Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang Masalah

Pernikahan merupakan bentuk hubungan antara laki-laki dewasa dan perempuan dewasa
yang diterima secara universal, pernikahan adalah dua orang atau lebih yang berkomitmen satu
sama lain dan saling berbagi intimasi, pendapatan, membuat keputusan, tanggung jawab dan
nilai-nilai (Olson & Defrain, 2000). Kualitas pernikahan dapat mempengaruhi berlangsusngnya
proses-proses lain dalam keluarga, mengingat hal-hal tersebut, pasangan menikah perlu didorong
untuk mengembangkan aspek-aspek yang dapat meningkatkan kualitas hubungan dan
pernikahan.
Terdapat beberapa tujuan orang menikah, menurut Atwatter (1983), alasan orang menikah
adalah untuk menemukan teman hidup atau Companionship, Companionship memberikan
pasangan yang menikah dengan emosional home base untuk melihat mereka melewati naikturunnya kehidupan, lalu tujuan yang kedua adalah untuk Kepuasan pribadi dan Growth yaitu
agar mereka bisa tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik, lalu yang ketiga adalah
Fleksibilitas dan Keterbukaan, bahwa mereka memiliki peran yang lebih fleksibel dan mereka
memiliki partner yang bisa diajak untuk sharing. Sedangkan Aron & Aron (1986) mengatakan
bahwa seseorang memasuki suatu hubungan karena mereka ingin mengembangkan diri mereka
melalui pengetahuan baru, kemampuan, ide dan lainnya atau disebut juga dengan self-expansion.
Selain dari beberapa alasan orang menikah, terdapat juga hal lain yang akan terbentuk setelah
pernikahan, yaitu keluarga.
Keluarga adalah awal perjalanan hidup manusia karena pada hakikatnya keluarga
merupakan sistem satuan terkecil dari sistem sosial keseluruhan. Berbagai tatanan kehidupan
yang ada di masyarakat terbentuk dari dalam keluarga seperti interaksi sosial, kerjasama,

komunikasi, pembagian tugas, hak dan kewajiban. Sedangkan menurut Murdock (1965) keluarga
merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal bersama, terdapat kerja sama
ekonomi, dan terjadi proses reprosuksi. Oleh karena itu, penting membentuk keluarga yang
harmonis melihat suasana keluarga yang baik merupakan aspek penting dalam pembentukan
msyarakat yang baik. Keluarga yang harmonis adalah keluarga yang bahagia dan sebaliknya.
Suasana keluarga yang harmonis akan menghasilkan masyarakat yang baik karena dari keluarga
individu belajar tentang kehidupan (Surya, 2001). Pada pasal 1 Undang-Undang Perkawinan
telah menjelaskan bahwa membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa merupakan tujuan dalam perkawinan (Walgito,2010)
Keluarga yang harmonis dan bahagia bisa dilihat dari kualitas hubungan pribadi, baik
inter atau keluarganya. hubungan yang baik membantu masing-masing pasangan bertumbuh
sebagai pribadi yang utuh. Seberapa cocok-pun dua orang, keterbukaan dan harapan-harapan
yang mereka miliki akan membawa perbedaan dan konflik. Orang-orang dalam hubungan
percintaan yang matang merasakan keinginan untuk bertumbuh dan mengembangkannya dalam
hubungan mereka. Mereka menerima perubahan dan keterlibatan pasangan mereka sebagai cara
untuk menumbuhkan dan memperkaya hubungan.

Maka dari itu perlunya pasangan untuk

mengembangkan aspek-aspek yang dapat meningkatkan kualitas hubungan mereka.


Karakterisitik hubungan yang baik menurut Lehmiller (2014) adalah Komunikasi yang
Positif, predictor terkuat suatu hubungaan berhasil atau gagal adalah rasio dari komentar positif
atau negative yang muncul selama interaksi, khususnya pasangan yang mengekspresikan
setidaknya lima komentar positif untuk setiap satu komen negative adalah yang paling mungkin
untuk bertahan, sedangkan pasangan yang lebih sering mengekspresikan komentar negative
cenderung cepat berpisah atau bercerai, yang kedua adalah Healthy Sexuality, komunikasi positif

selama terjadi konflik adalah salah satu faktor penting dalam hubungan yang sehat, hal ini sama
pentingnya komunikasi positif yang bisa membawa pasangan ke dalam kegiatan seksual, karena
pasangan yang mengkomunikasikan banyak tentang seks secara umum dan selama tindakan itu
sendiri cenderung lebih terpuaskan secara seksual (Babin dalam Lehmiller 2014).kunci untuk
komunikasi seksual yang efektif adalah Pertama, Dengarkan kebutuhan dan keinginan pasangan.
Kedua, Ekspesikan kebutuhan dan keinginan sendiri dengan jelas dan tidak ambigu. Ketiga,
Pertahankan percakapan yang positif dan tidak judgmental. Memiliki kekuatan komunal seksual
mungkin berarti sesekali pasangan bisa menyetujui seks bahkan ketika suasana hatinya tidak
cukup baik, atau mungkin memanjakan salah satu fantasi seksual pasangan anda, meskipun tidak
sebesar yang ada inginkan. Lalu salah satu ciri terakhir dari karakteristik hubungan yang baik
pemenuhan kebutuhan kedua pasangan untuk Self-expansion,

berdasarkan dari teori self-

expansion, manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk memperluas atau bertumbuh dari
waktu ke waktu. Faktanya, hanya dengan berada dalam suatu hubungan menyediakan beberapa
kadar dari expansion karena, dari waktu ke waktu, diri akan mulai untuk menggabungkan
karakteristik tertentu dari pasangan, bagaimanapun untuk mendapatkan kebutuhan selfexpansion dalam jangka panjang pasangan perlu untuk secara teratur berbagi pengalaman selfexpansion mereka. Maka pasangan perlu secara terus-menerus mengunjungi tempat yang baru
dan mencoba hal menarik yang berbeda. Ketika pasangan romantis hanya rutin tinggal di rumah
dan menonton televise, mereka gagal menemukan kebutuhan self-expansion mereka, dan resiko
perjalanan hubungan mereka akan menjadi membosankan. Sesuai dengan ide tersebut, penelitian
dalam hubungan pernikahan jangka panjang menemukan bahwa mereka yang terlibat dalam
aktifitas yang paling baru dan menarik bersama melaporkan memiliki lebih banyak perasaan
cinta yang kuat satu sama lain (Oleary et al, dalam Lehmiller 2014), ini menunjukkan bahwa

mungkin kita tidak harus menyerah dari gagasan gairah yang tidak mau mati; kita mungkin dapat
hidup melalui self-expansion. Maka ketika seseorang memasuki suatu hubungan, seseorang akan
berharap dia mendapatkan pengalaman, pengetahuan dan hal lainnya yang dapat membantunya
mengembangkan dirinya
(Sedikides, Campbell, Reeder, & Elliot, 1998 ).peneliti atribusi telah lama mengamati
bahwa orang memperluas self-serving bias yang dimaksudkan untuk melindungi dan
meningkatkan ego mereka sendiri untuk menutup yang lain, melindungi dan meningkatkan diri
pasangan mereka sebagai milik mereka. Penelitian terbaru menggunakan waktu reaksi dan
tindakan alokasi sumber daya lebih lanjut menunjukkan bahwa orang memperlakukan orang lain
dekat sebagai bagian dari diri mereka sendiri, bahkan menunjukkan kebingungan dalam
membedakan karakteristik pasangannya dari mereka sendiri (Aron, Aron, Tudor, & Nelson,
1991; Mashek, Aron, & Bencimono 2003).
Memenuhi keinginan untuk self-expansion dalam hubungan diharapkan dapat
meningkatkan daya tarik bagi pasangan (Aron & Aron, 1986), dan self-expansion yang cepat
diyakini menghasilkan daya tarik intens yang dialami sebagai gairah cinta. Tapi setelah pasangan
masuk dalam diri, peluang untuk ekspansi dalam hubungan menjadi berkurang, dan gairah cinta
diperkirakan akan turun meskipun salah satu dapat terus merasa dekat dengan pasangan (Aron,
Aron, & Smollan, 1992)
Aron, Paris, dan Aron (1995) telah mengamati bahwa orang menggambarkan diri mereka
lebih ekspansif hanya setelah jatuh '' cinta. '' Meskipun model self-expansion menawarkan
parsimonious account untuk tingkat tinggi terutama merasa bergairah di awal hubungan, ketika

kemungkinan self-expansion yang maksimal, ada sedikit data empiris yang secara langsung
menghubungkan pengamatan ini.
Survei mahasiswa mengungkapkan korelasi kuat antara self-expansion dilaporkan sendiri
dalam suatu hubungan dan perasaan cinta yang penuh gairah untuk pasangan romantis (Paniccia,
2011; Lembar, Paniccia, & Sandrick, 2012). Studi dari pasangan dewasa menemukan bahwa
kebosanan memprediksi kepuasan hubungan yang lebih rendah (Tsapelas, Aron, & Orbuch,
2009), sedangkan kegiatan yang berhubungan dengan expansion pasangan yang terlibat dalam
kegiatan yang baru dan menarik (yang dipercaya untuk mempromosikan self-expansion)
tampaknya meningkatkan kepuasan hubungan (yang berhubungan dengan gairah cinta, misalnya.
(Aron, Aron, Heyman, Norman, & McKenna, 2000; Carson , Carson, Gil, & Baucom, 2007;
Reissma).
Pasangan suami-istri dapat dikatakan berada dalam kualitas hubungan yang baik jika
pasangan juga memiliki self-expansion yang baik dan pasangan dapat mengembangkan dirinya
bersama dalam hubungan mereka.
Dion dan dion (dalam Matlin, 2008) menjelaskan dari hasil penelitian yang dilakukan
bahwa banyaknya peran yang dimiliki oleh perempuan setelah kawin mnyebabkan kepuasan
perkawinan menjadi berkurang. Swarsi, dkk (1986) menjelaskan bahwa setelah melangsungkan
perkawinan istri perlu menyiapkan mental karena mereka akan berpisah dengan orang tua
maupun kerabat dekatnya. Istri kemudian masuk ke dalam lingkungan baru yaitu nuclear family
suami dengan berbagai macam kondisi dan orang-orang yang cukup heterogen. Pada beberapa
negara dengan ikatan keluarga besarnya masih cukup kuat, pengaruh keluarga besar dapat
berperan besar dalam pernikahan pasangan. Masalah muncul saat suami-istri yang saling

memasuki lingkungan keluarga baru dan mulai belajar untuk berinteraksi dengan mertua, ipar,
kakek, dan nenek atau yang disebeut juga dengan extended family, yang biasanya terdapat dalam
masyarakat yang memandang pentingnya hubungan kekerabatan. Hubungan pernikahan berada
dalam posisi sekunder dibanding hubungan dengan orang tua, penekanan terhadap pentingnya
extended family menjadikan kewajiban terhadap keluarga berada di atas kewajiban terhadap diri
sendiri atau pasangan.
Self-expansion yang baik akan terasa sulit didapatkan bagi istri yang pada akhirnya harus
tinggal bersama nuclear family suami (keluarga besar). Istri tidak hanya harus menyesuaikan diri
dengan suami tetapi juga harus menyesuaikan diri dengan nuclear family dari keluarga suami
seperti mertua, saudara ipar, kakek dan nenek. Bentuk pernikahan dengan nuclear family masih
berlaku terutama pada masyarakat yang masih menganut sistem patrilineal, Bali merupakan salah
satu daerah yang masih menganut sistem patrilineal. Perempuan bali yang telah melangsungkan
pernikahan dan belum mampu memiliki rumaha sendiri diwajibkan untuk menetap atau tinggal
di nuclear family pihak suami dalam satu atap atau pekarangan yang biasanya terdiri dari mertua
dan ipar. Pada masyarakat Bali juga terdapat pasangan suami istri yang memilih untuk tidak
tinggal dengan extended family dari pihak suami maupun istri, tetapi pasangan suami istri
berusaha mencari tempat tinggal sendiri. Perkawinan ini dikenal oleh masyarakat Bali sebagai
nuclear family atau keluarga inti. Istri yang tinggal di dalam nuclear family tetap harus berusaha
meningkatkan kualitas hubungannya dengan pasangan, pasangan suami-istri yang tinggal dalam
keluarga inti tidak berarti bahwa mereka terlepas dari tanggung jawab untuk meningkatkan
kualitas

hubungan

mereka,

mengembangkan

meningkatkan kualitas hubungan mereka

self-expansiom

tetap

diperlukan

untuk

Pada perempuan Bali yang sudah melangsungkan pernikahan dan tinggal dalam extended
family ataupun juga nuclear family memiliki peran-peran yang tidak sedikit da wajib untuk
dilksanakan. Peran-peran tersebut terbagi menajdi dua yaitu peran domestic dan peran di
masyarakat. Adapun peran domestic di Bali meliputi mengatur peralatan rumah tangga,
memasak, menata ruangan, mencuci, menyapu, mengasuh dan mendidik anak-anak. Peran
perempuan Bali dalam kegiatan sosial keagamaan atau adat di masyarakat meliputi sajen untuk
upacara, gotong royong dan tolong menolong (Arsana, dkk., 1986)
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas peneliti ingin mengetahui tentang perbedaan
self-expansion pada istri yang tinggal dengan extended family dan nuclear family. Penelitian ini
akan dilakukan di Denpasar, mengingat Denpasar sebagai pusat kota di Provinsi Bali, yang
tentunya memiliki karakteristik masyarakat yang beragam dalam hal pendidikan dan pekerjaan,
mulai dari para pendatang dari daerah-daerah di Bali di luar Kota Denpasar yang merantau untuk
bekerja, sekolah ataupun lainnya di Denpasar sehingga mengharuskan mereka meninggalkan
keluarga besar mereka di daerah asalnya, lalu tinggal dengan keluarga inti di Denpasar, meskipun
begitu di Denpasar juga masih terdapat keluarga yang tinggal dengan keluarga besar. Dengan
beragam karakteristik masyarakat di Kota Denpasar diharapkan hasil yang ditemukan dari
penelitian ini akan lebih bervariasi.

Anda mungkin juga menyukai