Anda di halaman 1dari 18

latar belakang proposal "hubungan depresi dengan gangguan pola tidur pada lansia" BAB 1 PENDAHULUAN 1.

1 Latar Belakang Masalah Menurut UU No.13 Tahun 1998 pasal 1 ayat (2), (3), (4) tentang kesehatan mengatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. Usia lanjut adalah sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna Keliat, 1999). Penuaan atau proses terjadinya tua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Seiring dengan proses menua tersebut, tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan di antaranya adalah masalah fisik dan psikologis. Masalah fisik pada lansia adalah mengalami penurunan semua fungsi organ tubuh. Sedangkan masalah psikologis yang seringkali dijumpai pada lansia meliputi perasaan kesepian, takut kehilangan, takut menghadapi kematian, perubahan keinginan, kecemasan dan depresi. Gejala dari depresi tersebut sering membuat lansia merasa kemurungan, kesedihan, kehilangan gairah hidup, tidak ada semangat dan merasa tidak berdaya, kurang atau hilangnya perhatian diri, orang lain, atau lingkungannya, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan daya ingat menurun, aktifitas menurun, nafsu makan dan berat badan menurun, gangguan pada tidur. Gangguan tidur pada lansia merupakan keadaan dimana seseorang mengalami suatu perubahan dalam pola istirahatnya yang disebabkan karena banyaknya masalah sehingga menyebabkan lansia merasa kurang nyaman dalam hidupnya. Karena tidur merupakan suatu proses otak yang dibutuhkan seseorang untuk dapat berfungsi dengan baik (Amir, 2007) yang diyakini dapat digunakan untuk keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi stres pada paru, kardiovaskular, endokrin dan lain-lain. Gangguan depresi merupakan masalah yang sering dialami lansia yang dapat menjadi faktor penyebab lansia mengalami gangguan pola tidur. Menurut Luce dan Segal mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Pada kelompok lansia hanya dijumpai 7% kasus yang mengeluh mengenai masalah tidur (hanya dapat tidur tidak lebih dari lima jam sehari) (Wahyudi, 2003). Setiap tahun diperkirakan sekitar 20-50% orang dewasa melaporkan adanya gangguan tidur dan sekitar 17% mengalami gangguan tidur yang serius. Prevalensi gangguan tidur pada lansia di Indonesia cukup tinggi yaitu sekitar 67% dari 6 juta lansia (Amir, 2007). Berdasarkan data yang diperoleh peneliti saat berkunjung di Posyandu Lansia yang didapatkan jumlah lansia pada tahun 2010 yang aktif ada 72 lansia dengan usia rata-rata 60-75 tahun. Pada saat pengambilan data awal dimulai tanggal 29 September 2010 didapatkan jumlah lansia yang mengalami gangguan pola tidur sebanyak 25 lansia dengan melakukan wawancara terstruktur. Depresi dan lanjut usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia. Masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai serta menikmati masa

pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Pada kenyataannya tidak semua lanjut usia mendapatkannya. Berbagai persoalan hidup yang menimpa lanjut usia sepanjang hayatnya seperti kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stres yang berkepanjangan ataupun konflik dengan keluarga atau anak atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya. Kondisi hidup seperti ini dapat memicu depresi. Masalah yang dihadapi lansia tersebut dapat mengganggu kenyamanan lansia sehingga menyebabkan pola tidur pada lansia berubah. Dampak dari gangguan tidur adalah perasaan lelah, mudah tersinggung dan gelisah, perhatian terpecah. Masyarakat yang mengalami gangguan tidur dan mencari bantuan untuk mengatasi masalah ini mencapai 30%. Kelainan tidur lebih sering terjadi pada lansia. Depresi disebutkan sebagai salah satu penyebab dari gangguan tidur pada lansia yang diminimalkan dengan dukungan keluarga sehingga lansia dapat merasakan adanya perasaan bahagia karena pada lansia yang mengalami depresi sering merasa bahwa dirinya tidak berharga dan cenderung memilih untuk sendiri, sehingga perawat perlu memberikan perhatian bahkan melibatkan lansia sendiri dalam melakukan aktivitas sehari-sehari sebagai bentuk kegiatan positif dalam mencegah munculnya pemikiran yang akan membawa diri lansia ke perasaan depresi. Perawat mempunyai peranan dalam memberikan pertolongan segera untuk mengatasi depresi dengan membantu lansia dalam memahami dan menyatakan perasaan positif dan negatif yang menyangkut dirinya, orang lain dan apa yang terjadi di sekitarnya. Selain itu, perawat juga berperan dalam memberikan asuhan keperawatan sehingga tercukupinya kebutuhan tidur pada lansia dengan meminimalkan kondisi-kondisi diri lansia yang menjadi faktor penyebab lansia mengalami gangguan pola tidur. Dengan tingkat depresi yang berkurang memberikan kenyamanan bagi lansia maka dapat meningkatkan kebutuhan tidur secara adekuat. Dari uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan tingkat depresi dengan gangguan pola tidur pada lansia di Posyandu Lansia 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1.2.1 Apakah ada hubungan tingkat depresi dengan gangguan pola tidur pada lansia di Posyandu Lansia ? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan tingkat depresi dengan gangguan pola tidur pada lansia di Posyandu Lansia . 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Mengidentifikasi tingkat depresi pada lansia di Posyandu Lansia 1.3.2.2 Mengidentifikasi gangguan pola tidur pada lansia di Posyandu Lansia 1.3.2.3 Menganalisa hubungan tingkat depresi dengan gangguan pola tidur pada lansia di Posyandu Lansia

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi perkembangan ilmu keperawatan dalam mengatasi masalah depresi terhadap gangguan pola tidur yang dialami oleh lansia. Pada lansia sendiri adalah individu yang mengalami penurunan daya imunitas sehingga pada kondisi gangguan tidur dan depresi yang dialami menyebabkan penurunan kondisi tubuh yang menyebabkan lansia rentan terhadap kondisi sakit. Bila hal tersebut dapat dideteksi secara dini dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia atau harapan hidup terutama pada lansia sehingga diharapkan kebutuhan tidur pada lansia dapat terpenuhi secara adekuat. 1.4.2 Praktis 1.4.2.1 Bagi Lansia Hasil penelitian ini sebagai inspirasi bagi lansia dalam meningkatkan status kesehatan untuk mengatasi masalah depresi yang memberikan pengaruh sehingga menjadi faktor penyebab lansia mengalami gangguan pola tidur. 1.4.2.2 Bagi Institusi Posyandu Lansia Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dalam meningkatkan mutu pelayanan kesehatan bagi lansia dan meminimalkan perasaan depresi yang dialami lansia dengan melatih mekanisme koping yang tepat sehingga dapat menerima keadaan lansia dengan tenang dan bisa meningkatkan kebutuhan tidur pada lansia. 1.4.2.3 Bagi Perawat Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya mengurangi depresi pada lansia sehingga dapat meningkatkan kebutuhan tidur. 1.4.2.4 Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penelitian selanjutnya sehingga meningkatkan keberhasilan perawatan pada lansia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Depresi 2.1.1 Pengertian 1) Depresi adalah suatu jenis gangguan alam perasaan atau emosi yang disertai komponen psikologik: rasa susah, murung, sedih, putus asa, dan tidak bahagia, serta komponen somatik: anoreksia, konstipasi, kulit lembab (rasa dingin), tekanan darah dan denyut nadi menurun. Depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa pada alam perasaan (afektif, mood) (Teddy Hidayat, 2008). 2) Depresi adalah gangguan alam perasaan yang ditandai oleh kesedihan, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, perasaan kosong (Budi Anna Keliat, 1998). 3) Depresi adalah suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau perasaan marah

yang dalam (Nugroho, Whayudi: 2000). Depresi merupakan gangguan alam perasaan yang berat dan dimanifestasikan dengan gangguan fungsi sosial dan fungsi fisik yang hebat, lama dan menetap pada individu yang bersangkutan. Depresi merupakan reaksi yang normal bila berlangsung dalam waktu yang pendek dengan adanya faktor pencetus yang jelas, lama dan dalamnya depresi sesuai dengan faktor pencetusnya. Depresi merupakan gejala psikotik bila keluhan yang bersangkutan tidak sesuai lagi dengan realitas, tidak dapat menilai realitas dan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. 2.1.2 Faktor Penyebab Depresi Depresi pada usia lanjut bukan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh patologi tunggal, tetapi biasanya bersifat multifaktorial. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan depresi antara lain : 2.1.2.1 Susunan kimia otak dan tubuh Beberapa bahan kimia di dalam otak dan tubuh tampaknya memegang peranan yang besar dalam mengendalikan emosi. Pada orang depresi ditemukan dalam jumlah bahan kimia tersebut. Hormon noradrenalin yang memegang peranan utama dalam mengendalikan otak dan aktifitas tubuh tampaknya berkurang pada individu yang mengalami depresi. Pada wanita perubahan hormon dapat meningkatkan resiko terjadinya depresi. 2.1.2.2 Kepribadian depresif Orang yang mempunyai kepribadian depresif (terus-menerus bersikap sedih dan putus asa) membuat individu terasing dalam masyarakat dan akibatnya mengakibatkan terjadinya depresi. 2.1.2.3 Stress Kematian orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, pindah rumah atau stress yang berat dianggap dapat menyebabkan depresi. Reaksi terhadap stress seringkali ditangguhkan dan depresi dapat terjadi beberapa bulan sesudah peristiwa itu terjadi. 2.1.2.4 Penyakit fisik Lansia yang menderita fisik atau kondisi kelumpuhan yang lama seperti arthritis rematoid dapat berakhir dengan depresi. 2.1.3 Faktor Resiko Depresi Menurut S. Thamer (2009), faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya depresi adalah sebagai berikut : 1) Kehilangan / meninggal orang (objek) yang dicintai 2) Sikap pesimistik 3) Kecenderungan berasumsi negatif terhadap suatu pengalaman yang mengecewakan 4) Kehilangan integritas pribadi 5) Berpenyakit degeneratif kronik, tanpa dukungan sosial yang adekuat

2.1.4 Tanda dan Gejala Depresi Menurut Tedy Hidayat (2008), depresi ditandai dengan gejala berikut : 1) Kemurungan, kesedihan, kehilangan gairah hidup, tidak ada semangat dan merasa tidak berdaya 2) Kurang atau hilangnya perhatian diri, orang lain, atau lingkungannya 3) Inisiatif menurun 4) Ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan daya ingat menurun 5) Aktifitas menurun 6) Nafsu makan dan berat badan menurun 7) Gangguan pada tidur 8) Kehilangan minat 2.1.5 Tingkat Depresi menurut PPDGJ III 2.1.5.1 Depresi Ringan Ciri-ciri depresi ringan sekurang-kurangnya ada 2 3 gejala umum, serta adanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan. Misalnya perasaan sedih, perasaan negatif pada diri sendiri, menyalahkan dan mengkritik diri sendiri, hilang minat dan semangat, serta malas beraktivitas. 2.1.5.2 Depresi Sedang Ciri-ciri depresi sedang sekurang-kurangnya ada 2 3 gejala umum, serta adanya kesulitan nyata dalam menyelesaikan pekerjaan. Misalnya perubahan nafsu makan dan rasa lelah berlebihan setelah aktifitas rutin yang biasa dilakukan. 2.1.5.3 Depresi Berat Depresi berat dapat dibagi menjadi dua yaitu depresi berat dengan gejala psikotik dan tanpa gejala psikotik. Yang ditandai dengan ciri murung, sedih, sering menangis, keinginan untuk menghindar dan menarik diri, meningkatnya ketergantungan, gangguan pola tidur dan keinginan untuk mengakhiri hidup. 2.1.6 Klasifikasi Depresi 2.1.6.1 Penggolongan depresi menurut penyebabnya antara lain : 1) Depresi reaktif Pada depresi reaktif, gejalanya diperkirakan akibat stres luar seperti kehilangan seseorang atau kehilangan pekerjaan 2) Depresi endogenus Pada depresi endogenus, gejalanya terjadi tanpa di pengaruhi faktor luar. Seorang psikiater mendianogsa seorang pasien menderita depresi endogenus jika mereka menunjukan tanda tanda sedih menarik diri dan mempunyai beberapa gejala berikut : (1) Hilangnya hasrat seks (2) Anoreksia atau kehilangan berat badan (3) Kelambatan fisik dan mental atau kegelisahan serta agitasi (4) Bangun pagi pagi (5) Perasaan bersalah (6) Tidak menikmaati apa apa (7) Susana sedih yang menetap yang tidak berubah walaupun hal menyenagkan terjadi

(8) Suasana hati sedih yang berbeda dari kesedihan biasa 2.1.6.2 Penggolongan Depresi menurut gejalanya : 1) Depresi nurotik Terjadinya depresi neurotik biasanya setelah mengalami peristiwa yang menyedihkan, tetapi yang jauh lebih berat daripada biasanya. Penderitanya seringkali di penuhi trauma emosional misalnya kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan, barang berharga atau seorang kekasih. Gejalanya berupa gelisah, cemas, ketakutan yang abnormal. 2) Depresi psikotik Secara tegas istilah psikotik harus dipakai untuk penyakit depresi yang berkaitan dengan delusi dan halusinasi atau keduanya 2.1.7 Manifestasi Klinis Manifestasi klinik yang terjadi pada usia lanjut antara lain : apatis, penarikan diri dari aktivitas sosial, ganguan memori, menurunnya perhatian serta memburuknya kognitif secara nyata, penurunan nafsu makan, sukar tidur. Depresi pada usila seringkali kurang atau tidak terdiagnosis karena hal sebagai berikut : 1) Penyakit fisik yang diderita seringkali mengacaukan gambaran depresi antara lain : mudah lelah dan penurunan berat badan 2) Golongan usila seringkali menutupi rasa sedihnya dengan justru menunjukan bahwa dia lebih aktif 3) Kecemasan, obsesinasionalitas, hysteria dan hipokondria yang sering merupakan gejala depresi justru sering menutupi depresinya. Penderita dengan hipokondria misalnya justru sering dimasukkan ke bangsal penyakit dalam atau bedah (karena diperlukan penelitian untuk konstipasi) 4) Masalah sosial yang juga diderita seringkali membuat gambaran depresi menjadi lebih rumit 2.1.8 Dampak Depresi pada Lansia 1) Merokok 2) Penurunan kesehatan secara drastis 3) Mengganggu kehidupan sosial ekonomi 4) Mengancam kesehatan diri, orang lain dan lingkungan 5) Bunuh diri 6) Gangguan psikotik berlanjut 7) Gangguan pada tidur 2.1.9 Skala Depresi pada Lansia Skala depresi pada lansia adalah dengan memberikan kuesioner yang terdiri dari 15 pertanyaan dengan menggunakan Geriatric Depression Scale (GDS 15) menurut Nursalam (2003). Kuesioner untuk depresi dengan jawaban ya atau tidak. Penilaian untuk jawaban ya bernilai 1 dan jawaban tidak bernilai 0. Dimana hasil jawaban kemudian di jumlah sehingga mendapat hasil yang kemudian digolongkan menjadi tiga kategori tingkat depresi yaitu untuk depresi ringan score < 5 ; depresi sedang score 5 9 ; dan depresi berat score 10. Skala depresi pada lansia berisi pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1) Apakah sebenarnya puas dengan kehidupan anda ? 2) Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat atau kesenangan anda ? 3) Apakah anda merasa kehidupan anda kosong ? 4) Apakah anda sering merasa bosan ? 5) Apakah anda mempunyai semangat yang baik setiap saat ? 6) Apakah anda takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi pada anda ? 7) Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup anda ? 8) Apakah anda sering merasa tak berdaya ? 9) Apakah anda lebih senang tinggal di rumah daripada keluar dan mengerjakan sesuatu hal yang baru ? 10) Apakah anda merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingat anda dibandingkan kebanyakan orang ? 11) Apakah anda pikir bahwa hidup anda sekarang ini menyenangkan ? 12) Apakah anda tidak merasa berharga seperti perasaan anda saat ini ? 13) Apakah anda merasa penuh semangat ? 14) Apakah anda merasa keadaan anda tidak ada harapan ? 15) Apakah anda pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari anda ? 2.2 Konsep Tidur 2.2.1 Pengertian 1) Tidur merupakan suatu keadaan yang berulang-ulang, perubahan status kesadaran yang terjadi selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). 2) Tidur merupakan kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh stimulus atau sensoris yang sesuai (Guyton, 1986), atau juga dapat dikatakan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang relatif, bukan hanya keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan, tetapi lebih merupakan suatu urutan siklus yang berulang dengan ciri adanya aktifitas yang minim, memiliki kesadaran yang bervariasi, terhadap perubahan proses fisiologis, dan terjadi penurunan respons terhadap rangsangan dari luar (Aziz Alimul, 2006). 3) Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (Tarwoto Wartonah, 2006). 2.2.2 Fungsi dan Tujuan Tidur Menurut Aziz (2006) fungsi dan tujuan tidur secara jelas tidak diketahui, akan tetapi diyakini bahwa tidur dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi stres pada paru, kardiovaskular, endokrin dan lain-lain. Energi disimpan selama tidur, sehingga dapat diarahkan kembali pada fungsi seluler yang penting. Secara umum terdapat dua efek fisiologis dari tidur; pertama, efek pada sistem saraf yang diperkirakan dapat memulihkan kepekaan normal dan keseimbangan di antara berbagai susunan saraf; dan kedua, efek pada struktur tubuh dengan memulihkan kesegaran dan fungsi dalam organ tubuh karena selama tidur terjadi penurunan.

2.2.3 Tahapan Tidur menurut Tarwoto (2006) EEG, EMG dan EOG dapat mengidentifikasi perbedaan signal pada level otak, otot dan aktivitas mata. Normalnya tidur dibagi menjadi dua yaitu nonrapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Selama masa NREM seseorang terbagi menjadi empat tahapan dan memerlukan kira-kira 90 menit selama siklus tidur. Sedangkan tahapan REM adalah tahapan terakhir kira-kira 90 menit sebelum tidur berakhir. 2.2.3.1 Tahapan tidur NREM 1) NREM tahap I (1) Tingkat transisi (2) Merespons cahaya (3) Berlangsung beberapa menit (4) Mudah terbangun dengan rangsangan (5) Aktifitas fisik menurun, tanda vital dan metabolisme menurun (6) Bila terbangun terasa sedang bermimpi 2) NREM tahap II (1) Periode suara tidur (2) Mulai relaksasi otot (3) Berlangsung 10 20 menit (4) Fungsi tubuh berlangung lambat (5) Dapat dibangunkan dengan mudah 3) NREM tahap III (1) Awal tahap dari keadaan tidur nyenyak (2) Sulit dibangunkan (3) Relaksasi otot menyeluruh (4) Tekanan darah menurun (5) Berlangsung 15 30 menit 4) NREM tahap IV (1) Tidur nyenyak (2) Sulit untuk dibangunkan, butuh stimulus intensif (3) Untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun (4) Sekresi lambung menurun (5) Gerak bola mata cepat 2.2.3.2 Tahapan tidur REM 1) Lebih sulit dibangunkan dibandingkan dengan tidur NREM 2) Pada orang dewasa normal REM yaitu 20 25 % dari tidur malamnya 3) Jika individu terbangun pada tidur REM maka biasanya terjadi mimpi 4) Tidur REM penting untuk keseimbangan mental, emosi juga berperan dalam belajar, memori dan adaptasi 2.2.3.3 Karakteristik tidur REM 1) Mata : Cepat tertutup dan terbuka 2) Otot-otot : Kejang otot kecil, otot besar imobilisasi 3) Penapasan : Tidak teratur, kadang dengan apnea

4) Nadi : Cepat dan ireguler 5) Tekanan darah : Meningkat atau fluktuasi 6) Sekresi gaster : Meningkat 7) Metabolisme : Meningkat, temperatur tubuh naik 8) Gelombang otak : EEG aktif 9) Siklus tidur : Sulit dibangunkan 2.2.4 Pola Tidur Normal Menurut Tarwoto (2006) pola tidur pada manusia bergantung pada tingkat perkembangan. 2.2.4.1 Neonatus sampai dengan 3 bulan 1) Kira-kira membutuhkan 16 jam/hari 2) Mudah berespons terhadap stimulus 3) Pada minggu pertama kelahiran 50% adalah tahap REM 2.2.4.2 Bayi 1) Pada malam hari kira-kira tidur 8 10 jam 2) Usia 1 bulan sampai dengan 1 tahun kira-kira tidur 14 jam/hari 3) Tahap REM 20 30% 2.2.4.3 Toddler 1) Tidur 10 12 jam/hari 2) Tahap REM 25% 2.2.4.4 Preschooler 1) Tidur 11 jam pada malam hari 2) Tahap REM 20% 2.2.4.5 Usia sekolah 1) Tidur 10 jam pada malam hari 2) Tahap REM 18,5% 2.2.4.6 Adolensia 1) Tidur 8,5 jam pada malam hari 2) Tahap REM 20% 2.2.4.7 Dewasa muda 1) Tidur 7 9 jam/hari 2) Tahap REM 20 25% 2.2.4.8 Usia dewasa pertengahan 1) Tidur 7 jam/hari 2) Tahap REM 20% 2.2.4.9 Usia tua 1) Tidur 6 jam/hari 2) Tahap REM 20 25% 3) Tahap IV NREM menurun dan kadang-kadang absen 4) Sering terbangun pada malam hari 2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tidur Aziz (2006) menjelaskan bahwa kualitas dan kuantitas tidur dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor psikologis, fisiologis dan lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur. Kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu untuk

tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Di antara faktor yang dapat mempengaruhinya adalah :

2.2.5.1 Penyakit Setiap penyakit yang menyebabkan nyeri, ketidaknyamanan fisik (misal : kesulitan bernapas) atau masalah suasana hati, seperti kecemasan atau depresi, dapat menyebabkan masalah tidur. Seseorang dengan perubahan seperti itu mempunyai masalah kesulitan tertidur atau tetap tertidur. Penyakit juga dapat memaksa klien untuk tidur dalam posisi yang tidak biasa. Sebagai contoh, memperoleh posisi yang aneh saat tangan atau lengan dimobilisasi pada traksi dapat mengganggu tidur. 2.2.5.2 Latihan dan Kelelahan Seseorang yang kelelahan biasanya memperoleh tidur yang mengistirahatkan, khusunya jika kelelahan adalah hasil dari kerja atau latihan yang menyenangkan. Latihan 2 jam atau lebih sebelum waktu tidur membuat tubuh mendingin dan mempertahankan suatu keadaan kelelahan yang meningkatkan relaksasi. Akan tetapi, kelelahan yang berlebihan yang dihasilkan dari kerja yang meletihkan atau penuh stres membuat sulit tidur. Hal ini dapat menjadi masalah yang umum bagi anak sekolah dan remaja. 2.2.5.3 Stres Emosional Kecemasan tentang masalah pribadi atau situasi dapat mengganggu tidur. Stres emosional menyebakan seseorang menjadi tegang dan seringkali mengarah frustasi apabila tidak tidur. Stres juga menyebabkan seseorang mencoba terlalu keras untuk tertidur, sering terbangun selama siklus tidur, atau terlalu banyak tidur. Stres yang berlanjut dapat menyebabkan kebiasaan tidur yang buruk. Seringkali klien lansia mengalami kehilangan yang mengarah pada stres emosional. Pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan kehilangan keamanan ekonomi merupakan contoh situasi yang mempredisposisi lansia untuk cemas dan depresi. Lansia, dan juga seperti individu lain yang mengalami masalah perasaan depresi, sering juga mengalami perlambatan untuk jatuh tertidur, munculnya tidur REM secara dini, seringkai terjaga, peningkatan total waktu tidur, perasaan tidur yang kurang, dan terbangun cepat. 2.2.5.4 Obat Obat dapat juga mempengaruhi proses tidur. Mengantuk adalah efek samping medikasi yang umum. Medikasi yang diresepkan untuk tidur seringkali memberi banyak masalah daripada keuntungan. Orang dewasa muda dan dewasa tengah dapat tergantung pada obat tidur untuk mengatasi stressor gaya hidupnya. Lansia seringkali menggunakan variasi obat untuk mengontrol atau mengatasi penyakit kroniknya. Dan efek kombinasi dari beberapa obat dapat mengganggu tidur secara serius. Beberapa jenis obat yang dapat mempengaruhi proses tidur adalah jenis golongan obat diuretik menyebabkan seseorang insomnia, anti depresan dapat menekan REM, kafein dapat meningkatkan saraf simpatis yang menyebabkan kesulitan untuk tidur, golongan beta bloker dapat berefek pada timbulnya insomnia, dan golongan narkotik dapat menekan REM sehingga mudah mengantuk.

2.2.5.5 Nutrisi Orang tidur lebih baik ketika sehat sehingga mengikuti kebiasaan makan yang baik adalah penting untuk kesehatan yang tepat dan tidur. Makan besar, berat, dan/atau berbumbu pada makan malam dapat menyebabkan tidak dapat dicerna yang mengganggu tidur. Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses tidur. Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena adanya tryptophan yang merupakan asam amino dari protein yang dicerna. Demikian sebaliknya, kebutuhan gizi yang kurang dapat juga mempengaruhi proses tidur, bahkan terkadang sulit untuk tidur. 2.2.5.6 Lingkungan Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik, ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Suara dan tingkat cahaya dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat mempercepat terjadinya proses tidur. 2.2.5.7 Motivasi Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang untuk tidur, yang dapat mempengaruhi proses tidur. Selain itu, adanya keinginan untuk menahan tidak tidur dapat menimbulkan gangguan proses tidur. 2.2.6 Gangguan Tidur menurut Lanywati (2001) Gangguan tidur adalah kondisi yang jika tidak diobati, secara umum akan menyebabkan gangguan tidur malam yang mengakibatkan munculnya salah satu dari ketiga masalah berikut : insomnia; gerakan atau sensasi abnormal di kala tidur atau ketika terjaga di tengah malam; atau rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari. 2.2.6.1 Insomnia Insomnia merupakan suatu keadaan ketidakmampuan mendapatkan tidur yang adekuat, baik kualitas maupun kuantitas, dengan keadaan tidur yang hanya sebentar atau susah tidur. Insomnia terbagi menjadi tiga jenis, yaitu : 1) Initial insomnia merupakan ketidakmampuan untuk jatuh tidur atau mengawali tidur 2) Intermiten insomnia merupakan ketidakmampuan tetap tidur karena selalu terbangun pada malam hari 3) Terminal insomnia merupakan ketidakmampuan untuk tidur kembali setelah bangun tidur pada malam hari Proses gangguan tidur ini kemungkinan besar disebabkan oleh adanya rasa khawatir, tekanan jiwa, ataupun stres. 2.2.6.2 Hipersomnia Hipersomnia merupakan gangguan tidur dengan kriteria tidur berlebihan, pada umumnya lebih dari sembilan jam pada malam hari, disebabkan oleh kemungkinan adanya masalah psikologis, depresi, kecemasan, gangguan susunan saraf pusat, ginjal, hati, dan gangguan metabolisme.

2.2.6.3 Parasomnia Parasomnia merupakan kumpulan beberapa penyakit yang dapat mengganggu pola tidur, seperti somnambulisme (berjalan-jalan dalam tidur) yang banyak terjadi pada anak-anak, yaitu pada tahap III dan IV dari tidur NREM. Somnambulisme ini dapat menyebabkan cidera. 2.2.6.4 Enuresa Enuresa merupakan buang air kecil yang tidak disengaja pada waktu tidur, atau biasa juga disebut dengan istilah mengompol. Enuresa dibagi menjadi dua jenis, yaitu : 1) Enuresa nokturnal merupakan mengompol di waktu tidur. Enuresa nokturnal umumnya merupakan gangguan pada tidur NREM 2) Enuresa diurnal merupakan mengompol pada saat bangun tidur 2.2.6.5 Apnea Tidur Apnea saat tidur adalah periode henti napas saat tidur. Tanda-tanda yang dapat diamati adalah mendengkur berlebihan. Apnea tidur adalah gangguan yang dicirikan dengan kurangnya aliran udara melalui hidung dan mulut selama periode 10 detik atau lebih pada saat tidur. 2.2.6.6 Narkolepsi Narkolepsi merupakan keadaan tidak dapat mengendalikan diri untuk tidur, misalnya tertidur dalam keadaan berdiri, mengemudikan kendaraan, atau di saat sedang membicarakan sesuatu. Hal ini merupakan suatu gangguan neurologis 2.2.7 Gangguan Pola Tidur secara Umum menurut Wahyudi (2000) Gangguan pola tidur secara umum merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami atau mempunyai resiko perubahan dalam jumlah dan kualitas pola istirahat yang menyebabkan ketidaknyamanan atau mengganggu gaya hidup yang diinginkan (Capernito, LJ, 1995). Gangguan ini terlihat pada pasien dengan kondisi yang memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di daerah sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala, dan sering menguap atau mengantuk. Penyebab dari gangguan pola tidur ini antara lain kerusakan transpor oksigen, gangguan metabolisme, kerusakan eliminasi, pengaruh obat, immobilitas, nyeri pada kaki, takut operasi, faktor lingkungan yang mengganggu dan lain-lain. 2.2.8 Gangguan Tidur pada Lansia menurut Wahyudi (2000) Irwin Feinerg mengungkapkan bahwa sejak meninggalkan masa remaja, kebutuhan tidur seseorang menjadi relatif tetap. Luce dan Segal mengungkapkan bahwa faktor usia merupakan faktor terpenting yang berpengaruh terhadap kualitas tidur. Telah dikatakan bahwa keluhan terhadap kualitas tidur seiring dengan bertambahnya usia. Pada kelompok lanjut usia (empat puluh tahun) hanya dijumpai 7% kasus yang mengeluh mengenai masalah tidur (hanya saat tidur tidak lebih dari 5 jam sehari). Hal yang sama dijumpai pada 22% pada kelompok usia tujuh puluh lima tahun. Demikian pula, kelompok lanjut usia lebih banyak mengeluh terbangun lebih awal dari pukul 05.00 pagi. Selain itu, terdapat 30% kelompok usia tujuh puluh tahun yang banyak terbangun di

waktu malam hari. Angka ini ternyata tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok usia dua puluh tahun. Gangguan tidur tidak saja menunjukkan indikasi adanya kelainan jiwa yang dini tetapi merupakan keluhan dari hampir 30% penderita yang berobat ke dokter. Disebabkan oleh : 1) Faktor ekstrinsik (luar), misalnya : lingkungan yang kurang tenang 2) Faktor intrinsik, ini bisa organik dan psikogenik (1) Organik, misalnya nyeri, gatal-gatal dan penyakit tertentu yang membuat gelisah (2) Psikogenik, misalnya depresi, kecemasan dan iritabilitas 2.3 Konsep Lansia 2.3.1 Pengertian Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia ( Budi anna keliat, 1999 ) yang dikutip dari R. Siti Maryam (2008). 1) Sedangkan menurut pasal 1 ayat ( 2 ), ( 3 ), ( 4 ) UU. No 13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa lanjut usia adalah seorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun. 2) Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, lanjut usia meliputi : (1) Lanjut usia ( elderly ) = antara 60 sampai 74 tahun (2) Lanjut usia tua ( old ) = antara 76 sampai 90 tahun (3) Usia sangat tua ( very old ) = diatas 90 tahun 2.3.2 Klasifikasi Lansia menurut Siti Maryam (2008) Klasifikasi berikut ini adalah lima klasifikasi pada lansia. 2.3.2.1 Pralansia ( Prasanilis ) Seseorang yang berusia antara 45 59 tahun. 2.3.2.2 Lansia Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. 2.3.2.3 Lansia resiko tinggi Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih / seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan. 2.3.2.4 Lansia potensial Lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan / atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang / jasa. 2.3.2.5 Lansia tidak potensial Lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. 2.3.3 Tipe Lansia Beberapa tipe pada lansia bergantung pada karakter pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, dan ekonominya.

Menurut Wahyudi (2008) tipe tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : 2.3.3.1 Tipe arif bijaksana Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan. 2.3.3.2 Tipe mandiri Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan, bergaul dengan teman , dan memenuhi undangan. 2.3.3.3 Tipe tidak puas Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut. 2.3.3.4 Tipe pasrah Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja. 2.3.3.5 Tipe bingung Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh

N Vari o abel 1. Ting kat Depr esi

4.5 Definisi Operasional Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut (Nursalam, 2003). Tabel 4.1 Definisi Operasional Hubungan Tingkat Depresi dengan Gangguan Pola Tidur pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Definisi Indikator Alat Ukur Skala Keadaan jiwa yang tertekan dan penurunan fungsi kognitif hingga berpotensi menimbulkan berbagai kendala Depresi meliputi : -Kehilangan minat -Aktivitas menurun -Nafsu makan menurun -Gangguan pada tidur -Kehilangan semangat dan gairah dalam hidup Kuesioner Ordinal berdasarkan Geriatric Depression Scale yang sudah dibakukan

Skor

Pertanyaan dengan jawaban positif (ya) bernilai 1 dan jawaban negatif (tidak) bernilai 0. Kategori penilaian : Depresi ringan = < 5 Depresi sedang = 5 9 Depresi berat = 10

2. Gan ggua n pola tidur

Kuesioner

Ordinal

Suatu keadaan ketidakmampua n mendapatkan tidur yang adekuat, baik secara kualitas maupun kuantitas dengan keadaan tidur yang hanya sebentar atau susah tidur

Gangguan pola tidur meliputi : -Sering terbangun pada malam hari -Sulit untuk memulai tidur -Tidur kurang dari 6 jam/hari -Lingkungan yang kurang kondusif

Penilaian Pertanyaan positif : Selalu = 4 Sering = 3 Kadang-kadang = 2 Tidak pernah = 1

Penilaian Pertanyaan negatif : Selalu = 1 Sering = 2 Kadang-kadang = 3 Tidak pernah = 4 Dikategorikan : Berat = 76% - 100% Sedang = 56% - 75% Ringan = 55% (Nursalam, 2003)

4.6 Pengumpulan Data dan Analisa Data 4.6.1 Pengumpulan Data 4.6.1.1 Bahan Penelitian Peneliti tidak menggunakan bahan penelitian dalam pengambilan data. 4.6.1.2 Instrumen Pengumpulan Data Instrumen adalah alat pada waktu peneliti menggunakan sesuatu metode. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dimana peneliti mengumpulkan data secara formal kepada subjek untuk menjawab pertanyaan secara tertulis yang kemudian pertanyaan diajukan secara langsung kepada subjek atau disampaikan secara lisan oleh peneliti dari pertanyaan yang sudah tertulis. Untuk memperoleh data, peneliti memberikan lembar persetujuan dan kuesioner kepada responden yang memenuhi kriteria inklusi. Pada penelitian ini peneliti mengumpulkan data umum yang berupa data demografi yaitu : jenis kelamin, usia, pekerjaan, penyakit penyerta. Untuk mengetahui bagaimana tingkat depresi pada lansia, maka peneliti memberikan kuesioner yang menggunakan Geriatric Depression Scale (GDS 15) (Pitt, B (1988) & Lovestone (1999)) yang terdiri dari 15 pertanyaan (Nursalam, 2003) dengan pilihan jawaban Ya (skor 1) dan Tidak (skor 0). Sedangkan untuk mengetahui gangguan pola tidur yang dialami oleh lansia, peneliti akan memberikan kuesioner dimana peneliti membuat sendiri sesuai teori konsep yang ada sebanyak 15 pertanyaan dengan pilihan jawaban selalu, sering, kadang-kadang, tidak pernah. Pertanyaan kuesioner dengan gangguan pola tidur dikategorikan ke dalam pertanyaan positif dan negatif dengan skor masing-masing yang sudah ditentukan oleh peneliti. Sebelum meemberikan kuesioner kepada responden utuk melakukan penelitian maka kuesioner akan uji cobakan dan kemudian di uji validitas dan uji reabilitas serta dikonsultasikan kepada pembimbing. 4.6.1.3 Waktu dan Tempat Pengambilan data pada penelitian ini yang dilaksanakan pada tanggal 30 Maret 2011 di Posyandu Lansiai 4.6.1.4 Proses Pengumpulan Data Setelah mendapatkan ijin dari Ketua Posyandu Lansia, peneliti menghadiri kegiatan Posyandu Lansia tersebut. Saat pengumpulan data, peneliti menjalin hubungan kerjasama dan saling percaya dan dengan memberikan kuesioner yang diisi oleh responden yang memenuhi kriteria inklusi dimana dalam pengisian tersebut responden ditemani/ditunggu oleh peneliti di Posyandu Lansia apabila lansia mengalami kesulitan dalam pengisian kuesioner. Peneliti memberikan informed consent untuk kemudian ditandatangani bila responden bersedia diteliti. Data yang dikumpulkan melalui kuesioner untuk menilai tingkat depresi dan gangguan pola tidur pada lansia kemudian diberi skor dan dijumlah, sehingga memperoleh hasil bagaimana hubungan tingkat depresi dengan gangguan pola tidur pada lansia. 4.6.2 Analisa Data 4.6.2.1 Langkah-langkah Analisa Data

1) Coding (1) Untuk Data Demografi Untuk data demografi jenis kelamin untuk laki-laki dengan kode 1, perempuan dengan kode 2. Untuk data demografi usia untuk usia 61-70 tahun dengan kode 1, usia 71-80 tahun dengan kode 2, usia 81-90 dengan kode 3, usia 91-100 tahun dengan kode 4. Untuk data demografi pekerjaan untuk yang tidak bekerja dengan kode 1, petani dengan kode 2, purna pegawai negeri dengan kode 3, wiraswasta dengan kode 4. Untuk data demografi penyakit penyerta untuk penyakit Hipertensi dengan kode 1, penyakit Diabetes mellitus dengan kode 2, penyakit Sesak dengan kode 3. (2) Untuk Variabel Tingkat Depresi pada Lansia Pengkodean tingkat depresi pada penelitian ini dibagi ke dalam beberapa kode. Untuk depresi ringan dengan score < 5 diberi kode 1, depresi sedang dengan score 5 9 diberi kode 2, depresi berat dengan score 10 diberi kode 3. (3) Untuk Variabel Gangguan Pola Tidur pada Lansia Pengkodean gangguan pola tidur pada penelitian ini dibagi ke dalam beberapa kode. Untuk gangguan pola tidur berat dengan porsentase 76 - 100% diberi kode 1, gangguan pola tidur sedang dengan porsentase 56 - 75% diberi kode 2, gangguan pola tidur ringan dengan porsentase 55% diberi kode 3. 2) Scoring (1) Untuk Variabel Tingkat Depresi pada Lansia Untuk memperoleh penilaian tingkat depresi pada lansia dengan kuesioner menggunakan Geriatric Depression Scale (GDS 15) (Pitt, B (1988) & Lovestone (1999)) yang terdiri dari 15 pertanyaan (Nursalam, 2003) dan sudah baku. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan memberikan skor dengan nilai 0-1. Jika jawaban ya bernilai 1, dan jawaban yang tidak bernilai 0. Untuk penilaian pada tingkat depresi adalah : Depresi ringan dengan score < 5 Depresi sedang dengan score 5 9 Depresi berat dengan score 10 (2) Untuk Variabel Gangguan Pola Tidur pada Lansia Untuk memperoleh penilaian terhadap gangguan pola tidur pada lansia dengan kuesioner. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan memberikan skor : Penilaian untuk Pertanyaan Positif : Selalu : 4 Sering : 3 Kadang-kadang : 2 Tidak pernah : 1 Penilaian untuk Pertanyaan Negatif : Selalu : 1 Sering : 2 Kadang-kadang : 3 Tidak pernah : 4

Penilaian = Jumlah Jawaban x 100 % Nilai maksimal

Penilaian Gangguan Pola Tidur dikategorikan : Gangguan Pola Tidur Berat = 76% - 100% Gangguan Pola Tidur Sedang = 56% - 75% Gangguan Pola Tidur Ringan = 55% 4.6.2.3 Pengambilan Kesimpulan Data yang diperoleh kemudian diolah untuk pengujian hipotesis penelitian. Uji statistik yang digunakan adalah uji Spearmans Rho dengan tingkat kemaknaan yang ditetapkan 0,05. Jika hasil uji statistik didapatkan 0,05 maka hipotesis diterima yang berarti ada hubungan tingkat depresi terhadap gangguan pola tidur pada lansia di Posyandu Lansia . Sedangkan jika hasil uji statistik didapatkan 0,05 maka hipotesis ditolak yang berarti tidak ada hubungan tingkat depresi terhadap gangguan pola tidur pada lansia di Posyandu Lansia. 4.7 Masalah Etik Dalam melakukan penelitian ini, peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Ketua Jurusan untuk mendapat persetujuan dan kemudian mendapat surat rekomendasi. Kemudian kuesioner diberikan ke subjek yang diteliti dengan menekankan masalah etika yang meliputi : 4.7.1 Informed Consent (lembar persetujuan penelitian) Lembar persetujuan penelitian diberikan kepada responden yang akan diteliti dengan tujuan untuk mengetahui maksud dan tujuan penelitian. Bila responden bersedia diteliti maka mereka menandatangani lembar persetujuan dan bila responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak akan memaksa dan menghormati responden. 4.7.2 Anonymity (tanpa nama) Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden maka peneliti tidak mencantumkan nama responden dalam lembar kuesioner, namun lembar kuesioner tersebut diberi nomor atau kode. 4.7.3 Confidentiality (kerahasiaan) Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh responden dijamin sepenuhnya oleh peneliti. 4.8 Keterbatasan Keterbatasan adalah kelemahan atau hambatan dari penelitian (Nursalam, 2003). Dalam penelitian ini keterbatasan yang dihadapi peneliti adalah : 4.8.1 Selama pengumpulan data, jumlah sampel yang di dapat terbatas dikarenakan keterbatasan waktu

Anda mungkin juga menyukai