Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Depresi pada perempuan yang terjadi setelah melahirkan disebut dengan depresi
postpartum (Fairus & Widiyanti, 2014). Masa postpartum adalah masa dimana
setelah plasenta lahir dan berakhir ketika organ-organ kandungan kembali seperti
sebelum hamil ayng berlangsung kurang lebih 6 minggu. Pada masa ini seorang
perempuan akan mengalami perubahan fisik dan psikologis, perubahan fisik yang
dimaksud adalah adanya perubahan organ reproduksi dan organ tubuh lainnya
(Anggraini, 2010). Depresi postpartum merupakan gangguan postpartum maternal
yang umum (Hanjo et al, 2018). Data WHO pada tahun 2017 menyebutkan bahwa
secara global, lebih dari 300 juta orang diperkirakan menderita depresi dan itu
setara dengan 4,4% populasi dunia. Angka kejadian depresi postpartum mencapai
sekitar 10-15%, di negara seperti Malta, Malaysia, Austria, Denmark, dan
Singapura hanya mendapatkan sedikit laporan terkait kejadian depresi postpartum
ini. Sedangkan di negara seperti Brazil, Afrika Selatan, taiwan, Koreaa, Italia, dan
Kosta Rika melaporkan terkait gejala depresi postpartum yang cukup tinggi
bahkan sebuah penelitian yang dilakukan di India melibatkan sekitar 359 ibu
primipara didapatkan hasil/kejadian depresi postpartum sebanyak 11-30%
(Motzfeldt et al, 2013).

Di Asia sendiri untuk kejadian atau angka depresi postpartum blues bisa dikatakan
cukup tinggi dan bervariasi antara 26-85%, sedangkan di Indonesia untuk angka
kejadian depresi tersebut antara 50-70% dari wanita pasca persalinan (Kusuma,
2017). Pada penelitian yang dilakukan di beberapa rumah sakit di Indonesia
seperti RSUP Haji Adam Malik, Medan tahun 2009 bahwa 50 ibu dengan
postpartum spontan yang dirawat inap sebanyak 16% yang mengalami depresi
postpartum (Kurniasari & Astuti, 2015). Sedangkan pada tahun 2017 di RS KIA

1
Sadewa Yogyakarta kejadian depresi postpartum sebanyak 7,7% dan hal ini
menandakan bahwa kejadian tersebut sangat penting untuk mendapatkan
perhatian mengingat masih banyaknya kejadian-kejadian ynag terjadi di berbagai
daerah (Diniyah, 2017). Angka kejadian depresi postpartum adalah 1 sampai 2
dari 1000 kelahiran dan sekitar 50-60% ibu mengalami depresi saat memiliki anak
pertama, dan sekitar 50% ibu mengalami depresi diakibatkan adanya gangguan
pada perubahan perasaan ibu dalam keluarga (Prayoga et al, 2016). Kusuma
(2017) menyatakan bahwa kondisi ini merupakan suatu keadaan yang sangat
serius, dimana sebuah penelitian membuktikan bahwa sekitar 25% ibu yang
pertama kali melahirkan akan lebih rentan mengalami depresi dan pada ibu yang
pernah melakukan persalinan/memiliki riwayat melahirkan sebelumnya sekitar
20% mengalami depresi.

Dari data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) pada tahun 2018 mengatakan bahwa
prevalensi suatu penduduk dengan usia ≥15 tahun mengalami depresi sebesar
6,1% (Kemenkes, 2018). Hasil penelitian di wilayah Yogyakarta yang dilakukan
oleh Kusuma pada tahun 2017 menunjukkan bahwa ada sekitar 24 orang (70,59%)
wanita yang mengalami depresi postpartum dan pada ibu multipara sekitar 20
orang (58,82%). Sedangkan hasil penelitian pada tahun 2013 menunjuukan dari
111 ibu postpartum yang mengalami kejadian depresi postpartum didaptkan 59
(53,15%) dan yang tidak mengalami depresi postpartum sebanyak 52 (46,85%)
(Fairus & Widiyanti, 2014). Seorang ibu yang mengalami gangguan depresi
postpartum biasanya memiliki mood yang tertekan, hilangnya ketertarikan atau
senang dalam beraktivitas, kurangnya nafsu makan, gangguan tidur, agitasi fisik
atau perlambatan psikomotor, lemah, merasa tidak berguna, susah/sulit untuk
berkonsentrasi, bahkan adanya keinginan bunuh diri (Roswiyani, 2010).

Gangguan mood biasanya terjadi selama 2-6 minggu setelah melahirkan dengan
berbagai karakteristik yaitu dengan adanya perasaan depresi, kecemasan yang

2
berlebihan, dan perubahan berat badan baik itu adanya kenaikan ataupun
penurunan berat badan yang sangat signifikan (Ardiyanti & Dinni, 2018). Depresi
postpartum pada ibu dapat memengaruhi kehidupan ibu itu sendiri, bayi, dan
seluruh keluarganya. Ibu yang menderita depresi postpartum juga lebih mungkin
mengembangkan depresi di masa depan (Hanjo et al, 2018). Bayi juga akan
mengalami suatu kelemahan atau keterlambatan baik dari segi kognitif, psikologi,
neurologi, dan bahkan motorik sang bayipun akan cenderung lebih rewel sebagai
respon dalam mencari dan mendapatkan perhatian dari si ibu (American Academy
of Pediatrics, American Collage of Obstetricians and Gynecologists, 2012).
Depresi postpartum juga dapat menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat
dalam perkawinan dan gangguan fungsi sosial, dan menimbulkan kesulitan dalam
interaksi ibu dan bayi (misalnya, pelepasan, permusuhan, dan gangguan). Selain
itu, bukti sebelumnya menyoroti efek merusak dari depresi postpartum pada ibu
adalah perkembangan kognitif dan emosional anak selama masa bayi dan
kemudian melahirkan (Field, 2010; Santos et al., 2014; Yim et al., 2015).

Sejumlah studi empiris mendukung model psikososial dan biologis sebagai


mekanisme etiologi untuk depresi postpartum; stres psikologis (misalnya,
pengabaian ayah, tekanan keuangan/ekonomi, dan peristiwa kehidupan stres),
kerentanan kognitif (misalnya, gaya atribusi negatif), sumber psikologis
(misalnya, hubungan pernikahan yang buruk, harga diri yang buruk, kurangnya
dukungan sosial dari pasangan, keluarga, dan teman) diketahui sebagai faktor
etiologi penting untuk pengembangan depresi postpartum (Werner et al., 2015 &
Yim et al., 2015). Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyuni dkk
(2014) menyatakan bahwa kejadian depresi postpartum dapat dipengaruhi oleh
pekerjaan dan dukungan keluarga, bukan karena umur, pendidikan, dan paritas.
Sedangkan dalam penelitian Tikmani dkk (2016) menyatakan bahwa kejadian
depresi postpartum dipengaruhi oleh dukungan keluarga, paritas, pendidikan,
komplikasi melahirkan, kehamilan yang tidak diinginkan dan obesitas. Bahkan
faktor kepercayaan, budaya dan nilai-nilai seputar melahirkan anak, struktur dan

3
fungsi keluarga serta peran ibu itu sangatlah penting untuk kesehatan mental ibu
pasca melahirkan (Yim et al, 2015).

Dikarenakan faktor resiko yang terkait dengan depresi postpartum yang telah
diteliti oleh peneliti sebelumnya mendapatkan hasil yang berbeda-beda,
diharapkan kepada anggota keluarga secara timbal balik berpartisipasi dalam
membangun struktur rumah tangga dan tatanan hidup yang baik dalam berbagai
bentuk seperti berinteraksi dan bertukar peran dalam mengurus rumah tangga
(misalnya: berbagi makanan, membersihkan dan mencuci pakaian). Dalam
hubungan sosial ini, anggota keluarga juga berbagi persahabatan, keintiman, dan
kenyamanan serta konflik atau kekesalan. Hubungan antara pengaturan keluarga
dan kesehatan mental ibu ini juga dapat dimodifikasi oleh faktor risiko lain,
seperti pendapatan rumah tangga dan keterlibatan pasangan dalam pengasuhan
anak. Manfaat dan biaya pengaturan hidup dapat dipengaruhi oleh kondisi
ekonomi rumah tangga mereka, misalkan stres psikologis yang ditimbulkan oleh
struktur rumah tangga dapat dikurangi dengan membeli sumber daya pada
keluarga yang mampu secara ekonomi, sementara itu dapat dipicu dengan tekanan
psikologis akibat kondisi ekonomi rumah tangga yang tidak stabil. Selain itu,
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa dukungan dari pasangan sangat
penting untuk kesehatan mental ibu baru (Almutairi et al, 2017).

Support sistem merupakan faktor penting yang diperlukan ibu dalam menghadapi
perubahan yang terjadi pasca melahirkan. Support sistem diantaranya meliputi
dukungan keluarga dan suami. Dukungan suami dapat menjadi faktor terbesar
dalam berkembangnya depresi post partum. Semakin baik dkungan sumai, maka
semakin rendah kemungkinan untuk terjadinya depresi post partum. Dukungan
suami pada ibu post partum merupakan bentuk interaksi sosial antara ibu dan ayah
baru, yang idalamnya mengandung hubungan saling memberi dan menerima

4
bantuan secara nyata dan akhirnya menghasilkan perasaan sayang dan perhatian
(Hidayah, Rahmawanti dan Azizah, 2017).

Adanya dukungan yang diberikan oleh pasangan kepada istrinya yang sedang
mengalami depresi itu dapat membantu istri untuk menyesuaikan dirinya dalam
menerima suatu perubahan dalam hidupnya untuk pertama kali, dikarenakan
suami atau pasangan merupakan orang pertama dan terdekat serta merupakan
sumber kekuatan utama bagi istri sehingga istri mendapatkan rasa simpatik dan
kasih sayang dari suaminya seakan menemukan jalan keluar terhadap gangguan
yang sedang dihadapinya (Ariana et al, 2016).

Berdasar pada latar belakang diatas, penulis manarik hipotesis bahwa keterlibatan
pasangan dalam pengasuhan anak dapat meningkatkan kesehatan mental ibu,
khususnya terkait risiko depresi postpartum. Peningkatan tekanan psikologis oleh
struktur rumah tangga dapat dikurangi atau ditingkatkan sesuai dengan tingkat
persepsi sikap pasangan terhadap pengasuhan anak. Meskipun sumber dukungan
sosial lain juga penting, dukungan keluarga maupun pasangan menawarkan
intervensi yang lebih relevan daripada sumber lain. Maka dari itu, penulis tertarik
untuk melakukan studi literatur yang bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut
terkait hubungan antara dukungan dari pasangan dengan kejadian peningkatan
depresi postpartum pada ibu.

1.2 Rumusan Masalah

Periode postpartum bisa dibilang membawa risiko lebih besar bagi wanita
dibandingkan periode lain dalam hidup dalam hal mengalami masalah emosional.
Pada masa ini, pola tidur dan rutinitas harian wanita sangat terpengaruh. Wanita
mencoba beradaptasi dengan perubahan ini sekaligus menghadapi masalah

5
fisiologis (episiotomi, masalah yang berhubungan dengan payudara, hemoroid,
dll.) Pada periode ini, faktor-faktor seperti adaptasi pada masa nifas dan keibuan,
pengasuhan bayi yang baru lahir, insomnia dan kelelahan meningkatkan
kebutuhan ibu akan dukungan sosial. Selama periode ini, dukungan sosial yang
tidak memadai menjadi salah satu faktor penyebab depresi pasca melahirkan.

Dengan dukungan teori, pengamatan dan studi literature sebelumnya yang


dilakukan pada ibu postpartum, maka penulis tertarik untuk menggali pertanyaan
penelitian.

1. Bagaimanakah pentingnya dukungan pasangan bagi ibu postpartum?


2. Bagaimanakah tingkat masalah depresi pada ibu postpartum?
3. Adakah hubungan antara dukungan pasangan dengan kejadian peningkatan
depresi pada ibu postpartum?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara dukungan
suami/pasangan dengan kejadian depresi pada ibu postpartum.

1.3.2 Tujuan Khusus


1.3.2.1 Untuk mengetahui gambaran dukungan suami/pasangan terhadap ibu
postpartum.
1.3.2.2 Untuk mengetahui gambaran tingkat kejadian depresi terhadap ibu
postpartum.
1.3.2.3 Untuk mengetahui hubuungan dukungan suami/pasangan terhadap
kejadian depresi pada ibu postpartum.

6
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Masyarakat
Diharapkan hasil dari Literature review ini dapat dijadikan sebagai masukan dan
sumber informasi dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan terhadap
perawatan kesehatan pada ibu postpartum untuk mendapatkan derajat kesehatan
yang sempurna baik fisik, mental, dan sosial serta memberikan perlindungan
khusus terhadap suatu maslah yangakan dihadapi kedepannya. Dan juga dapat
memperoleh gambaran serta pengetahauan betapa pentingnya peran dukungan
suami/pasangan kepada ibu dengan depresi pasca melahirkan.

1.4.2 Ilmu Keperawatan


Dapat dijadikan masukan atau sebagai bahan pembelajaran untuk meningkatkan
pengetahuan, peran serta dukungan yang akan diberikan kepada klien dan
keluarganya dalam/untuk mencegah serta mengurangi tingkat kecemasan/depresi
pada ibu postpartum diberbagai area pelayana kesehatan baik rumah sakit,
puskesmas ataupun komunitas lainnya.

1.4.3 Profesi
Diharapkan hasil dari analisis jurnal ini dapat dipergunakan sebagai informasi
baru tentang peran penting pasangan/suami dalam memberikan dukungan kepada
istri dalam mengurangi atau menurunkan kejadian depresi baik di lingkungan
praktik maupun komunitas.

1.4.4 Lokasi Penelitian

Diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan baik dalam bentuk informasi


ataupun evaluasi dalam/untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di
wilayah kerja terhadap kejadian depresi khususnya pada ibu postpartum.

Anda mungkin juga menyukai