Anda di halaman 1dari 44

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), lanjut usia meliputi :
Usia pertengahan (middle age) yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun, lanjut
usia (elderly) antara 60 74 tahun, lanjut usia tua (old) antara 75 90 tahun
dan Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Sedangkan Batasan usia
lanjut usia yang tercantum dalam Undang-undang No. 13/1998 tentang
kesejahteraan lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke
atas.

Pembagian

lanjut usia adalah Usia prasenius atau vinilitas yaitu

seseorang berusia antara 45-49 tahun, usia lanjut yaitu seseorang yang berusia
60 tahun atau lebih, usia lanjut resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70
tahun atau lebih (Harry, 2012).
Di Indonesia jumlah penduduk lansia meningkat setiap tahun nya,
hal ini sesuai dengan survey yang dilakukan oleh United States Bureau of
Census 1993, populasi usia lanjut di Indonesia diproyeksikan pada tahun
1990 2023 akan naik 414 %, suatu angka tertinggi di seluruh dunia dan
pada tahun 2020. Indonesia akan menempati urutan keempat jumlah usia
lanjut paling banyak sesudah Cina, India, dan Amerika. Fenomena ini akan
berdampak pada semakin tingginya masalah yang akan dihadapi baik secara
biologis, psikologis dan sosiokultural (Harry, 2012).

Badan Pusat Statistik (BPS) mensurvey bahwa jumlah lansia di


Indonesia sebanyak 17.717.800 jiwa atau 7,90%, dan jumlahnya pada tahun
2010 sebesar 23.992.552 (9,77%). Keadaan lansia Indonesia, sebanyak
2.426.191 (15%) terlantar, dan sebanyak 4.658.279 (28,8%) rawan terlantar
(BPS- Susenas 2006). Profil penduduk lanjut usia Jawa Timur 2012, DI
perdesaan (11,15 persen) dan perkotaan (9,51 persen). Jika dilihat menurut
kelompok umur, penduduk lansia terbagi menjadi lansia muda (60-69 tahun)
sebesar 6,01 persen, lansia menengah atau madya (70-79 tahun) sebesar 3,23
persen, dan lansia tua (80 tahun keatas) sebesar 1,12 persen. sementara itu
penduduk pra lansia yaitu kelompok umur 45-54 tahun dan 55-59 tahun
masing-masing sebesar 13,06 persen dan 4,51persen (BPS-Susenas, 2012).
Lansia merupakan kelompok masyarakat

yang memiliki peran

penting dalam membangun bangsa (Mentri Sosial Salim Segaf Al Jufri,


2012), namun masyarakat yang berusia lanjut adalah masyarakat yang
rentan terhadap gangguan kesehatan, seperti pernyataan Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) yang telah mengidentifikasi lansia sebagai kelompok
masyarakat yang mudah terserang kemunduran fisik dan mental termasuk
depresi.

Depresi pada lansia disebabkan oleh stress dalam menghadapi

perubahan - perubahan kehidupan. Perubahan perubahan yang dimaksud


adalah masa pensiun,

penyakit atau ketidakmampuan fisik, ditempatkan

dalam panti wreda,kematian

pasangan, dan kebutuhan untuk merawat

pasangan yang kesehatannya menurun, kemiskinan, kegagalan yang beruntun,


stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, atau

kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan
lain sebagainya (Suadirman, 2011)
Evy dalam Purbowinoto (2011) mengatakan bahwa depresi
merupakan

masalah mental yang paling banyak ditemui pada lansia.

Prevalensi depresi pada lansia di dunia sekitar 8 sampai 15%. Hasil survey
dari berbagai negara di dunia diperoleh prevalensi rata- rata depresi pada
lansia adalah 13,5 % dengan perbandingan pria dan wanita 14.1 : 8.5.
Sementara prevalensi depresi pada lansia yang mengalami perawatan di RS
dan Panti Perawatan sebesar 30 45 %. Karenanya pengenalan masalah
mental sejak dini merupakan hal yang penting, sehingga beberapa gangguan
masalah mental pada lansia dapat dicegah, dihilangkan atau dipulihkan.
Penelitian di Amerika hampir 10 juta orang di Amerika mengalami depresi
dari semua kelompok usia, kelas sosial ekonomi, ras dan budaya. Angka
depresi meningkat drastis diantara lansia-lansia yang berada di institusi,
Sekitar 50-75% mengalami gejala depresi ringan sampai sedang (Mickey
Stanley, 2007).
Depresi sering terjadi pada usia tua sebagaimana pada usia peruh
baya. Hal ini mempengaruhi sekitar 13% lansia. Sebagian besar penelitian
menemukan adanya representasi lebih besar pada wanita. Hubungan antara
prevalensi depresi dan usia sebagian besar dihitung dari morbiditas fisik dan
ketidakmampuan. Gangguan depresi diklasifikasikan berdasarkan tingkat
keparahan, dan mengidentifikasi tiga gejala utama yaitu mood yang buruk,
anhedonia (kehilangan rasa senang pada kegiatan yang sebelumnya

menyenangkan), dan penurunan energi (atau peningkatan rasa mudah lelah)


(Katona et.al, 2008).
Salah satu teknik terapi yang kemungkinan dapat membantu untuk
mengatasi depresi pada lansia adalah SEFT (Spiritual Emotional Freedom
Technique). SEFT adalah salah satu varian dari satu cabang ilmu baru yaitu
energy psychology. SEFT merupakan penggabungan antara spiritual power
dan energy psychology. Efek dari penggabungan antara spiritual dan energy
psychology ini dinamakan amplifiying effect (efek pelipatgandaan) (Zainuddin,
2009). Sejumlah penelitian telah membuktikan keefektifan metode tersebut
untuk mengatasi depresi pada lansia. Di antaranya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Arif Nurma Etika (2012) dari Unpad yang menyatakan bahwa
SEFT efektif mengatasi depresi pada lansia.
Berdasarkan dari uraian latar belakang diatas maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang Efektifitas Therapy Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT) Terhadap Penurunan Intensitas Depresi Pada
Lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Pojok Kecamatan Mojoroto Kota Kediri
2014.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang di atas maka
peneliti tertarik untuk melakukann penelitian tentang Bagaimana Efektifitas
Therapy Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Penurunan
Intensitas Depresi Pada Lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Pojok
Kecamatan Mojoroto Kota Kediri 2014.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1

Tujuan Umum
Untuk mengetahui bagaimana Bagaimana Efektifitas Therapy Spiritual
Emotional Freedom Technique (SEFT) Terhadap Penurunan Intensitas
Depresi Pada Lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Pojok Kecamatan
Mojoroto Kota Kediri 2014.

1.3.2

Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tingkat depresi pada lansia di Posyandu Lansia
Kelurahan Pojok sebelum dilakukan terapi SEFT.
2. Untuk mengetahui tingkat depresi pada lansia di Posyandu Lansia
Kelurahan Pojok sesudah dilakukan terapi SEFT.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1

Bagi Peneliti
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan pemahaman
peneliti tentang Efektifitas Therapy Spiritual Emotional Freedom
Technique (SEFT) Terhadap Penurunan Intensitas Depresi Pada Lansia di
Posyandu Lansia Kelurahan Pojok Kecamatan Mojoroto Kota Kediri
2014.

1.4.2

Bagi Lahan Penelitian


Sebagai bahan dan data tentang Efektifitas Therapy Spiritual Emotional
Freedom Technique (SEFT) Terhadap Penurunan Intensitas Depresi Pada

Lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Pojok Kecamatan Mojoroto Kota


Kediri 2014.

1.4.3

Bagi Responden
Sebagi langkah guna meminimalisasi depresi di kalangan lansia khususnya
pada Lansia di Unit Posyandu Lansia Kelurahan Pojok.

1.4.4

Bagi Institusi Pendidikan


Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi, dokumentasi dalam
pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya yang diharpakan jauh
lebih baik dan dapat bermanfaat bagi siapa saja.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lansia
2.1.1

Pengertian Lansia
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di
dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang
hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak,
dewasa, dan tua (Nugroho, 2008). Memasuki usia tua berarti mengalami
kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang
mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang
jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan lambat, dan figure tubuh
yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).

2.1.2

Tipe Lansia
Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter, pengalaman
hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya
(Nugroho, 2008). Tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : Tipe arif
bijaksana, Tipe mandiri, Tipe tidak puas, Tipe pasrah dan Tipe bingung.

2.1.3

Tipe Kepribadian Lansia


Menurut Kuntjoro dalam Azizah (2011) adalah sebagai berikut :
1. Tipe kepribadian konstruktif (constraction personality)
Orang ini memiliki integritas baik, menikmati hidupnya, toleransi
tinggi dan fleksibel. Biasanya tipe ini tidak banyak mengalami gejolak,
tenang dan mantap sampai sangat tua, bisa menerima fakta proses
menua dan menghadapi masa pensiun dengan bijaksana dan
menghadapi kematian dengan penuh kesiapan fisik dan mental.
2. Tipe kepribadian mandiri (independent personality)
Pada tipe ini ada kecenderungan mengalami post power syndrome,
apalagi jika pada masa lansia tidak diisi dengan kegiatan yang dapat
memberikan otonomi.
3. Tipe kepribadian tergantung (dependent personality)
Tipe ini biasanya sangat dipengaruhi kehidupan keluarga, apabila
kehidupan keluarga selalu harmonis maka pada masa lansia tidak
bergejolak, tetapi jika pasangan hidup meninggal maka pasangan yang
ditinggalkan akan menjadi sedih yang mendalam. Tipe lansia ini
senang mengalami pensiun, tidak punya inisiatif, pasif tetapi masih tau
diri dan masih dapat diterima oleh masyarakat.
4. Tipe kepribadian bermusuhan (hostile personality)

Lanjut usia pada tipe ini setelah memasuki lansia tetap merasa
tidak puas dengan kehidupannya, banyak keinginan yang tidak
diperhitungkan sehingga menyebabkan kondisi ekonominya menurun.
Mereka menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan, selalu
mengeluh dan curiga. Menjadi tua tidak ada yang dianggap baik, takut
mati dan iri hati dengan yang muda.
5. Tipe kepribadian defensive
Tipe ini selalu menolak bantuan, emosinya tidak terkontrol,
bersifat kompulsif aktif. Mereka takut menjadi tua dan tidak
menyenangi masa pensiun.
6. Tipe kepribadian kritik diri (self hate personality)
Pada lansia tipe ini umumnya terlihat sengsara, karena perilakunya
sendiri sulit dibantu orang lain atau cenderung membuat susah dirinya.
Selalu menyalahkan diri, tidak memiliki ambisi dan merasa korban
dari keadaan.
2.1.4

Perubahan Pada Lansia


1. Perubahan fisik
a. Sistem Indera
Lensa kehilangan elastisitas dan kaku, otot penyangga lensa
lemah, ketajaman penglihatan dan daya akomodasi dari jarak jauh
atau

dekat

berkurang,

penggunaan

kacamata

dan

system

penerangan yang baik dapat digunakan. Sistem pendengaran,


presbiakusis (gengguan pada pendengaran) oleh karena hilangnya

10

kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam (Nugroho,


2008).
b. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan pada kolagen merupakan penyebab turunnya
fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa
nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot,
kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, berjalan dan
hambatan dalam melakukan kegiatan sehari-hari (Azizah, 2011).
c.

Sistem Kardovaskuler dan Respirasi


1. Masa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi
dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena
perubahan pada jaringan ikat, konsumsi oksigen pada tingkat
maksimal berkurang sehingga kapasitas paru menurun
(Azizah, 2011).
2. Paru kehilangan elastisitas, kapasitas residu meningkat,
menarik napas lebih berat, ukuran alveoli melebar dan
jumlahnya berkurang, reflex dan kemampuan untuk batuk
berkurang (Nugroho, 2008).

d. Sistem Perkemihan
Menurut Ebersole dan Hess dalam Azizah (2011), pola
berkemih tidak normal, seperti banyak berkemih di malam hari,
sehingga mengharuskan mereka pergi ke toilet sepanjang malam.
Hal ini menunjukkan inkontinensia urin meningkat.
e. Sistem Saraf

11

Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan


dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Koordinasi keseimbangan,
kekuatan otot, reflek, perubahan postur dan peningkatan waktu
reaksi (Surini dan Utomo dalam Azizah, 2011).
f. Sistem Reproduksi
Perubahan

sistem

reproduksi

lansia

ditandai

dengan

menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atrofi payudara. Pada lakilaki


testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun adanya
penurunan secara berangsur-angsur (Watson dalam Azizah, 2011).
2. Perubahan Kognitif
a. Memori (Daya Ingat, Ingatan)
Kenangan jangka panjang, beberapa jam sampai beberapa hari
yang lalu dan mencakup beberapa perubahan. Kenangan jangka
pendek atau seketika (0-10 menit). Kenangan buruk (bisa kearah
demensia) (Nugroho, 2008).
b. Intelegentia Quocient (IQ)
IQ tidak berubah dengan informasi matematika dan perkataan
verbal. Penampilan, persepsi, dan keterampilan psikomotor
berkurang. Terjadi perubahan pada daya membayangkan kerena
tekanan faktor waktu (Nugroho, 2008).
3. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial menurut Azizah (2011) meliputi :
a. Pensiun
b. Perubahan aspek kepribadian

12

c. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat


d. Perubahan Minat dan penurunan fungsi dan potensi seksual

2.1.5

Tugas Perkembangan Lansia


Menurut burnside (1979), Duvall (1977), dan Havighurst (1953)
yang dikutip oleh potter dan Perry dalam Azizah (2011), ada tujuh
kategori utama tugas perkembangan lansia meliputi :
1) Menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
2) Menyesuaikan terhadap kematian pasangan
3) Menerima diri sendiri sebagai individu lansia
4) Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup
5) Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa
6) Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup

2.2 Depresi
2.2.1

Pengertian Depresi
Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang paling umum
terjadi pada lansia. Seseorang dengan depresi dan khususnya lansia yang
mengalami depresi mengalami peningkatan resiko bunuh diri. Orang tua
yang mengalami depresi mungkin enggan untuk mengakui terjadinya
perubahan mood dan juga perasaan sedih (Menzel, 2008).
Menurut Nugroho (2008) depresi adalah suatu perasaan sedih dan
pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa

13

serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah yang
mendalam. Menurut Hudak dan Gallo dalam Azizah (2011), gangguan
depresi merupakan keluhan umum pada lanjut usia dan merupakan
penyebab tindakan bunuh diri. Sedangkan menurut Lau dan Eley dalam
Lewis et al (2011) depresi adalah gangguan yang kompleks dan
multifaktorial, merupakan efek yang melibatkan interaksi genetik dan
risiko lingkungan. Depresi mayor adalah suasana hati (afek) yang sedih
atau kehilangan minat atau kesenangan dalam semua aktifitas selama
sekurang-kurangnya dua minggu yang disertai dengan beberapa gejala
yang berhubungan, seperti kehilangan berat badan dan kesulitan
berkonsentrasi (Idrus, 2007).
Beck dalam Wibianto (2010) mendefinisikan depresi sebagai
keadaan abnormal organisme yang dimanifestasikan dengan tanda
symptomsimptom seperti menurunnya mood subjektif, rasa pesimis dan
sikap nihilstik, kehilangan kespontanan, dan gejala vegetative (seperti
kehilangan berat badandan gangguan tidur). Depresi juga merupakan
kompleks gangguan yang meliputi gangguan afeksi, kognisi motivasi dan
komponen perilaku. Stuart dalam Setiawan (2011) berpendapat bahwa
depresi atau melankolia adalah suatu kesedihan dan perasaan yang
berkepanjangan atau abnormal. Dapat digunakan untuk menunjukkan
berbagai fenomena, seperti tanda, gejala, sindrom, emosional, reaksi.
2.2.2

Etiologi
Etiologi depresi secara pasti belum diketahui, ada beberapa
hipotesis yang berhubungan dengan faktor biologik dan psikososial.

14

1. Faktor Biologik
a. Biogenik Amin.
Biogenik amin ini dilepaskan dalam ruang sinaps sebagai
neurotransmiter. Neurotransmiter yang banyak berperan pada depresi
adalah norepinefrin dan serotonin ( Idrus, 2007 ).
b. Hormonal
Pada depresi ditemukan hiperaktivitas aksis sistem limbic
hipotalamus-hipofisis-adrenal yang menyebabkan peningkatan sekresi
kortisol. Selain itu juga ditemukan juga penurunan hormone lain
seperti GH, LH, FSH, dan testosterone ( Idrus, 2007 ).
c. Tidur
Pada depresi ditemukan peningkatan aktivitas rapid eye movement
(REM) pada fase awal memasuki tidur dan penurunan REM pada fase
latensi ( Idrus, 2007 ).
d. Genetik
Gangguan ini diturunkan dalam keluarga. Jika salah seorang dari
orang tua mempunyai riwayat depresi maka 27 % anaknya akan
menderita gangguan tersebut. Sedangkan bila kedua orang tuanya
menderita depresi maka kemungkinanya meningkat menjadi 50 75 %
( Idrus, 2007 ).
2. Faktor Psikososial
a. Peristiwa dalam kehidupan dan stres lingkungan. Para klinikus
percaya bahwa peristiwa kehidupan memegang peranan penting
dalam terjadinya depresi ( Idrus, 2007 ).

15

b. Kepribadian

premorbid

Tipe

kepribadian

tertentu

seperti

kepribadian dependen, obsesi kompulsif dan histrionik mempunyai


risiko lebih besar untuk menjadi depresi dibanding dengan
kepribadian anti sosial dan paranoid ( Idrus, 2007 ).
c. Faktor psiko-analitik. Menurut Karl Abraham manifestasi penyakit
depresi dicetuskan karena kehilangan objek libidinal di mana
terjadi penurunan fungsi ego ( Idrus, 2007 ).
2.2.3

Faktor Resiko Depresi


Menurut Kaplan dan Saddock dalam Setiawan (2011), faktor
resiko dari depresi dipengaruhi oleh :
1. Umur, rata-rata usia onset untuk depresi berat adalah kira-kira 40
tahun, 50 % dari semua pasien mempunyai onset antara usia 20 dan 50
tahun. Gangguan depresif berat juga mungkin memiliki onset selama
masa anak-anak atau pada lanjut usia, walaupun hal tersebut jarang
terjadi.
2. Jenis kelamin, terdapat prevalensi gangguan depresi berat yang dua
kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Alasan adanya
perbedaan telah didalilkan sebagai melibatkan perbedaan hormonal,
perbedaan stressor psikososial bagi perempuan dan laki-laki.
3. Status perkawinan, pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi
paling sering pada orang-orang yang tidak memiliki hubungan
interpersonal yang erat atau karena perceraian atau berpisah dengan
pasangan.

16

4. Status fungsional baru, adanya perubahan seperti pindah ke lingkungan


baru, pekerjaan baru, hilangnya hubungan yang akrab, kondisi sakit,
adalah sebagian dari beberapa kejadian yang menyebabkan seseorang
menjadi depresi.

2.2.4

Tanda dan Gejala


Menurut Kelliat dalam Azizah (2011), perilaku yang berhubungan
dengan depresi meliputi beberapa aspek seperti :
1. Afektif
Kemarahan, ansietas, apatis, kekesalan, penyangkalan perasaan,
kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputusasaan, kesepian,
harga diri rendah, kesedihan.
2. Fisiologik
Nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, konstipasi, pusing,
keletihan, gangguan pencernaan, insomnia. Perubahan haid, makan
berlebihan/kurang, gangguan tidur, dan perubahan berat badan.
3. Kognitif
Ambivalensi,kebingungan,ketidakmampuanberkonsentrasi,kehilan
gan minat dan motivasi, menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri,
pikiran yang destruktif tentang diri sendiri, pesimis, ketidakpastian.
4. Perilaku
Agresif,

agitasi,

alkoholisme,

perubahan

tingkat

aktivitas,

kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas,

17

sangat tergantung, kebersihan diri yang kurang, isolasi sosial, mudah


menangis, dan menarik diri.
Menurut Maslim (2002) dalam PPDGJ-III, tingkatan depresi ada 3
berdasarkan gejala-gejalanya yaitu :

1) Depresi Ringan
Gejala :
a. Kehilangan minat dan kegembiraan.
b. Berkurang energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas.
c. Konsentrasi dan perhatian yang kurang.
d. Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang.
e. Lamanya gejala tersebut berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu.
f. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang
biasa dilakukan.
2) Depresi Sedang
Gejala :
a. Kehilangan minat dan kegembiraan
b. Berkurang energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas

18

c. Konsentrasi dan perhatian yang kurang


d. Harga diri dan kepercayaan diri yang kurang
e. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g. Lamanya gejala tersebut berlangsung minimum 2 minggu
h. Mengadaptasi kesulitan untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga
3) Depresi Berat
Gejala :
a. Mood depresif
b. Kehilangan minat dan kegembiraan
c. Berkurang energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan
menurunnya aktivitas
d. Konsentrasi dan perhatian yang kurang
e. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
f. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
g. Perbuatan yang membahayakan dirinya sendiri atau bunuh diri
h. Tidur terganggu
i. Disertai waham, halusinasi
j. Lamanya gejala tersebut berlangsung selama 2 minggu.
2.2.5

Bentuk Depresi
Depresi dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu :

19

1. Depresi ringan (mild), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari tiga


gejala utama ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala tambahan
yang sudah berlangsung sekurang-kurangnya selama dua minggu. Dan
tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya ( Idrus, 2007 ).
2. Depresi sedang (moderate), jika terdapat sekurang-kurangnya dua dari
tiga gejala utama ditambah sekurang-kurangnya tiga (sebaiknya empat)
gejala tambahan ( Idrus, 2007 ).
3. Depresi berat (severe), jika terdapat tiga gejala utama ditambah
sekurang-kurangnya empat gejala tambahan, beberapa di antaranya
harus berintensitas berat ( Idrus, 2007 ).
2.2.6

Penatalaksanaan Depresi
Penatalaksanaan depresi menurut Agus dalam Setiawan (2011) antara lain
yaitu :
1) Terapi Fisik
Pemberian anti-depresan pada usia lanjut, sama seperti pemberian
psikotropika pada umumnya harus hati-hati. Umumnya diperlukan
dosis yang leebih kecil daripada orang dewasakarena dikhawatirkan
terjadi akumulasi akibat fungsi ginjal yang sudah kurang baik.
2) Terapi keluarga
Problem keluarga dapat berperan dalam perkembangan gangguan
depresi, sehingga dukungan terhadap keluarga pasien adalah sangat
penting. Proses penuaan mengubah dinamika keluarga, diantaranya ada
perubahan posisi dari dominan menjadi dependen pada lanjut usia.
Tujuan dari terapi terhadap keluarga pasien yang depresi adalah untuk

20

meredakan perasaan frustasi dan putus asa, merubah dan memperbaiki


sikap atau struktur dalam keluarga yang menghambat proses
penyembuhan pasien.

3) Terapi kognitif-perilaku
Bertujuan mengubah pola pikirpasien yang selalu negatif (persepsi
diri yang buruk, masa depan yang suram, dunia yang tak ramah, diri
yang tak berguna lagi, tak mampu dan sebagainya) ke arah pola piker
yang netral atau positif. Ternyata pasien lanjut usia dengan depresi
dapat menerima metode ini meskipun penjelasan harus diberikan
secara singkat dan terfokus. Melalui latihan-latihan, tugas-tugas dan
aktivitas, terapi kognitif-perilaku bertujuan mengubah perilaku dan
pola pikir.
4) Terapi Seni
Menurut The American Art Therapy Association dalam Mukhlis
(2011), terapi seni banyak digunakan sebagai sarana menyelesaikan
konflik emosional, meningkatkan kesadaran diri, mengembangkan
keterampilan

sosial,

mengontrol

permasalahan,

mengurangi

perilaku,

kecemasan,

menyelesaikan

mengerahkan

realitas,

meningkatkan harga diri dan berbagai gangguan psikologis lainnya.


Sedangkan menurut Case dan Dalley dalam Mukhlis (2011), terapi
seni merupakan salah satu jenis dari berbagai jenis terapi ekspresif
melibatkan individu dalam aktivitas kreatif dalam bentuk penciptaan
(karya atau produk) seni.

21

Holt dan Kaiser dalam Mukhlis (2011) mengatakan bahwa melalui


aktifitas seni tersebut individu diasumsikan mendapat media paling
aman untuk memfasilitasi komunikasi melalui eksplorasi pikiran,
persepsi, keyakinan, dan pengalaman, khususnya emosi.

2.2.7

Pengukuran Tingkat Depresi


Gejala depresi pada lansia diukur menurut tingkatan sesuai dengan
gejala yang termanifestasi. Jika dicurigai terjadi depresi harus dilakukan
pengkajian dengan alat pengkajian yang terstandarisasi dan dapat
dipercaya serta valid dan memang dirancang untuk diujikan kepada lansia
(Azizah, 2011). Geriatric Depression Scale (GDS) dan Beck Depression
Inventory (BDI). Tetapi alat yang digunakan peneliti dalam penelitian ini
adalah Beck Depression Inventory (BDI). Beck Depression Inventory
(BDI) merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan
untuk mengukur tingkat keparahan depresi. BDI dikembangkan untuk
menilai jenis dan tingkat keparahan depresi berdasarkan gejala (Beck
dalam Ahn jo et al, 2006).
Instrumen ini terdiri dari 21 item yang memuat tentang kesedihan
pesimisme, perasaan gagal, perasaan tidak puas, perasaan bersalah atau
berdosa, perasaan dihukum, rasa benci pada diri sendiri, mudah
tersinggung,menarik diri dari lingkungan sosial, tidak mampu mengambil
keputusan, penyimpangan citra tubuh, kelambanan dalam bekerja,

22

menangis, gangguan tidur, kelelahan, hilangnya nafsu makan, penurunan


berat badan, kecemasan fisik, dan penurunan libido (Setiawan, 2011).
2.3 Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT)
2.3.1

Sejarah SEFT
Metode

SEFT

merupakan

sebuah

pengembengan

dan

penyempurnaan dari beberapa metode terapi sebelumnya. Teknik ini


berdasarkan prinsip prinsip yang sama dengan akupuntur, akupresur,
applied kinesiology, Tought Fields Therapy (TFT) dan Emotional
Freedom Technique (EFT) (Zainuddin, 2009;Thayib, 2010).
Pada tahun 1991, Erika dan Helmut Simon menemukan mayat
yang masih utuh terendam dalam glacier (sungai dengan suhu di bawah
titik beku) di daerah sekitar perbatasan Austria dan Italia. Di tubuh mayat
tersebut terdapat tatto yang menandai titik-titik utama meridian tubuh.
Setelah di uji dengan carbon dating test, mayat ini diduga berumur 5300
tahun. Para ahli akupuntur modern berpendapat bahwa titik-titik akupuntur
yang ditandai dengan tatto di tubuh mayat tersebut tentu dibuat oleh
seorang ahli akupuntur kuno yang sangat kompeten, mengingat ketepatan
dan kompleksitasnya. Karena itu mereka berkesimpulan bahwa ilmu
akupuntur telah berkembang jauh sebelumnya, mungkin sekitar 5500
tahun yang lalu (Zainuddin, 2009).
Di Cina terdapat dua buku tertua yang membahas tentang adanya
sistem energi tubuh (life energy). Buku tersebut adalah buku Yi Jing yang
ditulis oleh Fu Xi pada tahun 2852 SM (di Barat dkenal dengan The I
Ching Book of Changes) dan buku Huang Ni Dei Jing (The Yellow

23

Emperors Classic on Internal Medicine) yang ditulis oleh Kaisar Kuning


yang memerintah Cina pada abad 26 SM (2696 2597 SM). Umur Kaisar
Kuning yang mencapai 100 tahun diduga berkaitan dengan pengetahuan
dan praktek yang ia lakukan berhubungan dengan energy medicine.
Akupuntur dan akupresur merangsang energi tubuh yang berhubungan
langsung

dengan

sumber

rasa

sakit

(gangguan

fisik).

Dengan

menancapnya jarum atau menekan ke beberapa titik yang terkadang


terletakjauh dari rasa sakit, maka hasilnya rasa sakit akan hilang
(Zainuddin, 2009).
Pada tahun 1964, Dr. George Goodheart, seorang ahli chiropractic
(terapi pijat pada tulang belakang untuk menyembuhkan berbagai penyakit
fisik) meneliti tentang hubungan antara kekuatan otot, organ dan kelenjar
tubuh dengan energy meridian. Metode yang digunakannya sebagai
Applied Kinesiology ini mendiagnosa penyakit pasien dengan cara
menyentuh beberapa bagian otot tubuh. Asumsinya adalah penyakit di
bagian dalam tubuh seperti jantung, paru-paru, liver, dsb berdampak pada
melemahkan otot tertntu. Dengan merasakan otot tertentu mana yang
lemah maka dapat menentukan organ tubuh mana yang sakit (Zainuddin,
2009; Thayib, 2010).
Prinsip applies kinesiology ditindaklanjuti lebih jauh oleh seorang
psikiater

pakar

pengobatan

holistik,

Dr.

John

Diamond.

Ian

memperkenalkan cabang baru psikologi yaitu Energy Psycology, yang


mengabungkan prisnsip pengobatann timur dengan psikologi. Dalam
energy

psychology

menggunakan

sistem

energi

tubuh

unutk

24

mempengaruhi pikiran, perasaan dan perilaku. Teori ini yang menjadi


pondasi bagi lahirnya Tought Fields Therapy (TFT) yang dipelopori oleh
Dr. Roger Callahan (Zainuddin, 2009; Thayib, 2009).
Metode TFT memanfaatkan sistim energi tubuh dan melakukan
ketukan (tapping) pada titik-titik tertentu. Sebelum terapi dilakukan, harus
didiagnosa terlebih dahulu jenis penyakit dan di mana titik yang harus
diketuk.

Titik

yang

diketuk

berbeda-beda,

disesuaikan

dengan

penyakitnya. Namun dirasakan sulit bagi orang awam untuk mempelaajari


teknik ini. Untuk menguasainya diperlukan training-training yang tidak
mudah dan tidak murah (hingga USD 100.000,-) (Zainuddin, 2009;
Thayib, 2010).
Selama beberapa tahun sejak tahun 1991, Gary Craig, seorang murid Dr.
Callahan dan insinyur lulusan Standford University telah berhasil
menyederhanakan algoritma TFT ini. Dari sinilah lahir istilah Emotional
Freedom Technique (eft). Prosesnya dibuat universal agar bisa diterapkan
untuk semua permasalahan mental, emosional dan fisik. Jika pada TFT
menggunakan urutan titik meridian yang kompleks dan aplikasinya
berbeda-beda sesuai dengan jenis penyakitnya, maka pada EFT hanya
mengetuk seluruh titik meridian untuk setiap masalah, sehingga selalu
dapat menggunakan titik yang tepat. Dengan demikian EFT lebih mudah
untuk dipelajari, dapat digunakan oleh semua orang dan dengan protokol
yang sama digunakan untuk semua masalah. Bahkan oleh Steve Wells,
seorang psikolog klinis dari Australia, EFT dikembangkan lebih jauh lagi.
Tidak hanya digunakan untuk penyembuhan saja, tetapi diperluas

25

kegunannya

untuk

meningkatkan

prestasi

(peak

performance)

(Zainduddin, 2009; Thayib 2010).


Di Indonesia, Ahmad Faiz Zainuddin mengembangkan apa yang
dinamainya dengan Spirirtual-EFT (selanjutnya disebut SEFT) sejak
tanggal 17 Desember 2005. Ia belajar langsung EFT dari Steve Wells dan
Gary

Craig.

SEFT

menggabungkan

merupakan

antara

pengembangan

spiritualitas

(melalui

dari

doa,

EFT,

keiklasan

yang
dan

kepasrahan) dan energy psychology untuk mengatasi berbagai macam


masalah fisik, emosi serta untuk meningkatkan performa kerja. Latar
belakang masyarakat Indonesia yang agamis, sudah menjadi sesuatu yang
taken for granted bahwa doa sangat penting untuk penyembuhan,
bahakan untuk pemecahan segala maslah hidup. Hal ini didukung oleh
penelitian Larry Dossey, MD, Seorang dokter ahli penyakit dalam yang
melakukan penelitian ektensif tentang efek doa dan spiritualitas memiliki
kekuatan yang sama besar dengan pengobatan dan pembedahan
(Zainuddin, 2009).
2.3.2

Definisi SEFT
SEFT merupakan teknik penggabungan dari sistem energi tubuh
(energy medicine) dan terapi spiritual dengan menggunakan metode
tapping pada beberapa titik tertentu pada tubuh. SEFT bekerja dengan
prinsip yang kuraang lebih sama dengan akupuntur dan akupresur.
Ketiganya berusaha merangsang titik-titik kunci pada sepanajang 12 jalur
energi (energy meridian) tubuh. Bedanya dibandingkan metode akupuntur
dan akupresur adalah teknik SEFT menggunakan unsur spiritual, cara yang

26

digunakan lebih aman, lebih mudah, lebih cepat dan lebih sederhana,
karena SEFT hanya menggunakan ketukan ringan (tapping) (Zainuddin,
2009; Thayib, 2010; Saputra, 2012).
Sebagian besar penyakit ternyata berasal dari gangguan emosi atau
psikologis. Contohnya, ketika seseorang stres, ada yang mengalami diare,
ada yang perutnya mulas dan beban pikiran yang menyebabkan seseorang
terserang penyakit lambung (maag). Dalam dunia kedokteran istilahnya
adalah psikosomatis, yaitu gangguan emosi yang menyebabkan penyakit.
Dengan metode SEFT membuat diri penderita bisa menerima persoalan
yang mengganggu stabilitas emosinya. Ketika penderita tersebut bisa
berdamai dengan situasi yang mengganggu emosinya, maka penyakit
penyakit fisik akan hilang dengan sendirinya (Saputra, 2012).
2.3.3

Perbedaan SEFT dan EFT


Hampir 90% isi SEFT adalah EFT, dalam hali ini yang dimaksud
adalah titik titiknya. Perlu diketahui bahwa semua teknik energy
psychology yang memakai tapping, mulai dari TFT-nya Roger Callahan,
EFT-nya Gary Craig, PET-nya (Provocative Energy Technique) Steve
Walls dan David Lake menggunakan titik-titik tapping yang sama. Sejak
5000 tahun yang lalu titik-titik tersebut sudah digunakan oleh akupuntur,
moxa dan akrupresur dan sebagainya. Proses yang dilakukan sambil mentapping itulah yang membedakan EFT, TFT, PET dengan SEFT
(Zainuddin, 2009). Berikut ini perbedaannya :

Tabel 2.3 Perbedaan EFT dan SEFT

27

EFT

SEFT
Basic Philosopy

Self centerd
Asumsi

God centered
kesembuhan

Asumsi

kesembuhan

berasal dari diri sendiri,

berasal dari Tuhan YME,

begitu

begitu individu bisa iklas

individu

bisa

menerima dirinya sendiri

dan pasrah

Eventhough I have Set-Up

Ya Allah... walaupun saya

pain... I deeply profound

sakit

and accept my self

menerima sakit saya ini,

Walaupun saya sakit ini...

saya

saya terima diri sendiri

kesembuhannya pada-MU..

ini...

saya

iklas

pasrahkan

sepenuhnya..
Sikap Saat Tapping
EFT
suasana

dilakukan

dalam

SEFT dilaakukan dengan

santai,

kaena

pennuh keyakinan bahwa

fokusnya pada diri sendiri

kesembuhan
dari

datangnya

Tuhan

kekhusukkan,

YME,
keiklasan,

kepasrahan dan rasa syukur


EFT

dengan

menyebut

SEFT tidak terlalu fokus

Tune In masalahnya.

pada

Sakit kepala ini, rasa pedih

cukup melakukan tiga hal

ini, dan seterusnya...

secara bersamaan :

detail

masalahnya,

28

1. Rasakan sakitnya,
2. Fokuskan pikiran ke
tempat sakit,
3. Iklaskan dan pasrahkan
kesembuhan sakit itu
kepada Tuhan YME.

Tapping
EFT menggunakan 7 atau

SEFT

menambahkan

14 titik

titiknya hingga 18 titik


Unsur Spiritualitas

Tidak ada

90% penekanan pada unsur


spiritualitas

Sumber : Zainuddin, 2009


2.3.4

Metode SEFT
SEFT memandang jika aliran energi tubuh terganggu karena dipicu
kenangan masa lalu atau trauma yang tersimpan dalam alam bawah sadar,
maka emosi seseorang akan menjadi kacau. Mulai dari yang ringan, seperti
bad mood, malas, tidak termotivasi melakukan sesuatu, hingga yang berat,
seperti Post Traumatic Stress Disorder (PTSD), depresi, phobia,
kecemasan berlebihan dan stres emosional berkepanjangan. Sebenarnya
semua ini penyebabnya sederhana, yakni terganggunya sistim energi
tubuh. Karena itu solusinya juga sederhana, menetralisir kembali
gangguan energi itu dengan metode SEFT (Zainuddin, 2009; Saputra,

29

2012). Zainuddin (2009) menjelaskan teknik teknik yang mendasari


SEFT adalah sebagai berikut :
a. Emotional Freedom Technique (EFT)
Hainsworth (2008) mengatakan bahwa EFT diperkenalkan pada
tahun 1995 oleh Gary Craig. EFT adalah metode sederhana yang
menekankan fokus pada masalah dalam diri individu disertai dengan
menekan secara lembut pada titik akupuntur (tapping) di wajah , tubuh
bagian atas dan tangan. EFT dapat membantu berbagai masalah emosi
dan fisik, diantaranya adalah fobia, gangguan fisik dan seksual, stress dan
kecemasan, trauma, alergi, sakit kepala, migrain, kecanduan, kepercayaan
diri, dan insomnia.
Hainsworth (2008) menjelaskan bahwa banyak saluran energi yang
berjalan dalam tubuh seseorang. Energi tersebut sangat penting perannya
bagi kesehatan seseorang. Energi tersebut mengalir dalam 12 jalur energi
yang disebut energy meridian. Jika aliran energi ini terhambat atau kacau
maka timbullah gangguan emosi atau penyakit fisik.
Proses penyembuhan dalam EFT tidak perlu mengungkap
peristiwa atau emosi masa lalu. Individu hanya perlu menekankan apa
yang dialami pada saat ini dan mengikuti penyebab timbulnya perasaan
negatif tersebut. Individu tidak harus mengalami kembali emosi lama,
hanya perlu fokus untuk menyembuhkan emosi-emosi negatif tersebut
(Hainsworth, 2008).

30

Adapun langkah langkah yang dilakukan dalam EFT adalah


sebagai berikut :
1) Estimate Severity
Hainsworth (2008) mengatakan bahwa ada baiknya terlebih dahulu
subjek menentukan nilai seberapa tinggi intensitas emosi / rasa sakit
yang dialami sekarang dengan menggunakan skala 0-10 (0 = tidak
terasa, 10 = intensitas maksimum). Nilai subjektif tersebut (0-10) yang
menjadi tolok ukur kemajuan setelah SEFT diterapkan.

2) The Set Up
Hainsworth (2008) mengatakan bahwa semua individu memiliki
aspek bawah sadar yang tidak siap untuk menyembuhkan karena
menganggap jauh lebih aman dengan keadaan dirinya yang sekarang.
The set up dirancang untuk membantu individu agar siap untuk sembuh.
Cara melakukan set up adalah dengan mengucapkan kalimat set up
seperti Meskipun saya ingin merokok ketika minum kopi padahal saya
juga ingin berhenti merokok, saya benar benar menerima dan
mencintai diri saya sendir . Kalimat tersebut diucapkan sebanyak tiga
kali sambil menekan pada titik karate chop yaiti pada samping telapak
tangan (Hainsworth, 2008).
3) Tapping
Pada bagian tapping yang dilakukan adalah dengan menekan atau
mengetuk 5-7 kali ketukan pada titik-titik di bagian tubuh tertentu sambil

31

mengucapkan permasalahn yang sedang dialami subjek. Adapun titik-titik


tersebut adalah pada bagian top of head (bagian atas kepala), end of
eyebrow (titik permulaan alis mata), side of eye (titik permulaan alis
mata), under eye (2 cm di bawah mata), under nose (di bawah hidung),
chin (antara dagu dan bagian bawah bibir), collarbone (pada ujung tempat
bertemu tulang dada dan tulang rusuk pertama), under arm, (untuk lakilaki terletak di bawah ketiak sejajar dengan putting susu dan wanita
terletak di perbatasan antara tulang dada dan bagian bawah payudara),
gamut (di bagian antara perpanjangan tulang jari manis dan tulang jari
kelingking), karate point (di samping telapak tangan) (Hainsworth, 2008).
Hainsworth (2008) juga menjelaskan bahwa ketika subjek
menekan pada titik-titik tertentu dalam tubuh yang telah disebutkan di
atas, sadarilah bahwa setiap kenangan atau emosi atau pikiran atau
perasaan dalam tubuh yang muncul ke permukaan akan menuntun subjek
pada permasalahan atau apa yang harus diucapkan pada putaran tapping
selanjutnya.
4) Conntinuation
Pada tahap conntinuation individu memperkirakan kembali berapa
tinggi intensitas emosi / rasa sakit yang dialami. Jika sudah turun namun
belum nol maka melakukan langkah-langkah EFT kembali mulai langkah
pertama hingga ketiga. Akan tetapi, kalimat yang diucapkan ketika
melakukan set up disesuaikan menjadi seperti contoh berikut ini :
Meskipun saya masih ingin merokok ketika minum kopi, padahal saya
juga ingin berhenti merokok, saya benar-benar mencintai dan menerima

32

diri saya sendiri". Individu juga dipastikan untuk memasukkan setiap


kenangan, pikiran, emosi atau perasaan dalam tubuhnya yang muncul saat
melakukan EFT berikutnya (Hainsworth, 2008).
5) Nine Gamut Prosedure
Hainsworth (2008) mengatakan bahwa nine gamut procedure
adalah proses keseluruhan dari sembilan bagian dari bentuk panjang EFT
yang pada awalnya diajarkan namun tidak banyak digunakan pada saat
sekarang. Tetapi proses ini bisa sangat kuat dalam menghilangkan semua
link dalam otak seseorang untuk menghilangkan peristiwa traumatis.
Hainsworth (2008) juga mengatakan bahwa beberapa praktisi percaya
bahwa melakukan proses ini sangat penting untuk menghilangkan trauma.
Hainsworth (2008) mengatakan 9 langkah yang dilakukan dalam
nine gamut procedure sambil menekan pada titik gamut dan tuning
adalah menutup mata, membuka mata, mata digerakkan dengan kuat ke
kanan bawah, mata digerakkan dengan kuat ke kiri bawah, memutar bola
mata searah jarum jam, memutar bola mata berlawanan arah jarum jam,
bergumam dengan selama 3 detik, menghitung 1,2,3,4,5 kemudian
diakhiri dengan bergumam lagi selama 3 detik (Zainuddin, 2009; Thayib,
2010; Saputra, 2012).
b. Self Hypnotherapy (Ericksonian)
Sarafino (1990) menyebutkan bahwa hypnosis merupakan salah
satu teknik yang sudah digunakan sudah digunakan beberapa dokter sejak
lama untuk menghilangkan rasa sakit (analgesik) dalam pembedahan.

33

Ketika dalam kondisis terhipnosis perhatian seseorang terhadap dirinya


(termasuk tubuh) berkurang, bahkan hilang sama sekali.
Masih menurut Sarafino (1990) menjelaskan bahwa meditasi dapat
dipandang sebagai suatu bentuk self hypnosis karena pada saat meditasi
seseorang dipuatkan pada objek meditasi (benda, napas, mantra / doa)
sehigga semakin lama seseorang semakin tidak merasakan rangsangan
yang ada di sekitarnya, termasuk rangsang sakit.
Zainuddin (2009) mengatakan bahwa dalam SEFT yang digunakan
adalah ericksonian hypnotherapy. Subjek menghipnosis diri sendiri untuk
menghapus program-program bawah sadar yang menjadi akar penyebab
dari emosi negatif yang dialami.

c. Meditation and Relaxation


Smith (Subandi, 2003) mengatakan bahwa istilah meditasi
mengacu pada sekelompok latihan untuk membatasi pikiran dan
perhatian. Sementara itu, Walsh (Subandi, 2003) mengungkapkan bahwa
meditasi merupakan teknik atau metode latihan yang digunakan untuk
melatih perhatian supaya dapat meningkatkan taraf kesadaran yang
selanjutnya dapat dapat membawa proses-proses mental dapat terkontrol
secara sadar.
Zainuddin (2009) mengatakan bahwa walapun terdapat berbagai
jenis dan pendapat mengenai meditasi, tapi jenis meditasi yang paling
banyak dipraktikan adalah yang membawa subjek pada kondisi tenang
dan relaks, merasakan nafas, menyadari kehadiran Tuhan dalam diri,

34

serta mengarahkan untuk kembali pada diri sejati (fitrah). Saat


melakukan SEFT, subjek dianjurkan melakukannya dalam kondisi
meditative (yakin, khsyuk, ikhlas, pasrah, dan syukur). Jika demikian,
efek SEFT akan terasa lebih efektif.
d. Provocative Therapy
Farrelly (2002) mengatakan bahwa bahasa terpai konvensional
yang penggunaannya tidak hanya menekankan pada kehebatan kata
kata yang disampaikan kapada klien tetapi lebih menekankan pada
kemampuan terapis supaya klien mampu memeriksa kembali asumsinya
sendiri terhadap permasalahan yang di hadapinya dan menjadikannya
sebagai sesuatu yang dapat menyembuhkan dan membuatnya berubah.

e. Logotherapy
Southwick dkk. (2006) mengatakan bahwa secara bahasa
logotherapy adalah penyembuhan melalui makna. Logotherapy adalah
psikoterapi yang memusatkan pada kebermaknaan yang berasal dari
filsafat eksistensial dan didasarkan pada pengalaman hidup penggagas
psikoterapi tersebut yaitu Viktor Frankl.
f. Powerfull Prayer
Barth (2004) menyatakan bahwa terdapat bukti ilmiah yang
mengatakan bahwa doa dan spiritualitas berpengaruh terhadap
kesehatan. Pernyataan tersebut didukung dengan penelitian Koenig

35

(2004) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara agama,


spiritualitas, dan kesehatan baik mental maupun fisisk.
Zainuddin (2009) menjelaskan bahwa dalam SEFT, 90%
menekankan pada unsur spiritualitas. Subjek dibawa pada keyakinan
bahwa kesembuhan berasal dari Tuhan sehingga subjek dapat ikhlas dan
pasrah terhadap masalah ataupun sakit yang sedang dialaminya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa teknik yang
mendasari SEFT adalah seluruh teknik yang terdapat dalam EFT,
ditambahkan

dengan

Logotherapy,

Self

Hypnosis

(Ericsonian),

Transcendental Relaxation & Meditation, Sedona Methode, Provocative


Therapy, dan Powerfull Prayer.

Zainuddin (2009) mengatakan bahwa ada beberapa hal yang perlu


diperhatikan ketika melakukan SEFT agar hasilnya efektif :
1. Testing
Sebelum menerapkan SEFT, terlebih dahulu subjek menentukan
nilai seberapa tinggi intensitas emosi/rasa sakit yang dialami sekarang dengan
menggunakan skala 0-10 (0 = tidak terasa, 10 = intensitas maksimum). Nilai
subjektif tersebut (0-10) yang menjadi tolok ukur kemajuan setelah SEFT
diterapkan.
2. Aspects
Ketika melakukan SEFT, subjek dibantu untuk memikirkan dan
membayangkan masalah yang dialaminya. Memikirkan dan membayangkan aspek

36

yang membuat subjek ingin merokok, sudah dapat menimbulkan gangguan energi
yang hampir sama ketika subjek sedang merokok. Efektivitas SEFT yang
diterapkan pada saat membayangkan aspek tersebut cenderung bertahan.
3. Be Spesific
Semakin spesifik mengenali akar masalah dari gangguan emosi,
pikiran, dan perilaku yang dialami maka semakin efektif hasilnya.
Berikut ini adalah uraaian tentang bagaimana melakukan SEFT untuk
membebaskan aliran energi di tubuh yang dengannya akan membebaskan emosi
dari berbagai kondisi negatif (Zainuddin, 2009; Thayib, 2010; Saputra, 2012) :
a. The Set Up
The Se-Up bertujuan untuk memastikan agar aliran energi tubuh
terarahkan dengan tepat.Langkah ini dilakukan unuk menetralisir psychological
reversal atau perlawanan psikologis (biasanya berupa pikiran negative spontan
atau keyakinan bawah sadar negatif, seperti kesulitan untuk melepaskan diri dari
kecanduan merokok).Cara menetralisir psychological reversal tersebut adalah
dengan melakukan the set-up words. Dalam bahasa religius, the set-up words
adalah doa kepasrahan kepada Allah SWT. Contoh the set-up wordsadalah Ya
Allah walaupun saya ingin sekali merokok padahal saya ingin bisa berhenti
merokok.,saya ikhlas menerima masalah saya ini. Saya pasrahkan padamu
kesembuhan saya dari kecanduan rokok.
b. The Tune In
Cara melakukan tune-in adalah dengan memikirkan sesuatu atau
peristiwa spesifik tertentu yang dapat membangktkan emosi negatif yang akan
dihilangkan atau situasi dimana seseorang sangat ingin merokok. Tujuannya

37

adalah untuk secara spesifik menetralisir emosi negatif atau sakit fisik yang
dirasakan. Untuk membantu terjadinya tune-in adalah dengan terus memikirkan
sesuatu yang membangkitkan respon emosi negatif tersebut sekaligus mengulangngulang kata pengingat yang mewakili emosi yang dirasakan. Dalam hal ini, kata
pengingatnya adalah kecanduan rokok. Cara lain untuk melakukan tune-in adalah
dengan mengganti kata pengingatnya dengan kalimat saya ikhlas, saya pasrah
pada-Mu ya Allah. Tune-in tetap dilakukan sampai semua teknik SEFT dilakukan
hingga akhir.
c. The Tapping
Tapping adalah mengetuk ringan dengan dua ujung jari pada titik
titik tertentu di tubuh sambil terus Tune In. Titik titik ini adalah titik titik
kunci dari The Major Energy Meridians, yang jika kita ketuk beberapa kali
akan berdampak pada netralisirnya gangguan emosi atau rasa sakit yang kita
rasakan. Tapping menyebabkan aliran tubuh berjalan dengan normaal dan
seimbang kemabali (Zainuddin, 2009).
Titik titik yang akan diberikan ketukan ringan berada di bagian
kepala, daerah dada dan tangan. Pada bagian kepala titik titik tersebut terdiri
dari titik CR (Crown) yaitu titik di bagian atas kepala (ubun ubun), titik EB (Eye
Brow) yaitu titik permulaan alis mata dekat pangkal hidung, titik SE (Side of the
Eye) yaitu titik diatas tulang ujung mata sebelah luar, titik UE (Under the Eye)
yaitu titik tepat di tulang bawah kelopak mata, titik UN (Under the Nose) yaitu
titik yang letaknya tepat dibawah hidung dan titik Ch (Chin) yaitu titik yang
letaknya diantara dagu dan bagian bawah bibir (Zainuddin, 2009; Thayib, 2010;
Saputra, 2012).

38

Pada bagian dada titik titik tapping terdiri dari titik CB (Colar
Bone) yaitu titik yang letaknya di ujung tempat bertemunya tulang dada dan
tulang rusuk pertama, titk UA (Under the Arm) yaitu titik yang berada dibawah
ketiaak sejajar dengan puting susu (pria) atau tepat di bagian bawah tali bra
(wanita) dan titik BN (Below Nipple) yaitu titik yang letaknya 2,5 cm dibawah
puting susu (pria) atau di perbatasan antara tulang dada dan bagian bawah
payudara (Zainuddin, 2009; Thayib, 2010; Saputra, 2012). Pada bagian tangan ada
9 titik tapping yang terdiri dari titik IH (Inside of Hand) yaitu titik yang letaknya
di bagian dalam tangan yang berbatasan dengan telapak tangan, titik OH (Outside
of Hand) yaitu titik yang letaknya di bagian luar tangan yang berbatasan dengan
telapak tangan, titik Th (Thumb) yaitu titik yang letaknya pada ibu jari di samping
luar bagian bawah kuku, titik IF (Indeks Finger) yaitu titik yang letaknya pada jari
telunjuk di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang menghadap ibu jari),
titik MF (Middle Finger) yaitu titik yang letaknya pada jari tengah di samping luar
bagian bawah kuku (di bagian yang mengahdap ibu jari), titik RF (Ring Finger)
yaitu titik yang letaknya pada jari manis di samping luar bagian bawah kuku (di
bagian yang menghadap ibu jari), titik BF (Baby Finger) yaitu titik yang letaknya
pada jari kelingking di samping luar bagian bawah kuku (di bagian yang
menghadap ibu jari), titik KC (Karate Chop) yaitu titik yang letaknya di samping
telapak tangan, bagian yang digunakan untuk mematahkan balok pada olahraga
karate dan titik GS (Gamut Spot) yaitu titik yang letaknya di bagian antara
perpanjangan tulang jari manis dan tulang jari kelingking (Zainuddin, 2009;
Thayib, 2010; Saputra, 2012).

39

Khusus untuk Gamut Spot, sambil men-tapping titik tersebut, kita


melakukan The 9 Gamut Procedure. Ini adalah 9 gerakan untuk merangsang
otaak. Tiap gerakan dimaksudkan untuk merangsang bagian otak tertentu.
Sembilan gerakan itu dilakukan sambil tapping pada salah satu titik energi tubuh
yang dinamakan Gamut Spot. Sembilan gerakan itu adalah menutup mata,
membuka mata, mata digerakkan dengan kuat ke kanan bawah, mata digerakkan
dengan kuat ke kiri bawah, memutar bola mata searah jarum jam, memutar bola
mata berlawanan arah jarum jam, bergumam dengan berirama selama 3 detik,
menghitung 1, 2, 3, 4, 5 kemudian diakhiri dengan berguamam lagi selama 3 detik
(Zainuddin, 2009; Thayib, 2010; Saputra, 2012).
The 9 Gamut Procedure ini dalam teknik psikoterapi kontemporer
disebut dengan teknik EMDR (Eye Movement Desensitization Repatterning).
Setelah menyelesaikan The 9 Gamut Procedure, langkah terakir adalah
mengulang lagi tapping dari titik pertama hingga ke-17 (berakir di karate chop),
dan di akhiri dengan mengambil napas panjang dan menghembuskannya, sambil
menucap rasa syukur (Alhamdulillah...) (Zainuddin,2009; Thayib, 2010; Saputra,
2012).

BAB 3

40

KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep


Input

Proses

Lansia di
Posyandu
Lansia
Kelurahan
Pojok

Output

Depresi

Terapi SEFT
Faktor yang
memepengaruhi :

Outcome
Meningkatkan
Derajat Kesehatan
Pada Lansia di
Posyandu Lansia
Kelurahan Pojok

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual Penelitian


Keterangan :
: Diteliti
: Tidak Diteliti
Berdasrkan gambar 3.1 dapat dijelaskan bahwa input pada
kerangka konseptual yang akan diteliti adalah Pada Lansia di Posyandu Lansia
Kelurahan Pojok. Proses dalam penelitian ini terapi SEFT Spiritual Emotional
Freedom Technique. Dengan diberikan terapi SEFT diharapkan dapat
mengahasilkan output yang diharapkan yaitu dapat ........, sehingga dengan

41

demikian outcome yang diperoleh dapat Meningkatkan Derajat Kesehatan Pada


Lansia di Posyandu Lansia Kelurahan Pojok.
3.1 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang merupakan jawaban
sementarapeneliti terhadap pertanyaan penelitian (Dahlan, 2008). Hipotesis inilah
yang akan dibuktikan oleh peneliti melalui penelitian. Ada dua kemungkinan
hasil apakah hipotsis penelitian terbukti atau tidak terbukti.
Hipotesis dalam penelitian ini (H1) adalah ada perbedaan intensitas
depresi antara sebelum dan sesudah Terapi SEFT Pada Lansia di Posyandu Lansia
Kelurahan Pojok. Selanjutnya diubah dalam bentuk hipotesis statistik (H0) yang
berbunyi tidak ada perbedaan sebelum dan sesudah Terapi SEFT pada Lansia di
Posyandu Lansia Kelurahan Pojok.

42

BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Desain penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan pendekatan
the one group pretest posttest design yaitu suatu desain yang memberikan
perlakuan pada satu kelompok intervensi, kemudian diobservasi sebelum dan
sesudah intervensi (Polit & Beck, 2006). Dalam desain ini pada sekelompok
subyek penelitian dilakukan pemeriksaan terhadap keadaan yang diteliti,
kemudian dilakukan intervensi. Setelah periode waktu yang dianggap cukup
dilakukan pemeriksaan kembali terhadap keadaan tersebut. Jadi setiap subyek
penelitian menajdi kontrol terhadap dirinya sendiri. Kekurangan desain ini
adalah hasilnya tidak dapat diklaim sebagai mutlak efek dari perlakuan yang
diberikan (Sastroasmoro, 2010). Penelitian ini menggunakan pendekatan the
one group pretest posttest design karena adanya keterbatasan waktu
penelitian sehingga dikuatirkan jumlah sampel yang didapatkan terlalu sedikit
untuk dibagi menjadi kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

43

Untuk lebih jelasnya desain ini dapat dilihat pada skema 4.1 sebagai berikut :
Skema 4.1 Kerangka Kerja Penelitian

Pretest

Intervensi

Posttest

Kondisi
Tingkat
Depresi
sebelum
intervensi
SEFT

Terapi
SEFT

Kondisi
Tingkat
Depresi
sesudah
intervensi
SEFT

O1

O2

O1 X O2
Keterangan :
O1

= pretest

= SEFT

O2

= posttest

Output

Adanya
perbedaan atau
tidak sebelum dan
sesudah Terapi
SEFT

44

Anda mungkin juga menyukai