SUMMARY
“PSIKOLOGI PERKAWINAN”
1. Pengantar Psikologi Perkawinan
A. Definisi Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria & wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga yg bahagia & kekal berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa (UU Perkawinan No. 1 th 1974) Perkawinan adalah komitmen emosional &
hukum dari 2 orang untuk membagi kedekatan emosional & fisik, berbagi bermacam
tugas & sumber2 ekonomi (Olson and deFrain, 2006). Perkawinan adl suatu hubungan
antara pria & wanita yang diakui secara sosial, menyediakan hubungan seksual &
pengasuhan anak yg sah, dan di dalamnya terjadi pembagian hubungan kerja yang jelas
bagi masing-masing pihak (suami & istri) (Duvall dan Miller , 1985)
Maka secara garis besar, perkawinan merupakan penyatuan dua orang (pria dan wanita)
dalam satu ikatan pernikahan yang diakui secara hukum dan social, yang mana bertujuan
untuk membentuk sebuah keluarga yang sah dan di dalamnya mengandung kelekatan
emosional dan komitmen untuk bersama serta tanggung jawab peran masing-masing
pihak serta.
B. Tujuan Perkawinan
Perkawinan dilakukan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
dengan dasar Ketuhanan yang Maha Esa serta menjadikan keluarga yang di dalamnya
tidak terdapat goncangan atau pertengkaran yang tidak berarti demi mewujudkan
keluarga yang bahagia.
C. Conflict Theory
~pendahuluan : mengasumsikan bahwa individu-individu dalam pernikahan dan
keluarga berada dalam konflik satu sama lain. Karena merupakan individu yang
berbeda. Perbedaan-perbedaan dalam individu ini biasanya yang akan menimbulkan
konflik.
Namun konflik tidak selalu berdampak negative, sepanjang keluarga dapat memilih
cara-cara yang konstruktif dan mengedepankan kepentingan bersama. Apabila
keluarga menggunakan cara-cara yang destruktif, nantinya malah akan berujung
perpecahan dalam keluarga.
Dalam emmecahkan konflik, terdapat empat sumber penting kekuasaan yaitu :
legitimasi, uang, paksaan fisik, dan cinta.
D. Feminist Perspective
~memberikan fokus orientasi untuk mempertimbangkan perbedaan gender yang
berkaitan dengan masalah keluarga dan sosial.
Perhatian pada gender mengarah pada studi laki-laki, bidang di mana para ahli
meneliti bagaimana maskulinitas dan sosialisasi laki-laki membentuk pengalaman
laki-laki, termasuk kehidupan keluarga mereka.
4. Tahapan Perkawinan
Tahapan perkawinan berdasarkan teori Dawn Lipthrott, LCSW (Konselor pasangan atau
pernikahan di Florida, Amerika Serikat)
1. Tahap Pertama : Romantic Love
Tahap di mana pasangan baru saja menikah, Biasanya pasangan merasakan gelora
cinta yang menggebu-gebu. Biasanya disebut sebagai fase honeymoon atau bulan
madu. Pada tahapan ini pasangan kebanyakan melakukan aktivitas secara
bersama-sama dalam situasi yang romantic dan penuh cinta.
2. Tahap Kedua : Dissappointment atau Distress
Pada tahapan ini, pasangan mulai saling menyalahkan, memiliki rasa amarah dan
kekecewaan terhadap pasangannya. Masing-masing pihak akan berusaha untuk
menang atau lebih benar daripada pasangannya.
Ada kalanya, ketika dalam tahapan ini, salah satu nya memilih untuk mengalihkan
perasaan stress nya dengan mencurahkan perhatiannya kepada pekerjaan, anak
atau hal lainnya ketimbang memikirkan hubungan pernikahannya, sesuai dengan
minat dan kebutuhan masing-masing.
Menurut dawn, pasangan yang dalam tahap ini dapat membawanya kedalam
situasi yang sudah tidak tertahankan lagi bagi masing-masing pihak. Sehingga
tidak jarang memilih untuk berpisah dengan pasangannya.
Beberapa persoalan umum yang muncul dalam tahapan ini adalah pembagian
peran antara suami dan istri dalam keluarga, munculnya konflik karena perbedaan
pribadi, munculnya kembali kebutuhan untuk dekat dengan teman dan keluarga
besar, dan lainnya. Sehingga pasangan suami istri dituntut untuk dapat mengelola
perbedaan, serta menangani pertengkaran-pertengkaran kecil maupun besar
karena pertimbangan- pertimbangan pribadi mulai bermunculan dengan cara
fokus untuk mencari solusi bukan dengan menekankan pada kegelisahan sampai
meledak menjadi kemarahan. Harus mampu untuk bernegosiasi dan
bermusyawarah untuk membantu pasangan menyelesaikan konflik dengan baik.
3. Tahap Kebutuhan Pribadi (3-4 tahun)
Di tahapan ini, kebutuhan pribadi mulai terasa semakin kuat. Tantangan khas
pada tahap ini adalah menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi nya
dengan kebutuhuan keluarga.
4. Tahap Kolaborasi (tahun ke 5-14)
Karena sudah merasa yakin dengan komitmen kepada pasangan, suami/istri
biasanya menjadi pribadi yang mengalami kemajuan dalam bidang-bidang hidup
lainnya. Suami/istri sudah menemukan cara untuk bekerjasama dan memberikan
dukungan kepada pasangannya. Tantangan yang muncul adalah bagaimana tetap
berbesar hati untuk tidak saling mengungkung, dan terus menjalin komunikasi
yang baik agar jarak antara kedua pihak tidak semakin melebar.
5. Tahap Penyesuaian (tahun ke 15-24)
Di tahap ini, pasangan suami-istri sibuk untuk menyesuaikan diri dengan
tantangan hidup yang baru. Biasanya suami/istri sudah menerima pasangan apa
adanya, dan sudah menemukan cara menghadapi halhal yang tidak disukai dari
pasangannya. Di masa ini, pasangan sudah melalui banyak persoalan hidup
bersama-sama. Namun di sisi lain, hal ini seringkali memunculkan persoalan
baru, yakni saling menggampangkan dan saling menuntut. Tantangan tahap ini
adalah memahami bahwa kehidupan membawa telah banyak perubahan bagi
kedua pasangan. Suami/ istri perlu menghindari sikap merasa benar sendiri dan
merasa paling tahu situasi. Untuk itu diperlukan keterampilan menjadi pendengar
yang baik.
6. Tahap Pembaruan (tahun 25 keatas)
Banyak pasangan lanjut usia yang menunjukkan kedekatan emosi yang kuat, dan
hubungan yang romantis. Ini terjadi karena setelah 25 tahun, pasangan suami-istri
sudah menjalani manis-pahitnya kehidupan perkawinan bersama-sama. Mereka
menemukan kembali rasa bahagia karena memiliki cinta yang teruji dan pasangan
jiwa yang bisa diandalkan. Tantangan di masa ini adalah menjaga kesabaran
dalam menghadapi pasangan. Kadangkala kebiasaankebiasaan lama di masa muda
muncul kembali, dan ini menimbulkan ketegangan di antara pasangan.
Ketegangan ini perlu dikelola dengan baik dengan mengingat komitmen dan
kedekatan emosi.