Anda di halaman 1dari 10

TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER

PSIKOLOGI KELUARGA

“RESOLUSI KONFLIK SEBAGAI SUATU STRATEGI MENGHINDARI


PERCERAIAN”

Dosen Pengampu : Dr.Siti Rohmah Nurhayati S.Psi., M.Si

Oleh :

Dita Amalia Asnawati 16112141025

PSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2018
Ketika seseorang telah memutuskan untuk menikah dan mengarungi bahtera rumah
tangga bersama pasangannya tak ada satupun yang pernah terpikirkan untuk melakukan
perceraian, karena semua orang pasti selalu mengharapkan kehidupan pernikahan yang
harmonis dan langgeng hingga maut memisahkan. Akan tetapi kehidupan manusia tidak luput
dari kesalahan dan permasalahan, termasuk dalam membina suatu keluarga pasti akan muncul
konflik dan problem yang tidak diinginkan, dan tidak jarang konflik-konflik ini sering
membawa kepada akhir yang tidak pernah diharapkan yaitu perceraian. Perceraian seringkali
dianggap sebagai suatu penyelesaian dari permasalahan yang dialami dalam pernikahan.
Tetapi sejatinya semua pasangan yang telah menikah selalu mencoba sebisa mungkin untuk
menghindari perceraian. Bahkan dalam agama apapun perceraian dianggap sebagai suatu hal
yang tidak baik. Beberapa orang mungkin akan berpikir bahwa pernikahan kedua atau
pernikahan yang terjadi setelah pernah melakukan perceraian akan berlangsung lebih baik.
Pasangan yang pernah mengalami perceraian kemudian menikah kembali cenderung tidak
memiliki komitmen dalam pernikhan keduanya karena meraka pernah mengalami pernikahan
yang tidak berlangsung lama. Ketika seseorang yang menikah kembali tidak bijak, biasanya
akan memilih perceraian sebagai suatu bentuk penyelesaian dari masalah (Whitton, 2013,
p.277).

Seperti yang telah di bahas diawal, pernikahan tidak akan luput dari masalah dan
konflik, sehingga beberapa pasangan yang sudah tidak sanggup mengatasi permasalahan
sering dengan terpaksa mengambil jalan perceraian sebagai solusi atas masalah-masalahnya.
Akhir-akhir ini tren angka perceraian di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, diketahui bahwa
semenjak tahun 2015 hingga tahun 2017 terus terjadi peningkatan angka perceraian. Pada
tahun 2015, tercatat sebanyak 394.246 perkara perceraian di 29 pengadilan tinggi agama di
indonesia. Dari 394.246 perkara tersebut yang diputus sebanyak 353.843 perkara. Pada tahun
2016 angka perceraian naik menjadi 403.070 perkara yang terdaftar dan yang diputus
sebanyak 365.654 perkara. Pada tahun 2017 angka perceraian semakin meningkat dari
403.070 menjadi 415.848 perkara terdaftar, sedangkan perkara yang diputus ada sebanyak
374.516 perkara. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 3 tahun tren
angka perceraian berkisar antara 353.843 sampai 374.516 perkara di 29 pengadilan tinggi
agama di Indonesia (Hidayat,2018).
Dalam sebuah penelitian diketahui beberapa penyebab perceraian adalah pertama,
kesalahan dalam mengambil keputusan untuk menikah. Kedua, adanya pihak ketiga yang
dibawa kedalam pernikahan, yang dimaksudkan dengan pihak ketiga tidak hanya selingkuhan
akan tetapi keluarga tiri kadang dapt menyebabkan perceraian. Penyebab ketiga adalah
kekerasan fisik maupun emotional. Selanjutnya komunikasi yang jarang, tidak memiliki
emosi sama sekali, atau komunikasi dengan emosi yang berlebihan. Ketidak seimbangan
tanggungjawab atau peran dalam pernikahan juga menjadi salah satu penyebab dari
perceraian. Keenam, pasangan berubah atau ada perubahan dalam ketertarikan, misalnya
pasangan yang semula bekerja tetapi kemudian menjadi tidak bekerja lagi. Dan penyebab
terakhir adalah penundaan keputusan untuk menikah (Canham, 2015, p.597-602).

Berdasarkan data dari Direktorat Jendral Badilag Mahkamah Agung, terdapat


beberapa penyebab perceraian. Pada tahun 2017 penyebab perceraian yang paling umum
adalah perselisihan dan pertengkaran terus menerus, tercatat sebanyak 152.575 perkara dari
415.848 perkara. Penyebab kedua adalah masalah ekonomi sebanyak 105.266 perkara. Ketiga
adalah karena salah satu pasangan meninggalkan pasanganya, tercatat sebanyak 70.958
perkara. Penyebab perceraian keempat adalah KDRT dengan jumlah 8.453 perkara. Penyebab
perceraian yang lainya adalah alkoholisme, zina, poligami, judi, madat, murtad, disabilitas,
menjalani hukum penjara, kawin paksa dan lain-lain.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa penyebab perceraian terbesar adalah adanya
perselisihan dan pertengkaran yang terjadi secara terus menerus dalam hubungan pernikahan.
Lalu apakah perceraian adalah solusi dalam menghadapi perselisihan dalam hubungan
pernikahan? Tentu saja bukan. Konflik dalam hubungan pernikahan dapat diselesaikan
dengan berbagai cara yang akan kita bahas dalam arikel ini. Sebelum membahas mengenai
bagaimana cara menghadapi konflik dalam hubungan pernikahan akan lebih baik jika kita
membahas mengenai konflik terlebih dahulu.

Ketika suatu konflik dalam pernikahan tidak terselesaikan maka akan teus
berkembang hingga mencapai titik krisis dari konflik tersebut. Suatu konflik dapat terjadi
secara bertahap hingga mencapai titik krisis nya jika tidak diselesaikan. Berdasarkan hierarki
konflik sebuah konflik dapat terjadi mulai dari ketika melakukan berbagai diskusi tentang
kegiatan sehari-hari hingga suatu krisis atau permasalahan yang lebih serius. 3 hal yang dapat
meicu konflik dengan tension level yang rendah dalam hierarki konflik adalah berbicara
tentang kegiatan sehari-hari, berdiskusi, dan menyampaikan perasaan masing-masing. Ketiga
hal tersebut pada umumnya merupakan alasan yang umum agar kedua pasangan dapat
semakin harmonis. Akan tetapi ketiga hal tersebut terkadang memicu terjadi konflik-konflik
kecil. Oleh karena itu ketiga hal tersebut dikatakan memiliki tension level yang rendah.
Selain itu ketiga hal tersebut juga tidak mingikutsertakan pembuatan keputusan sehingga
tekanan dalam membuat keputusan lebih rendah dimana hal tersebut juga membuat level
tegangan konflik rendah. Tahapan dalam hierarki konflik selanjutnya adalah tahapan dimana
tension level dari konflik lebih tinggi dari tiga hal sebelumnya dan membutuhkan decision
making. Jika keputusan yang harus dibuat tidak tercapai maka dapat menyebabkan suatu
permasalahan yang lebih serius yang harus di selesaikan, apabila tidak terselesaikan maka
akan menjadi semakin krisis dan semakin sulit untuk diselesaikan. Konflik-konflik yang
sampai pada tahap krisis inilah biasanya yang berakhir dengan pereraian. Ketika pasangan
mengahdapi situasi yang mengharuskan untuk membuat suatu keputusan. Maka segera
mungkin dibuat suatu keputusan yang tepat. Ketika situasi tersebut diabaikan dapat
menyebabkan suatu permasalahan, dan ketika permasalahan diaabaikan akan menyebabkan
krisis dalam hubungan. Ketika krisis terjadi permaslahan akan semakin sulit untuk
diselesaikan dan akan berakhir tidak baik (Olson, 2011, p132-134).

Salah satu hal yang memicu adanya konflik dalam rumah tangga selain decission
making adalah kemarahan. Banyak pasangan yang takut atau mewaspadai emosi negative
seperti kemarahan, kecemburuan, rasa sakit hati, dan perasaan membenci. Banyak juga
pasangan yang kesulitan mempelajari cara untuk mengatasi emosi-emosi negative tersebut.
Kebanyakan orang akan menekan emosi-emosi negatif tersebut dan berharap akan hilang
seiring waktu berjalan. Akan tetapi menekan emosi-emosi negatifa tidak akan
menyelesaikannya. Menurut prespektif psychology menekan emosi negatif dapat
menyebabkan stress terhadap individu dan tentunya akan berpengaruh terhadap hubungan
perkawinannya (Olson, 2011, p.134). Sebagai contoh, ketika ada seorang istri memiliki suami
yang tidak pernah mau membantunya dalam menyelesaikan tugas rumah tangga dengan
alasan lelah kerena sudah bekerja mencari uang. Pada awalnya mungkin sang istri selalu
membiarkannya dan menahan amarahnya agar tidak terjadi konflik. Tetapi semakin lama
ketika kebiasaan itu terus berlanjut dan amarah istri tidak bisa ditahan lagi justru akan
menimbulkan konflik yang lebih beresiko menuju krisis.

Banyak orang yang memilih untuk menghindari dan memendam emosi negatif karena
adanya asumsi tentang cinta adalah lawan dari kebencian. Sejatinya, cinta dan benci adalah
suatu perasaan yang intens, daripada dikatakan berlawanan, keduanya lebih seperti dua sisi
koin. Dalam artian benci dan cinta saling terhubung, begitupun marah dan benci juga saling
terhubung. Tidak jarang kita merasa marah kepada orang yang kita cintai. Rollo May (1969)
mengatakan bahwa benci dan cinta bukanlah suatu hal yang berlawanan tetapi mereka suatu
hal yang berjalan bersama (Olson, 2011, p.135).

Bill Borcherdt (1996, 2000) mengatakan, terdapat 4 kepercayaan di masyarakat yang


salah yaitu pertama kemarahan disebabkan oleh orang lain. Menurut Bill kemarahan sama
seperti emosi-emosi manusia yang lain, tidak disebabkan oleh orang lain melainkan dibuat
oleh diri kita sendiri. Sebagai contoh, kita merah ketika seseorang melakukan hal yang tidak
kita sukai, maka yang menyebabkan kita marah sebenarnya adalah perasaan tidak suka pada
hal yang dilakukan oleh orang tersebut, dimana perasaan tidak suka itu muncul dari diri kita
sendiri. Kepercayaan kedua adalah cara mengatasi kemarahan adalah dengan melepaskan
semua kemarahan. Dengan menyalurkan kemarahan mungkin akan membuat orang merasa
lebih baik tetapi tidak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Menyalurkan kemarahan
tidak akan menyelesaikan permasalahan yang sebenarnya justru hanya akan memicu
kemarahan dari pihak lain. Ketiga, kemarahan adalah emosi yang bermanfaat dan keempat
adalah bahwa ketika kita tidak marah orang akan memanfaatkan kita atau menganggapkita
seorang yang lemah dan inferior. Dibandingkan menyalurkan kemarahan Bill mengatakan
bahwa akan lebih baik jika kita bersikap asertif terhadap suatu hal (Olson, 2011, p.136).

Pasangan yang bertengkar bersama dan tetap tingggal bersama membuktikan bahwa
mereka tau bagaimana untuk bertengkar secara “benar”. Sedangkan pasangan yang tidak
pernah bertengkar dan tidak menyelesaikan permasalahan yang mereka alami justru menjadi
saling menjauh secara emotional (Olson, 2011, p.137). Dalam hubungan pernikahan cinta dan
pernikahan harus berjalan seimbang. Dalam setiap pernikahan terdapat dua dinamika yang
saling bertabrakan yaitu cinta yang akan membantu pasangan itu bersatu dan kemarahan yang
dapat membuat meraka berpisah. Kemarahan dapat menjadi emosi yang sehat dan membantu
pasangan untuk membentuk suatu hubungan yang interdependent. Ketika pasangan tidak
dapat menemukan cara yang membangun untuk menyampaikan kemarahan dapat membawa
mereka kepada perpisahan. Pada umumnya perceraian tidak disebabkan karena satu
kemarahan yang besar, tetapi kehilangan kedekatan yang brlangsung sedikit demi sedikti.
Dengan kata lain, takut akan kemarahan akan mnyebabkan ketidakterikatan dan
ketidakterikatan akan menyebabkan emotinonal divorce dimana pasangan perasaanya sudah
tidak terikat lagi. Emotional divorce sering sekali menyebabkan perceraian. Dalam hubungan
pernikahan yang sudah matang, kemarahan bukan lagi menjadi musuh tetapi sudah menjadi
teman bagi mereka. Pasangan pada pernikahan yang sudah matang bisa mengerti waktu dan
cara yang tepat untuk menyalurkan kemarahannya pada pasangan sehingga tidak berujung
konflik yang besar (Olson, 2011, p.138).

Terdapat beberapa panduan untuk memanage kemarahan berdasarkan tipe-tipe nya.


Tipe pertama adalah Pursuer atau pengejar. Tipe pengejar cenderung ingin menciptakan
hubungan intim yang terhubung atau terjalin yang sangat tinggi dalam kohesi.
Pengejar adalah orang yang bereaksi terhadap kecemasan mereka dengan mencari
kebersamaan yang lebih besar dalam suatu hubungan. Ketika pasangan menginginkan ruang
yang lebih emosional, pengejar merasa ditolak dan mengejar pasangannya dengan lebih keras
sebelum menarik diri dengan dingin. Tipe kedua adalah distancers, tipe ini cenderung
menciptakan hubungan intim yang tidak terlibat atau terpisah sehingga memiliki keiintim
yang rendah dalam kohesi. Distancers menginginkan ruang emosional ketika stres tinggi.
Distancers sering mengatur kecemasan dengan mundur ke pekerjaan mereka dan dapat
mengakhiri hubungan sepenuhnya ketika hal-hal menjadi terlalu kuat. Distancers cenderung
terbuka ketika mereka tidak didorong atau dikejar. Tipe ketiga adalah
Underfunctioners, underfunctioners adalah Orang-orang yang dalam banyak bidang
kehidupan sepertinya tidak dapat diatur. Orang-orang ini terlalu tinggi dalam fleksibilitas
(kacau). Underfunctioners cenderung menjadi kurang kompeten di bawah tekanan,
membiarkan orang lain mengambil alih atau “masuk”. Underfunctioners mengalami
kesulitan menunjukkan sisi kuat dan kompeten. Selanjutnya tipe overfunctioners,
overfunctioners tahu apa yang terbaik bukan hanya untuk diri mereka sendiri tetapi untuk
orang lain juga. Orang-orang ini memiliki fleksibilitas rendah (kaku atau terstruktur).
Overfunctioners umumnya dicirikan sebagai "selalu dapat diandalkan" dan "selalu bersama"
orang. Mereka mengalami kesulitan menunjukkan sisi mereka yang rentan dan tidak
berfungsi, terutama bagi orang-orang yang mengalami masalah. Dan tipe terakhir adalah
blamer, bamer adalah orang yang merespon saat-saat stres dengan perasaan emosional yang
kuat. Blamer menganggap orang lain bertanggung jawab atas perasaan mereka dan melihat
orang lain, bukan diri mereka sendiri, sebagai masalah. Akan tetapi dalam suatu penelitian
diketahui bahwa durasi lama pernikahan tidak terkait dengan bagaimana pasangan
menyelasaikan suatu konflik. Sedangkan trait kepribadian dan gender memiliki hubungan
yang signifikan dengan resolusi konflik (Grace, 2015). Dari hal tersebut dapat diketahui
bahwa pasangan yang sudah menikah lama belum tentu dapat menyelesaikan konflik dengan
lebih baik dibandingkan pasangan yang lebih muda.
Dalam beberapa kasus terdapat pasangan yang pernikahannya dapat bertahan lama
bukan karena mereka tidak memiliki konflik tetapi karena adanya “pelindung” dari
perceraian. Pelindung ini menjadi pencegah terjadinya perceraian karena pelindung ini
merupakan pertahanan dari tidak ditemukannya solusi atas konflik. Dengan kata lain
pelindung disini tidak meningkatkan kualiatas pernikahan tetapi hanya mejadi penahan tidak
terjadinya perceraian. Pelindung disini seperti anak, agama, ketergantugan terhadap
pasangan, keamanan finansial, dan pengaruh dari keluarga dan teman (Tulane, 2011, p.292).
Dengan kata lain beberapa perceraian tidak terjadi bukan karen konflik yang telah
terselesaikan atau karena kemampuan mengontrol konflik yang baik, tetapi karena adanya
pelindung seperti yang telah disebutkan.

Bagaimana pasangan dapat mengatasi konflik adalah suatu faktor yang sangat penting
dalam membentuk suatu hubungan intim yang berkualitas. Strategi yang digunakan untuk
menyelasaikan suatu konflik juga memprediksi simtom kesehatan mental pada pasangan
(Papp, 2017, p.1). Terdapat beberapa saran untuk menyelesaikan konflik diantaranya adalah
pertengkaran yang adil. Pertengakaran yang dimaksudkan disini lebih mengarah kepada
pertengakaran secara verbal seperti perdebatan atau percecokan karena perbedaan pendapat.
Pertengkaran verbal adalah suati masalah yang serius dan harus dihadapi dengan hati-hati dan
sense yang bagus. Ketegangan dan kemarahan biasanya terjadi selama terjadinya
pertengkaran verbal ini dan jika tidak ditangani dengan tepat biasanya akan berujung pada
pertengkaran secara fisik. Orang harus mengobservasi kebiasaan yang pasti muncul ketika
mereka sedang berdebat. Mereka akan merasa lebih aman menyatakan ketidak setujuannya
ketika mereka tahu bahwa hal tersebut tidak akan menyebabkan lepas kontrol. Terdapat 16
peraturan dasar dalam pertengkaran yang adil yaitu sebgai berikut :

1. Bernegosiasi dari Posisi Dewasa.


2. Hindari Ultimatum.
3. Jika salah satu kalah maka keduanya kalah.
4. Katakana maksud anda yang sebenarnya.
5. Hindari tuduhan dan serangan.
6. Kuasai perasaan anda sendiri terlebih dahulu.
7. Selalu cek kembali persepsi anda.
8. Nyatakan Keinginan dan Permintaan secara langsung dan jelas.
9. Jangan Gunakan Seks untuk Menghaluskan Perselisihan.
10. Ulangi Pesan yang Anda Pikirkan Anda Terima.
11. Menolak untuk Bertengkar Kotor.
12. Jangan memberikan perlakuan diam.
13. Fokus pada Isu dan Fokus pada Saat Ini.
14. Gunakan Time-out dan foul
15. Gunakan Humor dan Comic Relief
16. Selalu pergi untuk penutupan.

Saran kedua adalah, ketika pasangan menghadapi suatu konflik, disarankan untuk
tidak mengungkit permasalahan-permaslahan yang telah berlalu dan tidak hanya
menunjukkan emosi negatif saja. Selain itu ketika kita akan menyampaikan apa yang kita
rasakan dan apa yang kita pikirkan akan lebih baik untuk memilah-milah perkataan yang
akan kita sampaikan. Jika kita merasa apa yang kita pikirkan adalah halyang benar kita harus
bisa menunjukkan bukti dari perkataan kita. Dalam pertengkaran tidak jarang terjadi tahap
saling menyalahkan, apabila kita merasa kita memang memiliki salah kita harus mengakui
kesalahan kita. Mencari kesamaan dengan pasangan akan mengurangi ketegangan dalam
konflik. Kemenangan dari pertengkaran dalam masalah pernikahan adalah milik kedua
oraang. Kemenangan ini pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan dan kelekatan atar
pasangan (Olson, 2011, p. 143-147).

Terdapat 5 tipe-tipe dalam menyelesaikan permasalahan. Tipe pertama adalah tipe


kompetitif, tipe ini biasanya bersikap agrsiv dan tidak tidak kooperatif. Dalam menyelesaikan
suati konflik, orang dengan tipe kompetitif hanya akan mengejar kekhawatiran pribadinya
daripada tujuan bersama. Orang denga tipe ini cenderung ingin menang ketika menyelasaikan
konflik. Sehingga dia tidak akan berfokus pada bagaimana menemukan solusi untuk konflik
tersebut, tetapi lebih kepada bagaimana keinginannya tercapai. Tipe kedua adalah tipe
kolboratif, dimana orang-orang dengan tipe ini cenderung berisikap asertif dan bertujuan
pada penyelesaian masalah. Kelemahan dari tipe kolaboratif adalah terkadang mereka dapat
mengkahiri hubungan karena mereka terlalu banyak mengeluarkan energi dalam
meyelasaikan konflik. Selain itu tipe kolaboratif adalah sangat powerful atau mendominasi
sehingga kadang menggunakan dominasinya untuk memanipulasi orang lain. Selanjutnya
adalah tipe kompromis, tipe ini adalah tipe yang menyampaikan secara langsung. Dengan
kata lain tipe ini langsung mengatakan solusi dari suatu konflik. Kekurangan dari tipe ini
adalah solusi yang disampaiknnya belum tentu merupakan solusi terbaik bagi orang lain yang
terlibat. Tipe avoidance, atau tipe menghindar adalah tipe orang yang menyelesaikan konflik
tidak secara asertif dan secara pasif. Orang dengan tipe ini cenderung menghindari konflik.
Tipe terakhir adalah tipe Accomodating. Tipe accomodating adalah tipe yang tidak asertif
tetapi kooperetif (Olson, 2011, p.148-149).

6 langkah dasar dalam menyelesaikan masalah adalah pertema klarifikasi masalah.


Konflik atau perdebatan kadang terjadi karena kesalahpahaman pada pasangan, oleh karena
itu diperlukan adanya klarifikasi masalah untuk menghilangkan kesalahpahaman. Langkah
kedua adalah mencari tau apa yang pasangan kita inginkan. Ketika kesalahpahaman telah
terselesaikan maka selanjutnya adalah mencari tahu apa yang pasangan kita inginkan.
Tahapan ini sangat penting karena membantu meminimalisir perasaan sakit hati dan frustasi
antar pasangan karena keinginan nya tidak terrealisasikan. Setelah mengetahui keinginan dari
masing-masing pasangan maka dapat dilakukan identifikasi berbagai alternatif penyelesaian
maslah yang sesuai dengan permasalahan yang sedang mereka hadapi. Ketika berbgai
alternatif solusi telah diidentifikasi maka selanjutnya adalah memutuskan cara bernegosiasi
untuk mengatasi konflik sehingga tujuan dari kedua pasangan dapat terwujud. Jika cara yang
dipilih sudah fix disepakati oleh kedua belah pihak makan kedua pihak harus memperkuat
kesepakatan yang telah mereka buat. Tahapan terakhir adalah selalu meninjau dan
menegosiasi ulang keputusan tersebut(Olson, 2011. P.150-152).

Resolusi konflik membutuhkan akomodasi dari berbagai emosi dan perilaku yang
beragam. Diantaranya adalah angry strategies yang ditandai dengan permusuhan verbal
maupun nonverbal, serangan secara personal, dan konflik pada level yang tinggi. Depressive
strategies, dikarakteristikan dengan adanya withdrawal, kesedihan, dan ketakutan.
Berlawanan degan Depressive strategies, konstruktif strategi membutuhkan komunikasi yang
rutin, demonstrasi dari dukungan dan kasih sayang, dan penyelesaian masalah dan resolusi
(Papp, 2017, p.3).

Maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhanya pertengkaran yang terus menerus


terjadi dapat diatasi dengan berbagai strategi yang telah dipaparkan seperti melakukan
pertengkaran yang adil. Selain itu komunikasi juga menjadi kuci utama dalam mencegah agar
konflk tidak berujung pada tahapan yang memiliki ketegangan yang tinggi. Saling mengerti
satu sama lain, mau mengakui kesalah, dan mampu bersikap asertif adalah cara-cara yang
dapat dilakukan agar konflik yang terjadi di dalam pernikahan menjadi konstruktif dan
meningkatkan keintiman dan kepercayaan tidak menyebabkan perceraian.
DAFTAR PUSTAKA

Canham, Sarah L, Mahmood, atiya, dkk. (2014). ‘Till Divorce Do Us Part: Marriage
Dissolution in Later Life. Journal of Divorce & Remarriage. 55. 591-612. DOI:
10.1080/10502556.2014.959097. Diakses dari http://www.tandfonline.com

Grace, Awopetu R, Christiana, Ekoja O. (2015). Relationship between Duration of Marriage,


Personality Trait, Gender and Conflict Resolution Stratergies of Spouses. Social and
Behavioral Sciens. 190. 490-496. DOI : 10.1016/j.sbspro.2015.05.032.

Hidayat. (2018, 18 Juni). Melihat Tren Perceraian dan Dominasi Penyebab. Hukum Online.
Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b1fb923cb04f.

Olson, David H, DeFrain, Jhon, Skogard, Linda. (2011). Marriage and Families : Intimicy,
Diversity, and Strength (Seventh Edition). New York: McGraw-Hill.

Papp, Lauren M. (2017). Topic of Marital Confilct in the Everyday Lives of Empty Nest
Couples and Their Implication for Conflict Resolution. Journal od Couple &
Relationship. 1-18. DOI: 10.1080/15332691.2017.1302377. Diakses dari
http://dx.doi.org/10.1080/15332691.2017.1302377.

Tulane, Sarah, Skogrand, Linda,dkk. (2011). Couples in Great Marriage Who Considered
Divorcing. Mariage & Family review. 47. 289-310. DOI:
10.1080/01494929.2011.594215.

Whitton, Sarah W, Stanley, Scott M, dkk. (2013). Attitudes Toward Divorce, Commitment,
and Divorce Proneness in First Marriages and Remarriages. Journal of Marriage and
Family. 75. 276-287. DOI:10.1111/jomf.12008

Anda mungkin juga menyukai