Anda di halaman 1dari 26

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS TIDUR DENGAN TINGKAT

STRES PADA IBU PASCA MELAHIRKAN

SKRIPSI

Ajeng Gusti Meswari


190810384

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI S1


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERCU BUANA YOGYAKARTA
2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Melahirkan merupakan masa transisi yang berharga dalam fase kehidupan seorang

perempuan. Setelah melahirkan status perempuan akan berubah menjadi seorang ibu, di mana

akan ada beban dan tanggung jawab baru untuk merawat bayinya. Seorang perempuan akan

menyadari adanya perubahan kehidupan setelah melahirkan, seperti perubahan emosional,

perubahan fisik yang drastis, hubungan dengan keluarga dan aturan-aturan baru. Masa transisi

seorang perempuan menjadi seorang ibu di samping masa pasca melahirkan mungkin menjadi

masa perubahan dan penyesuaian sosial maupun individu (Sarwono, 2005). Terdapat

beberapa hambatan saat persalinan yang beresiko untuk ibu dan bayi. Selain perasaan

bahagia, ada juga rasa cemas dan takut karena belum pernah mengalami prosesnya (Fitriani

dan Nuryati, 2019). Sarwono (2005) menegaskan bahwa proses melahirkan dapat

menimbulkan trauma fisik dan psikologis yang berat pada ibu.

Pada masa ibu pasca melahirkan, ibu mengalami perubahan penyesuaian fisiologis

dan psikologis. Pada awal masa ibu pasca melahirkan, sistem sistem mengalami perubahan

yang cepat, sehingga perlu dilakukan pemantauan pemulihan kesehatan ibu pasca melahirkan.

Secara garis besar, ada tiga proses penting pada masa nifas yakni pengecilan rahim (involusi

uterus), normalisasi kekentalan darah (hemokonsentrasi), dan proses laktasi. Ibu pasca

melahirkan mengalami banyak adaptasi fisik setelah melahirkan yang dapat mengakibatkan

ibu lebih sensitif dan mudah sekali marah (Daman dan Salat, 2015). Dalam teori Mercer

(dalam Mufdlilah dan Kharimaturrahmah, 2012) proses adaptasi perubahan peran pada ibu

pasca melahirkan terjadi dalam satu tahun pertama menjadi ibu. Dalam jangka waktu satu

tahun proses adaptasi terjadi dalam empat fase, yaitu physical recovery phase (lahir-1 bulan),
achivement phase (2-5 bulan), disruption phase (6-8 bulan) dan reorganization phase (8-12

bulan). Ibu yang tidak dapat menyesuaikan diri dapat mengalami stres pada masa pasca

melahirkan. Ibu pasca melahirkan akan mengalami kerentanan biologis dan keadaan yang

menimbulkan stres baru (Jayasima, Deliana dan Mabruri, 2014).

Sarafino & Smith (2014) menyatakan stres merupakan respons fisiologis dan psikologis

terhadap tuntutan atau tekanan yang melebihi kemampuan seseorang dalam mengatasi atau

merespons situasi. Respons stres melibatkan sistem saraf otonom dan sistem hormonal serta

mempersiapkan tubuh untuk beradaptasi dengan tantangan dan ancaman yang dihadapi. Hans

Selye (2014) mendefinisikan stres sebagai respon seseorang terhadap stimulus yang

diberikan. Hans Selye (2014) menekankan bahwa stres merupakan reaksi atau tanggapan

tubuh yang secara spesifik terhadap penyebab stres yang mana mempengaruhi kepada

seseorang.

Sarafino dan Smith (2014) menyebutkan aspek stres terdiri aspek biologis dan aspek

psikosoial. Aspek biologis merupakan keadaan di mana individu yang mengalami peristiwa

menakutkan, seperti kecelakaan dan keadaan darurat lainnya, akan ada reaksi fisiologis

terhadap stres.. Sedangkan aspek psikososial dibagi menjadi tiga yaitu kognisi, emosi dan

perilaku social. Stres dapat menghabiskan atau melelahkan sumber daya kognitif untuk

sementara, dibuktikan dengan adanya kesulitan dalam konsentrasi, ingatan, pemecahan

masalah, dan kontrol impuls selama pengalaman stres. Emosi cenderung menyertai stres, dan

orang sering menggunakan keadaan emosi mereka untuk mengevaluasi stres mereka. Proses

penilaian kognitif dapat mempengaruhi stres dan pengalaman emosional. Stres juga dapat

muncul ketika individu menjadi anggota kelompok minoritas atau kelompok miskin.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2022) dengan subjek penelitian 96 ibu

pasca melahirkan menyebutkan bahwa terdapat 3,1% responden mengalami stress tingkat

berat sekali dan 49% mengalami tingkat stress berat. Penelitian lain yang dilakukan oleh
Amalia (2016) menunjukan 15 dari 24 ibu pasca melahirkan mengalami stres. Berdasarkan

hasil wawancara yang dilakukan dengan 7 Ibu pasca melahirkan pada 14 April 2023 yang

dilaksanakan dengan vidiocall melalui aplikasi WhatsApp dengan pertanyan yang merujuk

pada aspek-aspek stress oleh Sarafino & Smith (2011) didapatkan bahwa Ibu mengalami

stress setelah melahirkan. Hal tersebut disimpulkan dari pengakuan 5 dari 7 Ibu mengalami

kelalahan karena gangguan makan, gangguan tidur dan aktivitas yang berlebihan. Terdapat

empat Ibu kurang dapat berkonsentrasi dan merasa daya ingat menurun. Dan enam Ibu

mengaku merasa khawatir, panik dan mudah marah ketika bayi rewel atau sakit..

Banyaknya perubahan yang dialami ibu setelah melahirkan membuat ibu harus

mendapatkan perawatan yang memungkinkan mereka untuk mengungkapkan perasaan dan

pikirannya tentang situasi yang menakutkan. Ibu pasca melah irkan membutuhkan istirahat

dan bantuan dari orang sekitar (Khutami, 2022). Ibu pasca melahirkan yang mengalami stres

dan tidak segera ditangani, dapat mengakibatkan dampak negatif seperti ASI tidak lancar,

hubungan yang buruk antara ibu dengan bayi dan keluarga, bahkan menyebabkan depresi

baby blues (Daman dan Salat, 2015). Bobak, dkk (2004) menyatakan bahwa perawatan untuk

ibu pasca melahirkan harus berfokus pada keadaan fisiologis dan psikologis ibu, tingkat

kenyamanan dan penyesuaian terhadap transisi yang diperlukan menjadi seorang ibu.

Lazarus dan Cohen (1977) mengidentifikasikan kategori faktor penyebab stres terdiri

dari perubahan besar yang mempengaruhi banyak orang, perubahan besar yang

mempengaruhi satu orang dan daily hasless atau kejadian yang terjadi berulang-ulang setiap

hari yang diberikan kecil namun intensitasnya mengganggu dan menyusahkan hingga

memunculkan stres. Ibu pasca melahirkan memiliki tanggung jawab baru akan bayinya, sejak

menjadi Ibu kegiatan utama sehari-hari yang dilakukan adalah merawat bayi seperti

menggendong, menyusui, memandikan dan menggantikan popok bayi (Mufdlilah dan

Kharimaturrahmah, 2012). Menurut Rasmi, Yusiana dan Taviyanda (2018) suara bayi
menangis, suasana yang ramai, suasana berbeda, dan tidur tidak nyenyak dapat menyebabkan

ibu pasca melahirkan memiliki tidur dan istirahat yang kurang cukup. Morin & Espie (2012)

menyebutkan bahwa ibu pasca persalinan memiliki kualitas tidur yang buruk dengan tingkat

kewaspadaan yang tinggi pada malam hari karena bayi mereka lebih banyak terbangun di

malam hari. Tidur merupakan keadaan fisiologis dan bagian dari siklus hidup manusia yang

terjadi setiap hari. Morin & Espie (2012) menyatakan tidur yang cukup sangat dibutuhkan,

apabila individu memiliki kualitas tidur yang buruk maka dapat menimbulkan masalah dan

menganggu.

Kualitas tidur dipilih pada penelitian ini karena terdapat penelitian pendahulu yang

dilakukan oleh Septianingrum dan Damawiyah (2019) menunjukkan sebanyak 93,33 % ibu

pasca melahirkan mempunyai kualitas tidur yang buruk. Penelitian lain yang dilakukan oleh

Harahap dan Adiyanti (2017) menunjukan terdapat 37,8% memiliki kualitas tidur yang sangat

buruk dan 48,9% memiliki kualitas tidur yang buruk. Hasil penelitian tersebut selaras dengan

pernyataan Menurut Kripke dkk (1979) kualitas tidur merupakan konstruksi klinis yang

penting karena keluhan tentang kualitas tidur sering terjadi dan menjadi gejala dari berbagai

gangguan medis. Mufdlilah dan Kharimaturrahmah (2012) menyatakan ibu pasca melahirkan

memerlukan kualitas tidur yang baik untuk memulihkan keadaan tubuh.

Kualitas tidur merupakan keadaan yang melibatkan berbagai aspek antara lain lama

waktu tidur, efisiensi tidur, kualitas tidur, gangguan tidur, masa laten tidur, disfungsi tidur

pada siang hari dan penggunaan obat tidur (Buysee, Reynold, Monk, Berman, & Kuffer DJ,

1989). Buysee, Reynold, Monk, Berman, & Kuffer DJ (1998) mengungkapkan aspek-aspek

dari kualitas tidur diukur dengan 7 komponen penilaian yaitu kualitas tidur secara subjektif

(subjective sleep quality), waktu yang diperlukan untuk memulai tidur (sleep latency),

lamanya waktu tidur (sleep duration), efisiensi tidur (habitual sleep efficiency), gangguan

tidur yang sering dialami pada malam hari (sleep disturbance), penggunaan obat untuk
membantu tidur (using medication), dan gangguan tidur yang sering dialami pada siang hari

(daytime disfunction).

Kualitas tidur yang buruk dapat mempengaruhi tingkat stres pada seseorang. Kualitas

tidur yang buruk dapat meningkatkan hormon stres, yaitu hormon kortisol. Sekresi hormon

stres yang meningkat akan menyebabkan terjadinya peningkatan respon stres tubuh terhadap

stressor. Gangguan pada sekresi hormon stres juga dapat memengaruhi fungsionalitas sehari-

hari, seperti kemampuan kognisi dan mood (Muttaqin, Rotinsulu dan Sulistiawati, 2021).

Peningkatan kadar hormon kortisol yang terus menerus dapat mempengaruhi fungsi kognifi

secara negatif seperti mengganggu kemampuan untuk fokus, belajar, menyesuaikan diri,

kemampuan untuk mengatur emosi dan adanya gangguan memori. Peningkatan hormon

kortisol dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap stres. Pengaruh hormon kortisol

terhadap fungsi fisiologis tubuh antara lain peningkatan tekanan darah, kerusakan jaringan

otot, tidak subur, menghambat pertumbuhan, menghambat reaksi peradangan dan menekan

system kekebalan tubuh. Tekanan darah tinggi bisa mengakibatkan serangan jantung dan

stroke (Saputra, 2020).

Penelitian terkait kualitas tidur pada ibu pasca melahirkan perlu dilakukan karena

terbukti adanya hubungan antara kualitas tidur dengan tingkat stres berdasarkan penelitian

terdahulu. Sebuah penelitian oleh Muttaqin, Rotinsulu dan Sulistiawati (2021) menunjukan

kualitas tidur yang buruk dapat menyebabkan peningkatan respon tubuh terhadap stressor.

Sehingga terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan tingkat stres pada Mahasiswa

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Samarinda. Penelitian Aryadi, dkk (2018) juga

menunjukan hasil yang serupa yaitu semakin buruk kualitas tidur mahasiswa, maka semakin

tinggi tingkat depresi, cemas, atau stres yang dialami. Penelitian lain yang dilakukan Bilgic,

Celikkalp dan Masirli (2021) menyimpulkan perawat yang memiliki kualitas tidur yang

rendah memiliki tingkat stres yang tinggi. Sehingga rumusan masalah dari penelitian ini
adalah apakah terdapat hubungan antara kualitas tidur dengan tingkat stres pada ibu pasca

melahirkan?

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui hubungan kualitas tidur dengan tingkat stres pada ibu pasca melahirkan.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

pengembangan ilmu di bidang Psikologi. Penelitian ini juga diharapkan mampu

memberikan bahan kajian serta dasar untuk penelitian selanjutnya dan memperkaya

wacana mengenai hubungan kualitas tidur dengan tingkat stres pada ibu pasca

melahirkan.

b. Manfaat Praktis

Apabila hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan kualitas tidur

dengan tingkat stres pada ibu pasca melahirkan maka diharapkan dapat dimanfaatkan

untuk mambantu ibu pasca melahirkan menjaga kualitas tidurnya dengan memberikan

dukungan dan bantuan dalam merawat bayi sehingga ibu pasca melahirkan tidak

mengalami stres.
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Stres

1. Pengertian Stres

Stres adalah suatu keadaan yang mengancam kesejahteraan individu karena

adanya peristiwa yang mengganggu individu tersebut baik secara mental dan fisik

(Salam dkk., 2014). Sarafino & Smith (2014) menyatakan stress adalah keadaan yang

muncul ketika individu mengalami perubahan lingkungan antara tuntutan situasi dan

sumber daya sistem biologis, psikologis, dan sosial seseorang. Hans Selye (2014)

mendefinisikan stres sebagai respon seseorang terhadap stimulus yang diberikan. Hans

Selye (2014) menekankan bahwa stres merupakan reaksi atau tanggapan tubuh yang

secara spesifik terhadap penyebab stres yang mana mempengaruhi kepada seseorang.

Stres adalah tekanan yang muncul sebagai akibat dari konflik antara situasi yang

diinginkan dan harapan ketika ada kesenjangan antara tuntutan lingkungan dan

kemampuan individu untuk memenuhinya yang dipandang berpotensi berbahaya,

mengancam, mengganggu, dan tidak dapat dikendalikan, atau dengan kata lain, stres

melebihi kemampuan individu untuk bertahan hidup (Barseli dan Nikmarijal, 2017).

Marliani, Nasrudin, Rahmawati, dan Ramdani (2020) menyebutkan stres merupakan

gangguan mental yang dihadapi seseorang karena adanya tekanan yang muncul dari

kegagalan individu dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Tekanan tersebut

dapat berasal dari dalam diri, atau dari luar. Menurut Ambarwati, Pinilih dan Astuti

(2019) stres adalah suatu kondisi karena adanya tuntutan fisik, lingkungan, dan situasi

sosial yang tidak terkontrol.

Kupriyanov dan Zhdanov (dalam Gaol, 2016) menyebutkan bahwa stres

merupakan sebuah atribut kehidupan modern karena stres sudah menjadi bagian hidup
yang tidak bisa diabaikan. Stres bisa dialami oleh seseorang di lingkungan sekolah,

kerja, keluarga, atau dimanapun.Stres juga bisa terjadi pada siapapun termasuk anak-

anak, remaja, dewasa, atau yang sudah lanjut usia.

Berdasarkan penjelasan Sarafino & Smith (2011), dapat disimpulkan bahwa

stres adalah suatu keadaan di mana individu merasakan ketidaksesuaian dalam

menghadapi tuntutan fisik atau psikologis dari suatu situasi dan sumber daya sistem

biologis, psikologis, atau sosialnya. Stres yang dialami oleh ibu pacsa melahirkan

merupakan stres dengan gangguan psikologis sementara akibat penyesuaian

terhadap kelahiran bayi karena adanya perubahan perubahan fisik dan psikologis

setelah melahirkan

2. Aspek Stres

Sarafino dan Smith (2014) menyebutkan beberapa aspek stres yaitu:

1. Aspek Biologis :

Individu yang mengalami peristiwa menakutkan, seperti kecelakaan dan keadaan

darurat lainnya, akan ada reaksi fisiologis terhadap stres. Contohnya jantung

berdetak lebih cepat, otot rangka bergerak lebih cepat dam kaki gemetar. Tubuh

dapat terangsang dan terdorong untuk membela diri, dan sistem saraf simpatik serta

sistem endokrin menyebabkan gairah ini terjadi.

2. Aspek Psikososial:

a. Kognisi

Stres dapat menghabiskan atau melelahkan sumber daya kognitif untuk

sementara, dibuktikan dengan adanya kesulitan dalam konsentrasi, ingatan,

pemecahan masalah, dan kontrol impuls selama pengalaman stres. Kesulitan

berpikir jernih di bawah stres mungkin terkait dengan kontrol fisiologis yang

buruk atau pengaturan respons stres.


b. Emosi

Emosi cenderung menyertai stres, dan orang sering menggunakan keadaan

emosi mereka untuk mengevaluasi stres mereka. Beberapa reaksi emosi terhadap

stres adalah ketakutan, pobia, kecemasan, kesedihan, dan kemarahan.

c. Perilaku Sosial

Stres dapat muncul ketika individu menjadi anggota kelompok minoritas atau

kelompok miskin. Seperti perbedaan gender dan sosiokultural.

Teori stres adaptif Sarafino dan Smith menyatakan bahwa stres terjadi ketika

individu mengalami ketidakseimbangan antara tuntutan (stressor) yang diterimanya

dari lingkungannya dan sumber daya yang tersedia untuk mengatasi tuntutan tersebut.

Berdasarkan teori ini, dimensi stres dapat diklasifikasikan berdasarkan besarnya stres

yang dialami oleh seorang individu. Di bawah ini berbagai aspek stres berdasarkan

skala stres yang dirangkum teori Sarafino & Smith dan contohnya untuk ibu pasca

melahirkan:

a. Stressor Lingkungan yang Besar

Pemicu stres lingkungan yang signifikan, seperti perubahan besar dalam hidup atau

tuntutan yang berat, dapat menyebabkan tekanan besar pada ibu setelah

melahirkan. Contohnya adalah perubahan peran dari orang yang mandiri menjadi

orang tua yang penuh perhatian, perubahan rutinitas sehari-hari yang melibatkan

tidur dan makan, serta tekanan keuangan baru akibat biaya mengasuh anak.

b. Stressor Harian atau Kecil

Selain stresor besar, stresor sehari-hari atau stres kecil dapat menumpuk dan

menimbulkan stres yang signifikan setelah melahirkan. Misalnya bayi menangis

berulang kali sehingga mengganggu tidur dan membuat ibu merasa cemas, jam
tidur yang hilang untuk memenuhi kebutuhan bayi di malam hari, serta perubahan

hormonal yang memengaruhi suasana hati dan emosi.

c. Stressor Internal

Stresor internal merupakan faktor dalam diri seseorang yang dapat menimbulkan

stres. Bagi ibu pasca melahirkan, pemicu stres internal dapat berupa kecemasan

karena tidak dapat merawat bayi dengan baik, perubahan citra tubuh setelah

melahirkan yang dapat mempengaruhi citra diri, dan ketidakpastian atau

kekhawatiran terhadap kesehatan dan tumbuh kembang bayi.

Aspek stres berdasarkan Teori Skala Stres Sarafino dan Smith dapat

membantu mengidentifikasi sumber stres dan merancang intervensi yang tepat

untuk membantu ibu pasca melahirkan mengelola stres dengan lebih efektif

3. Faktor-faktor Stres

Lazarus dan Cohen (1977) mengidentifikasikan kategori stressor atau faktor penyebab

stres terdiri dari:

a. Perubahan besar yang mempengaruhi banyak orang

Peristiwa yang terjadi tanpa dapat diprediksi, seperti bencana alam, perang, atau

relokasi.

b. Perubahan besar yang mempengaruhi satu orang.

Merupakan semua peristiwa dalam kehidupan yang akan sulit diatasi oleh individu.

Seperti kematian orang yang dicintai, penyakit yang mengancam jiwa atau

melumpuhkan, PHK, kelahiran seseoran, kematian seseorang, atau perceraian.

c. Daily Hasless

Merupakan kejadian yang terjadi berulang-ulang setiap hari yang diberikan kecil

namun intensitasnya mengganggu dan menyusahkan hingga memunculkan stres.


Seperti berurusan dengan perokok yang tidak pengertian, memiliki terlalu banyak

tanggung jawab, merasa kesepian, bertengkar dengan pasangan, dan sebagainya

Menurut Sunaryo (2004) faktor yang mempengaruhi stres adalah sebagai berikut:

a. Faktor biologis

Berhubungan dengan reaksi tubuh yang disebabkan oleh respon fisiologis.

Herediter, konstitusi tubuh, kondisi fisik, neurofsiologik dan neurohormonal.

b. Faktor psikoedukasif/sosio kultural

Perkembangan kepribadian, pengalaman, dan kondisi lain yang mempengaruhi.

Dari pemaparan mengenai faktor tingkat stress dapat disimpulkan bahwa salah

satu faktor yang mempengaruhi stress pada ibu pasca melahirkan adalah kualitas tidur.

Menurut Lazarus dan Cohen (1977) daily hassles menjadi faktor stress pada

seseorang. Daily hassles yang dialami oleh ibu pasca melahirkan adalah memiliki

tidur dan istirahat yang kurang cukup. Hal ini selaras dengan faktor stress dari

Sunaryo (2004) yaitu faktor biologis. Faktor biologis berhubungan dengan kondisi

tubuh seseorang. Menurut Dewi (2015) untuk mendapatkan kondisi tubuh yang

optimal diperlukan tidur yang cukup sebagai proses pemulihan untuk mengembalikan

stamina tubuh. Faktor biologis berhubungan dengan kondisi tubuh individu. Di mana

kondisi tubuh Ibu pasca melahirkan dapat dikatakan lemah karena adanya gangguan

tidur, sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti. Kualitas tidur dapat

menjadi faktor dari stress yang dialami oleh Ibu pasca melahirkan.

B. Kualitas Tidur

1. Pengertian Kualitas Tidur

Kualitas tidur merupakan konstruksi klinis yang melibatkan berbagai dimensi

antara lain lama waktu tidur, efisiensi tidur, kualitas tidur, gangguan tidur, masa laten
tidur, disfungsi tidur pada siang hari dan penggunaan obat tidur (Buysse dkk., 1989).

Hidayat (dalam Dany & Kusuma, 2022) menjelaskan kualitas tidur adalah kepuasan

seseorang terhadap tidur yang dimilikinya. Kepuasan tidur dilihat dari seseorang

tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah terangsang dan gelisah, lesu dan

apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, mata

perih, perhatian terpecah-pecah, sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk.

Kualitas tidur menunjukkan betapa mudahnya seseorang tertidur dan tetap

tertidur. Kualitas tidur yang cukup dapat ditentukan dari bagaimana seseorang

mempersiapkan pola tidur malamnya, seperti jumlah jam tidur (amount of sleep),

kedalaman tidur (quality of sleep), kemampuan tertidur, dan kemudahan tertidur tanpa

bantuan medis. pendampingan. bantuan (Lai, 2001, Laineline, 2008). Di sisi lain,

Buysee DJ, Reynolds CF, Monk TH, Berman SR (1989) berpendapat bahwa kualitas

tidur merupakan fenomena yang sangat kompleks yang mencakup banyak domain

berbeda, termasuk kualitas tidur subjektif, evaluasi durasi tidur, gangguan tidur,

periode latensi tidur. . gangguan tidur siang hari, efisiensi tidur, penggunaan obat

tidur. Menurut Potter dan Perry (2006), tidur yang berkualitas dapat menimbulkan

rasa tenang di pagi hari, rasa berenergi, dan kurangnya keluhan gangguan tidur.

Secara teoritis, waktu tidur normal adalah 6-8 jam dalam jangka waktu 24 jam (Potter

dan Perry, 2006), namun ada juga yang melaporkan atau mengaku puas dengan tidur

dan kualitas tidurnya. tidurnya nyenyak, padahal jumlah jam tidurnya 4 jam semalam

dan tidur siangnya hanya 30 menit..

Kesimpulan diambil dari teori oleh Buysee dkk. (1989) kualitas tidur merupakan

keadaan yang melibatkan berbagai aspek antara lain lama waktu tidur, efisiensi tidur,

kualitas tidur, gangguan tidur, masa laten tidur, disfungsi tidur pada siang hari dan

penggunaan obat tidur.


2. Aspek-aspek Kualitas Tidur

Berikut beberapa aspek kualitas tidur berdasarkan teori atau pandangan ilmiah ini:

1. Durasi Tidur, adalah mengacu pada jumlah waktu seseorang tidur selama satu

siklus tidur. Misalnya, seseorang tidur 8 jam setiap malam.

2. Kontinuitas Tidur, adalah mencerminkan betapa lancarnya seseorang tidur tanpa

berulang kali terbangun saat tidur. Misalnya, seseorang bisa tidur tanpa gangguan

selama 7-8 jam tanpa terbangun.

3. Kedalaman Tidur, yaitu mengacu pada seberapa dalam seseorang tidur selama

siklus tidur. Misalnya, seseorang memasuki tahap tidur yang lebih nyenyak dan

tidak dibangunkan oleh stimulus eksternal atau internal yang relevan.

4. Efisiensi Tidur, yaitu mengukur seberapa efektif seseorang tidur selama waktu

yang dihabiskan di tempat tidur. Misalnya seseorang yang menghabiskan waktu 8

jam di tempat tidur namun hanya tidur sekitar 6 jam, maka efisiensi tidurnya

sekitar 75%.

5. Ritme Tidur, yaitu mencerminkan waktu seseorang tidur dan bangun setiap

harinya. Misalnya, seseorang dengan jadwal tidur yang konsisten akan tidur pada

jam 10 malam dan bangun pada jam 6 pagi setiap hari.

6. Kualitas Subyektif Tidur, Kualitas tidur subyektif merujuk pada persepsi

seseorang mengenai baik atau buruknya kualitas tidur. Misalnya seseorang

merasa segar dan sehat setelah 7 jam tidur dan terbangun dengan sedikit tidur atau

kelelahan.

Aspek-aspek tersebut dapat menjadi indikator penting untuk menilai kualitas

tidur seseorang dan memberikan informasi mengenai kesehatan tidurnya secara

keseluruhan..
C. Hubungan Antara Kualitas Tidur dengan Tingkat Stres pada Ibu Pasca

Melahirkan

Proses adaptasi pada ibu pasca melahirkan mengacu penyesuaian pada perubahan

fisik dan psikologis yang terjadi setelah melahirkan. Dalam proses penyesuaian tersebut,

ibu pasca melahirkan sering mengalami gangguan tidur karena perubahan hormonal,

kebutuhan merawat bayi, dan perubahan pola tidur yang tidak teratur. Kualitas tidur

mengacu pada seberapa baik seseorang tidur, termasuk berapa lama mereka tidur, seberapa

sering mereka terbangun saat tidur, dan seberapa nyenyak tidur mereka. Pasca melahirkan,

ibu seringkali mengalami gangguan tidur akibat perubahan hormonal, stres fisik dan

mental, serta tanggung jawab baru dalam merawat bayinya. Melahirkan dan menjadi orang

tua dapat menyebabkan banyak stres bagi para ibu. Stres bisa datang dari banyak sumber,

seperti ketidakpastian peran ibu baru, perubahan hubungan, dan ketidaknyamanan fisik

setelah melahirkan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara kualitas tidur dengan tingkat stres pada ibu pasca melahirkan. Gangguan

tidur yang kronis atau buruk dapat meningkatkan stres, sedangkan tingkat stres yang tinggi

juga dapat mempengaruhi kualitas tidur. Hal ini dapat menjadi siklus yang memperburuk

kondisi mental dan fisik ibu pasca melahirkan. Hubungan kualitas tidur dengan tingkat

stres pada ibu nifas kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain dukungan

sosial, kondisi kesehatan mental sebelum hamil, pengalaman mengasuh anak, dan

dukungan pasangan atau keluarga. Tindakan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas

tidur dapat membantu mengurangi tingkat stres ibu pasca melahirkan dan risiko gangguan

kesehatan mental lainnya.

Aspek stres terdiri aspek biologis dan aspek psikosoial. Aspek biologis merupakan

keadaan di mana individu yang mengalami peristiwa menakutkan, seperti kecelakaan dan

keadaan darurat lainnya, akan ada reaksi fisiologis terhadap stres.. Sedangkan aspek
psikososial dibagi menjadi tiga yaitu kognisi, emosi dan perilaku social. Stres dapat

menghabiskan atau melelahkan sumber daya kognitif untuk sementara, dibuktikan dengan

adanya kesulitan dalam konsentrasi, ingatan, pemecahan masalah, dan kontrol impuls

selama pengalaman stres. Emosi cenderung menyertai stres, dan orang sering

menggunakan keadaan emosi mereka untuk mengevaluasi stres mereka.

D. HIPOSETIS

Terdapat hubungan negatif antara kualitas tidur dengan tingkat stres. Di mana jika

kualitas tidur semakin tinggi maka tingkat stres semakin rendah. Begitu juga sebaliknya,

kualitas tidur yang semakin rendah maka tingkat stres semakin tinggi.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dari variabel-variabel di atas, yaitu:

1. Stres

Stres adalah hubungan yang terjadi antara individu dengan lingkungan yang dinilai

membebani kemampuan individu tersebut. Dalam penelitian stres diukur melalui The

Perceived Stress Scale (PSS-10) yang disusun oleh Cohen (1983) dengan tiga aspek-

aspek yaitu hal-hal tidak terduga (unpredictable), tidak terkontrol (uncontrollable),

dan kondisi individu ketika beban atau tuntutan melebihi dari kemampuannya

(overload).

Skor yang diperoleh dari skala stres PSS-10 yang menunjukan skor yang tinggi maka

menunjukan tingkat stres yang tinggi, begitupun sebaliknya jika skor yang diperoleh

dari skala menunjukan skor yang rendah makan tingkat stres juga rendah.

2. Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah kepuasan seseorang terhadap tidur yang dimilikinya, kualitas

tidur diukur dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang disusun oleh Buysee

(1988) berdasarkan aspek-aspek dari Buysse dkk., (1989) lama waktu tidur, efisiensi

tidur, kualitas tidur, gangguan tidur, masa laten tidur, disfungsi tidur pada siang hari

dan penggunaan obat tidur.

Skor yang diperoleh dari skala kualitas tidur PSQI yang menunjukan skor yang tinggi

maka menunjukan kualitas yang tinggi, begitupun sebaliknya jika skor yang diperoleh

dari skala menunjukan skor yang rendah makan kualitas tidur juga rendah.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Ibu pasca melahirkan.

(belum menentukan karakteristik subjek)


1. Ibu pasca melahirkan

Ibu pasca melahirkan adalah seorang perempuan dengan kondisi pemulihan setelah

melahirkan. Masa pasca melahirkan merupakan keadaan dengan banyak perubahan

baik perubahan psikologis maupun fisik. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh

Lestari (2022) dengan subjek penelitian ibu pasca melahirkan menyebutkan bahwa

terdapat 3,1% responden mengalami stress tingkat berat sekali dan 49% mengalami

tingkat stress berat. Sehingga ibu pasca melahirkan dipilih menjadi subjek penelitian

pada penelitian ini.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunkakan dalam penelitian ini menggunakan metode

skala. Jenis skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Likert untuk skala

stres PSS-10 dan skala kualitas tidur PSQI.

1. Kuesioner Perceived Stress Scale (PSS-10)

Skala stres diadaptasi dari Perceived Stress Scale (PSS-10) oleh Cohen &Williamson

(1988). Skala ini mempunai lima kemungkinan alternatif jawaban dengan rentang skor

0 sampai 4 sebagai berikut: 0 = tidak pernah, 1 = hampir tidak pernah, 2 = kadang-

kadang, 3 = cukup sering, 4 = sangat sering.

Aitem-aitem yang terdapat pada skala ini berbentuk favorable dan unfavorable.

Terdapat 6 aitem favorable dan 4 aitem unfavorable. PSS-10 digunakan untuk

mengungkap stres dengan aspek stres ang dikemukakan oleh Cohen (1983) yaitu:

a. Unpredictable

Stres akan muncul ketika seseorang dihadapkan dengan keadaan yang terjadi

secara tiba-tiba di mana tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Pada dimensi ini

adapun kalimat aitem yang digunakan “Selama sebulan terakhir, seberapa sering

anda marah karena sesuatu yang tidak terduga”.


b. Uncontrollable

Stres dapat muncul ketika terjadi sesuatu seseorang tidak dapat mengendalikan

situasi tersebut. Contoh aitem pada dimensi ini “Selama sebulan terakhir, seberapa

sering anda merasa tidak mampu mengontrol hal-hal yang penting dalam

kehidupan anda”.

c. Overload

Ketika terdapat peristiwa yang tidak sesuai dengan kemampuan individu sehingga

seseorang tersebut dapat merasa tertekan. Dalam dimensi ini aitem yang digunakan

“Selama sebulan terakhir, seberapa sering anda merasakan kesulitan yang

menumpuk sehingga anda tidak mampu untuk mengatasinya”.

Aspek Aitem Jumlah

Favorable Unfavorable

Unpredictable 1 5 2

Uncontrollable 2,10 4,7,8 5

Overload 3,9 6 3

Total 10

2. Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

Skala kualitas tidur diadaptasi dari Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) oleh Buysee

(1988). Skala ini mempunyai empat kemungkinan alternatif jawaban dengan rentang

skor = sampai 3 sebagai berikut: 0=sangat baik, 1=cukup baik, 2= cukup buruk,

3=sangat buruk.
Semua aitem-aitem yang terdapat pada skala ini berbentuk favoreble. Terdapat 18

aitem favorable pada skala PSQI yang digunakan untuk mengungkap kualitas tidur

dengan aspek stres yang dikemukakan oleh Buysee dkk., (1989) yaitu:

1. Subjective sleep quality

Penilaian dari individu mengenai kepuasaan tidur yang dimiliki, penilaian tersebut

berdasarkan sudut pandang dari individu itu sendiri. Pada dimensi ini adapun

kalimat yang digunakan “Selama sebulan terakhir, bagaimana Anda menilai

kupuasan tidur anda?”

2. Sleep latency

Waktu yang dibutuhkan oleh individu untuk dapat tertidur. Contoh aitem pada

dimensi ini adalah “Berapa lama Anda biasanya baru bisa tertidur tiap malam?”

3. Sleep duration

Durasi tidur seseorang yang dihitung dari mulai tidur sampai bangun tidur. Dalam

dimensi ini aitem yang digunakan adalah “ Berapa lama Anda tidur di malam

hari?”

4. Habitual sleep efficiency

Tercukupi atau tidaknya kebutuhan tidur seseorang dilihat dari durasi dan jam

tidur. Contoh aitem pada dimensi ini adalah “Pukul berapa Anda biasanya tidur

pagi?”

5. Sleep disturbance

Kebiasaan-kebiasaan yang mengganggu tidur dilakukan oleh individu selama

tertidur. Pada dimensi ini aitem yang digunakan adalah “Seberapa sering Anda

mengorok saat tertidur?”

6. Using medication
Penggunaan obat untuk membantu seseorang daat tertidur. Di dimensi ini aitem

yang digunakan adalah “Selama satu bulan terakhir, seberapa sering Anda

menggunakan obat tidur?”

7. Daytime disfungtion

Gangguan yang dialami seseorang pada siang hari karena mengantuk. Contoh

dimensi pada aitem ini adalah “Selama sebulan terakhir, seberapa sering Anda

mengantuk ketika aktivitas si siang hari?”

Aspek Aitem Jumlah

Favorable

Subjective sleep quality 9 1

Sleep latency 2, 5a 2

Sleep duration 4 1

Habitual sleep efficiency 1,3,4 3

Sleep disturbance 5b, 5c, 5d, 5e, 5f, 5g, 9

5h, 5j

Using medication 6 1

Daytime disfungtion 7,8 2

Total 18

D. Metode Analisis Data

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi product moment

yang dikembangkan oleh Pearson untuk menguji hubungan antara satu variabel dengan

variabel lainnya. Peneliti menggunakan teknik analisis data ini karena analisis korelasi

product moment sesuai untuk menguji hipotesis mengenai hubungan antara 2 variabel,
dimana pada penelitian ini yaitu menguji hubungan antara kualitas tidur dengan tingkat

stres. Dalam penelitian ini mengunakan program software computer Jamovi.


DAFTAR PUSTAKA
Aditama, D. (2017). Hubungan antara spiritualitas dan stres pada mahasiswa yang

mengerjakan skripsi. EL-TARBAWI, 10(2).

Anandita, A. A. (2018). Hubungan Antara Dukungan Sosial Suami dan Kecenderungan

Mengalami Baby Bluess Syndrome pada Ibu Pasca Melahirkan.

Amalia, R. (2016). Hubungan Stres Dengan Kelancaran Asi Pada Ibu Menyusui Pasca

Persalinan Di Rsi A. Yani Surabaya. Journal of Health Sciences, 9(1).

Ambarwati, P. D., Pinilih, S. S., & Astuti, R. T. (2019). Gambaran tingkat stres

mahasiswa. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional

Indonesia, 5(1), 40-47.

Balaram, K., & Marwaha, R. (2022). Postpartum blues. In StatPearls [Internet].

StatPearls Publishing.

Barseli, M., Ifdil, I., & Nikmarijal, N. (2017). Konsep stres akademik siswa. Jurnal

konseling dan pendidikan, 5(3), 143-148.

Bartlett, D. (1998). Stress: Perspectives and processes. Philadelphia, USA: Open

University Press.

Buysse, D. J., Reynolds III, C. F., Monk, T. H., Berman, S. R., & Kupfer, D. J. (1989).

The Pittsburgh Sleep Quality Index: a new instrument for psychiatric practice and

research. Psychiatry research, 28(2), 193-213.

Byron, K., Khazanchi, S., & Nazarian, D. (2010). The relationship between stressors

and creativity: a meta-analysis examining competing theoretical models. Journal of

Applied Psychology, 95(1), 201.

Daman, F. A., & Salat, S. Y. S. (2015). Faktor Risiko Tingkat Stres pada Ibu Nifas di

Wilayah Kerja UPT Puskesmas Legung Timur Kecamatan Batang–Batang Kabupaten

Sumenep Tahun 2014. Wiraraja Medika: Jurnal Kesehatan, 5(1).


Fauziah, A. R. (2022). Kecenderungan Depresi Pasca Melahirkan Pada Ibu

Primipara.A. UG Journal, 15(8).

Fitriani, A., & Nuryati, I. (2019). Dukungan Sosial dan Tingkat Stres pada Ibu Pasca

Melahirkan Anak Pertama. Jurnal Psikologi Malahayati, 1(2), 1-7.

Gaol, N. T. L. (2016). Teori stres: stimulus, respons, dan transaksional. Buletin

Psikologi ISSN, 854, 7108.

Ginting, D. Y., Tarigan, L., Handayani, D., & Sitio, L. H. (2021). Hubungan Stres

Psikologis dengan Produksi Asi Pada Ibu Menyusui Pasca Persalinan di Klinisk

Wulandari Medan.

Harahap W, Adiyanti MG. (2017). Kualitas Tidur dan Pola Tidur sebagai Predisposisi

Postpartum Blues pada Primipara. Jurnal Kesehatan Reproduksi, Vol 4, No.1, hal: 50-

55

Kaplan, H., Sadock, B., & Grebb, J. (2004). Kaplan and sadock’s synopsis of

psychiatry: Behavioral sciences and clinical psychiatry (Seventh ed). Baltimore:

Williams & Wilkins.

Kilic, M., Ozorhan, E. Y., Apay, S. E., Çapik, A., Agapinar, S., & Ozkan, H. (2015).

Comparison of fatigue levels of postratum women according to the birth method.

International Journal of Caring Sciences, 8(1), 125.

Khutami, T. (2022). Gambaran Psikologis Ibu Postpartum Primipara di Wilayah Kerja

Puskesmas Rejosari Kecamatan Tenayan Raya Kota Pekanbaru. Jurnal Kesehatan Ilmiah

Indonesia/Indonesian Health Scientific Journal, 7(1), 46-56.

Lazarus, R.S., & Cohen, J. (1997) Enviromental stress In J. Wohlwill & I. Altman Eds,

Human Behavior and Environment Journal. pp. 90-127.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. Springer

publishing company.
Lestari, S. (2022). Hubungan Tingkat Stres pada Ibu Post Partum dengan Kelancaran

Pengeluaran Asi Pada Masa Pandemi Covid 19 di PMB Sri Lestari Kalasan. (Doctoral

dissertation, Poltekkes Kemenkes Yogyakarta).

Marliani, R., Nasrudin, E., Rahmawati, R., & Ramdani, Z. (2020). Regulasi emosi,

stres, dan kesejahteraan psikologis: Studi pada ibu work from home dalam menghadapi

pandemi COVID-19. Karya Tulis Ilmiah LP2M UIN SGD Bandung.

Mufdlilah, A. H., & Kharimaturrahmah, I. (2012). Konsep Kebidanan. Yogyakarta:

Nuha Medika.

Nurhayati, N. A. (2021). Hubungan Dukungan Suami pada Ibu Pasca Melahirkan

dengan Postpartum Blues. Syntax, 3(1).

Prasetyaningrum, S. (2017). Faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi postpartum

blues. Psympathic: Jurnal Ilmiah Psikologi, 4(2), 205-218.

Pusparini, D. A., Kurniawati, D., & Kurniyawan, E. H. (2021). Hubungan Tingkat Stres

dengan Kualitas Tidur pada Ibu Preeklamsi di Wilayah Kerja Puskesmas Tempurejo-

Jember. Pustaka Kesehatan, 9(1), 16-24.

Rasmi, N. K. G., Yusiana, M. A., & Taviyanda, D. (2018). Adaptasi Psikologis Ibu

Postpartum (Fase Taking-in) Di Rumah Sakit. Jurnal Penelitian Keperawatan, 4(2).

Salam, A., Mahadevan, R., Rahman, A. A., Abdullah, N., Abd Harith, A. A., & Shan,

C. P. (2015). Stress among first and third year medical students at University

Kebangsaan Malaysia. Pakistan journal of medical sciences, 31(1), 169.

Saleha, S. (2009). Asuhan Kebidanan pada Masa Nifas.Jakarta: Salemba Medika.

Son, J., Erno, A., Shea, D. G., Femia, E. E., Zarit, S. H., & Parris Stephens, M. A.

(2007). The caregiver stress process and health outcomes. Journal of aging and health,

19(6), 871-887
Suparno, Heri P., dan Edi Purwanto. (2007). Modul pendidikan anak berkebutuhan

khusus. Jakarta: PJJ PGSD.

Sarafino, E. P., & Smith, T. W. (2011). Health psychology: Biopsychosocial

interactions. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Sarwono (2005) Ilmu Kebidanan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka

Septianingrum, Y., & Damawiyah, S. (2019). Hubungan Kualitas Tidur Dengan

Postpartum Blues Pada Ibu Postpartum Di Puskesmas Jagir Surabaya. Jurnal Ners

Lentera, 7(2), 98-106.

Wilkinson, H. R., & Nair, R. D. (2013). The psychological impact of the

unpredictability of multiple sclerosis: a qualitative literature meta-synthesis. British

journal of neuroscience nursing, 9(4), 172-178.

Anda mungkin juga menyukai