Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KONSELING PERKAWINAN
“Masalah-masalah Perkawinan”

Dosen Pengampu :
Drs. Taufik, M.Pd., Kons

Disusun oleh :
Kelompok 9

Reza Alsa Fitri 20006108


Rinjani Putri Kinanti 20006109
Sarah Fatihah Abwaba Rizqi 20006110

DEPARTEMEN BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-
Nya jugalah kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Masalah-masalah
Perkawinan” dengan tepat waktu. Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas
pada mata kuliah Konseling Perkawinan. Selain itu, kami juga berharap agar makalah
ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs.
Taufik, M.Pd., Kons selaku dosen pengampu mata kuliah Konseling Perkawinan.
Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang ditekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang
telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna serta masih banyak
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Kami berharap adanya masukan dari
berbagai pihak untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

Padang, 16 April 2023

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................ 3
A. Masalah Kawin Dini ............................................................................ 3
B. Masalah Kawin Paksa .......................................................................... 6
C. Masalah Kawin Sesuku, Saudara Dekat............................................... 9
D. Masalah Kawin MBA .......................................................................... 10
E. Masalah Kawin beda Agama ............................................................... 11
F. Masalah Kawin Campuran ................................................................... 12
G. Masalah Kawin Siri & Kontrak............................................................ 13
H. Masalah Ekonomi................................................................................. 14
I. Masalah Hubungan Sosial .................................................................... 15
J. Masalah Pengasuhan Anak .................................................................. 17
K. Masalah Perselingkuhan....................................................................... 19
L. Masalah tidak Berfungsinya Sex .......................................................... 20
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 22
A. Kesimpulan .......................................................................................... 22
B. Saran ..................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan ikatan sah antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita dewasa yang berusaha untuk menjalani kehidupan rumah
tangga bersama. Setelah melalui proses pacaran atau tunangan, masing-masing
individu telah sepakat untuk meninggalkan kedua orangtuanya dan menjadi
satu dengan pasangan hidupnya untuk jangka waktu selama-lamanya.
Dalam menjalani mahligai kehidupan rumah tangga, tak jarang pasangan
suami-istri menghadapi masalah-masalah dalam rangka proses penyesuaian diri
perkawinannya. Terjadinya masalah perkawinan ditimbulkan oleh perbedaan
latarbelakang seperti perbedaan agama, perbedaan pandangan, pemikiran,
sikap, budaya, pendidikan maupun keinginan masing-masing individu. (Turner
& Helms, 1995)
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda
agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Pada prakteknya,
banyak pasangan yang ingin hidup bersama namun tidak ada perkawinan
karena didasari dengan agama atau kepercayaan yang berbeda. Ada juga
pasangan yang sudah hidup bersama atau “kumpul kebo” karena adanya suatu
alasan yang berpengaruh dalam ikatan hubungan mereka, yaitu berbeda agama.
Suatu perkawinan tentunya selalu menimbulkan akibat hukum dan apabila
perkawinan tersebut adalah perkawinan beda agama tentunya akan
menimbulkan berbagai masalah. Masalah-masalah tersebut menyangkut
hubungan suami isteri dan berimbas kepada anak-anak apabila memiliki
keturunan. Untuk dapat mengatasi masalah tersebut, adakalanya mereka
memerlukan bantuan ahli, seperti seorang konselor perkawinan (married
counsellor).

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masalah kawin dini?
2. Bagaimana masalah kawin paksa?
3. Bagaimana masalah kawin sesuku, saudara dekat?
4. Bagaimana masalah kawin MBA?
5. Bagaimana masalah kawin beda agama?
6. Bagaimana masalah kawin campuran?
7. Bagaimana masalah kawin siri & kontrak?
8. Bagaimana masalah ekonomi?
9. Bagaimana masalah hubungan sosial?
10. Bagaimana masalah pengasuhan anak?
11. Bagaimana masalah perselingkuhan?
12. Bagaimana masalah tidak berfungsinya sex?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui masalah kawin dini
2. Untuk mengetahui masalah kawin paksa
3. Untuk mengetahui masalah kawin sesuku, saudara dekat
4. Untuk mengetahui masalah kawin MBA
5. Untuk mengetahui masalah kawin beda agama
6. Untuk mengetahui masalah kawin campuran
7. Untuk mengetahui masalah kawin siri & kontrak
8. Untuk mengetahui masalah ekonomi
9. Untuk mengetahui masalah hubungan sosial
10. Untuk mengetahui masalah pengasuhan anak
11. Untuk mengetahui masalah perselingkuhan
12. Untuk mengetahui masalah tidak berfungsinya sex

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Masalah Kawin Dini


Pernikahan usia dini adalah peristiwa pernikahan yang dilakukan oleh
anak dibawah 16 tahun bagi perempuan dan dibawah 19 bagi laki-laki. Menurut
Sarwono (2007), salah satu faktor terjadinya pernikahan dini adalah pendidikan
remaja dan pendidikan orang tua. Dalam kehidupan seseorang, dalam
menyikapi masalah dan membuat keputusan termasuk hal yang lebih kompleks
ataupun kematangan psikososialnya sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
seseorang, tingkat pendidikan maupun pengetahuan anak yang rendah dapat
menyebabkan adanya kecenderungan melakukan pernikahan di usia dini.
Nandang, dkk (2007) menyatakan bahwa remaja muda yang
berpendidikan rendah memiliki resiko (ods ratio) 4,259 kali untuk menikah dini
daripada remaja muda yang berpendidikan tinggi. Remaja yang memiliki latar
belakang pendidikan yang tinggi memiliki resiko lebih kecil untuk menikah dini
dibandingkan dengan remaja yang memiliki latar pendidikan rendah. Tingkat
pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam
menyikapi masalah dan membuat keputusan ataupun kematangan
psikososialnya.
Pendidikan orang tua juga memiliki peranan dalam keputusan buat
anaknya, karena di dalam lingkungan keluarga ini, pendidikan anak yang
pertama dan utama. Juspin dkk (2009: 89-94) mengemukakan bahwa peran
orang tua terhadap kelangsungan pernikahan dini pada dasarnya tidak terlepas
dari tingkat pengetahuan orang tua yang dihubungkan pula dengan tingkat
pendidikan orang tua. Remaja yang memiliki latar belakang orang tua
berpendidikan rendah maka memiliki resiko lebih besar untuk menikah dini
daripada remaja yang memiliki latarbelakang orang tua berpendidikan tinggi.

3
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keputusan pihak orang tua terhadap
anaknya salah satunya yang menonjol adalah faktor pendidikan keluarga.
Adam (2020) menyatakan bahwa ada beberapa dampak negatif dari
pernikahan dini, yaitu:
1. Dapat Menimbulkan Depresi Berat
Tekanan yang harus dihadapi ketika berumah tangga dapat
menimbulkan depresi berat pada pelaku pernikahan anak di bawah umur.
Depresi yang terjadi dapat beragam. Bagi orang berkepribadian introvert,
maka menyendiri, menjauh dari lingkungan, orang yang cenderung
ekstrovert. Mereka akan membicarakan masalah yang dihadapi dan
mencoba mencari pelampiasan untuk meredakan kekesalan yang
terpendam. Akibatnya, tidak hanya diri mereka yang tersakiti, tapi juga
orang lain.
2. Terjadi Perceraian
Karena Usia Belum Matang Pola pikir yang belum matang dalam
menyelesaikan masalah, dapat berujung pada pertengkaran berulang.
Akibatnya, perceraian tidak dapat dielakkan. Hal ini membuat angka
perceraian rumah tangga di Indonesia pun semakin meningkat. Bahkan,
tidak jarang orang tua masih banyak ikut campur ketika anak mereka yang
menikah di usia dini mengalami masalah dalam rumah tangga, yang
berdampak buruk bagi kelangsungan pernikahan si anak.
3. Pendidikan Menjadi Terhambat
Ketergesaan menuruti hawa nafsu untuk memiliki pasangan halal justru
bisa menjadi bumerang bagi pelaku pernikahan usia dini. Pasalnya,
pendidikan mereka dapat terhambat. Masa depan mereka kehilangan
cahaya. Terutama untuk laki-laki yang harus memikirkan cara untuk
mencari nafkah dan menanggung anak serta istrinya. Alhasil, pendidikan
pun terabaikan sebab keinginan untuk belajar sudah tidak ada lagi.

4
4. Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Emosi yang masih labil membuat anak di bawah usia 17 tahun mudah
marah dan berusaha mencari pelampiasan dengan melakukan kekerasan
terhadap anak maupun istri. Tidak jarang, barang-barang di rumah habis
terbanting ketika emosi tengah menguasai. Maka, bisa dikatakan
pernikahan untuk anak di bawah dapat menjadi pemicu terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga. Lantaran emosi mereka belum stabil dan
masih mudah goyah. Belum ada pegangan kuat yang dapat mengendalikan
amarah ketika tengah menguasai.
5. Kesulitan Ekonomi Dapat Membuat Anak Terlantar
Sebagian besar alasan pernikahan anak di bawah umur dilandasi
permasalahan ekonomi. Orang tua berpikir jika satu anak mereka lepas dan
menjadi tanggung jawab suaminya, maka beban orang tua sedikit
terangkat. Namun, hal itu justru menjadi beban baru bagi suaminya dan
kehidupan pernikahan anak mereka. Akibatnya, anak-anak menjadi
terlantar dan kurang kasih sayang serta perhatian. Sebab, orang tuanya
sibuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga yang terus
meningkat setiap harinya.
6. Muncul Pekerja Di Bawah Umur
Menanggung beban istri di usia remaja, menjadikan kaum lelaki yang
menikah di bawah usia 18 tahun harus pontang-panting mencari pekerjaan
yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Akibatnya, semakin banyak
muncul pekerja anak yang masih di bawah umur.
7. Dapat Menyebabkan Penyakit HIV
Masa pubertas yang penuh keingintahuan dan rasa penasaran
menjadikan pelaku pernikahan di bawah umur tentu ingin mencoba hal-hal
baru. Namun, keinginan itu tidak didasari pengetahuan dan komunikasi
yang tepat. Akibatnya, dapat menimbulkan penyakit HIV yang muncul
karena aktivitas seksual yang dilakukan

5
8. Resiko Meninggal
Selain tingginya angka KDRT, perkawinan dini berdampak pada
kesehatan reproduksi anak perempuan. Anak perempuan berusia 10-14
tahun memiliki kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama
kehamilan atau melahirkan, dibandingkan dengan perempuan berusia 20-
25 tahun. Sementara itu, anak yang menikah pada usia 15-19 tahun
memiliki kemungkinan dua kali lebihbesar.
9. Meningkatnya Angka Kematian Anak
Dari penelitian juga menunjukkan jika seorang ibu di bawah umur akan
cenderung melahirkan bayi yang cacat atau memiliki gangguan kesehatan.
Selain itu, ibu yang melahirkan pada usia dibawah 18 tahun juga memiliki
peningkatan sebesar 60% mengenai kematian pada bayi dan bahkan
memberikan pola asuh salah pada anak karena terbatasnya pengetahuan
sifat keibuan dalam psikologi.
10. Perilaku Seksual Menyimpang
Perilaku seksual menyimpang yang merupakan kesenangan
berhubungan seks dengan anak di bawah umur juga bisa terjadi karena
pernikahan yang dilakukan terlalu cepat. Hal ini bisa menjadi kebiasaan
atas dasar pernikahan yang juga dilakukan pada usia terlalu muda sehingga
mengembangkan perilaku seksual menyimpang tersebut.

B. Masalah Kawin Paksa


Dalam pasal 6 ayat 2 Udang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dijelaskan bahwa perkawinan haruslah didasarkan pada
persetujuan kedua calon mempelai, dan persetujuan tersebut haruslah
dilaksanakan atas kehendak bebas, tanpa paksaan dari calon mempelai pria
maupun wanita untuk melaksanakan perkawinan.
Meskipun tidak dijelaskan secara rinci oleh hukum positif mengenai
pengertian kawin paksa, namun dari konsep kesukarelaan atau persetujuan

6
bebas dan tanpa paksaan dari kedua calon mempelai, yang dianut oleh Undang-
undang No 1 Tahun 1974, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
kawin paksa adalah suatu perkawinan yang terjadi karena adanya unsur paksaan
dari orang lain, yang dalam hal ini adalah orang tuanya, dimana orang tua
memaksa anaknya untuk menikah dengan orang pilihannya tanpa adanya
persetujuan atau kerelaan dari anaknya tersebut. Dalam kamus umum Bahasa
Indonesia” kawin paksa” sendiri diartikan sebagai kawin tidak dengan kemauan
sendiri atau perkawinan yang terjadi karena adanya desakan atau tekanan.
(Poewadarminta, 1984)
Munculnya istilah kawin paksa tidak lepas dari adanya pemahaman
yang berkembang dalam masyarakat mengenai hak ijbar yang dimiliki oleh para
orang tua atau wali. Dimana hak ijbar diartikan sebagai hak atau kekuasaan
orangtua atau wali untuk mengawinkan anak perempuannya, meskipun tanpa
persetujuan dari pihak yang bersangkutan dan perkawinan tersebut dianggap
sah secara hukum. (Armia, 2011)
Mahfudin & Musyarrofah menyatakan ada beberapa faktor penyebab
terjadinya kawin paksa diantaranya yaitu:
1. Faktor orang tua
Orang tua merupakan faktor dominan terjadinya kawin paksa
(perjodohan). Dimana orang tua dan keluarga segera menikahkan anaknya
jika sudah menginjak masa dewasa. Sebagai orang tua yang mempunyai
anak gadis tidak akan merasa tenang sebelum anaknya menikah khawatir
akan melakukan hal-hal yang melanggar Syari‟at yang akan mencemari
nama baik keluarganya.
2. Faktor ekonomi
Kemiskinan menjadi alasan utama terjadinya kawin paksa, sehingga
orang tua segera menikahkan anaknya dengan cara menjodohkan dengan
pilihannya. Dengan alasan untuk mengamankan masa depan anak
perempuan tersebut baik secara keuangan atau sosial. Dan yang penting

7
dengan pernikahan tersebut bisa menggurangi beban ekonomi orang tua.
3. Faktor pendidikan
Sebagai orang tua yang masih belum faham tentang pentingnnya
pendidikan masih memaksakan anaknya untuk segera menikah. Hal itu
terjadi setelah anak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) atau bahkan
belum. Para orang tua menganggap perempuan dimata keluarga setinggi
apapun pendidikannya pada akhirnya akan tetap menjadi ibu rumah tangga,
maka dari itu pendidikan tinggi dianggap tidak begitu penting.
4. Faktor adat
Adat dan budaya dalam perjodohan pernikahan ini masih sering terjadi
dimasyarakat. Orang tua menjodohkan anaknya yang masih kecil, bahkan
bayi yang masih dalam kandungan dengan saudara, keluarga dekat, anak
temannya, agar hubungan kekerabatan masih tetap terjalin. Karena itu
sudah menjadi budaya turun-termurun dalam keluarga Dan jika sudah
menginjak masa dewasa orang tua merasa malu bila anaknya terlambat
menikah dan di anggap tidak laku. Kemudian anak merasa terpaksa
menerima untuk dinikahkan dengan pilihannya (orang tua) karena takut
dikatakan anak yang tidak hormat dan patuh pada orang tuanya maka ia
menuruti keinginannya.
5. Faktor lingkungan
Lingkungan juga menjadi faktor penyebab terjadinya perkawinan
dengan dasar paksaan. Dimana masyarakat juga menuntut untuk segera
menikah jika keadaan ekonomi orang tua kurang stabil. Masyarakat
mencarikan pasangan untuk perempuan tersebut kemudian ditawarkan
kepada orang tuanya. Apabila orang tua dari anak tersebut menyetujuinya
maka pernikahan tersebut akan dilaksanakan. Kebiasaan yang seperti ini
biasanya dialami oleh orang yang ekonominya sangat rendah dan tidak
memungkinkan untuk melanjutkan sekolah anaknya kejenjang yang lebih
tinggi.

8
C. Masalah Kawin Sesuku, Saudara Dekat
Dalam agama tidak ada larangan melakukan perkawinan yang
berdasarkan tali darah dari pihak ibu maupun ayah. Dalam hal ini tidak
ditemukan juga larangan ataupun anjuran secara tegas tentang perkawinan
sesuku. (Arisman, 2018)
Namun, dalam adat Minangkabau melarang melakukan perkawinan
sesuku yang ada pada masyarakat hukum adat. Hal ini dilarang karena menurut
masyarakat Minang orang yang sesuku itu adalah sedarah (bersaudara). Oleh
karena itu ada kedekatan darah, dikhawatirkan akan terjadi keturunan yang
cacat fisik maupun mental dan beberapa mitos lainnya. Perkawinan ini akan
meyebabkan malu, yang akan malu bukan hanya keluarga tapi niniak mamak,
datuak dan pemangku adat lainnya serta kampung pun akan merasa malu.
Penyebab larangan nikah sesuku di latarbelakangi oleh beberapa faktor
sebagai berikut:
1. Orang yang satu suku dianggap masih terikat tali persaudaraan, dengan
demikian perkawinan antar suku dianggap sesuatu yang tabu.
2. Perkawinan satu suku menyebabkan keturunan yang cacat terjadinya
karena hubungan suami istri dengan kerabat yang terlalu dekat.
3. Faktor kultur yang turun-temurun dari jaman dulu sampai sekarang,
sehingga masyarakat apabila orang tua-tua mereka melarang, maka mereka
menggap itu haram atau tidak boleh dikerjakan khususnya perkawinan satu
suku. (Hidayat, 2007)

Oleh karena itu tidak ada larangannya dalam al-Qur’ān maupun hadist,
maka dapat disimpulkan larangan perkawinan sesuku di adat matrilinial
semata-mata ‘urf atau adat.

9
D. Masalah Kawin MBA
MBA merupakan singkatan dari Married By Accident. Married berasal
dari kata marry atau marriage dalam Bahasa Inggris berarti kawin, nikah atau
perkawinan, sedangkan accident berarti kecelakaan. Maksud dari kata
kecelakaan dalam istilah ini adalah hamil diluar nikah. Dalam keterangan lain,
hamil diluar nikah adalah perempuan yang mengandung janin dalam rahimnya
karena sel telur telah dibuahi oleh spermatozoa dan tidak dalam ikatan
perkawinan yang sah. (Supramono, 1998:72)
Married By Accident (MBA) merupakan perilaku yang menyimpang
dari ajaran agama maupun adat kebiasaan masyarakat. Dinamakan Married By
Accident (MBA) karena pasangan menikah tersebut melakukan akad
pernikahan setelah mereka melakukan hubungan seks dan terbentuklah janin
dari hubungan tersebut didalam rahim pihak perempuan. (Auliya, 2018)
Al-Makatti (2001) menyatakan bahwa terjadinya Married By Accident
(MBA) tentu didasari oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain
adalah:
1. Diri Sendiri
Watak dan kemampuan seseorang dalam mengendalikan diri tentu
berbeda-beda. Banyak sumber yang dapat memicu terjadinya Married By
Accident (MBA). Pada masa kini segala sesuatu dapat diakses dengan
mudah, tidak terkecuali konten- konten yang menjerumuskan pada
perilaku-perilaku yang tidak baik, seperti narkoba, free sex, dan lain
sebagainya. Sehingga kemampuan setiap individu dalam menahan diri
tentu berperan besar dalama hal ini.
2. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan
karakter masyarakatnya, tidak terkecuali dalam kasus Married By Accident
(MBA). Jika dalam suatu lingkungan menganggap biasa dengan adanya
kasus MBA, maka tidak menutup kemungkinan akan semakin besar

10
potensi terjadinya kasus MBA dilingkungan tersebut.
3. Interaksi Antar Keduanya
Seseorang dengan kemampuan pengendalian diri yang lemah, didorong
dengan keadaan lingkungan yang bebas juga dapat memicu terjadinya
Married By Accident (MBA). Dalam hal ini, akan sangat mudah bagi
seseorang berbuat sesuatu dengan bebas yang tentu dapat memicu
terjadinya MBA.
Dari ketiga faktor yang telah dijabarkan, dapat disimpulkan
bahwasannya penyebab terjadinya MBA tidak lain berasal dari dalam diri
sendiri, dari lingkungan, maupun interaksi akntar keduanya. Demi
menaggulangi terjadinya MBA maka harus membekali diri sendiri dengan
pengetahuan agama yang baik. Selain itu, lingkungan keluarga maupun
masyarakat juga harus memberikan masukan yang baik dalam kehidupan
sehari-harinya.

E. Masalah Kawin beda Agama


Permasalahan perkawinan beda agama masih menjadi polemik. Untuk
melaksanakan perkawinan beda agama di masyarakat relatif sulit. Padahal,
perkawinan beda agama merupakan realitas yang masih terjadi di masyarakat.
Adapun pelaksanaan perkawinan antara dua orang yang memeluk agama yang
berbeda, salah satu pihak, biasanya menundukkan diri atau masuk agama pihak
lain, baik masuk agama semu atau sesungguhnya. Misalnya, seorang
nonmuslim yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang muslim
dengan menggunakan hukum Islam, dengan pencacatan oleh KUA,
sebelumnya harus mengucapkan ikrar syahadat. Ikrar syahadat ini menandakan
dirinya masuk agama Islam.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat bahwa perkawinan berbeda
agama itu terjadi sebagai realitas yang tidak dipungkiri. Pada prakteknya,
banyak pasangan yang yang ingin hidup bersama namun tidak ada perkawinan

11
karena di dasari dengan Agama atau kepercayaan yang berbeda. Ada juga
pasangan yang sudah hidup bersama atau “kumpul kebo” karena adanya suatu
alasan yang berpengaruh dalam ikatan hubungan mereka yaitu berbeda Agama.
Dalam konteks ini mereka hanya berpegang dalam komitmen yang sudah di
buat oleh kedua belah pihak. Namun persoalannya adalah ketika komitmennya
tidak berjalan dengan baik, maka hubungan tersebut akan menjadi rumit, dan
timbul akibat hukum yang berakibat pada terganggunya kerukunan hidup
berumah tangga karena tidak ada peran agama dalam tujuan ikatan Perkawinan.
Dengan demikian, apabila akan melangsungkan suatu perkawinan, kedua
belah pihak tetap mempertahankan agamanya masing – masing maka
Perkawinan tersebut akan berakibat dalam memiliki keturunan, jika memiliki
anak maka anak tersebut akan bingung dalam memiliki keyakinan. Perkawinan
ini juga tidak ada kepastian hukum. Karena pada dasarnya Hukum Perkawinan
di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan beda Agama.

F. Masalah Kawin Campuran


Saat ini banyak Warga Negara Indonesia yang melaksanakan perkawinan
campuran dengan orang asing, sejalan dengan era globalisasi dan dengan
semakin cepatnya arus informasi dari luar ke dalam, keadaan inilah yang
merupakan salah satu penyebab banyaknya orang Indonesia yang menikah
dengan orang asing. Menurut Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang Undang Perkawinan)
disebutkan bahwa Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan pihak
yang lain berkewarganegaraan Indonesia.
Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan
unsurunsur perkawinan campuran itu sebagai berikut:

12
1. Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita
2. Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan
4. Karena perbedaan kewarganegaraan
5. Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia
Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan.
Unsur kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan
bagi wanita yang melangsungkann per kawin itu. Tetapi perbedaan hukum
tersebut bukan karena perbedaan agama, suku bangsa, golongan di Indonesia
melainkan karena unsur ketiga yaitu perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan
kewarganegaraan ini pun bukan kewarganegaraan asing semuanya, melainkan
unsur keempat menyatakan bahwa salah satu kewarganegaraan itu adalah
kewarganegaraan Indonesia. Tegasnya, perkawinan campuran menurut
undang-undang Perkawinan adalah perkawinan antara Warga Negara Indonesia
dan Warga Negara Asing. Karena berlainan kewarganegaraan, tentu saja
hukum yang berlaku bagi mereka juga berlainan. Undang-Undang Perkawinan
tidak mengatur dengan tegas mengenai akibat hukum yang timbul dari
perkawinan campuran. Ketentuan yang mengatur mengenai akibat hukumnya
adalah Pasal 62 yang mengatur bahwa kedudukan anak dari perkawinan
campuran diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) dimana kewarganegran yang
diperoleh menentukan hukum yang berlaku.

G. Masalah Kawin Siri & Kontrak


Perkawinan siri bisa terjadi kepada seorang yang belum pernah menikah
baik laki-laki maupun wanita karena ada persyaratan yang tidak terpenuhi oleh
kedua belah pihak antara lain, usia belum mencukupi dan terjadi hamil diluar
nikah. Oleh karena itu kawin sirih tersebut tidak didaftarkan pada Pejabat
Pencatat Nikah. Perkawinan siri akta perkawinan dibawah tangan yang tidak
memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (2) UndangUndang Nomor 1 tahun 1974
Tentang perkawinan yang mengatur mengenai pencatatan perkawinan. Jadi

13
perkawinan siri adalah sah menurut agama akan tetapi tidak sah menurut
Undang-Undang, karena tidak memiliki kekuatan hukum yang dapat digunakan
sebagai bukti otentik telah berlangsungnya sebuah perkawinan. Perkawinan siri
menurut Hukum Positif ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan
bahwa perkawinan siri sah, dengan pertimbangan pencatatan perkawinan hanya
merupakan syarat administratif, bukan menentukan sah tidaknya suatu
perkawinan. Pendapat kedua mengatakan perkawinan siri dilakukan tidak sah,
karena tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Undang-Undang yang berlaku.
Hukum Perkawinan siri secara agama Islam adalah sah atau legal dan
dihalalkan atau diperbolehkan jika syarat dan rukun perkawinannya terpenuhi
pada saat perkawinan siri digelar.
Sedangkan kontrak dalam perkawinan tidak ada tujuan untuk membentuk
rumah tangga yang abadi, kekal, sakinah, mawadah warahmah dan itu
bertentangan dengan tujuan pernikahan yang disyariatkan dalam Islam. kawin
kontrak yang sudah pasti pelakunya sendiri membuat suatu perjanjian di
dalamnya maka ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tidak terpenuhi. Perjanjian
perkawinan dalam kawin kontrak sangat bertentangan dengan batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan. Karena isi perjanjian perkawinan dalam kawin
kontrak mengatur tentang jangka waktu/ lamanya perkawinan, imbalan yang
akan diperoleh salah satu pihak, hak dan kewajiban masing-masing pihak, dan
lain-lain. Dari isi perjanjian perkawinan tersebut menyebabkan kawin kontrak
menjadi perkawinan yang bersifat sementara karena waktunya dibatasi, dan
sangat menonjolkan nilai ekonomi, sehingga sangat bertentangan dengan
hukum, agama, dan norma-norma kesusilaan yang berlaku dalam masyarakat.

H. Masalah Ekonomi
Masalah ketidak harmonisan di dalam keluarga disebabkan karena faktor
ekonomi. Seperti kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder, manusia hidup
sangat bergantung kepada kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan.

14
Pemenuhan kebutuhan ekonomi merupakan hal yang pokok pada setiap
manusia. Tanpa pemenuhan kebutuhan ekonomi manusia tidak mungkin bisa
bertahan hidup.
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua
pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga,
sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap
pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan.
(Matondang, 2014)
Dengan penghasilan yang ada keluarga bertahan hidup dan berusaha
menghadapi pertengkaran-pertengkaran yang mungkin timbul jika uang tidak
cukup sampai akhir bulan. Oleh karena itu harus membuat keputusan yang tepat
menangani anggaran untuk kebutuhan sehari-hari dan pengeluaran lainnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Agoes (1996:12), bahwa: “Banyak pasangan
dari kalangan keluarga yang kurang mampu sering kali perceraian terjadi
karena suami kurang berhasil memenuhi kebutuhan materi dan kebutuhan
lainnya dari keluarga”.
Dari pendapat di atas bahwa percekcokan sering terjadi di dalam keluarga
karena sang suami tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari, secara
berlarut-larut disebabkan sang istri merasa kecewa dan merasa menderita atau
tersiksa, sehingga dengan keadaan seperti ini acapkali berlanjut kepada
perceraian.

I. Masalah Hubungan Sosial


Dalam sebuah hubungan romantis dibutuhkan komunikasi dan interaksi
yang intens dengan pasangan. Baumeister dan Leary menyatakan bahwa
seseorang membutuhkan interaksi yang teratur dan menyenangkan dengan
pasangan dalam hubungan yang sedang berlangsung. Kegiatan berkomunikasi
tersebut dapat dilakukan secara langsung dengan tatap muka maupun melalui
alat komunikasi yang ada. Perkembangan teknologi yang ada sekarang ini

15
memang dapat membangun relasi dengan orang lain secara luas dan tidak
mengenal batasan wilayah. Salah satu produk teknologi tersebut adalah situs
jejaring sosial, yang merupakan sarana untuk berinteraksi serta dapat
menghubungkan dengan orang lain melalui dunia maya yang mempermudah
berbagai hal.
Pada saat ini situs jejaring sosial yang paling popular adalah facebook
yang dirintis oleh Mark Zuckerberg pada tahun 2004. Facebook memberikan
layanan pada pengguna untuk tetap berhubungan dengan keluarga, teman, dapat
bertemu dan berhubungan dengan teman lama, berkenalan dengan teman dari
sahabat, serta berkenalan dengan orang yang belum pernah dikenal sebelumnya.
Selain itu facebook dapat digunakan untuk berkomunikasi dan berinteraksi
dengan orang yang sudah dikenal maupun yang belum dikenal.
Adanya kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain secara luas
maka seseorang akan cenderung memiliki keinginan menggunakan facebook
untuk tetap berkomunikasi dengan orang lain. Menurut Walgito (2003) manusia
sebagai makhluk sosial yang mempunyai suatu dorongan untuk mengadakan
hubungan dengan orang lain. Adanya dorongan atau motif sosial pada manusia
inilah yang membuat manusia akan mencari orang lain untuk mengadakan suatu
hubungan atau mengadakan interaksi sosial.
Kemudahan yang diperoleh dari facebook untuk berinteraksi dengan
orang lain secara tidak langsung dan hanya dengan mengupdate secara Online
untuk mengungkapkan pikirannya membuat seseorang lebih tertarik memilih
menggunakan jejaring sosial tersebut. Facebook telah mengubah cara
berinteraksi seseorang, keadaan tersebut yang membuat pasangan merasa
cemburu, karena seorang facebooker apabila sedang fokus dan asyik dengan
facebook menjadi cenderung kurang peduli atau acuh dengan pasangannya.
Menurut Muise, dkk (2009), facebook merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi cemburu, karena informasi yang ada dalam profil
facebook menunjukkan bahwa individu dapat mengekspos informasi pada

16
dirinya dan hal ini berpotensi memprovokasi atau membuat pasangan cemburu.
Kecanduan dalam penggunaan facebook dapat menyebabkan cemburu pada
pasangan sebab orang yang telah kecanduan akan mengatakan hal apa pun di
facebook bahkan yang sifatnya sangat pribadi. Teman di facebook yang tidak
diketahui atau dikenal pasangan apalagi yang berkaitan dengan masa lalu
pasangan atau mantan pacar juga berpotensi menimbulkan kecemburuan.

J. Masalah Pengasuhan Anak


Keluarga merupakan satu hal terpenting dalam pengasuhan anak karena
anak dibesarkan dan dididik oleh keluarga. Orang tua merupakan cerminan
yang bisa dilihat dan ditiru oleh anak-anaknya dalam keluarga. Oleh karena itu,
pengasuhan anak merupakan serangkaian kewajiban yang harus dilaksanakan
oleh orang tua. Jika pengasuhan anak belum bisa dipenuhi secara baik dan
benar, kerap kali akan memunculkan masalah dan konflik, baik di dalam diri
anak itu sendiri maupun antara anak dengan orang tuanya, maupun terhadap
lingkungannya.
Kita ketahui bahwa proses pendidikan yang diberikan kepada anak
memiliki gerak berkesinambungan dengan alur klimaks. Dengan demikian,
masalah-masalah yang muncul harus bisa ditangkap, diikuti, dan dihadapi oleh
orang tua semakin bertambah pula. Oleh karena itu orang tua harus bisa
menghadapi sikap anak agar mampu memberikan yang terbaik dan dibutuhkan
anak. (Syafei, 2002: 42)
Kesalahan dalam pengasuhan anak juga dapat membawa dampak ketika
dewasa nanti. Seorang anak akan merasa trauma bila pengasuhan di
keluarganya dilakukan dengan cara memaksa (koersif). Lain halnya jika anak
selalu dipenuhi permintaannya oleh orang tua. Pola demikian akan membuat
mereka menjadi pribadi yang manja. Oleh karena itu, orang tua harus bisa
menerapkan pola pengasuhan yang fleksibel namun tetap bisa menanamkan
nilai positif kepada anak.

17
Pola pengasuhan anak erat kaitannya dengan kemampuan suatu
keluarga atau komunitas dalam hal memberikan perhatian, waktu, dan
dukungan untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan sosial anak-anak yang
sedang dalam masa pertumbuhan. Bila pola pengasuhan anak tidak tepat, maka
hal itu akan berdampak pada pola perilaku anak. Apalagi jika anak meniru
perilaku orang-orang di luar rumah yang cenderung negatif.
Pola pengasuhan anak dalam garis besarnya, didefinisikan menjadi tiga
macam, antara lain sebagai berikut.
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter merupakan pengasuhan yang dilakukan dengan
cara memaksa, mengatur, dan bersifat keras. Orang tua menuntut anaknya
agar mengikuti semua kemauan dan perintahnya. Jika anak melanggar
perintahnya berdampak pada konsekuensi hukuman atau sanksi.
Pola asuh otoriter dapat memberikan dampak negatif pada
perkembangan psikologis anak. Anak kemudian cenderung tidak dapat
mengendalikan diri dan emosi bila berinteraksi dengan orang lain. Bahkan
tidak kreatif, tidak percaya diri, dan tidak mandiri. Pola pengasuhan ini
akan menyebabkan anak menjadi stres, depresi, dan trauma. Oleh karena
itu, tipe pola asuh otoriter tidak dianjurkan.
b. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif dilakukan dengan memberikan kebebasan
terhadap anak. Anak bebas melakukan apa pun sesuka hatinya. Sedangkan
orang tua kurang peduli terhadap perkembangan anak. Pengasuhan yang
didapat anak cenderung di lembaga formal atau sekolah. Pola asuh
semacam ini dapat mengakibatkan anak menjadi egois karena orang tua
cenderung memanjakan anak dengan materi. Keegoisan tersebut akan
menjadi penghalang hubungan antara sang anak dengan orang lain (Syafie,
2002: 24). Pola pengasuhan anak yang seperti ini akan menghasilkan anak-

18
anak yang kurang memiliki kompetensi sosial karena adanya kontrol diri
yang kurang.
c. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh ini, orang tua memberikan kebebasan serta bimbingan
kepada anak. Anak dapat berkembang secara wajar dan mampu
berhubungan secara harmonis dengan orang tuanya. Anak akan bersifat
terbuka, bijaksana karena adanya komunikasi dua arah. Sedangkan orang
tua bersikap obyektif, perhatian, dan memberikan dorongan positif kepada
anaknya. Pola asuh demokratis ini mendorong anak menjadi mandiri, bisa
mengatasi masalahnya, tidak tertekan, berperilaku baik terhadap
lingkungan, dan mampu berprestasi dengan baik. Pola pengasuhan ini
dianjurkan bagi orang tua.

K. Masalah Perselingkuhan
Perselingkuhan adalah hubungan antara individu baik laki-laki maupun
perempuan yang sudah menikah ataupun yang belum menikah dengan orang
lain yang bukan pasangannya. Walaupun demikian, pengertian "berselingkuh"
dapat berbeda tergantung negara, agama, dan budaya. Pada zaman sekarang,
istilah perselingkuhan digunakan juga untuk menyatakan hubungan yang tidak
setia dalam rumah tangga.
Perselingkuhan merupakan salah satu aspek kehidupan keluarga dan
sering menjadi sumber permasalahan. Perselingkuhan seorang suami atau istri
merupakan bentuk penyimpangan tindakan anggota keluarga dilakukan tanpa
sepengetahuan pasangannya. Perselingkuhan dilakukan di berbagai aspek
kehidupan keluarga, seperti keuangan, kebijakan keputusan, seksual,
persahabatan, hubungan dengan orang tua, pekerjaan, dan sebagainya.
Perselingkuhan biasanya ditandai dengan perubahan sikap. Perubahan sikap
paling nyata dan sering terjadi dalam kasus perselingkuhan adalah
kecenderungan untuk merahasiakan sesuatu, bertindak defensif (bersikap

19
bertahan), dan berbohong. (Monty, 2010)
Perilaku selingkuh dapat dikategorikan sebagai bentuk mekanisme
pertahanan diri yaitu upaya mempertahankan keseimbangan diri dalam
menghadapi tantangan kebutuhan diri. Kebutuhan-kebutuhan yang tidak
tercapai dalam keluarga akan dicapai pemenuhannya secara semu dengan cara
berselingkuh. Orang yang berselingkuh mengira seolah-olah masalah yang
dihadapi akan terselesaikan sehingga memberikan keseimbangan untuk
sementara waktu, namun, karena cara itu merupakan cara yang semu dan tidak
tepat, sehingga yang terjadi adalah timbulnya masalah baru yang menuntut
untuk pemecahan lagi. (Surya, 2009)

L. Masalah tidak Berfungsinya Sex


Disfungsi seksual merupakan masalah yang tidak dapat dipisahkan
dalam hubungan suami-istri, bersifat fisiologis dan psikologis, berorientasi
masalah kognitif, afektif, dan / atau perilaku yang mencegah individu atau
pasangan terlibat dan / atau menikmati kepuasan hubungan seksual.
Masalah disfungsi seksual tidak hanya tentang hasrat melakukan
hubungan seksual namun terkait dengan kecemasan, keterampilan sosial yang
kurang, pengetahuan seksual yang tidak memadai, pengendalian diri yang
buruk, kurangnya gairah seksual yang tidak menyimpang serta kehadiran
gairah seksual yang menyimpang. (Crawford, 1979)
Masalah seksual dan disfungsi berkorelasi dengan kondisi kesehatan
lainnya, termasuk gangguan kardiovaskular, penyakit umum seperti diabetes,
kebiasaan kesehatan, dan kesehatan mental Uraian disfungsi seksual sudah
diulas sebagian sebelumnya, perlu dipahami oleh konselor terkait tipe-tipe
disfungsi seksual.
Disfungsi seksual dipengaruhi asumsi dua sistem yaitu: biofisik dan
psikososial. Kesalahpahaman, ketakutan akan kinerja, kecemasan tentang
penolakan, dan kejadian yang memalukan atau traumatis secara seksual

20
merupakan hambatan psikososial biasa untuk memuaskan fungsi seksual.
Penyalahgunaan narkoba, alkohol, diabetes, luka fisik, dan
ketidakseimbangan endokrinologis tertentu adalah penyebab biofisik
disfungsi seksual (Gerard, 2001). Namun yang perlu dipahami secara
mendasar disfungsi seksual tidak hanya disebabkan fisiologis namun
psikologis.
Permasalahan ini bisa diatasi dengan melakukan Sex Counseling. Sex
counseling merupakan sebuah strategi konseling yang berorientasi
perkembangan dalam membantu pasangan suami-istri dalam hubungan
seksual. Seksual dalam konseling seks mengacu pada pembahasan sikap,
karakteristik, atau perilaku yang terkait dengan seksualitas pasangan.
Konselor berfungsi sebagai konsultan yang memberi pemahaman dan
rasa kepercayaan kepada pasangan dalam mengatasi disfungsi seksual
harapan positif, realistis (non-perfectionistic). Sedangkan proses perubahan
yang diupayakan dalam konseling yaitu: (1) memfasilitasi meningkatnya
kenikmatan dan hubungan seksual pasangan; (2) pasangan dapat menangani
masalah keintiman dan seksualitas, serta eksplorasi terapeutik individu dan
pasangan secara mandiri dan bertanggung jawab; dan (3) mendorong
pasangan dengan pengalaman fungsional seksual maka yang melibatkan
variabilitas dalam fungsi dan kepuasan.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perkawinan merupakan ikatan sah antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita dewasa yang berusaha untuk menjalani kehidupan rumah
tangga bersama. Setelah melalui proses pacaran atau tunangan, masing-masing
individu telah sepakat untuk meninggalkan kedua orangtuanya dan menjadi
satu dengan pasangan hidupnya untuk jangka waktu selama-lamanya.
Dalam menjalani mahligai kehidupan rumah tangga, tak jarang pasangan
suami-istri menghadapi masalah-masalah dalam rangka proses penyesuaian diri
perkawinannya. Terjadinya masalah perkawinan ditimbulkan oleh perbedaan
latarbelakang seperti perbedaan agama, perbedaan pandangan, pemikiran,
sikap, budaya, pendidikan maupun keinginan masing-masing individu. Untuk
dapat mengatasi masalah tersebut, adakalanya mereka memerlukan bantuan
ahli, seperti seorang konselor perkawinan (married counsellor).

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini tentunya penulis memiliki banyak
kekeliruan yang mungkin tidak disadari oleh penulis. Maka dari itu diharapkan
kepada seluruh pembaca, jika menemui kekeliruan dalam makalah yang kami
buat ini maka pembaca memberikan kritikan dan saran yang bersifat
membangun, supaya penulis tidak melakukan kesalahan yang sama dan demi
mewujudkan karya karya ilmiah yang lebih baik.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adam, A. (2020). Dinamika Pernikahan Dini. Al-Wardah, 13(1), 14.


Agoes, A.Y. (1996). Masalah-Masalah Dalam Perkawinan dan Keluarga Dalam apa
dan Bagaimana Mengatasi Problema Keluarga. Jakarta: Pustaka Antara.
Al Mansur, Muhammad., dkk. (2021). FAKTOR PENYEBAB PERSELINGKUHAN
SUAMI ISTRI DAN UPAYA PENANGANANNYA DI KUA KECAMATAN
RUPAT. Tahkim, Vol. XVII, No. 1.
Al-Makatti, Abdurrahman. (2001). Pacaran dalam Kacamata Islam. Jakarta: Media
Dakwah.
Arisman, A. (2018). Mahram dan Kawin Sesuku dalam Konteks Hukum Islam (Kajian
Tematik Ayat-Ayat Hukum Keluarga). JURIS (Jurnal Ilmiah Syariah), 17(1),
47-61.
Armia, M. I. (2011). Kawin Paksa dalam Perspektif Fiqh Islam dan Gender (Doctoral
Dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).
Auliya, D. Q. B. (2018). Pembentukan Keluarga Sakinah Oleh Pasangan married By
Accident (MBA): Studi kasus Desa Pesanggrahan Kota Batu (Doctoral
Dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim).
Bimo, Walgito. (2003). Psikologi Sosial. Yogyakarta: Andi Offset.
Crawford, D. A. (1979). Modification of Deviant Sexual Behaviuor: The Need for
a Comprehensive Approach. British Journal of Medical Psychology, 52, 151–
156.
Gerard, D. (2001). Sex Therapies. In Raymond J. Corsini (Ed.), Handbook
Innovative Therapy (2nd ed., pp. 619–627). Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Hidayat, Rahmat. (2007). Perkawinan Satu Suku Dalam Masyarakat Minangkabau
Menurut Pandangan Hukum Islam. (Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Uni
Syarif Hidayatullah Jakarta).
Juspin, L., Ridwan T., Zulkifli A. (2009). Studi Kasus Kebiasaan Pernikahan Usia Dini
Pada Masyarakat Kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana Toraja, Makasar.

23
Jurnal MKMI, Vol 5 No.4.
Mahfudin, A., & Musyarrofah, S. (2019). Dampak Kawin Paksa Terhadap
Keharmonisan Keluarga. Jurnal Hukum Keluarga Islam, 4(1), 75-93.
Makalew, J. (2013). Akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia. Lex
Privatum, 1(2).
Matondang, A. (2014). Faktor-faktor yang mengakibatkan perceraian dalam
perkawinan. JPPUMA: Jurnal Ilmu Pemerintahan dan Sosial Politik UMA
(Journal of Governance and Political Social UMA), 2(2), 141-150.
Mohammad Surya. (2009). Bina Keluarga. Bandung: Graha Ilmu.
Monty P. Satiadarma. (2010). Menyikapi Perselingkuhan. Jakarta: Pustaka Populer.
Nandang M., Ijun R. (2007). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Usia Menikah
Muda pada Wanita Dewasa Muda di Kelurahan Mekarsari Kota Bandung.
Jurnal Kesehatan Kartika STIKES A. Yani.
Poewadarminta, W.J.S. (1994). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai
Pustaka.
Rakhmawati, Istina. (2015). Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak. KONSELING
RELIGI: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 6, No. 1.
Sarwono, S. (2007). Psikologis Remaja. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Soemiyati. (1999). Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (UU
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Yogyakarta: Liberty.
Supramono, Gatot. (1998). Segi-Segi Hukum Hubungan Luar Nikah. Jakarta:
Djambatan.
Syafei, M Sahlan. (2002). Bagaimana Anda Mendidik Anak. Bogor: Ghalia Indonesia.
Turner, J. S & Helms, D. B., “Life-span development”, (5th edition). Holt, Rinehart &
Winston, New York, 1995.
Usman, Irvan., dkk. (2018). SEX COUNSELING UNTUK MENGATASI DISFUNGSI
SEKSUAL DALAM HUBUNGAN SEKS PASANGAN SUAMI-ISTRI.
PROSIDING SEMINAR NASIONAL BIMBINGAN DAN KONSELING DI
PERGURUAN TINGGI.

24

Anda mungkin juga menyukai