PSIKOLOGI KELUARGA
Oleh :
PSIKOLOGI
2018
Ketika seseorang telah memutuskan untuk menikah dan mengarungi bahtera rumah
tangga bersama pasangannya tak ada satupun yang pernah terpikirkan untuk melakukan
perceraian, karena semua orang pasti selalu mengharapkan kehidupan pernikahan yang
harmonis dan langgeng hingga maut memisahkan. Akan tetapi kehidupan manusia tidak luput
dari kesalahan dan permasalahan, termasuk dalam membina suatu keluarga pasti akan muncul
konflik dan problem yang tidak diinginkan, dan tidak jarang konflik-konflik ini sering
membawa kepada akhir yang tidak pernah diharapkan yaitu perceraian. Perceraian seringkali
dianggap sebagai suatu penyelesaian dari permasalahan yang dialami dalam pernikahan.
Tetapi sejatinya semua pasangan yang telah menikah selalu mencoba sebisa mungkin untuk
menghindari perceraian. Bahkan dalam agama apapun perceraian dianggap sebagai suatu hal
yang tidak baik. Beberapa orang mungkin akan berpikir bahwa pernikahan kedua atau
pernikahan yang terjadi setelah pernah melakukan perceraian akan berlangsung lebih baik.
Pasangan yang pernah mengalami perceraian kemudian menikah kembali cenderung tidak
memiliki komitmen dalam pernikhan keduanya karena meraka pernah mengalami pernikahan
yang tidak berlangsung lama. Ketika seseorang yang menikah kembali tidak bijak, biasanya
akan memilih perceraian sebagai suatu bentuk penyelesaian dari masalah (Whitton, 2013,
p.277).
Seperti yang telah di bahas diawal, pernikahan tidak akan luput dari masalah dan
konflik, sehingga beberapa pasangan yang sudah tidak sanggup mengatasi permasalahan
sering dengan terpaksa mengambil jalan perceraian sebagai solusi atas masalah-masalahnya.
Akhir-akhir ini tren angka perceraian di Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari
Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung, diketahui bahwa
semenjak tahun 2015 hingga tahun 2017 terus terjadi peningkatan angka perceraian. Pada
tahun 2015, tercatat sebanyak 394.246 perkara perceraian di 29 pengadilan tinggi agama di
indonesia. Dari 394.246 perkara tersebut yang diputus sebanyak 353.843 perkara. Pada tahun
2016 angka perceraian naik menjadi 403.070 perkara yang terdaftar dan yang diputus
sebanyak 365.654 perkara. Pada tahun 2017 angka perceraian semakin meningkat dari
403.070 menjadi 415.848 perkara terdaftar, sedangkan perkara yang diputus ada sebanyak
374.516 perkara. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 3 tahun tren
angka perceraian berkisar antara 353.843 sampai 374.516 perkara di 29 pengadilan tinggi
agama di Indonesia (Hidayat,2018).
Dalam sebuah penelitian diketahui beberapa penyebab perceraian adalah pertama,
kesalahan dalam mengambil keputusan untuk menikah. Kedua, adanya pihak ketiga yang
dibawa kedalam pernikahan, yang dimaksudkan dengan pihak ketiga tidak hanya selingkuhan
akan tetapi keluarga tiri kadang dapt menyebabkan perceraian. Penyebab ketiga adalah
kekerasan fisik maupun emotional. Selanjutnya komunikasi yang jarang, tidak memiliki
emosi sama sekali, atau komunikasi dengan emosi yang berlebihan. Ketidak seimbangan
tanggungjawab atau peran dalam pernikahan juga menjadi salah satu penyebab dari
perceraian. Keenam, pasangan berubah atau ada perubahan dalam ketertarikan, misalnya
pasangan yang semula bekerja tetapi kemudian menjadi tidak bekerja lagi. Dan penyebab
terakhir adalah penundaan keputusan untuk menikah (Canham, 2015, p.597-602).
Dari data tersebut dapat diketahui bahwa penyebab perceraian terbesar adalah adanya
perselisihan dan pertengkaran yang terjadi secara terus menerus dalam hubungan pernikahan.
Lalu apakah perceraian adalah solusi dalam menghadapi perselisihan dalam hubungan
pernikahan? Tentu saja bukan. Konflik dalam hubungan pernikahan dapat diselesaikan
dengan berbagai cara yang akan kita bahas dalam arikel ini. Sebelum membahas mengenai
bagaimana cara menghadapi konflik dalam hubungan pernikahan akan lebih baik jika kita
membahas mengenai konflik terlebih dahulu.
Ketika suatu konflik dalam pernikahan tidak terselesaikan maka akan teus
berkembang hingga mencapai titik krisis dari konflik tersebut. Suatu konflik dapat terjadi
secara bertahap hingga mencapai titik krisis nya jika tidak diselesaikan. Berdasarkan hierarki
konflik sebuah konflik dapat terjadi mulai dari ketika melakukan berbagai diskusi tentang
kegiatan sehari-hari hingga suatu krisis atau permasalahan yang lebih serius. 3 hal yang dapat
meicu konflik dengan tension level yang rendah dalam hierarki konflik adalah berbicara
tentang kegiatan sehari-hari, berdiskusi, dan menyampaikan perasaan masing-masing. Ketiga
hal tersebut pada umumnya merupakan alasan yang umum agar kedua pasangan dapat
semakin harmonis. Akan tetapi ketiga hal tersebut terkadang memicu terjadi konflik-konflik
kecil. Oleh karena itu ketiga hal tersebut dikatakan memiliki tension level yang rendah.
Selain itu ketiga hal tersebut juga tidak mingikutsertakan pembuatan keputusan sehingga
tekanan dalam membuat keputusan lebih rendah dimana hal tersebut juga membuat level
tegangan konflik rendah. Tahapan dalam hierarki konflik selanjutnya adalah tahapan dimana
tension level dari konflik lebih tinggi dari tiga hal sebelumnya dan membutuhkan decision
making. Jika keputusan yang harus dibuat tidak tercapai maka dapat menyebabkan suatu
permasalahan yang lebih serius yang harus di selesaikan, apabila tidak terselesaikan maka
akan menjadi semakin krisis dan semakin sulit untuk diselesaikan. Konflik-konflik yang
sampai pada tahap krisis inilah biasanya yang berakhir dengan pereraian. Ketika pasangan
mengahdapi situasi yang mengharuskan untuk membuat suatu keputusan. Maka segera
mungkin dibuat suatu keputusan yang tepat. Ketika situasi tersebut diabaikan dapat
menyebabkan suatu permasalahan, dan ketika permasalahan diaabaikan akan menyebabkan
krisis dalam hubungan. Ketika krisis terjadi permaslahan akan semakin sulit untuk
diselesaikan dan akan berakhir tidak baik (Olson, 2011, p132-134).
Salah satu hal yang memicu adanya konflik dalam rumah tangga selain decission
making adalah kemarahan. Banyak pasangan yang takut atau mewaspadai emosi negative
seperti kemarahan, kecemburuan, rasa sakit hati, dan perasaan membenci. Banyak juga
pasangan yang kesulitan mempelajari cara untuk mengatasi emosi-emosi negative tersebut.
Kebanyakan orang akan menekan emosi-emosi negatif tersebut dan berharap akan hilang
seiring waktu berjalan. Akan tetapi menekan emosi-emosi negatifa tidak akan
menyelesaikannya. Menurut prespektif psychology menekan emosi negatif dapat
menyebabkan stress terhadap individu dan tentunya akan berpengaruh terhadap hubungan
perkawinannya (Olson, 2011, p.134). Sebagai contoh, ketika ada seorang istri memiliki suami
yang tidak pernah mau membantunya dalam menyelesaikan tugas rumah tangga dengan
alasan lelah kerena sudah bekerja mencari uang. Pada awalnya mungkin sang istri selalu
membiarkannya dan menahan amarahnya agar tidak terjadi konflik. Tetapi semakin lama
ketika kebiasaan itu terus berlanjut dan amarah istri tidak bisa ditahan lagi justru akan
menimbulkan konflik yang lebih beresiko menuju krisis.
Banyak orang yang memilih untuk menghindari dan memendam emosi negatif karena
adanya asumsi tentang cinta adalah lawan dari kebencian. Sejatinya, cinta dan benci adalah
suatu perasaan yang intens, daripada dikatakan berlawanan, keduanya lebih seperti dua sisi
koin. Dalam artian benci dan cinta saling terhubung, begitupun marah dan benci juga saling
terhubung. Tidak jarang kita merasa marah kepada orang yang kita cintai. Rollo May (1969)
mengatakan bahwa benci dan cinta bukanlah suatu hal yang berlawanan tetapi mereka suatu
hal yang berjalan bersama (Olson, 2011, p.135).
Pasangan yang bertengkar bersama dan tetap tingggal bersama membuktikan bahwa
mereka tau bagaimana untuk bertengkar secara “benar”. Sedangkan pasangan yang tidak
pernah bertengkar dan tidak menyelesaikan permasalahan yang mereka alami justru menjadi
saling menjauh secara emotional (Olson, 2011, p.137). Dalam hubungan pernikahan cinta dan
pernikahan harus berjalan seimbang. Dalam setiap pernikahan terdapat dua dinamika yang
saling bertabrakan yaitu cinta yang akan membantu pasangan itu bersatu dan kemarahan yang
dapat membuat meraka berpisah. Kemarahan dapat menjadi emosi yang sehat dan membantu
pasangan untuk membentuk suatu hubungan yang interdependent. Ketika pasangan tidak
dapat menemukan cara yang membangun untuk menyampaikan kemarahan dapat membawa
mereka kepada perpisahan. Pada umumnya perceraian tidak disebabkan karena satu
kemarahan yang besar, tetapi kehilangan kedekatan yang brlangsung sedikit demi sedikti.
Dengan kata lain, takut akan kemarahan akan mnyebabkan ketidakterikatan dan
ketidakterikatan akan menyebabkan emotinonal divorce dimana pasangan perasaanya sudah
tidak terikat lagi. Emotional divorce sering sekali menyebabkan perceraian. Dalam hubungan
pernikahan yang sudah matang, kemarahan bukan lagi menjadi musuh tetapi sudah menjadi
teman bagi mereka. Pasangan pada pernikahan yang sudah matang bisa mengerti waktu dan
cara yang tepat untuk menyalurkan kemarahannya pada pasangan sehingga tidak berujung
konflik yang besar (Olson, 2011, p.138).
Bagaimana pasangan dapat mengatasi konflik adalah suatu faktor yang sangat penting
dalam membentuk suatu hubungan intim yang berkualitas. Strategi yang digunakan untuk
menyelasaikan suatu konflik juga memprediksi simtom kesehatan mental pada pasangan
(Papp, 2017, p.1). Terdapat beberapa saran untuk menyelesaikan konflik diantaranya adalah
pertengkaran yang adil. Pertengakaran yang dimaksudkan disini lebih mengarah kepada
pertengakaran secara verbal seperti perdebatan atau percecokan karena perbedaan pendapat.
Pertengkaran verbal adalah suati masalah yang serius dan harus dihadapi dengan hati-hati dan
sense yang bagus. Ketegangan dan kemarahan biasanya terjadi selama terjadinya
pertengkaran verbal ini dan jika tidak ditangani dengan tepat biasanya akan berujung pada
pertengkaran secara fisik. Orang harus mengobservasi kebiasaan yang pasti muncul ketika
mereka sedang berdebat. Mereka akan merasa lebih aman menyatakan ketidak setujuannya
ketika mereka tahu bahwa hal tersebut tidak akan menyebabkan lepas kontrol. Terdapat 16
peraturan dasar dalam pertengkaran yang adil yaitu sebgai berikut :
Saran kedua adalah, ketika pasangan menghadapi suatu konflik, disarankan untuk
tidak mengungkit permasalahan-permaslahan yang telah berlalu dan tidak hanya
menunjukkan emosi negatif saja. Selain itu ketika kita akan menyampaikan apa yang kita
rasakan dan apa yang kita pikirkan akan lebih baik untuk memilah-milah perkataan yang
akan kita sampaikan. Jika kita merasa apa yang kita pikirkan adalah halyang benar kita harus
bisa menunjukkan bukti dari perkataan kita. Dalam pertengkaran tidak jarang terjadi tahap
saling menyalahkan, apabila kita merasa kita memang memiliki salah kita harus mengakui
kesalahan kita. Mencari kesamaan dengan pasangan akan mengurangi ketegangan dalam
konflik. Kemenangan dari pertengkaran dalam masalah pernikahan adalah milik kedua
oraang. Kemenangan ini pada akhirnya akan meningkatkan kepercayaan dan kelekatan atar
pasangan (Olson, 2011, p. 143-147).
Resolusi konflik membutuhkan akomodasi dari berbagai emosi dan perilaku yang
beragam. Diantaranya adalah angry strategies yang ditandai dengan permusuhan verbal
maupun nonverbal, serangan secara personal, dan konflik pada level yang tinggi. Depressive
strategies, dikarakteristikan dengan adanya withdrawal, kesedihan, dan ketakutan.
Berlawanan degan Depressive strategies, konstruktif strategi membutuhkan komunikasi yang
rutin, demonstrasi dari dukungan dan kasih sayang, dan penyelesaian masalah dan resolusi
(Papp, 2017, p.3).
Canham, Sarah L, Mahmood, atiya, dkk. (2014). ‘Till Divorce Do Us Part: Marriage
Dissolution in Later Life. Journal of Divorce & Remarriage. 55. 591-612. DOI:
10.1080/10502556.2014.959097. Diakses dari http://www.tandfonline.com
Hidayat. (2018, 18 Juni). Melihat Tren Perceraian dan Dominasi Penyebab. Hukum Online.
Diakses dari https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b1fb923cb04f.
Olson, David H, DeFrain, Jhon, Skogard, Linda. (2011). Marriage and Families : Intimicy,
Diversity, and Strength (Seventh Edition). New York: McGraw-Hill.
Papp, Lauren M. (2017). Topic of Marital Confilct in the Everyday Lives of Empty Nest
Couples and Their Implication for Conflict Resolution. Journal od Couple &
Relationship. 1-18. DOI: 10.1080/15332691.2017.1302377. Diakses dari
http://dx.doi.org/10.1080/15332691.2017.1302377.
Tulane, Sarah, Skogrand, Linda,dkk. (2011). Couples in Great Marriage Who Considered
Divorcing. Mariage & Family review. 47. 289-310. DOI:
10.1080/01494929.2011.594215.
Whitton, Sarah W, Stanley, Scott M, dkk. (2013). Attitudes Toward Divorce, Commitment,
and Divorce Proneness in First Marriages and Remarriages. Journal of Marriage and
Family. 75. 276-287. DOI:10.1111/jomf.12008