Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A.

LATAR BELAKANG
Identitas perempuan selama ini telah dipersepsikan perempuan sebagai

seorang ibu. Hal ini sangat berkebalikan apabila perempuan tersebut tidak dapat
menjadi ibu. Pada umumnya, alasan perempuan menikah adalah karena didasari
dorongan untuk menjadi ibu (sifat keibuan). Donelson menjelaskan bahwa
menjadi ibu adalah pencapaian utama seorang perempuan. Hal ini ditunjukkan
dengan data penelitian yang membuktikan bahwa kebanyakan perempuan ingin
menikah disasari karena adanya perasaan cinta dan didorong oleh keinginan untuk
memperoleh keturunan dari orang yang dicintai nya. Studi lain mengenai ibu-ibu
rumah tangga di Amerika menunjukkan menjadi ibu merupakan sumber kepuasan
dan kehidupan dalam kehidupan mereka (Ulfah, S. M, & Mulyana, O. P. 2014. 1).
Dalam kehidupan budaya di Indonesia nilai anak memang masih memiliki
arti yang begitu penting. Ketiadaan anak dalam perkawinan pada waktu lama akan
menjadi masalah, karena adanya keyakinan keadaan ini akan mengancam
keutuhan rumah tangga. Masalah seperti ini sering disebut infertilitas tidak hanya
menyangkut kesehatan fisik semata-mata, tetapi juga berdampak psikologis dan
sosial bagi pasangan yang mengalaminya.
Melihat kondisi seperti ini harus segera diatasi, karena tekanan jiwa atau
emosi yang berkelanjutan bisa menurunkan kesuburan pasangan, sehingga
semakin tertekan jiwanya semakin sulit untuk mendapatkan keturunan. Tertekan
jiwa pada istri akan menyebabkan terganggunya ovulasi, sel telur tidak bisa atau
jarang bereproduksi.
Hasil penelitian Olson dan DeFrain menunjukkan bahwa beberapa
pasangan mampu menjaga hubungan pernikahan mereka, sementara lainnya yang
tidak memiliki anak menjadi kurang saling mencintai dan lebih sering terjadi
konflik. Baik konflik dengan suami maupun anggota keluarga lainnya. Westoff,
Potter, dan Sagi menjelaskan lebih lanjut bahwa usia pernikahan lebih dari tiga
thun merupakan usia yang paling diinginkan untuk memiliki anak pada pasangan
suami istri. Hal ini didukung oleh Smolak yang menyatakan bahwa pasangan
1

suami istri akan mengalami tekanan akan ketidakhadiran anak. Ketika usia
pernikahan mencapai usia tiga tahun, sedangkan Callan menjelaskan bahwa
perempuan yang tidak memiliki anak selama lima tahun pertama dalam kehidupan
pernikahannya memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah dan berpikir hidupnya
kurang menarik, kosong, dan kurang bermakna dibandingkan dengan wanita yang
memiliki anak (Ulfah, S. M, & Mulyana, O. P. 2014. 2).
Infertilitas merupakan suatu masalah yang cukup sensitif bagi pasangan
suami istri yang sulit mempunyai anak. Bahkan ada beberapa kasus berujung
perceraian karena masalah ini (Sari. 2013. 103).
Saraswati, A. (2015. 5) kegagalan pasangan suami istri (pasutri) dalam
memperoleh keturunan, disebabkan oleh masalah pria atau wanita. 40 persen
kesulitan mempunyai anak terdapat pada wanita, 40 persen pada pria, dan 30
persen pada keduanya. Anggapan bahwa kaum wanitalah yang lebih bertanggung
jawab terhadap kesulitan mendapatkan anak adalah kurang tepat. WHO juga
memperkirakan sekitar 50-80 juta pasutri (1-7 pasangan) memiliki masalah
infertilitas, dan setiap tahun muncul sekitar 2 juta pasangan infertil.
Ratna, J. M. J. (2000. 303) studi ini memeriksa 77 pasutri tak subur, yang
memeriksakan diri ke klinik infertil RSUD Dr. Soetomo, cara-cara pasutri tersebut
mengatasi stress setelah didiagnosis infertil dan selama masa menanti mereka
harus membuat putusan bagaimana menghadapi masalahnya. Mereka mengisi
Ways of Coping Quastionnaire, State-Trait Anxiety Inventory (Form Y), dan Beck
Depression Inventory.
Para subjek menggunakan strategi-strategi adaktif dan problem-focused
setelah didiagnosis infertil. Strategi coping mereka ternyata berinteraksi dengan
faktor-faktor penyebab dan gender, dan selanjutnya terkait tingkat kecemasan dan
depresi. Faktor-faktor lain yang berperan terhadap hasil adalah krisis-krisis
kehidupan yang lain, lamanya menikah, dan usia, latar belakang pendidikan, nilainilai dan agama individu, perawatan yang dianjurkan, dan cara-cara penyampaian
diagnosis.
Eka, A. (2010) kecemasan adalah gangguan dalam perasaan yang ditandai
dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan.
Tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian masih tetap utuh,
perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal. Infertilitas adalah
2

pasangan yang menjalani hubungan seksual secara teratur tanpa perlindungan


selama 12 bulan dan tidak terjadi kehamilan.
Hasil penelitian menunjukkan mayoritas umur suami 26-30 tahun dan
umur istri 26-30 tahun yang mengalami kecemasan, pendidikan suami S1 yaitu 19
(57%) istri S1 sebanyak 16 (48%), suami pekerja wiraswasta 16 (48%) dan istri
PNS sebanyak 13 (39%), pada lama menikah yaitu 1-2 tahun yaitu 7 (21%), suami
suku jawa (11%) dan istri suka jawa sebanyak 12 (40%). Umur suami 26-30 dan
umur 31-35 tahun tingkat kecemasan ringan yaitu 11 (33%) dan umur istri 26-30
tingkat kecemasan ringan yaitu 19 (57%) suami S1 kecemasan ringan 20 (60%)
dan istri S1 tingkat kecemasan sedang 13 responden (39%), suami pekerja
wiraswasta kecemasan ringan 16 (48%) dan istri PNS 13 (43,3%) lama menikah
1-2 tahun tingkat kecemasan ringan yaitu sebanyak 14 responden (42%), suami
suku jawa mengalami tingkat kecemasan ringan sebanyak 12 (36%) dan istri suku
jawa

yang

mengalami

kecemasan

ringan

11

responden

(33%).

http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19232
Saraswati, A. (2015. 6) menyatakan infertilitas pada wanita dapat
disebabkan oleh infeksi vagina, kelainan serviks, sumbatan di tuba fallopii, dan
masalah ovarium. Sedangkan penyebab infertilitas sekuder, yaitu faktor usia,
masalah reproduksi dan faktor gaya hidup.
Palupi, S. (2012. 105) menambahkan secara psikologis, perubahan pada
wanita karena usia terjadi karena produksi estrogen di indung telur tiba-tiba
berhenti. Perasaan rasa cemas dan mudah berkeringat. Perubahan karena usia ini
ditandai dengan menurunnya produksi hormon, menstruasi tidak teratur, dan
keadaan fertilitas diganti dengan infertilitas.
Sholevar, G. P. dan Schwoeri, L. D. (2003. 427) Behavioral Couples
Therapy (BCT) mengarah pada berbagai teori dan teknik yang berdasarkan pada
prinsip pembelajaran diri (operant) dan pembelajaran sosial dalam mengevaluasi
dan mengatasi transaksi perkawinan dan gangguan perkawinan. Penekanan utama
dari analisis perilaku ini ada empat jenis dasar perilaku. Dua jenis penguatan
(reinforcements)

yaitu

meningkatkan

dan

mempertahankan

kemungkinan

tanggapan (perilaku) yang mereka ikuti. Dua jenis lainnya adalah hukuman
(punishment) yang mengurangi kemungkinan perilaku mereka. Pendekatan ini
3

berfokus pada perubahan perilaku yang konkrit untuk memaksimalkan interaksi


pada kedua pasangan suami istri untuk menemukan kepuasan yang subjektif.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk meneliti efektivitas
Behavioral Couples Therapy (BCT) sebagai upaya untuk mengurangi kecemasan
pada perempuan yang mengalami infertilitas.
B.

PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahnnya

oleh peneliti yaitu Apakah ada efektivitas Behavioral Couples Therapy (BCT)
sebagai upaya untuk mengurangi kecemasan pada perempuan yang mengalami
infertilitas?
C.

TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui apakah Behavioral Couples Therapy (BCT) efektif untuk
mengurangi kecemasan pada perempuan yang mengalami infertilitas.
2. Menerapkan Behavioral Couples Therapy (BCT) pada perempuan yang
mengalami infertilitas guna mengurangi kecemasan nya.
3. Menemukan alternatif untuk mengurangi kecemasan pada perempuan
yang mengalami infertilitas.

D.

MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan peneliti terkait efektivitas Behavioral Couples
Therapy (BCT) sebagai upaya untuk mengurangi kecemasan pada
perempuan yang mengalami infertilitas sehingga bisa digunakan sebagai
acuan dalam pengembangan keilmuan khususnya ilmu psikologi keluarga.
2. Manfaat bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur Program Studi
Pascasarjana

Magister

Profesi

Psikologi

Universitas

Katolik

Soegijapranata Semarang sehingga dapat digunakan untuk penelitian


selanjutnya dan untuk menambah pengetahuan mahasiswa tentang
efektivitas Behavioral Couples Therapy (BCT) sebagai upaya untuk
mengurangi kecemasan pada perempuan yang mengalami infertilitas.
3. Manfaat bagi Institusi Pelayanan Psikologi

Bagi konselor dan psikoterapis, penelitian ini dijadikan acuan dalam


merancang intervensi untuk mengurangi kecemasan pada perempuan yang
mengalami infertilitas.
4. Manfaat bagi Masyarakat
Hasil penelitian diharapkan dapat berguna untuk menambah pengetahuan
kepada masyarakat khususnya pasangan suami istri terkait dalam
menghadapi infertilitas dalam rumah tangga sehingga tidak menyebabkan
perceraian karena belum mendapatkan keturunan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini akan dikemukakan teori yang dipakai pada penelitian ini.
Teori-teori ini berkaitan dengan kecemasan, behavioral couples therapy dan
perempuan yang mengalami infertilita.
A. Kecemasan
1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan atau dalam Bahasa Inggrisnya anxiety berasal dari
Bahasa Latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti
mencekik. Lazarus menyatakan konsep kecemasan memegang peranan
5

yang sangat mendasar dalam teori-teori tentang stres dan penyesuaian diri.
Menurut Post kecemasan adalah kondisi emosional yang tidak
menyenangkan, yang ditandai oleh perasaan-perasaan subjektif seperti
ketegangan, ketakutan, kekhawatiran dan juga ditandai dengan aktifnya
sistem

syaraf

pusat.

Freud

menggambarkan

dan

mendefinisikan

kecemasan sebagai suatu perasaan yang tidak menyenangkan, yang diikuti


oleh reaksi fisiologis tertentu seperti perubahan detak jantung dan
pernafasan. Menurut Freud, kecemasan melibatkan persepsi tentang
perasaan yang tidak menyenangkan dan reaksi fisiologis, dengan kata lain
kecemasan adalah reaksi atas situasi yang dianggap berbahaya. (Trismiati,
2004, 4)
Menurut Atkinson (dalam Muslimin, K. 2013. 44) kecemasan
adalah emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilahistilah seperti Kekhawatiran, Keprihatinan, dan Rasa Takut, yang
kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda.
Menurut Andri & Dewi, Y (2007, 234) Teori Freud tentang
kecemasan pertama kali didasari oleh suatu pemikiran berani yang
mengungkapkan analogi dari kesamaan respon tubuh selama serangan
kecemasan dengan yang terlihat saat berhubungan seksual (palpitasi, nafas
berat). Tahun 1890, Freud melalui observasi klinisnya mengatakan bahwa
kecemasan adalah hasil dari libido yang mengendap.
Secara klinis, gejala cemas yang biasa disertai dengan kecemasan
yang menyeluruh dan menetap (paling sedikit berlangsung selama 1 bulan)
dapat dikategorikan sebagai respon psikologis, dan respon psikos. Respon
psikologis terdiri dari ketegangan motorik/ alat gerak (gemetar, tegang,
nyeri otot, letih, tidak dapat santai, kelopak mata bergetar, kening berkerut,
muka tegang, gelisah, tidak dapat diam, dan muka kaget), hiperaktivitas
saraf otonom (simpatis/parasimatetis, yang terdiri dari berkeringat
berlebihan, jantung berdebar-debar, telapak tangan/kaki basah, muka
kering, pusing, kepala terasa ringan, kesemutan, rasa mual, rasa aliran
panas/dingin, sering buang air seni, diare, tidak enak di hulu hati,

kerongkongan tersumbat, muka merah atau pucat, dan denyut nadi dan
nafas cepat).
Respon psikis merupakan rasa khawatir berlebihan tentang hal-hal
yang akan datang, dan kewaspadaan berlebihan. Rasa khawatir berlebihan
bisa dalam bentuk cemas, khawatir, takut, bimbang, membayangkan akan
datangnya kemalangan terhadap dirinya atau orang lain, berfirasat buruk)
kewaspadaan berlebihan bisa dalam bentuk mengalami lingkungan secara
berlebihan sehingga menyebabkan perhatian mudah teralih, sukar
berkonsentrasi, gerakan serba salah, sukar tidur, merasa grogi, mudah
tersinggung, dan tidak sabar (Rostiana, T. & Kurniati, N. M. T. 2009. 84).
Cemas merupakan suatu sikap alamiah yang dialami oleh setiap
manusia sebagai bentuk respon dalam menghadapi ancaman. Namun
ketika perasaan cemas itu menjadi berkepanjangan (maladaptif), maka
perasaan itu berubah menjadi gangguan cemas atau anxiety disorders.
Gangguan cemas merupakan salah satu bentuk gangguan yang sering
terjadi. Keluhan yang dirasakan pada penderita gangguan cemas juga
bermacam-macam, seperti rasa khawatir, gelisah, sulit tidur, takut mati,
sulit membuat keputusan, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan dalam
praktek sehari-hari, gangguan cemas sering luput dari diagnosis oleh
karena keluhan yang dirasakan bersifat umum atau tidak khas. Namun
sesungguhnya, ada berbagai instrumentasi yang dapat digunakan untuk
membantu

menegakkan

diagnosis

ini

dengan

mengukur

derajat

kecemasan, seperti Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRSA), Hospital


Anxiety and Depression Scale (HADS), Goldberg Test (GHQ), dan lainlain (Luana NA, dkk, 2012, 152).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan kecemasan adalah
suatu

pengalaman

subjektif

mengenai

ketegangan

mental

yang

menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan menghadapi


masalah atau adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menyenangkan ini
umumnya

menimbulkan

gejala-gejala

fisiologis

(seperti

gemetar,

berkeringat, detak jantung meningkat, dan lain-lain) dan gejala-gejala


psikologis (seperti panik, tegang, bingung, tak dapat berkonsentrasi, dan
7

sebagainya). Perbedaan intensitas kecemasan tergantung pada keseriusan


ancaman dan efekivitas dari operasi-operasi keamanan yang dimiliki
seseorang. Mulai munculnya perasaan-perasaan tertekan, tidak berdaya
akan muncul apabila orang tidak siap menghadapi ancaman.
2. Gejala-gejala dan Tingkat Kecemasan
Stern menyatakan simtom-simtom

somatis

yang

dapat

menunjukkan ciri-ciri kecemasan yaitu muntah-muntah, diare, denyut


jantung yang bertambah keras, seringkali buang air, nafas sesak disertai
tremor pada otot. Kartono menyebutkan bahwa kecemasan ditandai
dengan emosi yang tidak stabil, sangat mudah tersinggung dan marah,
sering dalam keadaan excited atau gempar gelisah (Trismiati 2004, 5).
Menurut Rahmaiah, gejala kecemasan paling lazim adalah
kejengkelan umum (seperti rasa gugup, jengkel, tegang dan rasa panic)
sakit kepala (seperti ketegangan otot khususnya kepala. Di daerah lengkuk
dan di tulang punggung, menyebabkan sakit kepala atau rasa tidak enak
(denyut kesakitan)), gemetaran pada sekujur tubuh, khususnya lengan dan
tangan, aktivitas sistem motorik.
Menurut Blackburn dan Davidson, ada gejala kecemasan,
diantaranya adalah suasana hati, pikiran, motivasi, perilaku gelisah,
reaksi biologis, ketakutan, ketegangan, dan kekhawatiran. Ada empat
cara untuk mengetahui ada tidaknya kecemasan, yaitu secara kognitif,
motorik,

somatik,

dan

afeksi.

Secara

kognitif,

kecemasaan

dimanifestasikan ke dalam pikiran individu. Gejala yang tampak dalam


diri individu menjadi cemas, sulit untuk berkonsentrasi, sulit untuk
tidur, sulit untuk membuat keputusan, dan terlalu terpaku pada bahaya
yang tidak jelas asalnya.
Secara motorik, kecemasan dimanefestasikan kedalam perilaku
motorik seperti gerakan tidak beraturan, gerakan yang tidak terarah,
yang bermula pada gemetaran secara halus kemudian meningkat
intensitasnya. Secara somatik, kecemasan dimanifestasikan ke dalam
reaksi fisik dan biologis. Perubahan somatic dapat dilihat dari
pernafasan tidak beraturan, dahi berkerut,muka pucat, berdebar-debar,
8

tangan dan kaki dingin, mulut kering, sesak nafas, gangguan


pencernaan

dan

sebagainya,

secara

afeksi

kecemasan

dimanifestasikann pada perasaan emosi individu seperti adanya bahaya


yang mengancam dan menimpa dirinya sehingga individu merasa tidak
nyaman dan sangat khawatir dan gelisah yang berlebihan (Rostiana, T.
& Kurniati, N. M. T. 2009. 84).
Sesuai dengan uraian diatas kesimpulan dari gejala kecemasana
diantaranya adalah suasana hati, pikiran, motivasi, perilaku gelisah,
reaksi biologis, ketakutan, ketegangan, dan kekhawatiran.
3. Aspek Kecemasan
Menurut Andri dan Dewi, Y. (2007, 235) Freud membagi
kecemasan menjadi tiga, yaitu:
a. Kecemasan Realitas atau Objektif (Reality or Objective Anxiety)
Suatu kecemasan yang bersumber dari adanya ketakutan terhadap
bahaya yang mengancam di dunia nyata. Kecemasan ini menuntun kita
untuk berperilaku bagaimana menghadapi bahaya. Tidak jarang
ketakutan yang bersumber pada realitas ini menjadi ekstrim.
b. Kecemasan Neurosis (Neurotic Anxiety)
Kecemasan ini mempunyai dasar pada masa kecil, pada konflik
antara pemuasan instingtual dan realitas. Kecemasan neurotik yang
muncul

adalah

ketakutan

akan

terkena

hukuman

karena

memperlihatkan perilaku impulsif yang didominasi oleh Id. Hal yang


perlu diperhatikan adalah ketakutan terjadi bukan karena ketakutan
terhadap insting tersebut tapi merupakan ketakutan atas apa yang akan
terjadi bila insting tersebut dipuaskan. Konflik yang terjadi adalah di
antara Id dan Ego yang kita ketahui mempunyai dasar dalam realitas.
c. Kecemasan Moral (Moral Anxiety)
Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik antara Id dan
superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu
sendiri. Ketika individu termotivasi untuk mengekspresikan impuls
instingtual yang berlawanan dengan nilai moral yang termaksud dalam
superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah. Pada
kehidupan sehari-hari ia akan menemukan dirinya sebagai conscience
9

stricken. Kecemasan moral menjelaskan bagaimana berkembangnya


superego.
Deffenbacher dan Hazeleus (dalam Ghufron, M. N., dan Wati, S,
R. 2012. 143) mengemukakan bahwa sumber penyebab kecemasan,
meliputi hal-hal di bawah ini :
a. Kekhawatiran (Worry)
Kekhawatiran (worry) merupakan pikiran negatif tentang dirinya
sendiri, seperti perasaan negatif bahwa ia lebih jelek dibandingkan
dengan teman-temannya.
b. Emosionalitas (imosionality)
Emosionalitas (imosionality)

sebagai

reaksi

diri

terhadap

rangsangan saraf otonom, seperti jantung berdebar-debar, keringat


dingin dan tegang
c. Gangguan dan hambatan dalam menyelesaikan tugas (task generated
interference)
Gangguan dan hambatan dalam menyelsaikan tugas merupakan
kecenderungan yang dialami seseorang yang selalu tertekan karena
pemikiran yang rasional terhadap tugas
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kecemasan
Menurut Hawari, faktor yang mempengaruhi kecemasan dibagi
menjadi dua, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dari
kecemasan berangkat dari pandangan psikoanalisis yang berpendapat
bahwa sumber kecemasan itu bersifat internal dan tidak disadari. Menurut
Atkinson kecemasan lebih ditimbulkan oleh faktor internal. Sedangkan
yang mengalami kecemasan merasa bahwa dirinya tidak dapat
mengendalikan situasi kehidupan yang bermacam-macam sehingga
perasaan cemas hampir selalu hadir (Rostiana, T. & Kurniati, N. M. T.
2009. 84).
B. Behavioral Couples Therapy
1. Pengertian Behavioral Couples Therapy
Konseling perkawinan dan couples therapy sudah ada dari abad ke
20. Upaya untuk memperkuat hubungan perkawinan dan untuk
menyelesaikan konflik perkawinan, bagaimanapun, adalah sebagai cara
kuno di institusi perkawinan.
10

marital counseling and couples therapy are truly children of the


twentieth century. Attempts to strengthen marital relationships
and to resolve marital conflicts, however, are as ancient as the
institution of marriage. (Sholevar, G. P. & Schwoeri, L. D. 2003.
418)
Fungsi nya untuk membantu pasangan muda yang menikah untuk
menyelesaikan konflik perkawinan mereka secara tradisional dan sangat
tua, bersangkutan dengan anggota keluarga, yang perspektif tentang stress
perkawinan didasarkan pada pengalaman mereka sendiri. Hubungan
couples therapy mengacu pada berbagai usaha mengatasi untuk mengubah
hubungan suami istri dengan tujuan meningkatkan kepuasan pernikahan
atau mengoreksi disfungsi perkawinan.
Fokus terapi ini menyiratkan bahwa dua pasangan yang tidak
cukup sehat dapat membentuk gejala dan disfungsional perkawinan. Yang
terkunci didalam kebohongan neuroticism dan gangguan emosional
masing-masing pasangan, bagaimanapun hal itu adalah konstribusi umum
yang membentuk disfungsional perkawinan.
2.

Prinsip Behavioral Couples Therapy


Hubungan disfungsi dari perspektif behavioral. Pendekatan
behavioral untuk melihat hubungan perselisihan

dapat dibedakan dari

pendekatan lain, yaitu:


1) Model teoritis yang menjelaskan tentang disfungsi perkawinan
2) Tujuan dan prosedur terapi yang ditentukan dalam model ini
3. Teknik Behavioral Couples Therapy
Sholevar, G. P. dan Schwoeri, L. D. (2003. 462) menyatakan
beberapa teknik behavioral couples therapy yang dapat digunakan oleh
terapis meliputi:
1) Operant Conditioning: operant conditioning berasal dari Skinner.
(meskipun pengkondisian klasik bisa dikatakan sebagai model perilaku
dalam tekanan perkawinan, itu jarang) kebanyakan pendekatan dasar
instrumentalnya mengandalkan bahwa kemungkinan perilaku terjadi
naik dan turun tergantung pada konsekuensinya. Perilaku eksternal,
adalah peristiwa utama yang menarik.

11

2) Positif Reinforcement (penguatan positif): konsekuensi dari perilaku


memimpin individu ketika melakukan peningkatan perilaku dan
pemeliharaan perilaku dari waktu ke waktu. Artinya, konsekuensi yang
memperkuat hanya jika hal itu meningkatkan kemungkinan perilaku
yang terjadi di masa depan.
3) Punishment (hukuman): perilaku penting lainnya, punishment,
konsekuensi perilaku bermusuhan yang mengurangi kemungkinan
bahwa perilaku tersebut akan terjadi dimasa depan. Analisis
retrospektif dan prospektif tentang keluhan satu pasangan atau hari
kerjanya, mempengaruhi perilaku pasangannya selama beberapa hari,
bulan, dan tahun
4) Negative Reinforcement (penguatan negatif): tanggapan sering
disalahpahami atau keliru dengan hukuman. Negative reinforcement
terjadi ketika penghentian stimulus tidak menyenangkan/meningkatkan
kemungkinan perilaku respon. Bayangkan bahwa istri berulang kali
mengingatkan suaminya untuk menyelesaikan tugas di sekitar rumah.
Jika istri berhenti mengomel ketika istri kehabisan kata-kata, maka
tanda setuju telah diperkuat negatif (dengan adanya asumsi itu
membuatnya lebih mungkin untuk menyerah dimasa depan). Hal ini
banyak menyebabkan ketidak bahagiaan dan kebencian.
5) Negative Reciprocity (timbal balik negatif): dapat dipahami sebagai
perpanjangan dan mungkin sebab dari seringnya menggunakan
perilaku permusuhan dalam interaksi perkawinan yang dipaksa.
Perilaku untuk membalas, (yaitu merespon dalam bentuk oleh)
pasangannya.
6) Shaping (membentuk): melibatkan penguatan aproksimasi dari
perilaku sasaran. Pasangan diminta untuk menghargai bahkan
perubahan

kecil

dalam

pasangan

mereka

untuk

mendorong

pembangunan yang lebih besar menuju akhir yang diinginkan.


7) Extinction (kepunahan): perilaku yang disebut kepunahan terjadi
ketika stimulus diperkuat sebelumnya tidak diperkuat lagi. Jika
seorang suami berhenti menunjukkan bahwa dia menghargai

12

mendengarkan istrinya berbicara tentang hari-nya, maka kepunahan


perilaku mendengarkan mungkin terjadi.
8) Functional Analysis (analisis fungsional): jenis penilaian yang
dilakukan dari perspektif perilaku. Perilaku sasaran yang dipilih, dan
faktor-faktor yang mengontrol hal ini.
9) Discriminative Stimuli (diskriminatif rangsangan): berfungsi sebagai
isyarat bahwa hubungan fungsional tertentu antara perilaku adalah
operative. Misalnya, upaya suami untuk memberikan kasih sayang
mungkin biasanya akan diterima dengan baik. Jika istri baru saja
pulang dari kerja dan membuat makan malam ketika mencoba untuk
menjaga anak-anak dibawah kendali, tawaran untuk kasih sayang yang
bertemu dengan kemarahan. Seiring berjalan waktu, ia belajar bahwa
kacau untuk menyiapkan makan malam. (stimulus diskriminatif).
10) Social learning (social cognitive)(belajar sosial): teori belajar sosial
Bandura, bahwa perilaku manusia sama dan saling dipengaruhi oleh
faktor kognitif, perilaku, dan lingkungan. Beberapa konsep sentral
teori Bandura penting untuk metode pemahaman BCT.
11) Social exchange (pertukaran sosial): menggunakan metafora ekonomi
bagi hubungan dimana pasangan ingin memaksimalkan manfaat dan
meminimalkan biaya. Misal jika istri membawa anjing berjalan-jalan
dan suami memberikan istri dengan menggosok kaki nya, di apresiasi.
12) Negative reciprocity (timbal balik negatif): konsep timbale balik ini
dilihat dari perspektif pertukaran sosial. Timbal balik negatif mengacu
hanya pada respon negatif dari satu pasangan mengikuti perilaku
negatif lainnya.
4. Perkembangan Behavioral Couples Therapy
Sholevar, G. P. & Schwoeri, L. D. 2003. 478) dua terapi inovatif
yang ditambahkan ke behavioral couples therapy, yaitu:
1) Integrative couples therapy (ICT)
Komunikasi langsung dipengaruhi dan dibimbing oleh terapis akan
menghasilkan hasil yang terbaik dan lebih efektif tampaknya terapi
yang mendorong klien untuk lebih menyadari dan menerima pola antar
satu sama lain.
2) Selffregulatory couple therapy (SRCT)
13

Komunikasi langsung dipengaruhi dan dibimbing oleh terapis akan


menghasilkan hasil yang terbaik dan terapi yang dipromosikan untuk
perubahan perilaku yang mandiri.
5. Konsep Behavioral Couples Therapy
Studi pengobatan awal dalam tradisi perilaku (Azrin et al 1973;
Stuart 1969; Weiss et al 1973) sangat menekankan kontrak perilaku.
Kontrak perilaku ini membantu pasangan menegosiasikan kesepakatan
bersama di mana kedua pasangan setuju untuk mengubah perilaku mereka
dengan cara yang diinginkan oleh pasangan lain. Kontrak perilaku ini
lebih eksplisit bentuk perilakunya kemudian behavioral coupels therapy.
Model program Studi Perkawinan Oregon yang dikembangkan
oleh Robert Weiss, Jerry Patterson, dan rekan-rekan mereka, adalah salah
satu yang pertama dan yang paling banyak ditiru pertama yaitu gelombang
pertama program BCT. Gelombang pertama BCT adalah berdasarkan
sosial learning. Model ini memerlukan fase penilaian formal yang
mencakup pembahasan masalah menyajikan dan sejarah hubungan. Modul
pengobatan pertama dari model Oregon berfokus pada pasangan mengajar
untuk melacak perilaku dan perilaku kontijensi, mengidentifikasi situasi
pengendalian , dan praktek keterampilan komunikasi dasar. Modul kedua
melibatkan

mengajar

mereka

akan

dukungan

dan

pemahaman

keterampilan yang diperlukan untuk mendengarkan empatik. Dalam modul


ketiga pasangan diajarkan keterampilan pemecahan masalah yang
diperlukan untuk menyelesaikan konflik. Moul keempat dan terakhir
melibatkan yaitu membangun kontrak perilaku untuk memberikan
kontijensi untuk masalah perilaku (Sholevar, G. P. & Schwoeri, L. D.
2003. 473).
.
C. Infertilitas
1. Pengertian Infertilitas
Saraswati, A. (2015.

5)

menyatakan

infertilitas

adalah

ketidakmampuan untuk mengandung sampai melahirkan bayi hidup


setelah satu tahun melakukan hubungan seksual yang teratur dan tidak

14

menggunakan alat kontrasepsi apapun atau setelah memutuskan untuk


mempunyai anak.
Disebut infertilitas primer jika seorang wanita yang telah
berkeluarga belum pernah mengalami kehamilan meskipun hubungan
seksual dilakukan secara teratur tanpa perlindungan kontrasepsi untuk
selang waktu paling kurang 12 bulan, sedangkan tidak terdapat kehamilan
dalam waktu 1 tahun atau lebih pada seorang wanita yang telah
berkeluarga dengan berusaha berhubungan seksual secara teratur tanpa
perlindungan kontrasepsi, tetapi sebelumnya pernah hamil, dikenal dengan
infertilitas sekunder.
2. Epidemiologi
Saraswati, A. (2015. 5) kegagalan pasangan suami istri (pasutri)
dalam memperoleh keturunan, disebabkan oleh masalah pria atau wanita.
40 persen kesulitan mempunyai anak terdapat pada wanita, 40 persen pada
pria, dan 30 persen pada keduanya. Anggapan bahwa kaum wanitalah yang
lebih bertanggung jawab terhadap kesulitan mendapatkan anak adalah
kurang tepat. WHO juga memperkirakan sekitar 50-80 juta pasutri (1-7
pasangan) memiliki masalah infertilitas, dan setiap tahun muncul sekitar 2
juta pasangan infertil.
3. Etologi
Saraswati, A. (2015. 6) menyatakan infertilitas pada wanita dapat
disebabkan oleh infeksi vagina seperti vaginitis dan trikomonas vaginalis
akan menyebabkan infeksi lanjut pada portio, serviks, endometrium
bahkan sampai ke tuba yang dapat menyebabkan gangguan pergerakan
dan penyumbatan pada tuba sebagai organ reproduksi vital untuk
terjadinya konsepsi. Terjadinya disfungsi seksual yang mencegah penetrasi
penis, atau lingkungan vagina yang terlalu asam juga dapat menyebabkan
seorang wanita kesulitan mengalami kehamilan.
Kelainan Serviks yang dapat menyebabkan infertilitas adalah:
1. Perkembangan serviks yang abnormal sehingga mengakibatkan
migrasi sperma terhambat.

15

2. Tumor serviks seperti polip atau mioma yang dapat menutupi saluran
sperma atau menimbulkan discharge yang mengganggu spermatozoa.
3. Infeksi serviks yang menghasilkan asam atau sekresi purulen yang
bersifat toksin terhadap spermatozoa.
Sumbatan di tuba fallopii merupakan salah satu penyebab infertilitas.
Sumbatan tersebut dapat terjadi akibat infeksi, pembedahan tuba atau
adhesi yang disebabkan oleh endometriosis atau inflamasi. Masalah
ovarium yang dapat mempengaruhi infertilitas yaitu kista atau tumor
ovarium, penyakit ovarium polikistik, endometriosis, atau riwayat
pembedahan yang mengganggu siklus ovarium.
Penyebab infertilitas sekunder antara lain:
1. Faktor usia, sangat berpengaruh pada kesuburan seorang wanita.
Selama wanita tersebut masih dalam masa reproduksi yang berarti
mengalami haid teratur, kemungkinan mengalami kehamilan sangat
besar. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya

usia maka

kemampuan indung telur untuk menghasilkan sel telur akan


mengalami penurunan.
2. Masalah reproduksi, masalah pada sistem reproduksi menyebabkan
masalah yang mengarah pada infertilitas sekunder, seperti pada
perempuan yang melahirkan dengan operasi caesar yang dapat
menyebabkan jaringan perut mengarah pada penyumbatan tuba.
3. Faktor gaya hidup, wanita dengan berat badan yang berlebihan sering
mengalami gangguan ovulasi, karena berlebihan berat badan dapat
mempengaruhi estrogen dalam tubuh dan mengurangi kemampuan
untuk hamil.
D. Hubungan antar variabel
Palupi, S. (2012. 105) secara psikologis, perubahan pada wanita karena
usia terjadi karena produksi estrogen di indung telur tiba-tiba berhenti.
Perasaan rasa cemas dan mudah berkeringat. Perubahan karena usia ditandai
dengan menurunnya produksi hormon, menstruasi tidak teratur, dan keadaan
fertilitas diganti dengan infertilitas.

16

Infertilitas merupakan suatu masalah yang cukup sensitif bagi


pasangan suami istri yang sulit mempunyai anak. Bahkan ada beberapa kasus
berujung perceraian karena masalah ini (Sari. 2013. 103).
Sholevar, G. P. dan Schwoeri, L. D. (2003. 428) Behavioral Couples
Therapy (BCT) pendekatan ini berfokus pada perubahan perilaku yang konkrit
untuk memaksimalkan interaksi pada kedua pasangan suami istri untuk
menemukan kepuasan yang subjektif
Gambar 1.1 Kerangka Konsep

Behavioral Couples Therapy


(BCT)
Mencoba untuk mengubah
hubungan suami istri dengan

Alat ukur kecemasan


Hamilton Rating Scale for
Anxiety (HRSA)
Kecemasan pada
perempuan yang
mengalami infertilitas

tujuan meningkatkan

Faktor yang mempengaruhi


kecemasan:
mengoreksi disfungsi
1. Faktor internal
E. Hipotesis Penelitian
2. Faktor eksternal
perkawinan. kerangka penelitian dan kajian
Berdasarkan
teoritis, maka hipotesis
kepuasan pernikahan atau

penelitian yang dirumuskan adalah:


H0: Behavioral Couples Therapy (BCT) tidak efektif untuk mengurangi
kecemasan pada perempuan yang mengalami infertilitas.
Ha: Behavioral Couples Therapy (BCT) efektif untuk mengurangi
kecemasan pada perempuan yang mengalami infertilitas.

17

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penggunaan subjek tunggal sebagai subjek penelitian sekaligus
sebgai objek penelitian, berdasarkan unit analisisnya, maka desain
penelitian ini dengan menggunakan single-case experimental (Leary,
2008).
B. Identifikasi Variabel
1.

Variabel bebas

: Behavioral Couples Therapy (BCT)

2.

Variabel tergantung

: Kecemasan

C. Definisi Operasional
Definisi Operasional Variabel Independen dan Variabel Dependen
1. Variabel Independen
Behavioral Couples Therapy (BCT) mengacu pada proses
mengatasi untuk mengubah hubungan suami istri dengan tujuan
meningkatkan

kepuasan

pernikahan

atau

mengoreksi

disfungsi

perkawinan.
2. Variabel Dependen

18

Kecemasan suatu pengalaman subjektif mengenai ketegangan


mental

yang

menggelisahkan

sebagai

reaksi

umum

dan

ketidakmampuan menghadapi masalah atau adanya rasa aman. .


D. Design Experiment
Penelitian ini menggunakan desain one-way design dengan jenis
one group pretest-posttest design. Jenis one group pretest-posttest design
dipilih karena pada penelitian ini variabel tergantung (DV) akan diukur
sebelum dan sesudah pemberian perlakuan dan pengukuran hanya akan
dilakukan oleh satu pasang subjek. Design penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini, dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 1 Notasi desain penelitian single case experimental design (one
group pretest-posttest design)
Kelompok

O1

O2

O3

eksperimen

Keterangan:
O1

: Pre-test

: Treatmen behavioral couples therapy

O2

: Posttest

O3

: Follow-up

Rancangan penelitian ini dibagi ke dalam empat tahap, antara lain:


1. Tahap pra-assesmen
a. Getting-in di dalam populasi subjek yaitu perempuan yang
mengalami infertilitas.
b. Menjalin rapport dengan subjek
c. Menanyakan kesediaan subjek yang memenuhi kriteria untuk
menjadi subjek penelitian.
d. Memberikan informed consent kepada subjek serta menjelaskan
isinya.
19

2. Tahap assesmen
a. Melakukan in-depth interview untuk mendapatkan informasi
yang lebih mendalam
b. Memilih angket kecemasan yang disesuaikan dengan kondisi
subjek.
c. Melakukan pemberian angket kecemasan kepada subjek
penelitian.
d. Melakukan pengkategorian hasil angket kecemasan yang telah
diisi subjek.
e. Melakukan assesmen psikologi yang dilakukan dengan
menggunakan tes TAT.
3. Tahap intervensi
Proses intervensi dilaksanakn terdiri dari beberapa sesi. Sesi pertama
dimulai dengan sesi psikoedukasi tentang infertilitas. Selanjutnya
dilakukan tahap intervensi sesuai tahapan BCT.
4. Tahap follow up
a. Peneliti melakukan proses follow-up setelah hari ke -14 setelah
proses intervensi telah berakhir.
b. Pengisian angket kecemasan.
c. Peneliti akan memberikan tes TAT subjek sebagai data posttest.
d. Peneliti akan melakukan wawancara untuk mengetahui ada
tidaknya perubahan pola interaksi subjek.
E. Populasi dan Teknik Sampling
1. Populasi
Populasi adalah suatu wilayah generalisasi yang terdiri dari
objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan. Sedangkan sampel adalah bagian dari juumlah dan
karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. (Sugiyono, 2012,
119)
20

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasangan


suami-istri yang mengalami masalah infertilitas.
2. Teknik Sampling
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi dijelaskan dalam buku Metode Penelitian oleh
Sugiyono (2012, 120). Meskipun sampel hanya merupakan bagian dari
populasi, kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel itu harus
dapat menggambarkan populasi.
Adapun cara dalam penentuan sampel, penulis menggunakan
cara purposive sampling. Hal ini dilakukan dengan cara mengambil
subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi
didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Sampel diperoleh dengan
kriteria inklusi. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek
penelitian pada populasi target dan populasi terjangkau yang akan
diteliti. Adapun kriteria pasangan suami-isteri yang dilibatkan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Subjek wanita yang sudah menikah, didiagnosis mengalami
infertilitas.
b. Usia pernikahan minimal satu tahun
c. Tinggal serumah dengan suami
d. Mengalami gejala-gejala kecemasan, seperti panik, tidak dapat
mengambil keputusan, gelisah, sulit tidur, sukar konsentrasi, mual,
dan muntah.
e.
F. Metode Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan dengan
terlebih dahulu mengajukan ijin ke RSUD Kariadi. Selanjutnya
mendapatkan ijin untuk uji instrumen dan ijin pelaksanaan penelitian di
RSUD Kariadi.
Proses pengumpulan data selanjutnya adalah membina hubungan
kepercayaan dan penjelasan maksud penelitian kepada yang berwenang di
21

RSUD Kariadi. Setelah diterima dengan baik segera menyusun strategi


alur penerimaan responden dengan alur sebagai berikut: (1) Menyeleksi
terlebih dahulu dengan melakukan pengkajian untuk menemukan klien
pasangan suami-isteri yang kemudian dipilih menjadi responden; (2)
responden dipanggil satu persatu untuk diberikan penjelasan mengenai
tujuan penelitian dan menandatangani lembar persetujuan setelah
responden menyatakan memahami maksud penelitian dan bersedia
menjadi responden; (3) responden diberikan kuesioner dan dipersilahkan
untuk mengisinya diruangan yang telah disediakan RSUD Kariadi dan
diberikan kesempatan bertanya jika ada yang kurang jelas; (4) responden
setelah selesai mengisi kuesioner dipersilahkan mengumpulkannya dan
selanjutnya diberikan psikoedukasi terkait behavioral couples therapy.
G. Analisis Data
Analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah uji kai
kuadrat.
(fo fe) 2
x2 =
fe
x2 = Kai kuadrat
fe = frekuensi ekspentasi
fo = frekuensi observasi

22

DAFTAR PUSTAKA

Andri & Dewi, Y. (2007, Juli). Teori kecemasan berdasarkan psikoanalisis klasik
dan berbagai mekanisme pertahanan terhadap kecemasan. Majalah
Kedokteran Indonesia, 57( 7)
Eka, A. (2010). Gambaran kecemasan pasangan infertil yang berkunjung ke RS
Adenin Adenan Medan tahun 2010. Diambil, dari USU library: University
of Sumatra Utara
Web site: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19232
Ghufron, M. N., dan Wati, S.R . 2012. Cara Tepat Menghilangkan Kecemasan
Anda . Yogyakarta: Galang Press
Leary, M. R. (2008). Introduction to Behavioral Research Methods. Pearson
Education: Boston.
Luana, N. A., Panggabean, S., Lengkong, J. V. M., dan Christine, I. (2012).
Kecemasan pada penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis di RS Universitas Kristen Indonesia. Artikel Asli Media
Medika Indonesiana, 46(3). Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
dan Ikatan Dokter Indonesia: Jawa Tengah
Muslimin K. (2013, Juli). Faktor faktor yang memengaruhi kecemasan
berkomunikasi di depan umum (Kasus mahasiswa fakultas dakwah
INISNU Jepara). Jurnal Interaksi, II(2). 42-52
Palupi, S. (2012, Mei). Persoalan psikologis wanita menopause. Al-Risalah, 12(1).
103-114

23

Ratna, J. M. J. (2012). The influence of causative factors on coping strategy and


level of depression among Indonesian couples receiving a diagnosis of
infertility. Anima, Indonesian Psychological Journal, 15(4). 303-331
Rostiana, T. dan Kurniati, N. M. T. (2009, Desember). Kecemasan pada wanita
yang menghadapi menopause. Jurnal Psikologi, 3(1). 76-86
Saraswati, A. (2015, Februari). Infertility. Jurnal Majority, 4(5). 5-9
Sari, W. W. ( 2013, November). Perancangan system pakar untuk mengetahui
infertilitas pada perempuan menggunakan metode certainty faktor. Pelita
Information Budi Darma, V(1). 103-108
Sholevar, G. P. dan Schwoeri, L. D. (2003). Textbook of family and couples
therapy (clinical applications). Arlington: American Psychiatric Publishing
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta,
Bandung.
Trismiati. (2004, Juli). Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Pria dan Wanita
Akseptor Kontrasepsi Mantap Di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal
Psyche, 1(1)
Ulfah, S. M, dan Mulyana, O. P. (2014). Gambaran subjective well being pada
wanita involuntary childless. Character, 2(3). 1-10

24

Anda mungkin juga menyukai