Anda di halaman 1dari 8

Nama : Krisman Rela Menanti Gea

NIM : 1905112569
Prodi : Pendidikan Masyarakat
Mata Kuliah : Pendidikan Informal
Dosen Pengampu : Drs. Jasfar Jas, M.Pd
Ria Rizkia Alvi, M.Pd

Ringkasan Materi Psikologi Keluarga

1. Keluarga sebagai sistem

Sistem merupakan kumpulan dari beberapa bagian fungsional yang saling


berhubungan dan tergantung satu dengan yang lain dalam waktu tertentu untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Keluarga sebagai sistem mempunyai sub-
sistem yaitu anggota, fungsi, peran, aturan, budaya, dan lainnya yang dipelajari
dan dipertahankan dalam kehidupan keluarga. Adanya keterkaitan hubungan dan
ketergantungan antar sub-sistem yang merupakan unit (bagian) terkecil dari
masyarakat dapat memengaruhi suprasistemnya.

2. Defenisi Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah suatu
atap dalam keadaan saling ketergantungan.

Menurut Fitzpatrick (2004) dalam Lestari (2012), definisi tentang keluarga


setidaknya dapat ditinjau berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu:

1. Definisi struktural

Keluarga didefinisikan berdasarkan keberadaan atau ketidakberadaan anggota


keluarga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan
pada isi dari keluarga sebagai asal usul (families of origin), keluarga sebagai
tempat melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih
(extended family).
2. Definisi fungsional

Keluarga didefinisikan melalui peran dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi


tersebut mencakup perawatan, sosialisasi, dukungan emosi dan materi, maupun
pemenuhan peran-peran tertentu.

3. Definisi intersaksional

Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang memiliki rasa kedekatan satu sama
lain dengan adanya rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan
emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan. Definisi ini
memfokuskankeluarga dalam melaksanakan fungsinya.

Menurut Patterson (1995) dalam Wong (2008), keluarga menurut pasien adalah
hal yang terpenting mengenai apa yang mereka anggap atau pikirkan sebagai
keluarga. Emosi yang saling terkait, sering kali menghasilkan beberapa
perkembangan konsep baru tentang keluarga. Berdasarkan teori perkembangan
menurut Duvall (1985) dalam Friedman (1998; 2002), salah satu tahap
perkembangan keluarga yaitu tahap VIII (keluarga lansia) dimana pada tahap ini
terjadilah pergeseran peran bekerja menjadi masa senggang dan persiapan pensiun
ataupun pensiun penuh. Pemeliharaan fungsi pasangan dan fungsi individu yang
beradaptasi dengan proses penuaan juga termasuk lanjutan dalam tahap
perkembangan VIII. Halinilah yang menjadikan individu mempersiapkan diri
untuk menghadapi kehilangan pasangan hidup, saudara kandung ataupun teman
sebaya dan menghadapi kematian

3. Struktur Keluarga

Struktur keluarga dalam melaksanakan fungsi menggambarkan bentuk keluarga


dalam masyarakat. Menurut Parad dan Caplan (1965) yang diadopsi Friedman
(1998; 2002), ada empat elemen struktur keluarga, yaitu:

1. Struktur peran keluarga, menggambarkan peran masing-masing anggota


keluarga dalam keluarga sendiri (formal) dan perannya di lingkungan
masyarakat(informal).
2. Nilai atau norma keluarga, menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan
diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.

3. Pola komunikasi keluarga, menggambarkan bagaimana cara dan pola


komunikasi anggota keluarga.

4. Struktur kekuatan keluarga, menggambarkan kemampuan anggota keluarga


untuk memengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku yang
mendukung kesehatan.

Berdasarkan keempat elemen dalam struktur keluarga, menurut Leslie&Korman


(1989) dalam Suprajitno (2003) diasumsikan bahwa:

1. Keluarga merupakan sistem sosial yang memiliki fungsi sendiri.

2. Keluarga merupakan sistem sosial yang mampu menyelesaikan masalah


individu dan lingkungannya.

3. Keluarga merupakan suatu kelompok kecil yang dapat memengaruhi kelompok


lain.

4. Perilaku individu yang ditampakkan merupakan gambaran dari nilai dan norma
yang berlaku dalam keluarga.

Selain itu, berdasarkan tipe keberadaan, keluarga dapat dibagi menjadi keluarga
inti (nuclear family) dan keluarga besar (extended family). Menurut Lee (1982)
dalam Lestari (2012), keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya
terdapat tiga posisi sosial, yaitu suami ayah, istri-ibu, dan anak-sibling. Keluarga
inti yang ditambah dengan anggota keluarga lain (kakek-nenek, pamanbibi,
ataupun hubungan orang tua-anak dan saudara yang dapat bersifat biologis, tiri,
adopsi atau asuh) disebut keluarga besar. Dalam keluarga inti maupun keluarga
besar, hubungan setiap komponen bersifat saling membutuhkan dan mendukung
layaknya persahabatan.
4. Fungsi Keluarga

Keluarga sejahtera dapat dicapai apabila setiap keluarga menerapkan fungsi-


fungsi yang menjadi prasyarat, acuan dan pola hidup setiap keluarga, dalam upaya
membangun kehidupan keluarga yang berkualitas. Secara umum fungsi keluarga
(Friedman, 1998; 2002) adalah sebagai berikut:

1. Fungsi afektif (the affective function) adalah fungsi keluarga yang utama untuk
mengajarkan segala sesuatu dalam mempersiapkan anggota keluarga berhubungan
dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan dalam perkembangan individu dan
psikososial anggota keluarga.

2. Fungsi sosialisasi dan tempat bersosialisasi (socialization and social placement


function) adalah fungsi keluarga dalam mengembangkan dan melatih
berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan
orang lain di luar rumah.

3. Fungsi reproduksi (the reproductive function) adalah fungsi untuk


mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

4. Fungsi ekonomi (the economic function), yaitu keluarga berfungsi dalam


memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan
kemampuan individu dalam meningkatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan
keluarga.

5. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan (the health care function), yaitu


fungsi keluarga dalam mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar
tetap memiliki produktivitas yang tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas
keluarga di bidang kesehatan. Di Indonesia, berdasarkan UU No. 10 tahun 1992 jo
PP No. 21 tahun 1994, fungsi keluarga dengan bentuk operasional yang dapat
dilakukan terbagi menjadi:

1. Fungsi keagamaan, mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana


pembinaan kehidupan beragama yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME.
Setiap hal yang dilakukan hendaknya sesuai dengan tuntutan agama yang dianut,
serta membina rasa, sikap, dan praktik kehidupan keluarga beragama.

2. Fungsi sosial budaya, mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana


pembinaan dan persemaian nilai-nilai luhur budaya, termasuk normanorma dan
budaya masyarakat/bangsa, yang menjadi panutan agar tetap dapat dipertahankan
dan dipelihara.

3. Fungsi cinta kasih, mempunyai makna bahwa keluarga menjadi tempat untuk
menciptakan suasana cinta dan kasih sayang dalam kehidupan yang akan
menumbuhkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap keharmonisan keluarga
dalam kehidupan bermasyarakat.

4. Fungsi perlindungan, mempunyai makna bahwa keluarga adalah wahana


terciptanya suasana aman, nyaman, damai dan adil bagi seluruh anggota keluarga.

5. Fungsi reproduksi, mempunyai makna bahwa keluarga menjadi tempat


penerapan cara hidup sehat melalui pemahaman dan pengetahuan cara hidup sehat
serta kesehatan reproduksi.

6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan, mempunyai makna bahwa keluarga adalah


wahana terbaik dalam proses menyadari, merencanakan, menciptakan dan
merupakan fondasi pendidikan dan sosialisasi dalam keluarga.

7. Fungsi ekonomi, mempunyai makna bahwa keluarga tempat membina kualitas


kehidupan ekonomi dan kesejahteraan keluarga.

8. Fungsi pembinaan lingkungan, mempunyai makna bahwa keluarga adalah


menciptakan anggota keluarga yang mampu hidup harmonis dengan antar anggota
keluarga, lingkungan masyarakat sekitar dan alam.

5. Relasi Dalam Keluarga


a. Hubungan Suami dan Istri

Dalam perkembangan sejarah, hubungan antar suami-istri pada kelas menengah


berubah dari hubungan yang ada pada keluarga yang institusional ke hubungan
yang ada pada keluarga yang companionship (Burges dan Locke, 1960).
Hubungan antar suami-istri pada keluarga yang institusional ditentukan oleh
faktor-faktor di luar keluarga seperti adat, pendapat umum dan hukum. Baru
kemudian dalam perkembangan selanjutnya, pengaruh faktor-faktor tersebut mulai
berkurang. Hubungan antar suami-istri lebih didasarkan atas pengertian dan kasih
sayang timbal balik serta kesepakatan mereka berdua. Duvall (1967) menyebut
pola hubungan suami-istri dalam keluarga yang institusional sebagai pola yang
otoriter, sedangkan pola hubungan suami-istri dalam keluarga yang
companionship sebagai pola yang demokratis. Perubahan tersebut terjadi karena
adanya perubahan sosial dalam masyarakat dan keluarga menyesuaikan diri
dengan perubahan yang ada. Dengan begitu keluarga bisa tetap bertahan. Pola
hubungan yang otoriter menunjukkan pola hubungan yang kaku. Sebaliknya,
dalam pola yang demokratis hubungan suami-istri menjadi lebih lentur. Pada pola
yang kaku, seorang istri yang baik adalah istri yang melayani suami dan
anakanaknya. Sedangkan pada pola yang lentur, istri yang baik adalah pribadi
yang melihat dirinya sebagai pribadi yang berkembang terus.

b. Hubungan Orang Tua – Anak

Studi tentang hubungan orang tua – anak biasanya hanya membahas fungsi anak
terhadap orang tua dan bukan sebaliknya. Fungsi orang tua terhadap anak
dianggap sudah seharusnya berlangsung karena orang tua bertanggungjawab atas
anak-anak mereka. Padahal tidak sedikit bantuan yang diberikan oleh orang tua
meskipun anak seharusnya sudah bisa menghidupi diri mereka sendiri. Bantuan
yang diberikan oleh orang tua misalnya, memberi tumpangan tempat tinggal pada
anak mereka yang sudah dewasa termasuk mereka yang sudah menikah. Berbeda
dengan di negara Barat, di mana pada umur 18 tahun biasanya anak sudah
meninggalkan rumah orang tua, di Indonesia anak biasanya masih tinggal bersama
dengan orang tua sampai mereka menikah. Bila setelah menikah mereka belum
mendapatkan rumah, biasanya orang tua juga mengizinkan anak, mantu dan
bahkan cucu untuk tinggal bersama-sama. Sehingga kini dikenal dengan istilah
tinggal di “pondok mertua indah”.
Orang tua juga biasanya membiayai sekolah anak sampai ke perguruan tinggi.
Tidak jarang orang tua juga memberi bantuan keuangan pada anak mereka yang
sudah menikah tetapi belum mempunyai penghasilan yang cukup. Lewis (1990)
mengutip beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pada usia menengah
(middle age), orang tua memberi banyak bantuan pada anak mereka yang sudah
menikah. Banyak bantuan diberikan dalam bentuk hadiah, khususnya anak
perempuan, sehingga peran menantu pria tidak dilecehkan. Bantuan seperti ini
memang diharapkan karena orang tua mampu menolong secara finansial pada usia
menengah dalam daur hidup mereka. Pada usia menengah biasanya orang tua
berada pada puncak karir mereka, sementara anak mereka yang baru menikah
umumnya baru merintis karir.

Orang tua juga biasanya menjadi tempat penitipan cucu. Dengan makin banyaknya
wanita bekerja di luar rumah, dan semakin sulitnya mencari pembantu yang
mengurus anak, cucu biasanya dititipkan ke rumah kakek dan nenek mereka.

c. Hubungan Antar Saudara (Siblings)

Berbeda dengan hubungan antara suami-istri dan orang tua – anak, hubungan antar
saudara lebih jarang dibahas dalam literatur tentang keluarga. Adanya pandangan
bahwa kontak yang lebih sering antara anak dewasa dan orang tua mereka, bisa
disebut sebagai penyebabnya (Adams, 1971). Padahal, secara potensial hubungan
antar manusia yang lain, karena hubungan antar saudara terjadi sejak seorang adik
dilahirkan sampai salah satu dari mereka meninggal (Cicirelli, 1980). Kebanyakan
penelitian tentang saudara (siblings) berkaitan dengan masa kanak-kanak atau usia
lanjut (lee, Mancini dan Maxwell, 1990). Hubungan antar saudara bisa
dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah, jarak kelahiran, rasio saudara laki
terhadap saudara perempuan, umur orang tua pada saat mempunyai anak pertama,
dan umur anak mereka keluar dari rumah (Schvaneveldt dan Ihinger, 1979).
Kedekatan emosi, harapan akan adanya tanggung jawab saudara, dan konflik antar
saudara (siblings), dianggap sebagai faktor yang penting dalam interaksi antar
mereka (Lee, Mancini dan Maxwell, 1990). Kedekatan emosi termasuk adanya
rasa ingin berbagai pengalaman, kepercayaan, perhatian, dan perasaan senang
dalam hubungan tersebut. Scott (1990) mengutip beberapa penelitian yang
menemukan bahwa secara emosi hubungan antar saudara baik laki-laki maupun
perempuan pada usia lanjut lebih erat dibandingkan ketika mereka masih pada usia
sebelumnya. Lebih besarnya kebutuhan pada usia lanjut, perasaan yang kuat
sebagai keluarga, perubahan persepsi karena perbedaan usia, adalah beberapa
alasan yang bisa disebutkan untuk membedakan kedekatan emosi tersebut. Pada
masa usia lanjut, saudara penting untuk saling memberikan dukungan dan
perhatian.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kedekatan hubungan antar saudara adalah
kompisisi gender. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa hubungan antar dua
(dyad) saudara wanita di usia lanjut lebih kuat dibandingkan dengan hubungan
antar dua (dyad) saudara pria. Bahkan hubungan (dyad) yang mengandung unsur
satu saudara wanita akan lebih kuat daripada hubungan (dyad) antar saudara pria
saja (Scott, 1990). Lebih kuatnya hubungan pada saudara wanita dibanding
saudara pria bisa didasarkan atas asumsi bahwa wanita diharapkan untuk lebih
memperhatikan masalah-masalah yang ada dalam keluarga, termasuk merawat
anak, melayani suami, merawat orang tua mereka yang sudah lanjut usia, dan juga
menjaga hubungan dengan saudara mereka.

Harapan terhadap wanita untuk membina hubungan dengan anggota keluarga


sudah ditanamkan sejak kecil. Kaum pria dianggap orang yang berorientasi pada
pekerjaan, mampu mengendalikan diri, dan siap terjun ke dalam dunia yang sangat
kompetitif. Sehingga pria umumnya tidak mampu menunjukkan emosinya dan
takut emosinya terluka. Oleh karena itu lebih sulit bagi mereka untuk membina
hubungan yang mendalam dengan orang lain, khususnya dengan sesama pria
karena biasanya hubungan antar pria dibangun atas dasar kompetisi (Keadilan,
1993).

Anda mungkin juga menyukai