Disusun Oleh :
1. Endang Widianingsih (030216A042)
2. Erie Swastika (030216A043)
3. Eva Aprillia (030216A044)
4. Farida Puput F.S. (030216A045)
5. Fatimah Nur Rahma (030216A046)
6. Fitri Laila Rahmawati (030216A047)
7. Fitri Rifaatul Mahmudah D (030216A048)
8. Fitrianingsih (030216A049)
9. Fivin Widyaprasti (030216A050)
10. Asmila Gustiani (0302016A013)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini di Indonesia terjadi perubahan struktur piramida penduduk,
pola yang muncul di Indonesia mirip dengan struktur piramida pen- duduk di
negara maju. Pola ini menggambarkan adanya pengecilan jumlah dan
proporsi penduduk yang berusia anak-anak tetapi diikuti dengan
membengkaknya penduduk remaja dan penduduk lanjut usia. Perubahan
struktur ini karena penduduk remaja yang sedang tumbuh itu adalah hasil
pendewasaan dari penduduk yang belum tersentuh oleh program KB pada
zaman orang tua mereka masih remaja. Oleh karena itu, anak-anak yang
sekarang dewasa dan menjadi orang tua muda adalah anak-anak pasangan
remaja yang sangat rawan untuk kemungkinan menimbulkan baby boom
yang baru.
Masalah kependudukan di Indonesia sedang berada pada tahap yang
serius. Jika angka pertumbuhan penduduk tidak menurun secara drastis,
dalam waktu yang tidak terlalu lama akan terjadi ledakan jumlah penduduk
yang lebih dahsyat dibandingkan lima puluhan tahun yang lalu. Upaya
penyadaran masyarakat khususnya remaja, tentang pentingnya pengetahuan
kesehat- an reproduksi dan program KB harus terus dilakukan dengan
intensitas dan frekuensi yang makin ditingkatkan.
Dalam Rencana Program Jangka Panjang Menengah (RPJM) 2004
2010, Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) adalah salah satu program
pemerintah di dalam sektor pembangunan sosial-budaya, yang bertujuan
untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku remaja dalam kesehatan
reproduksi. Fokus utama dari program KRR di Indonesia adalah terwujudnya
perubahan perilaku remaja melalui penyediaan informasi dan pelayanan
kesehatan reproduksi (BKKBN, 2010).
Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang
dilakukan pada tahun 20022003 menemukan 2,4% atau sekitar 511.336
orang dari 21.264.000 jumlah remaja berusia 1519 tahun dan 8,6% atau
sekitar 1.727.929 orang dari 20.092.200 remaja berusia 2024 tahun yang
belum menikah di Indonesia pernah melakukan hubungan seks pranikah dan
lebih banyak terjadi pada remaja di perkotaan (5,7%). Secara keseluruhan
persentase laki-laki berusia 1524 tahun belum menikah melakukan
hubungan seks pranikah lebih banyak dibanding- kan wanita dengan usia
yang sama (Badan Pusat Statistik, 2003).
Iswarati dan Prihyugiarto (Iswarati, 2008), mengungkapkan bahwa
faktor jenis kelamin, tempat tinggal, umur, pengetahuan masa subur,
pengetahuan tentang penyakit IMS, pengalaman punya pacar, punya teman
yang pernah melakukan hubungan seksual, dan dorongan teman yang pernah
melakukan hubungan seksual pranikah berpengaruh secara signifikan
terhadap sikap remaja melakukan hubungan seksual pranikah.
Perlunya remaja memahami kesehatan reproduksinya menurut
BKKBN (BKKBN, 2010) adalah agar remaja mengenal tubuhnya dan organ-
organ reproduksinya, memahami fungsi dan perkemban- gan organ
reproduksinya secara benar, memahami perubahan fisik dan psikisnya,
melindungi diri dari berbagai risiko yang mengancam kesehatan dan
keselamatannya, mempersiapkan masa depan yang sehat dan cerah, serta
mengembangkan sikap dan perilaku bertanggung jawab mengenai proses
reproduksi.
Tingkat pengetahuan kesehatan reproduksi merupakan salah satu
faktor yang dapat memengaruhi perilaku seksual remaja pranikah. Fenomena
ini menunjukkan bahwa perilaku seksual remaja pranikah remaja di berbagai
provinsi semakin meningkat dikarenakan kurangnya pengetahuan remaja
tentang kesehatan reproduksi. Perma- salahan remaja tersebut memberi
dampak seperti kehamilan, pernikahan usia muda, dan tingkat aborsi yang
tinggi sehingga dampaknya buruk terhadap kesehatan reproduksi remaja.
Beberapa penelitian sebelumnya di beberapa negara, anak perempuan dan
laki-laki yang belum menikah sudah aktif secara seksual sebelum mencapai
umur 15 tahun. Survei terakhir terhadap anak laki-laki yang berusia 1519
tahun di Brazil, Hungaria, Kenya, menemukan bahwa le bih dari seperempat
dilaporkan telah melakukan hubungan seksual sebelum usia mereka
mencapai 15 tahun (Anggraeni, 2009).
Penelitian WHO (1975) menunjukkan kurangnya pengetahuan
remaja tentang masa subur dapat terlihat pada pengetahuan mereka tentang
risiko kehamilan. Sebanyak 19,2% remaja menyatakan bahwa perempuan
yang melakukan hubungan seksual sebelum mengalami menstruasi dapat
hamil, dan sebanyak 8,8% remaja yang mendengar istilah masa subur
menyatakan perempuan tidak dapat hamil bila melakukan hubungan seksual
pada masa subur. Kurangnya pengetahuan remaja ini perlu mendapatkan
perhatian karena hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan tetap
mempunyai risiko untuk hamil.
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi dan cara-cara melindungi
dirinya terhadap risiko kesehatan reproduksi relatif masih rendah dan perlu
mendapatkan perhatian yang lebih. Oleh karena itu, makalah ini akan
memaparkan pentingnya pengetahuan seks dalam kesehatan reproduksi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah seksologi dalam kesehatan reproduksi penting ?
2. Sejauh manakah pentingnya seksologi dalam kesehatan reproduksi?
C. Tujuan
1. Sebagai upaya penyadaran bagi penulis dan pembaca pentingnya seksologi
dalam kesehatan reproduksi.
2. Sebagai pemaparan permasalahan seksologi dalam kesehatan reproduksi.
3. Sebagai referensi bacaan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Seksologi
Seks adalah kata yang sangat tidak asing di telinga kita, tetapi
anehnya seringkali kita merasa tabu dan agak malu-malu jika
menyinggungnya. Nah, kemudian agar kita dapat membicarakan dan
mendiskusikannya dengan bebas terbuka, maka para ahli bahasa dan ilmuwan
pun membuat seks ini menjadi ilmiah dengan menambahkan akhiran -tas
dan -logi menjadi seksualitas dan seksologi, sehingga jadilah
seksualitas adalah untuk dibahas dan didiskusikan, seksologi adalah untuk
ditulis secara ilmiah, dan seks adalah untuk dialami dan dinikmati
(Nasution, 2014).
Di dalam kamus, seks sebenarnya mempunyai dua arti, yaitu seks
yang berarti jenis kelamin atau gender, dan seks yang berarti senggama atau
melakukan aktivitas seksual, yaitu hubungan penyatuan antara dua individu
dalam konteks gender di atas. Hampir masyarakat berpendapat bahwa perlu
adanya pengaturan penyelenggaraan hubungan seks. Sebab, dorongan seks itu
begitu besar pengaruhnya terhadap manusia seperti nyala api yang berkobar.
Api itu bisa bermanfaat bagi manusia, akan tetapi dapat menghancurkan
peradaban manusiawi. Demikian pula dengan seks, bisa membangun
kepribadian seseorang, akan tetapi juga bisa menghancurkan sifat-sifat
kemanusiaan (Dharma, 2011).
B. Faktor yang Mempengaruhi
1. Dorongan seksual
2. Keadaan kesehatan tubuh
3. Psikis
4. Pengetahuan seksual
5. Pengalaman seksual sebelumnya
(Anggraeni, 2008)
C. Manfaat
1. Mempunyai pengertian yang benar.
2. Mampu meluruskan berbagai mitos dan informasi yang salah.
3. Membentuk perilaku seksual yang benar dan sehat.
4. Mampu mencegah masalah seksual yang terjadi di masyarakat.
5. Mampu mengatasi berbagai masalah seksual.
6. Lebih peka dan sadar dalam hubungan manusia.
(Syahredi, 2016)
D. Remaja dan Kesehatan Reproduksi
WHO (1965) mendefinisikan masa remaja merupakan periode
perkembangan antara pubertas, perlihan biologis masa anak-anak dan masa
dewasa, yaitu antara umur 10-20 tahun. Hasil Sensus (SP) 1990 dan SP
2000 menunjukkan proporsi remaja berusia 10 sampai 24 tahun di Bali
sebesar 32,12 persen dan 26,29 persen (Dharma, 2011).
Besarnya proporsi penduduk berusia muda, secara teoritis
mempunyai dua makna, Pertama, besarnya penduduk usia muda merupakan
modal pembangunan yaitu sebagai faktor produksi tenaga manusia (human
resources), apabila merekadapat dimanfaatkan secara tepat dan baik.
Memanfaatkan mereka secara tepat dan baik diperlukan beberapa
persyaratan. Di antaranya adalah kemampuan keakhlian, kemampuan
keterampilan dan kesempatan untuk berkarya. Kedua, apabila persyaratan
tersebut tidak dapat dimiliki oleh penduduk usia muda, yang terjadi adalah
sebaliknya, yaitu penduduk usia muda justru menjadi beban pembangunan
(Anggraeni, 2009).
Remaja memiliki dua nilai yaitu nilai harapan (idelisme) dan
kemampuan. Apabila kedua nilai tersebut tidak terjadi keselarasan maka
akan muncul bentuk-bentuk frustasi. Macam-macam frustasi. Macam-
macam frustasi ini pada gilirannya akan merangsang generasi muda untuk
melakukan tindakan-tindakan abnormal (menyimpang).
Dari sudut pandang kesehatan, tindakan menyimpang yang akan
mengkhawatirkan adalah masalah yang berkaitan dengan seks bebas
(unprotected sexuality), penyebaran penyakit kelamin, kehamilan di luar
nikah atau kehamilan yang tidak dikehendaki (adolecent unwanted
pragnancy) di kalangan remaja. Masalah-masalah yang disebut terakhir ini
dapat menimbulkan masalah-masalah sertaan lainnya yaitu aborsi dan
pernikahan usia muda. Semua masalah ini oleh WHO disebut sebagai
masalah kesehatan reproduksi remaja, yang telah mendapatkan perhatian
khusus dari berbagai organisasi internasional (Iswarati, 2008).
Dari beberapa penelitian tentang perilaku reproduksi remaja yang
telah dilakukan, menunjukkan tingkat permisivitas remaja di Indonesia
cukup memprihatinkan. Faturochman (1992) merujuk beberapa penelitian
yang hasilnya dianggap mengejutkan, seperti penelitian Eko seorang
remaja di Yogyakarta (1983). Penelitian SAHAJA di Medan (1985) dan
di Kupang (1987), dan penelitian yang dilakukan oleh Unika Atmajaya
Jakarta dengan Perguruan Ilmu Kepolisian. Semua penelitian
tersebut menunjukkan bahwa remaja di daerah penelitian yang
bersangkutan telah melakukan hubungan seksual.
Penelitian-penelitian tentang kesehatan reproduksi remaja yang
pernah dilakukan di Bali memberikan gambaran yang tidak jauh berbeda
dengan penelitian di daerah lainnya. Beberapa penelitian yang pernah
dilakukan di Bali di antaranya oleh Faturochman dan Sutjipto (1989),
Mahaputera dan Yama Diputera (1993), Tjitarsa (1994), dan Alit Laksmiwati
(1999).
E. Transformasi Sosial dan Perilaku Reproduksi Remaja
Perubahan masyarakat Bali mengalami percepatan yang cukup
tinggi. Ada dua bentuk perubahan yang amat jelas. Pertama, perubahan
struktur dari struktur masyarakat agraris ke struktur masyarakat industri, yaitu
industri pariwisata dan industri kerajinan. Kedua, perubahan orientasi dari
orientasi lokal dan nasional ke orientasi global. Keterbukaan masyarakat
Bali menjadi semakin intensif dengan ikut teradopsinya berbagai budaya
baru (Geriya, 2008).
Perubahan budaya agraris ke budaya iptek tidak selalu membawa
hasil yang memuaskan. Seperti yang terjadi di Bali sekarang ini, berbagai
masalah timbul sebagai akibat dari perubahan budaya tersebut. Sebagian dari
masyarakat Bali telah berubah dari masyarakat tradisonal menjadi masyarakat
modern. Perubahan masyarakat ini ditandai dengan pula oleh perubahan
bentuk solidaritas mekanik ke solidaritas organik, artinya sifat-sifat
kebersamaan cenderung memudar dan mulai muncul sifat individualis. Ciri
perubahan ini adalah merosotnya peran sosial agama dan adat dalam
mempengaruhi aspek kehidupan yang lainnya.
Sementara itu salah satu ciri masyarakat perkotaan sebagai
masyarakat modern adalah adanya perubahan bentuk keluarga dari
keluarga luas (extended family) menjadi keluarga batih (nuclear family).
Perubahan bentuk keluarga tersebut juga berakibat adanya perubahan dalam
sifat hubungan antara orang tua dengan anak-anak mereka, khususnya anak-
anak remaja. Perubahan tersebut adalah dalam arah semakin berkurangnya
pengawasan orang tua terhadap anak-anaknya, dan semakin terpisahnya
orang tua dan anak-anak mereka ke dalam dua dunia yang berbeda
(Sanderson, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik (BPS), dan ORC Macr. 2003. Survei Kesehatan
Reproduksi Remaja Indonesia 20022003. Calverton, Maryland, USA:
BPS dan ORC Macro.