan orang tua berasal dari kedua
belah pihak. Dari pihak orang tua memandang remaja
berperilaku kurang sesuai dengan harapan kedua orang tuanya
dan dari pihak remaja merasa orang tua kurang memahami
dirinya.
12
orang tua dan anak untuk menghadapi konflik tersebut untuk
mencari jalan keluarnya.
13
3. Penyelesaian oleh waktu. Individu memilih mengabaikan masalah
yang menjadi sumber konflik. Harapannya masalah tersebut akan
selesai dengan sendirinya oleh berjalannya waktu.
Harriet Goldhor Lerner, membedakan cara individu menyelesaikan
konflik menjadi lima macam, yaitu:
1. Pemburu (pursuer, individu yang berusaha membangun ikatan yang
lebih dekat). Ketika terjadi konflik dalam interaksi, individu ini akan
dengan sadar menghadapi konflik tersebut, berusaha mencari pokok
masalah yang menimbulkan konflik, berdiskusi untuk memahami
perspektif masing-masing, dan melakukan negosiasi untuk mencapai
kompromi yang saling menguntungkan.
2. Penghindar (distancer, individu yang cenderung mengambil jarak
secara emosi). Individu dengan karakteristik menghindar akan memilih
menarik diri dari konflik, tidak bersedia untuk berunding, dan biasanya
memilih untuk membiarkan waktu yang menyelesaikan masalah.
3. Pecundang (underfuctioner adalah individu yang gagal menunjukan
kompetensi atau aspirasinya). Individu dengan ciri ini akan memilih
untuk selalu mengalah dan menuruti apa yang menjadi kemauan pihak
lain.
4. Penakluk (overfunctioner, adalah individu yang cenderung mengambil
alih dan merasa lebih tahu yang terbaik bagi pihak lain. Penakluk akan
menghadapi konflik dengan unjuk kekuasaan, berupaya mendominasi
dan mengedepankan ego.
5. Pengutuk (blamer, adalah individu yang selalu menyalahkan orang lain
atau keadaan). Individu dengan ciri ini akan menjadikan konflik
sebagai kancah peperangan, mengumbar amarah, bahkan seringkali
mengungkit-ungkit masalah lain yang tidak relevan dengan pokok
masalah yang menjadi penyebab perselisihan.
Kurdek (1994) mengajukan empat macam gaya resolusi konflik, yaitu
penyelesaian masalah secara positif, misalnya melakukan perundingan dan
negosiasi. Pertikaian, misalnya melakukan kekerasan, marah, selalu
membela diri, menyerang dan lepas kontrol. Penarikan diri, misalkan
14
mendiamkan, menutup diri, menolak berunding, dan menjaga jarak dari
konflik. Dan tunduk, misalnya selalu mengalah.
Konflik pada orang tua-anak, selain dalam meregulasi perilaku dapat
pula terjadi dalam ranah yang lebih subtil yaitu konflik nilai. Dalam
menghadapi konflik nilai antara orang tua dengan anak, Natrajan (2005)
mengajukan empat tahapan penyelesaian, yaitu:
1. Menentukan nilai yang berkonflik
2. Mencoba melakukan kompromi
3. Mempertimbangkan lagi nilai yang paling penting
4. Mencari alternatif lain untuk tetap terpenuhinya masing-masing nilai
Terdapat empat strategi yang digunakan oleh orang tua ketika
menghadapi pesan yang menimbulkan konflik menurut hasil penelitian
Padilla-Walker dan Thompson (2005), yaitu:
1. Cocooning, yaitu melindungi anak dari pengaruh masyarakat luas
dengan membatasi akses anak terhadap nilai-nilai alternatif, atau
kemampuan untuk berperilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai
orang tua.
2. Pre-arming orang tua mengantisipasi konflik nilai dan menyiapkan
anak untuk menghadapinya guna melawan dunia yang lebih luas.
3. Compromise, memberikan kesempatan kepada anak untuk terpapar
konflik nilai, namun tetap mempertahankan elemen nilai keluarga dan
kontrol sebagai orang tua.
4. Deference, orang tua mengalah demi kebutuhan anak dan membiarkan
anak mengambil keputusan sendiri meskipn hal tersebut bertentangan
dengan nilai-nilai keluarga.
15
PERTANYAAN
1. Elvira
Seperti apa konflik berdasarkan pola asuh dan bagaimana cara
mengatasinya?
2. Dhiya
Konflik seperti apa yang bisa menggunakan pihak ketiga, apakah pihak
ketiga ini dari pihak internal atau eksternal?
3. Salsabila Zahira
Apakah konflik di masa kecil akan berpengaruh ke pola asuh yang akan
diterapkannya nanti saat ia memiliki anak?
4. Tasya Khairunisa
Bagaimana konflik antara suami dengan istri?
5. Ira Septiani
Mengapa orang tua sering menyalahkan anaknya jika terdapat konflik, dan
bagaimana cara mengatasinya?
6. Syilla Eltania
Jika anak memiliki permasalahan dari luar (eksternal) lebih baik dibawa ke
internal rumah atau di pendam saja di diri anak?
JAWABAN
16
Berdasarkan jurnal yang saya baca, pola asuh otoriter itu lebih rentan
terdapat konflik antara anak dan orang tua. Hal ini disebabkan karena pada
masa perkembangan remaja, anak akan mulai mencari identitasnya serta
mencoba untuk memulai hal baru, namun jika pola asuh yang diterapkan
adalah otoriter terkadang ada orang tua yang sering melarang anaknya
untuk melakukan hal yang baru, yang menurut orangtua tidak patut untuk
dilakukan. Sedangkan keluarga yang menerapkan pola asuh demokratis
lebih kecil peluang adanya konflik, karena segala sesuatu yang akan
dilakukan oleh anaknya akan didiskusikan terlabih dahulu dengan kedua
orangtuanya.
Solusinya dari permaslahan ini, walaupun orang tua tetap ingin
menerapkan pola asuh otoriter harus tetap ada kebebasan anak dalam
memilih dan yang pasti masih dalam pengawasan oleh orang tua.
17
Negatifnya bisa dia balas dendam sama anaknya nanti, apa yang dilakukan
oleh orang tuanya dulu itu akan dia lakukan kembali ke anaknya atau bisa
juga karena dia dibesarkan dengan pola asuh yang didasari dengan
kekerasan (main fisik), dan akan berpikir kalau pola asuh yang baik itu ya
seperti itu jadi juga akan melakukan hal yang sama kepada anaknya nanti
(pola asuhnya)
Positifnya ada kaya misalkan dia tidak mau anaknya di perlakukan sama
ketika orang tuanya dulu, dia akan merasakan kalau hal tersebut itu
menyakitkan ke fidik dan mentalnya anak nanti, sehingga akan mencari
pola asuh yang lebih baik lagi kepada anaknya kelak, agar tidak terulang
lagi kepada anaknya nanti.
18
atau suamiya itu orangnya cuek, berantakan atau apalah itu
sedangkan istrinya perfeksionis jadinya semua harus tertata dengan
rapi, harus ada di tempat semula dan lain sebagainya dan itu juga
bisa menjadi konflik.
Kedua itu contoh yang harus diatasi bersama dan tidak membiarkannya
begitu saja, harus saling ada pengertian dari keduanya agar bisa
menemukan jalan tengahnya harus bagaimana. Contohnya istrinya jadi
ikut les masak.
19
20
BAB III
PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan
Konflik dalam keluarga lebih sering terjadi dan bersifat mendalam
bila dibandingkan dengan konflik konteks sosial lain. Pervalensi konflik
dalam keluarga berturut-turut adalah konflik antarsaudara, konflik orang
tua-anak, dan konflik pasangan. Frekuensi kemunculan konflik dalam
keluarga mencerminkan kualitas hubungan dalam keluarga.
Pada umumnya, sumber utama kondlik orang tua-anak adalah
ketidak cocokan antara perspektif anak dan perspektif orang tua. Para ahli
menelurusuri konflik antara orang tua dan anak sejak janin masih dalam
kandungann, masa bayi, masa kanak-kanak hingga masa remaja. Intensitas
konflik orang tua dan anak mencapai puncaknya pada masa remaja tengah
dan menurun pada remaja akhir.
Orang tua menggunakan strategi tertentu dalam menghadapi
konflik dengan anak, diantaranya melindungi, mengantisipasi,
berkompromi, dan mengalah. Pengelolaan konflik orang tua dan anak yang
bersifat konstruktif berdampak positif, sedangkan yang destruktif
berdampak negative pada perkembangan remaha. Pengelolaan konflik
yang konstruktif mendukung proses internalisasi nilai pada anak
21
DAFTAR PUSTAKA
Laela, Faizah. 2017. Bimbingan Konseling Keluarga Dan Remaja Edisi Revisi.
Surabaya: UIN Sunan Ampel Press.
22