Disusun Oleh :
1. Endang Widianingsih (030216A042)
2. Erie Swastika (030216A043)
3. Eva Aprillia (030216A044)
4. Farida Puput F.S. (030216A045)
5. Fatimah Nur Rahma (030216A046)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Walgito (2002) perkawinan adalah merupakan bersatunya
seorang lelaki dengan seorang perempuan sebagai suami istri untuk
membentuk keluarga. Pada umumnya masing-masing pihak telah mempunyai
pribadi sendiri yang telah terbentuk, karena itu untuk dapat menyatukan satu
dengan yang lain perlu adanya saling penyesuaian, saling pengertian dan hal
tersebut harus disadari benar-benar oleh kedua pihak yaitu oleh suami-istri.
Di dalam perkawinan suami-istri saling terlibat dalam persoalan yang
menyangkut rumah tangga mereka seperti pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan itu bisa berupa peraturan yang ada dalam rumah
tangga, pendidikan, pemanfaatan pendapatan, pemilikan kekayaan keluarga,
penentuan kegiatan di luar rumah, penyaluran aspirasi, dan mengelola rumah
tangga seperti soal pekerjaan dapur, kebersihan rumah, dan mengasuh anak.
Dalam pengambilan keputusan seharusnya dengan musyawarah suami-istri
secara setara untuk persoalan-persoalan penting dan skala besar bagi ukuran
keluarga (Syfrina, 2014).
Walgito (2000) dalam Syfrina (2014) mengemukakan bahwa dalam
kehidupan berkeluarga hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak
dan kedudukan suami. Pernyataan ini didukung oleh INPRES Republik
Indonesia Nomor 9 tahun 2000 yaitu di dalam kehidupan setiap orang
mempunyai kesamaan kondisi bagi lakilaki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil
pembangunan. Begitu juga dengan pengambilan keputusan hendaknya laki-
laki dan perempuan mempunyai peran yang sama.
Pada kenyataannya dalam kehidupan berumah tangga ada perbedaan
peran antara suami dan istri. Menurut Setiawati (2016) peran istri pada
pengambilan keputusan lebih banyak menentukan dalam urusan keluarga,
terutama dalam urusan rumah tangga seperti berbelanja, menyiapkan
makanan, menentukan jenis menu, merebus air, memandikan anak, mengasuh
dan menyuapi anak, menemani anak belajar, mengurus sekolah anak,
mencuci, menyeterika, sedangkan suami lebih banyak menetukan untuk hal-
hal yang berkaitan dengan pemanfaatan pendapatan, pemilikan kekayaan
keluarga, penentuan kegiatan di luar rumah dan penyaluran aspirasi. Hal yang
hampir sama disampaikan Rahayu dan Suharyo (2013) bahwa perempuan
hanya dibatasi untuk mengambil keputusan dalam rumah tangga saja, tetapi
untuk urusan yang lebih besar seperti pembelian dan penjualan aset besar
(tanah dan hewan besar), menikahkan anak dan membiayai sekolah anak,
masih lebih banyak ditentukan oleh laki-laki.
Pengambilan keputusan publik tetap didominasi oleh laki-laki karena
mereka merasa mempunyai tugas sebagai kepala keluarga dan bertanggung
jawab memberi nafkah pada kelurga sehingga sesuatu hal yang berkaitan
dengan penggunaan pendapatan tetap diputuskan oleh laki-laki misalnya
kepemilikan rumah (Wiludjeng dkk, 2015). Dengan kata lain istri lebih
berperan dalam pengambilan keputusan yang sifatnya domestik dan
reproduktif, sedangkan suami berperan pada pengambilan keputusan dalam
rumah tangga yang bersifat publik dan produktif. Meskipun demikian, istri
tidak sepenuhnya memiliki keterlibatan pada pengambilan keputusan terkait
hal-hal reproduksi sebagaimana kasus, sering terjadinya istri melakukan
aborsi karena diminta oleh suami. Hal ini menunjukkan bahwa hak-hak
reproduksi perempuan masih dibawah kendali suami (Muchlis, 2014).
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Palestin (2016) suami
memainkan peranan yang sangat penting, terutama pada pengambilan
keputusan berkenaan dengan reproduksi pasangannya. Rendahnya
keterlibatan istri pada pengambilan keputusan dalam rumah tangga
memberikan dampak yang besar pada istri bahkan bisa mengakibatkan
kematian karena melakukan aborsi. Seperti yang terjadi pada kasus Ny. Yuni
Yudianto yang meninggal karena melakukan aborsi, hal ini dikarenakan
kegagalan alat kontrasepsi selain itu ketidaksanggupan atau ketidakrelaan
untuk menanggung konsekuensi dari kehamilan tersebut, karena faktor
kebutuhan hidup yang bertambah besar dan menyebabkan suami menyuruh
istri melakukan aborsi (aborsi.org, 2013). Selain itu di dalam rumah tangga
dapat terjadi perceraian seperti yang terjadi di Aceh Utara, istri menuntut
cerai suami karena sikap suami yang arogan, yaitu istri dalam hidupnya harus
menerima apa yang dikatakan suami, walaupun pahit, sakit dan getir, semua
dilakukan demi anak-anak (Dewi, 2010). Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan peran antara suami dan istri pada pengambilan keputusan dalam
rumah tangga, sehingga suami mempunyai kendali pada hak reproduksi
pasangannya. Perbedaan peran tersebut dipengaruhi oleh budaya patriarki.
Menurut Soewondo (Indukirana, 2010) dalam budaya patriarki tersebut
semuanya menempatkan perempuan untuk bekerja di sektor domestik,
sementara dominasi sektor publik ada di pihak laki-laki.
Perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sektor publik, pada
umumnya berdasarkan asumsi bahwa perempuan secara fisik lemah, namun
memiliki kesabaran dan kelembutan. Sementara laki-laki memiliki fisik lebih
kuat sekaligus berpengarai kasar. Dari perbedaan peran tersebut
mengakibatkan rendahnya pelibatan istri pada pengambilan keputusan publik
dalam rumah tangga karena istri hanya terlibat dalam urusan domestik saja,
pengambilan keputusan publik tetap didominasi oleh laki-laki (Rahayu dan
Suharyo, 2013). Menurut John D.M. (Soehadji, 2016) salah satu faktor yang
mempengaruhi keterlibatan istri pada pengambilan keputusan adalah struktur
peran suami atau istri. Struktur peran suami atau istri yaitu bagaimana cara
pandang suami tentang pemahaman kesetaraan gender yang ada dalam rumah
9 tangga, bagaimana suami memandang peran suami dan istri setara atau
tidak. Pemahaman suami tentang kesetaraan gender itu menjadi suatu
permasalahan apabila suami memandang peran suami dan istri tidak setara
karena itu dapat melahirkan ketidakadilan terhadap kaum perempuan (Fakih,
1996). Ketidakadilan tersebut termanifestasi juga pada lingkungan rumah
tangga yaitu pada proses pengambilan keputusan, karena untuk mengetahui
apakah lakilaki dan perempuan telah setara berkeadilan, menurut Mufidah
(Winahyu, 2014) dapat dilihat pada salah satunya yaitu pengambilan
keputusan dan perencanaan maupun pelaksanaan segala kegiatan. Setelah kita
amati permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan gender banyak
sekali kasus yang berhubungan diskriminasi kaum perempuan. Salah satunya
yaitu dalam kehidupan berumah tangga dengan pengambilan keputusan
publik dalam rumah tangga.
Berdasarkan uraian tersebut maka, perlu dilakukan pembahasan
tentang peran perempuan dalam mengambil keputusan dalam keluarga,
sehingga untuk meredam kecenderungan diskriminasi diperlukan komitmen
dan koordinasi yang lebih baik. Semua pihak perlu mengambil peran dalam
aksi global dalam penyetaraan gender.
B. Tujuan
1. Mahasiswa mampu melakukan identifikasi permasalahan gender yang ada.
2. Mahasiswa mampu melakukan menyajikan kebijakan tentang masalah
terkait.
3. Mahasiswa mengetahui kebijakan yang ada dalam masalah tersebut.
4. Mahasiswa mampu mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap peranan
perempuan dalam mengambil keputusan.
BAB II
KEBIJAKAN TERKAIT
1. Landasan hukum persamaan peran dalam hukum perkawinan, yaitu antara
lain UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang memberikan persamaan bagi setiap
laki-laki dan perempuan di muka hukum, ketetapan MPR tentang GBHN
dari tahun 1973 dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan. UU Nomor 7 tahun 1984 ini mendasarkan pada prinsip
persamaan, non diskriminasi, kewajiban negara. Dalam UU No. 39 tahun
1999 tentang Hak Asasi manusia ditentukan bahwa semua orang
dilahirkan dengan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama, meskipun pasal khusus yang mengatur perkawinan terdapat
klausula pelepasan, artinya terdapat pengecualian yaitu ditentukan oleh
hukum agamanya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. UU Perkawinan no 1 tahun 1974 mengatur beberapa pasal tentang
persamaan hak antara istri dan suami
Pasal 31
A. Kesimpulan
Terkadang dalam mengambil keputusan dalam rumah tangga, laki-laki
menjadi penentu utama dan tidak melibatkan peran perempuan dalam
pengambilan keputusan. Berdasarkan UU Perkawinan tersebut menyatakan
bahwa suami dan istri memiliki hak dan kedudukan yang seimbang termasuk
dalam pengambilan keputusan.
Beberapa kebijakan tersebut mendukung bahwa harus adanya
persamaan hak-hak baik perempuan dan laki-laki. Meskipun dalam
pengambilan keputusan merupakan hal yang penting dalam keluarga, namun
jika perempuan ingin mendapatkan haknya perempuan juga dapat
menyampaikan keputusannya dan melakukan pemilihan.
B. Saran
1. Saran kepada Lembaga Penentu Kebijakan
a. Diharapkan ada kejelasan dan tindak tegas dalam kebijakan sebagai
bentuk perlindungan terhadap perempuan.
b. Diharapkan untuk lebih memperhatikin keadaan perempuan yang
terjadi terutama dalam dunia kesehatan.
2. Saran untu Mahasiswa
a. Mahasiswa diharapkan mampu mengkaji lebih mendalam tentang
keadaan perempuan dalam pengambilan keputusan.
b. Mahasiswa diharapkan mampu menyajikan keterbatasan peran
perempuan dalam pengambil keputusan di keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Huriati. 2014. Peran Perempuan dalam Keluarga. Sulesana Vol. 9 No. 2 hal 126-
131
Katili, M. I., dkk. 2012. Stigma dan Diskriminasi Terhadap Perempuan LINK
Vol. 8 No. 1 hal 215-220
Kemenkes. 2014. Situasi dan Analisis Peran Perempuan. Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kementrian Kesehatan