Anda di halaman 1dari 39

PERUBAHAN PSIKOLOGI WANITA SEBAGAI IBU

Diajukan untuk memenuhi salah satu mata kuliah : Psikologi Kebidanan

Dosen Pengampu : Irma Hamdayani Pasaribu, M. Keb

Disusun oleh:

Kelompok 6

Kelas IIA

1. Marina Nurmila NPM. 1810630100030


2. Mirna Kusuma Jania Putri NPM. 1810630100032
3. Tiara Agustin NPM. 1810630100033

PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS NEGERI SINGAPERBANGSA KARAWANG

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat


rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perubahan
psikologi wanita sebagai ibu”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Psikologi Kebidanan.

Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah


membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya.
Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan


semua pihak.

Karawang, Februari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1

1.2 Rumusan masalah............................................................................................ 1

1.3 Tujuan ............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3

2.1 Pengertian Wanita sebagai Ibu ...................................................................... 3

2.2 Karakteristik /Ciri-ciri Wanita sebagai Ibu ..................................................... 4

2.3 Proses Perubahan Fisik Wanita sebagai Ibu ................................................... 9

2.4 Keadaan dan Perubahan Psikologi .................................................................. 13

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Psikologi ............................... 13

2.6 Masalah-masalah Psikologi yang Sering Terjadi ............................................ 23

2.7 Pengelolaan Gangguan Psikologi Secara Umum ............................................ 32

2.8 Peran Bidan dalam Pengelolaan Gangguan Psikologi .................................... 33

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 34

3.1 Kesimpulan ................................................................................................... 34

3.2 Saran .............................................................................................................. 35

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wanita, dari remaja sampai wanita usia sekitar 40-an, menggunakan masa
hamil 9 bulan untuk beradaptasi terhadap peran sebagai ibu. Adaptasi ini
merupakan proses social dan kognitif kompleks yang bukan didasarkan pada
naluri, tetapi dipelajari (Rubin, 1967a; Affonso dan Sheptak, 1989). Untuk
menjadi seorang ibu, seorang remaja harus beradaptasi dari kebiasaan dirawat ibu
menjadi seorang ibu yang melakukan perawatan. Sebaliknya, seorang dewasa
harus mengubah “kehidupan rutin yang dirasa mentap menjadi suatu kehidupan
yang tidak dapat diprediksi, yang diciptakan seorang bayi (Mercer, 1981).
Nulipara, atau wanita tanpa anak, dan multipara, wanita yang memiliki anak,
menjadi wanita yang memiliki anak-anak (Lederman, 1984).

Sifat keibuan merupakan sifat yang lazim dimiliki seorang wanita, sifat
tersebut mendorong seorang wanita untuk bersikap lemah lembut, penuh kasih
saying dan ketulusan, tapi dari kesemuanya itu tidak menutup kemungkinan
seorang wanita/ibu tidak memiliki sifat keibuan. Walaupun berpredikat sebagai
ibu, mereka tak memahami arti penting dan indahnya sifat- sifat keibuan, seperti
sabar, melindungi, kasih sayang, ketulusan dalam memberi, kesetiaan total, tetapi
tanpa pernah merasa kehilangan dirinya saat mencintai orang lain.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka kami mengambil beberapa


rumusan masalah, diantaranya:

1. Bagaimana psikologi wanita sebagai ibu


2. Bagaimana perubahan psikologi wanita sebagai ibu
3. Bagaimana gangguan psikologi wanita sebagai ibu
4. Bagaimana pengelolaan gangguan psikologi wanita sebagai ibu

1
5. Apa saja pengetahuan tentang pengertian wanita, ibu, wanita sebagai ibu,
peran dan fungsi wanita sebagai ibu, sifat keibuan, relasi ibu dan anak, ibu
tiri dan ibu angkat.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun makalah ini kami susun dengan tujuan sebagai berikut:

1. Dapat mengetahui psikologi wanita sebagai ibu


2. Dapat mengetahui perubahan psikologi wanita sebagai ibu
3. Dapat mengetahui gangguan psikologi wanita sebagai ibu
4. Dapat mengetahui pengelolaan gangguan psikologi wanita sebagai ibu
5. Untuk menambah pengetahuan tentang pengertian wanita, wanita sebagai
ibu, peran dan fungsi wanita sebagai ibu, sifat keibuan, relasi ibu dan anak,
ibu tiri dan ibu angkat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wanita sebagai Ibu

Asal kata “wanita” (bhs. Inggris: woman) adalah: vani atau vanitai/ Desire
(bhs. Sansekerta) dalam bahasa Indonesia diartikan “keinginan”. Jadi wanita
mengandung makna sesuatu yang selalu diinginkan. Arti konotasi dari kata ini
ialah wanita sebagai objek seks, selalu diinginkan (Sanskrit – English
Dictionary; Sir Monier Williams, Delhi Varanasi, Motilal Banarsidas, 1981).

Menurut definisi dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, perempuan


adalah orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil,
melahirkan anak dan menyusui. Wanita sebagai pelaksana peran-peran dalam
pendidikan anak. Menurut Agama Islam, tanggung jawab pendidikan anak
terutama menjadi beban ayah, namun operasionalnya lebih besar pada seorang
ibu, karena ibu sebagai wanita yang lebih dekat dengan anak dan lebih banyak
bergaul serta mengetahui keadaan, sifat dan perilakunya terutama masalah
pertumbuhannya. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2012)

Ibu berasal dari kata empu (sanskerta) yang berarti wanita, dihormati,
membimbing dan mengasuh. Ibu adalah orangtua perempuan seorang anak, baik
melalui hubungan biologis maupun sosial. Perempuan dewasa yang lebih
menonjol pada sifatnya sebagai yang mulia, dihormati, membimbing, mengasuh
atau dapat dikatakan sebagai guru, penuntun yang penuh kasih dan perawat
walaupun tidak semata-mata dibatasi oleh hubungan biologis. (Kartono,
kartini.2007)

Umumnya, ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan


anak, dan panggilan ibu dapat diberikan untuk perempuan yang bukan orang tua
kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini.Contohnya adalah
pada orang tua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (istri ayah biologis

3
anak).Dapat kita simpulkan bahwa ibu adalah perempuan dewasa yang lebih
menonjol pada sifatnya sebagai yang mulia, dihormati, membimbing,
mengasuh.Atau dapat dikatakan sebagai guru, penuntun yang penuh kasih
sayang dan perawat walaupun tidak semata-mata dibatasi oleh hubungan
biologis.

2.2 Karakteristik /Ciri-ciri Wanita sebagai Ibu

1. Peran ibu dalam keluarga.

a. Memenuhi kebutuhan fisiologi dan psikis

Sering dikatakanbahwa ibu adalah jantung dari keluarga. Jantung dalam


tubuh merupakan alat yang sangat penting penting bagi kehidupan seseorang.
Apabila jantung berhenti berdenyut,maka orang tersebut tidak dapat
melangsungkan hidupnya. Dari perumpamaan ini dapat disimpulkan bahwa
kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral sangat penting untuk
melakasanakan kehidupan.

Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya, dia


harus memberiikan susu agar anak itu bisa melangsungkan hidupnya. Mula-
mula ibu menjadi pusat logistik, memenuhi kebutuhan fisik, fisiologis, agar
ia dapat meneruskan hidupnya. Baru sesudahnya terluhat bahwa ibu juga
harus memenuh kebutuhn-kebutuhan lainnya, kebutuhan sosial, kebutuhan
psikis, yang bila tidak dipenuhi bisa mengakibatkan suasana keluarga menjadi
tidak optimal. Sebagai dasar suasana keluarga, ibu perlu menyadari perannya:
memenuhi kebutuhan anak.

Dalam memberikan susu pada sang bayi juga perlu memperhatikan


caranya. Demikian pula cara menyuapi anak kecil sudah biasa menimbulkan
macam-macam hambatan bila dilakukan dengan tidak sabar. Rasa aman
pertama sudah dimulai sejak masa bayi.

4
b. Peran dalam merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra, dan
konsisten

Ibu mempertahankan hubungan-hubungan dalam keluarga. Ibu


menciptakan suasana yang mendukung kelancaran perkembangan anak dan
semua kelangsungan keberadaan unsur keluarga lainnya. Seorang ibu yang
sabar menanamkan sikao-sikap, kebiasaan pada anak, tidak panik dalam
menghadapi gejolak di dalam maupun di luar diri anak, akan memberi
kemudahan bagi anak dan keluarganya tidak boleh dipengaruhi olrh emosi
atau keadaan yang berubah-ubah.

Misalnya bila sedang memberi makan pada anak kecil, lalu ada tamu
datang, sehingga emosi ibu berubah, lalu anak dikesampingkan dengan keras.
Ini bisa berakibat anak tidak senang bila ada teman.

c. Peran ibu sebagai pendidik yang mampu mengatur dan mengendalikan


anak

Ibu juga berperan dalam mendidik anak dan mengembangkan


kepribadiannya. Pendidikan juga menuntut ketegasan dan kepastian dalam
melaksanakannya. Biasanya seorang ibu sudah lelah dari pekerjaan rumah
tangga setiap hari, sehingga dalam keadaan tertentu, situasi tertentu, cara
mendidiknya dipengaruhi oleh emosi. Misalnya suatu kebiasaan yang
seharusnya dilakukan oleh anak, anak tidak perlu melakukannya, bila ibu
dalam keadaan senang. Sebaliknya bila ibu sedang lelah, maka apa yang harus
dilakukan anak disertai bentakkan-bentakan.

Contoh lain bisa dilihat dalam pembentukan keteraturan belajar. Bila anak
dibiasakan untuk belajar setiap sore mulai pukul 16.00, tetapi ibu yang sedang
mendampingi anaknya belajar kedatangan tamu, acara belajar itu dibatalkan.
Perubahan arah pendidikan tersebut diatas akhirnya akan menyebabkan anak
tidak mempunyai pegangan yang pasti, tidak ada pengarahanperilaku yang
tetap dan tidak ada kepastian perilaku yang benar atau salah. Ibu dalam

5
memberikan ajaran dan pendidikan harus konsisten, tidak boleh berubah-
ubah.

d. Peran ibu sebagai contoh dan teladan

Dalam mengembangkan kepribadian dan membentuk sikap-sikap anak,


seorang ibu perlu memberikan contoh dan teladan yang dapat diterima.
Dalam pengembangan kepribadian, anak belajar melalui peniruan terhadap
orang lain. Sering kali tanpa disadari, orang dewasa memberi contoh dan
teladan yang sebenarnya justru tidak diinginkan.

Misalnya: orang dewasa di depan anak mencritakan suatu cerita yang tidak
sesuai, tidak jujur. Anak melihat ketidaksesuaian tersebut. Maka tidak bisa
diharapkan bahwa anjuran untuk berbicara jujur akan dilakukan, bila anak
disekitarnya selalu melihat dan mendengar perintah-perintah diiringi dengan
suara keras dan bentakan, tidak bisa diharapkan untuk bicara dengan lemah
lembut. Karena itu dalam menanamkan kelembutan, sikap ramah, anak
membutuhkan contoh dari ibu yang lembut dan ramah.

e. Ibu sebagai manajer yang bijaksana.

Seorang ibu menjadi manager rumah. Ibu mengatur kelancaran rumah


tangga dan menanamkan rasa tanggung jawab padda anak. Anak pada usia
dini sebaiknya sudah mengenal adanya peraturan-peraturan yang harus
diikuti. Adanya disiplin di dalam keluarga akan memudahkan pergaulan di
masyarakat kelak.

f. Ibu memberi rangsangan dan pelajaran.

Seorang ibu juga memberi rangsangan sosial perkembangan anak. Sejak


masa bayi pendekatan ibu dan percakapan dengan ibu memberi rangsangan
bagi perkembangan anak, kemampuan bicara dan pengetahuan lainnya.
Setelah anak masuk sekolah, ibu menciptakan suasana belajar yang
menyenangkan agar anak senang belajar di rumah, membuat P.R. di rumah.
Anak akan belajar dengan lebih giat bila merasa enak daripada bila disuruh

6
belajar dengan bentakan. Dengan didampingi ibu yang penuh kassih sayang
akan memberi rasa aman yang diperlukan setiap anggota keluarga. Agar ibu
dapat melaksanakan tugas dengan baik, dukungan dan dorongan ayah sangat
dibutuhkan. disamping ibu sebagai jantung, harus ada ayah sebagai otak
dalam keluarga, kepala ke terdesakluarga dan berperan utama dalam
menciptakan suasana keluarga.

g. Peran ibu sebagai istri.

Selain sebagai pendidik bagi anak-anaknya, wanita juga berperan sebagai


pendamping hidup bagi suami. Sebagai manusia, suami juga membutuhkan
istri untuk menghadapi kemajuan dalam bidang pekerjaannya, disini peran
istri dapat menjadi mitra kerja lelaki, akan tetapi istri tidak boleh yang terlalu
ambisi terhadap pekerjaan yang sampai melupakan perannya pertama yaitu
sebagai pendidik yang utama. (Deni Ike Purwanti. 2017)

Ketika seorang laki-laki merasa kesulitan, maka sang istri lah yang
bisa membantunya. Ketika seorang laki-laki mengalami kegundahan, sang
istrilah yang dapat menenangkannya. Dan ketika sang laki-laki mengalami
keterpurukan, sang istri lah yang dapat menyemangatinya.

Partisipasi suami dalam tugas merawat, memelihara, dan mendidik anak


diharapkan bisa mempererat hubungan ayah dan ibu. Tanpa pengertian suami,
semuanya akan sia-sia. Ibu yang berfungsi sebagai istribagi suaminya perlu
menyediakan waktu untuk konsolidasi, menciptakan keakraban, kemesraan,
dan kesatuan yang akan memberikan tenaga baru untuk melaksanakan tugas-
tugas lainnya dalam menciptakan suasana keluarga.

2. Sifat Keibuan

Sifat keibuan merupakan sifat yang lazim dimiliki seorang wanita, sifat
tersebut mendorong seorang wanita untuk bersikap lemah lembut, penuh kasih
saying dan ketulusan, tapi dari kesemuanya itu tidak menutup kemungkinan
seorang wanita/ibu tidak memiliki sifat keibuan. Walaupun berpredikat sebagai
ibu, mereka tak memahami arti penting dan indahnya sifat- sifat keibuan,

7
seperti sabar, melindungi, kasih sayang, ketulusan dalam memberi, kesetiaan
total, tetapi tanpa pernah merasa kehilangan dirinya saat mencintai orang lain.

Orang modern tak sedikit yang gelisah dan mencari sifat-sifat tersebut,
namun kebanyakan gagal. Karena keputusasaan, kemudian muncul
alkoholisme, ketagihan narkoba, kompulsi seksualitas, dan bunuh diri. Kasus
bunuh diri seorang ibu telah menggambarkan dengan jelas bagaimana seorang
ibu telah terlampau banyak kehilangan sifat-sifat keibuan, sampai tak sadar
bahwa dirinya masih banyak dibutuhkan keluarga dalam kehidupan yang kian
makin rumit seturut perkembangan zaman.

Menumbuhkan sifat-sifat keibuan memang bukan suatu hal yang mudah,


apalagi bagi kaum ibu yang sedang dilanda kemiskinan. Padahal, sifat-sifat
keibuan melahirkan sikap konstruktif, yang amat dibutuhkan setiap orang yang
ingin membebaskan dirinya dari belenggu kemiskinan. Jika seorang ibu
memiliki sifat-sifat keibuan dan mampu mengimplementasikannya dalam
hidup keseharian, maka cepat atau lambat, juga mampu membebaskan diri dari
kemiskinan karena sifat-sifat keibuan memang mengarah pada pembentukan
sikap mental (mental attitude) yang positif, konstruktif, dan produktif.

Sikap mental positif tersebut jelas berpotensi untuk meraih kesuksesan yang
sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan seseorang. Dengan sifat-sifat
keibuannya, seorang ibu bukan hanya mampu memotivasi diri untuk hidup
sukses dan bahagia, bahkan ia juga mampu memotivasi putra-putrinya agar
kelak menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga,
masyarakat, dan bangsanya.

Seseorang dengan sifat-sifat keibuan sudah tentu memiliki sikap mental


agar kesuksesan dan kebahagiaan dirinya juga dapat dialami atau bahkan
dikembangkan orang lain, termasuk oleh putra-putrinya sendiri, dan sikap
mental ini merupakan indikasi kecerdasan emosi yang belum tentu dimiliki
oleh seseorang yang ber-IQ tinggi. Sifat-sifat keibuanlah yang mampu
memotivasi seorang ibu sebagai pendidik sekaligus pengajar anak-anaknya.

8
Bahkan, Dr Zakiah Daradjat, seorang ibu yang juga psikolog, mengatakan
bahwa pendidikan anak sudah berlangsung sejak ia masih dalam kandungan.
Implementasi sifat keibuan di sini adalah seorang istri yang hamil perlu
berkomunikasi dengan jabang bayi sebelum ia dilahirkan. Karena, menurut
hasil riset, sejak bayi dalam kandungan berumur tiga bulan secara psikis sudah
memberikan respons terhadap pembicaraan maupun sikap ibu kandung yang
ditujukan kepadanya.

Sifat-sifat keibuan ternyata mampu mencetuskan EQ seseorang. Kecerdasan


emosi ini telah dibuktikan para ahli dalam risetnya sebagai faktor kepribadian
yang lebih menentukan kesuksesan dibandingkan dengan kecerdasan otak (IQ
= intelligence quotient) seseorang. Sebuah iklan susu untuk balita juga
menunjukkan kehebatan anak dengan kriteria bisa menghitung perkalian,
bukan kemampuan dia bersosialisasi dengan lingkungannya. Ibu-ibu akan
sangat bangga saat anaknya menjadi juara kelas, meski untuk mencapai prestasi
itu ia harus belajar nonstop tanpa punya waktu untuk membantu orangtuanya
menyapu, mencuci piring, dan sebagainya. Akibatnya, di dalam diri sang anak
mulai tertanam anggapan bahwa prestasi publik lebih membanggakan daripada
prestasi domestik, inteligensi kognitif lebih berharga daripada inteligensi
emosional dan sosial.

2.3 Proses Perubahan Fisik Wanita sebagai Ibu

Penyesuaian terhadap peran orang tua merupakan salah satu peristiwa


kehidupan yang paling membuat stress. Sedangkan kehamilan sendiri
ditempatkan pada urutan ke 12 dari kehidupan yang paling membuat stress
(Henderson, 2005: 108).

Rasa khawatir dan ansietas dalam kehamilan relatif umum terjadi, karena
pada kenyataannya ansietas dalam tingkat tertentu dapat berperan sebagai faktor
motivasi dalam mempersiapkan peran menjadi orang tua. (Henderson, 2005:
110).

9
Tahap – tahap psikososial yang biasa dilalui oleh calon ibu dalam mencapai
perannya:

a. Anticipatory stage
Seorang ibu mulai melakikan latihan peran dan memerlukan interaksi
dengan anak yang lain
b. Honeymoon stage
Ibu mulai memahami peran dasar yang dijalaninya. Pada tahap ini ibu
memerlukan bantuan dari anggota keluarga lain.
c. Pleteu stage
Ibu akan mencoba apakah mampu berperan sebagai ibu. Tahap ini
memerlukan waktu sampai ibu kemudian melanjutkan sendiri.
d. Disengagement
Merupakan tahap penyelesaian yang mana latihan peran sudah berakhir

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemampuan respon dan emosional


dalam beradaptasi diantaranya:

a. Direncanakan atau tidak direncanakan


Kehamilan yang tidak direncanakan cenderung menyebabkan
peningkatan stress walaupun pada akhirnya stress tersebut akan berkurang
seiring perjalanan waktu pada sebagian besar wanita yang kehamilannya
tidak direncanakan relatif berlangsung secara efektif sehingga akhirnya
mampu menyesuaikan diri dengan bayinya dan mengalami sedikit
gangguan psikologis.
b. Efek beberapa faktor obstetric
Pengalaman yang terkait dengan komplikasi kehamilan, seperti
hipertensi, kehamilan multipel, hemoragi antepartum dan lain-lain
cenderung meningkatkan ansietas selama kehamilan. Kekhawatiran dan
ansietas akibat medis yang dialami, sering kali berfokus pada masalah
apakah medikasi dapat mempengaruhi bayi.

10
c. Ansietas dan usia
Menurut (Spirito, 1992) dikutip oleh Henderson bahwa wanita yang
lebih muda dan wanita yang tidak menikah lebih cenderung beresiko
mengalami peningkatan distress emosional. Beberapa unsur yang
diidentifikasi memiliki berbagai efek tentang bagaimana wanita
menyesuaikan diri terhadap kehamilan ialah isu tingkat pendidikan dan
pekerjaan, keamanan finansial, tingkat pendukung sosial dam faktor sosial
lainnya, serta tipe perawatan maternitas diterima.
Pada sebuah penelitian juga dilaporkan bahwa wanita berusia lebih dari
35 tahun melaporkan lebih sedikit gejala somatik dan mempunyai persepsi
yang lebih positif terhadap tubuh mereka daripada wanita yang berusia lebih
muda pada kehamilan tahap lanjut.
d. Penggunaan dan penyalahgunaan obat
Wanita perokok atau alkoholik dan ketergantungan obat dalam masa
kehamilan, dapat mengalami peningkatan ansietas tentang bayi yang sedang
berkembang, dikarenakan dia menyadari masalah yang mungkin muncul
dan merasa sangat bersalah serta mengalami pergolakan emosional selama
kehamilan. Selain itu, wanita hamil yang tergantung pada obat–obatan atau
alkohol mungkin merasa takut akan kemungkinan intervensi yang dilakukan
lembaga, seperti pelayanan sosial, mengintervensi masalahnya dan
mungkin bayi mereka harus dirawat yang bahkan pada gilirannya membuat
mereka mengalami lebih banyak tekanan emosi. (Henderson, 2005).
e. Citra perubahan tubuh
Beberapa penelitian menekankan bahwa banyak wanita tidak puas
dengan citra tubuh mereka selama hamil. Perubahan tubuh selama
kehamilan dapat membuat beberapa wanita mengalami "perubahan citra
tubuh" yang bisa dikatakan sebagai suatu keadaan distres personal yang
diidentifikasikan oleh individu yang mengidentifikasi bahwa tubuh mereka
tidak lagi mendukung harga diri dan yang disfungsional, membatasi
interaksi sosial mereka dengan orang lain, menyatakan bahwa bagi sebagian

11
besar wanita kehamilan tidak menyebabkan perubahan citra tubuh karena
kehamilan itu relatif bersifat sementara.
Perasaan bahwa diri mereka menarik atau memiliki citra tubuh positif
diperlukan untuk mempertahankan kepercayaan dan harga diri. Sebaliknya
citra tubuh negatif dapat menciptakan citra diri negatif, yang pada akhirnya
dapat menyebabkan masalah atau gangguan psikologis jangka panjang.
Citra ideal meliputi semua ide yang dimiliki ibu tentang karakteristik positif
dan aktifitas wanita yang menjadi ibu. (Henderson, 2005: 111- 117).
Identitas maternal dicapai melalui proses aktifitas taking-in, aktivitas
taking-on, dan aktivitas letting-go.
f. Aktivitas taking-on: meniru (mimicry) dan bermain peran (role play)
Mimicry adalah meniru perbuatan/sikap orang lain yang menjadi model
baginya (misal wanita yang sedang hamil) dan belajar dari berbagai sumber
tentang hal-hal yang akan dihadapinya nanti (bagaimana kehamilan,
melahirkan dan merawat bayi) yang disukai akan diadopsi dan yang tidak
disukai akan dihindari.
Role play adalah si calon ibu akan berbuat sesuatu yang nantinya akan
diterapkan untuk diri sendiri, misalnya mencoba mengendong, menyuapi,
memakaikan popok, dan juga membayangkan dia merawat bayinya.
g. Aktivitas taking-in: fantasi dan introjeksi-proyeksi-rejeksi
Fantasi adalah seorang wanita membayangkan dirinya nanti saat
melahirkan, hubungan dengan suami serta keluarga setelah persalinan dan
bagaimana dia berperilaku.
Introjeksi, proyeksi dan rejeksi merupakan proses aktif dimana wanita
membandingkan model dengan sudut pandangnya sendiri dan mengambil
keputusan tentang adopsi atau rejeksi suatu model.
h. Aktivitas letting-go: grif-work
Mereview, mengingat kembali hal-hal yang berhubungan dengan peran diri
sebelumnya melepas peran yang tidak lagi sesuai atau tidak memungkinkan
lagi sesuai atau tidak mungkin lagi dilakukan. (Salmah,2008:92)

12
2.4 Keadaan dan Perubahan Psikologi

Seorang wanita yang baru pertama kali memiliki seorang anak tentu dia masih
perlu belajar banyak agar menjadi sesosok ibu yang dapat menuntun dan
membimbing anaknya agar menjadi seorang anak yang berbudi pekerti luhur.
Ibu berusaha untuk menjadi orang tua yang terbaik bagi anaknya, agar anaknya
bisa terbimbing dan terarah pergaulannya. Ibu akan berusaha menghilangkan
sifat-sifat atau perilaku dalam dirinya yang buruk agar anaknya bisa memandang
sesosok ibunya itu sebagai orang tua yang paling sempurna. Seorang ibu
berusaha untuk memberikan semua kasih sayangnya kepada anaknya agar anak
tersebut tidak merasa bahwa dirinya itu tidak diharapkan.

2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Psikologi

1. Relasi Ibu dan Anak

Ikatan emosional dengan anak mulai timbul pada periode prenatal, yakni ketika
wanita mulai membayangan dan melamunkan dirinya menjadi ibu. Mereka mulai
berfikir seakan-akan dirinya adalah seorang ibu dan membayangkan kualitas ibu
seperti apa yang mereka miliki. Orang tua yang sedang menantikan bayi
berkeinginan untuk menjadi orang tua yang hangat, penuh cinta dan dekat dengan
anaknya.

Mereka menciba untuk mengantisipasi perubahan-perubahan yang mungkin


terjadi pada kehidupannya akibat kehadiran sang anak dan membayangkan apakah
mereka bisa tahan terhadap kebisingan, kekacauan, dan kurangnya kebebasan.
Mereka mempertanyakan kemampuan mereka untuk membagi kasih mereka
kepada anak- nak lain dan kepada anak yang belum dilahirkan ini.

Hubungan ibu dan anak terus berlangsung sepanjang masa hamil sebagi suatu
proses perkembangan. tiga fase dalam pola perkembangn menjadi jelas.

13
a. Pada fase 1
Wanita menerima fakta biologis kehamilan. Ia harus mampu mengatakan,
‘saya hamil’ dan menyatukan anak tersebut ke dalam tubuh dan citra dirinya.
Pada awal kehamilan pusat pikiran ibu berfokus pada dirinya sendiri dan
pada realitas awal kehamilan itu sendiri. Anak dipandang sebagai bagian dari
seseorang dan kebanyakan wanita berfikir bahwa janinnya tidak nyata selama
awal periode masa hamil (lumley,1980,1982).
b. Pada fase ke 2
Ibu menerima janin yang bertumbuh sebagi sesuatu yang terpisah dari
dirinya dan sebagi seorang yang perlu dirawat. ia sekarang dapat berkata, “saya
akan memiliki bayi”.
Selama trimester ke dua, biasanya pada bulan kelima, kesedaran akan
adanya anak sebagi makhluk yang terpisah semakin nyata. Kemempuan untuk
membedakan anak dari diri wanita itu sendiri ialah awl hubungan anak dan ibu,
yang melibatkan bukan saja perawatan, tetapi juga tanggung jawab. Wanita
yang merencanakan kehamilannya akan merasa senang dengan kehamilannya
dan ikatannya dengan anaknya terbentuk terlebih dahulu daripada ikatan
anaknya dengan wanita lain.
Dengan menerima realitas seorang anak (mendengar denyut jantung dan
merasakan gerakan anak) dan perasaan sejahtera yang utuh. Anak impian
menjadi begitu sangat berharga di mata sang ibu. Ia lbih memusatkan
perhatiannya pada anak yang dikandungnya, suaminya merasa diacuhkan dan
anak- anak yang lain menuntut lebih banyak sebagai upaya untuk enerik
kembali perhatian ibu kepada mereka.
c. Pada fase ke -3
Ibu mulai dengan realisis mempersiapkan diri untuk melahirkan dan
mengasuh anaknya. Ia akan mengatakan “saya akan menjadi ibu” dan ia muai
mendefinisikan sifat- sifat anak tersebut.
Walaupun hanya ibu yang merasakan anak yang berada dalam kandungan,
kedua orang tua dan saudara- saudara percaya anak yang berada dalam
kandungan berespon dengan cara yang sangat pribadi dan individual. Anggota

14
keluarga dapat berinteraksi sebanyak- banyaknya dengan anak di dalam
kandungan ini, misalnya dengan berbicara kepada janin dan mengelus perut
ibu, terutama ketika janin berubah posisi.
Ikatan diperkuat melalui penggunaan respon sensual atau kemampuan oleh
kedua pasangan dalam melakukan interaksi orang tua anak. Respon sensual
dan kemampuan yang dipakai dalam komunikasi antara orang tua dan anak
meliputi hal- hal berikut:
a. Sentuhan

Sentuhan atau indra peraba, dipakai secara ekstensif oleh orang tua dan
pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk mengenali bayi baru lahir. Banyak
ibu yang segera ingin meraih anaknya saat ia baru dilahrkan dan tali pusatnya
dipotong. Mereka mengangkat bayi ke dada, merangkulnya ke dalam
pelukan, dan mengayun-ayunnya. Cara-cara ibu mendekatkan diri dengan
anak melalui sentuhan antara lain:

1) Begitu anak dekat dengan ibunya, mereka memulai proses eksplorasi


dengan ujung jarinya, salah satu daerah tubuh yang paling sensitif.

2) Kemudian pengasuh memakai telapak tangannya untuk mengelus badan


bayi dan akhirnya memeluk dengan lengannya.

3) Gerakan-gerakan lembut dipaki untuk menenangkan bayi

4) Ibu menepuk atau mengusap lembut bayi mereka di punggung setelah


menyusuinya, lalu bayi juga aka menepuk- nepuk dada ibunya sewaktu
menyusu.

b. Kontak mata

Kesenangan untuk melakukan kontak mata diperlihatkan berulang-ulang.


Beberapa ibu berkata, begitu bayinya bisa memandang mereka, mereka
merasa lebih dekat dengan bayinya. Orang tua menghabiskan waktu yang
lama untuk membuat bayinya membuka matanya dan melihat mereka.

15
Ketika bayi baru lahir mampu secara fungsional mempertahankan kontak
mata, orang tua dan bayi akan menggunakan lebih banyak waktu untuk saling
memandang, seringkali dalam posisi bertatapan. En Face (bertatap muka)
adalah suatu posisi dimana kedua wajah terpisah kira- kira 20 cm pada bidang
pandang yang sama. Bayi baru lahir dapat diletakan cukup dekat untuk dapat
melihat wajah orangtuanya. Pemberian obat mata dapat ditunda sampai bayi
dan orangtua selesai melakukan upacara.

c. Suara

Saling mendengar dan merespon suara antara orangtua dan bayinya juga
penting. Orang tua menunggu tangisan bayinya dengan perasaan cemas. Saat
sura yang membuat mereka yakin bayinya dalam keadaan sehat terdengar,
mereka mulai melakukan tindakan untuk menghibur. Ketika ornag ntua
berbicara dengan menggunakan nada tiinggi, batin menjadi tenang dan
beralih ke mereka.

d. Aroma

Perilaku lain lain yang terjalin antara bayi dengan orang tua yaitu respon
terhadap aroma atau bau masing-masing. Ibu berkomentar terhadap aroma
bayi mereka ketika baru lahir dan mengetahui bahwa setiap anak memiliki
aroma yang unik. Bayi belajar dengan cepat untuk membedakan susu ibunya.

e. Entraiment

Bayi baru lahir bergerak sesuai dengan struktur pembicaraan orang


dewasa. Mereka menggoyang tangan, mengangkkat kepala, menendang-
nendang kaki, seperti berdansa mengikuti nada suara orangtuanya. Hal ini
berarti telah mengembangkan irama muncul akibat kebiasaan jauh sebelum
ia mampu berkomunikasi dengan kata-kata. Entrainment terjadi saat anak
mulai berbicara. Irama in juga berfungsi sebagai umpa balik positif kepada
orangtua dan menegakan suatu pola komunikasi efektif yang positif.

16
f. Bioritme

Anak yang baru lahir dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah ibunya,
misalnya pada denyut jantung. Setelah lahir, bayi yang menangis dapat
ditenangkan dan dipeluk dengan posisi yang sedemikian sehinggga ia bisa
endengar denyut jantung ibunya atau mendengar suara denyut jantung yang
direkam. Salah satu tugas bayi baru lahir adalah membebtuk ritme personal
(bioritme). Orangtua dapat membantu proses ini dengan memberi kasih
sayang yang konsisten dengan memanfaatkan waktu bayi saat
mengmbangkan perilaku yang responif. Hal ini meningkatkan reaksi sosial
dan kesempatan bayi untuk belajar. Semakin cepat orangtua menjadi
kompeten dalam aktivitas perawatan anak, semakin cepat energi psikologis
mereka dapat disalurkan untuk mengamati komunikasi bayi mereka.

Lebih banyak riset tentang ibu dan bayi dari kelompok budaya yang
berbeda diperlukan untuk membantu perawat dalam memahami pola
komunikasi antara orangtua dengan anaknya sehingga pengkajian serta
intervensi yang tepat budaya bisa dilakukan untuk mendukung proses ikatan.

Keibuan itu bersangkutan dengan relasi ibu dengan anaknya, sebagai


kesatuan fisiologis, psikis dan sosial. Relasi tersebut dimulai sejak si janin
ada dalam kandungan ibunya, dan dilanjutkan dengan proses proses fisiologis
berupa masa hamil, kelahiran, periode menyusui dan memelihara si upik atau
sibuyung. Semua fungsi fisiologis tersebut senantiasa dibarengi dengan
komponen komponen fisiologis. Namun secara individual menujukkan
adanya perbedaan, karena sifat – sifat kepribadian setiap individu wanita
berbeda.

Pengalaman-pengalaman sebagai seorang ibu tersebut menumbuhkan


tugas-tugas kewajiban serta reaksi-reaksi emosional yang khas, baik yang
bersifat positif (umpama kebahagian), maupun yang bersifat negatif,
misalnya kecemasan dan ketakutan tertentu. Sifat-sifat keibuan itu secara
garis besar bisa digolongkan dalam dua ide, yaitu:

17
a. Kualitas tertentu dari karakter dan keperibadian wanita yang bersangkutan.

b. Gejala emosional pada wanita tersebut, yang bersumber pada ketidak


berdayaan bayi dan anak, sebab bayi atau anak selalu bergantung dan
membutuhkan pertolongan serta pemeliharaan, terutama dari ibunya.

Sifat-sifat keibuan yang unggul itu dimiliki oleh para wanita yang feminin
sifatnya, yang memiliki keseimbangan antara tendansi-tendansi narsisme
yang sehat dan sangat mendukung harga dirinya, dengan tendensi-tendansi
masokhisme (bnd. Semakin terseksi atau menderita tetapi semakin
mencintai), sehingga wanita tersebut bersedia berkorban diri dan mencintai
anak keturunannya. Keinginan yang kuat (narsistis) dari wanita untuk dicintai
oleh kekasih atau suaminya itu kini mengalami proses metamorfose atau
perubahan bentuk, yaitu ditransformasikan dalam bentuk dorongan untuk
mencintai anaknya. Dalam hal ini keinginan narsistis itu berubah menjadi
wujud cinta-kasih wanita tersebut sebagai ibu terhadap anaknya.

Cinta-kasih ibu ini sering dibarengi oleh perasaan dedikasi (kebaktian,


membaktikan diri) pada anaknya dan pengorbanan sebesar-besarnya. Pada
tipe wanita yang barsifat sangat narsistis, intensitas kasih-sayangnya terhadap
anak-anaknya menjadi semakin berkurang dengan semakin besar serta makin
dewasanya anak-anaknya, dan tidak banyak memerlukan lagi pertolongan
serta rawatan ibunya.

Komponen-komponen masokhistis pada sifat keibuan tadi diekspresikan


dalam bentuk kesediaan untuk berkorban diri demi kebahagiaan anaknya,
tanpa meminta balas-jasa bagi segala jerih payahnya. Oleh kasih-sayangnnya
yang tiada terbatas besarnya terhadap anak-anaknya. Ibu tersebut bersedia
menanggung segala macam duka-derita, kalau saja semua pengorbanan dan
kesenduannya itu bisa menumbuhkan (menyebabkan timbulnya)
kebahagiaan, keselamatan dan kelangsungan hidup anaknya.

Dengan segala upaya ibu tersebut akan berusaha melindungi anaknya dari
segala macam mara bahaya yang bersifat lahiriah maupun batiniah, memberi

18
makan yang cukup. Juga memberikan arena bermain yang teduh dan aman
guna bereksplorasi bagi anaknya, agar anaknya bisa mengembangkan
diri.Semua kegiatan dalam bentuk menyusui, memberi makan, memberikan
perlindungan, serta kesediaan membela anaknya itu diudukung kuat oleh
dorongan-dorongan instiktif dan filogenetis (perkembangan dari jenis
tanaman atau binatang selama berabad-abad).Intrinsik keibuan itu handaknya
dibedakan dengan cinta-kasih keibuan.Cinta-kasih keibuan yang semula
bersifat istinktif alami atau kodrati, dalam perkembangannya kemudian
banyak diubah dan dikondisikan oleh peristiwa-peristiwa psikologis dan
pengalaman yang individual ataupun universal.Sehingga cinta-kasih keibuan
tadi lambat laun sifatnya lebih sosio-kultural.

Intrinsik keibuan itu mempunyai sumber-sumber utama pada komponen


khemis bilogis yang tumbuh secara alami, berbareng dengan eksistensi janin
yang dikandungnya. Bahkan dorongan instinktif ini sering juga sudah timbul
sejak masa gadis. Instink-instink alamiah ini tidak nampak jelas dalam
masyarakat manusia yang berbudaya, dan sering terpendam di bawah
kepribadian individual, serta pengaruh lingkungan, terpendam di bawah
semua kehidupan psikis manusia.

Ciri utama instink wanita ini ialah: kelembutan (tenderness). Semua


bentuk tindakan dan sensualitas seksual yang cukup sehat, di kemudian hari
akan diwujudkan (ditranformasikan) dalam bentuk kasih sayang pada
anaknya; yaitu merupakan bentuk emosi yang khas terhadap keturunannya.
Selanjutnya transformasi itu pada umumnya akan diwujudkan dalam upaya
membela dan melindungi secara mati-matian terhadap anaknya dari segala
macam mara bahaya. Kondisi fisiologis atau jasmaniah seorang wanita ketika
mengandung ibunya, serta ketidak-berdayaan sang bayi yang menuntut
perlindungan dan pertolongan dari ibunya, kedua hal ini menggugah secara
aktual pola-pola instink pada pribadi ibu tersebut untuk melindungi anaknya,
yang sebenarnya sudah ada secara laten sejak masa gadis.

19
Tidak dapat disangkal bahwa aktivitas yang didorong oleh komponen
instinktual ini banyak berkaitan dengan fungsi reproduksi. Karakter dan
intensitas dari impuls-impuls instinktual tadi berbeda pada setiap individu;
yaitu bergantung sekali pada perbedaan konstitusi seluruh kepribadian. Pada
sisi yang lain seorang anak cenderung lebih dekat dengan ibunya, daripada
dengan ayahnya, karena seorang ibu lebih peka terhadap sifat dan sikap anak.

Seorang ibu juga memilki waktu yang relative lebih banyak untuk bersama
dengan anaknya ketimbang seorang ayah yang tugasnya difokuskan pada
pencarian nafkah.Relasi antara ibu dan anak bisa terjalin dengan baik apabila
adanya pengertian dan pemahaman ibu terhadap sikap-sikap yang dimiliki
anaknya.Komunikasi juga merupakan faktor penting dalam terwujudnya
relasi yang sehat tersebut.Dan tidak kalah penting adalah adanya waktu yang
cukup untuk bersama, sehubungan dengan era globalisasi sekarang dengan
adanya emansipasi wanita dengan pemahaman wanita lebih banyak berada di
luar rumah untuk urusan karier.

Berikut adalah contoh kasus hubungan ibu dan anak yang kurang baik. L
Anak lelaki pertama saya, ia selalu bikin masalah atau keributan (trouble) di
rumah. Kadang kala ketika ia merasa jengkel dengan alasan yang kurang
jelas, ia tiba-tiba akan memutuskan telepon, atau menyembunyikan modem
komputer. Padahal saya sangat memerlukan data komputer dan telepon untuk
kebutuhan urusan dagang. Saya pedagang hasil bumi, sudah tujuh tahun
menjanda karena ayah L meninggal dunia. Anak itu aneh sekali, kamarnya
selalu terkunci, sering mengurung diri di kamar berjam-jam, tanpa
komunikasi. Sampai umur segitu dia belum mandiri, masih tergantung pada
saya, dan kalau saya suruh bantu dagang, dia kelihatan malas-malasan, tidak
seperti adik- adiknya. Apa dia sakit jiwa, ya," demikian J (60), ibu dari enam
anak.

Dari dua ungkapan “tidak seperti adik-adiknya dan “sakit jiwa” kita dapat
merasakan adanya landasan relasi ibu-anak yang kurang sehat karena
dipenuhi oleh sikap negatif, curiga, bahkan kebencian satu sama lain, yang

20
berkembang dari hari ke hari. Tuduhan demi tuduhan dari pihak ibu, dan
reaksi balasan-balasan yang sifatnya destruktif memiliki makna agresivitas
terselubung. Kadar basic trust (kepercayaan dasar) yang seyogianya
melandasi relasi ibu-anak sudah terkikis. Kondisi relasi yang semacam ini
mungkin saja terbangun karena kekecewaan-kekecewaan, perasaan gagal,
serta pengalaman traumatik yang dialami baik ibu dan anak laki-lakinya.

Namun, tampaknya kasih ibu belum hilang, bahkan tidak akan pupus
begitu saja, karena dengan menyertai anak tersebut mencari pertolongan
psikologik, merupakan pertanda masih tersisa kasih ibu yang dalam, yang
selama ini terselubung oleh omelan-omelan serta cercaan ketidakpuasan akan
perilaku anakya. Ibu menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang beres dalam
relasinya dengan anak laki-lakinya. Pemahaman dan pengertian merupakan
penyertaan rasa kasih yang sangat diperlukan dalam menjalin relasi ibu-anak
yang sehat. Artinya, seorang ibu seyogianya menyadari bahwa setiap anak
membawa talenta yang individual. Menghargai talenta individual anak akan
membuat ibu tidak tercekam dalam penilaian negatif terhadap anak tertentu
dan positif terhadap anak yang lain. Karena hal itu akan mengobarkan iklim
persaingan yang tidak sehat di antara anak-anaknya.

Dengan penghargaan akan talenta anak, peluang anak untuk mengatasi


persaingan antar-saudara akan menjadi lebih besar. Kecuali akan terjalin
relasi yang nyaman di antara anak-anak dan ibu, anak pun tidak akan merasa
tersisih, terkucilkan, dan terlecehkan keberadaannya. Dengan kasih ibu yang
tidak akan pernah sirna, maka dapat diprediksi bahwa perbaikan relasi akan
efektif bila upaya perbaikan relasi dimulai dari pihak ibu.

Dari pemaparan tersebut dapat kita ambil benang merah bahwa masalah-
masalah penting yang harus dihadapi wanita dalam melaksanakan fungsi
reproduksi itu dimulai dengan kehamilan dan kelahiran bayi, sampai pada
pemeliharaan anak; salah satu kesulitan pokok dalam pelaksanaan tugas ialah:
Berkonpliknya kepentingan spesies (demi melenggangkan spesies manusia).

21
Maka tugas paling berat bagi ibu muda tersebut ialah: menciptakan unitas
atau kesatuan yang harmonis di antara diri sendiri dengan anaknya.

Dengan kata lain, ibu tersebut harus mampu “memanunggalkan diri” atau
mengidentifikasikan diri secara selaras dengan bayi dengan anaknya. Jika ibu
tersebut mengapdikan diri sepenuhnya pada tugas-tugas memelihara spesies
manusia secara ekslusif, maka pasti dia akan kehilangan individualitasnya.
Oleh karena itu, pada zaman kebudayaan modern sekarang, wanita lebih
leluasa untuk mengadakan kompromi di antara melaksanakan fungsi
keibuannya dengan pengembangan EGO sendiri. Sehingga dia lebih bebas
dalam memuaskan kebutuhan-kebutuhan bayinya serta lebih giat
mengembangkan interest dan kepribadian sendiri. Kompromi tersebut
tercapai oleh adanya kenyataan, bahwa fungsi dirinya itu tidak melulu sebagai
pengembang speciesnya saja; akan tetapi feminitasnya baru bisa berkembang
dalam satu konteks cultural yang memberikan kebebasan pada dirinya untuk
memekarkan kepribadiaannya (sebagai ibu dan sebagai pribadi atau
individu).

Tugas-tugas keibuaan untuk mengabdi pada proses pelestarian species itu


berlangsung sejajar dengan usia serta perkembangan anaknya, misalnya saja
semua kegiatan ibu pada periode pertama dari bayinya akan terpusat pada
pemeliharaan jasmani bayinya, khususnya pada kegiatan menyusui. Pada saat
tersebut, dorongan untuk mempertahankan unitas dengan bayinya ternyata
sangat kuat, dan usaha untuk melindungi bayinya mencapai titik kulminasi.
Tugas selanjutnya dari ibu ialah: mendidik anaknya. Sebab di samping
pemeliharaan fisik, kini ia harus melibatkan diri dalam menjamin
kesejahteraan psikis anaknya, agar anaknya bisa mengadakan adaptasi
terhadap lingkungan sosial. Ibu harus terus menerus melatih anaknya, agar
anak mampu mengendalikan instingknya, untuk bisa menjadi manusia yang
beradab sebab, jika si anak terlalu “di loloskan” atau dibiarkan lepas bebas
serta dikuasai oleh dorongan-dorangan instinktifnya yang primitifnya maka
ia bisa menjadi liar, tidak terkendali dan tidak berdisiplin.

22
Namun sebaliknya apabila ibu tadi terlalu banyak melarang anaknya
dengan macam-macam tabu dan pantangan, maka oleh inhibisi-inhibisi
tersebut mungkin akan terhambat perkembangan si anaknya atau pada kasus
lain anak lalu mengembangkan pola yang neorotis. Memang tidaklah mudah
mengasuh dan mendidik anak. Bahkan ilmu pengetahuan modern pada zaman
sekarang tidak akan mampu memberikan resep-resep instan atau ampuh
untuk mempersiapkan ibu-ibu mudah menjadi pengasuh dan pendidik yang
sempurna.

Dalam proses perubahan seorang wanita menajdi sesosok ibu tentu banyak
faktor-faktor yang ikut berpengaruh sehingga ibu itu mengalami perubahan
dalam psikologinya, perubahan tersebut anatara lain:

1. Hadirnya anak dalam suatu keluarga

2. Lingkungan keluarga

3. Pertumbuhan dan perkembangan anak

4. Dukungan suami

2.6 Masalah-masalah Psikologi yang Sering Terjadi

Masuknya satu anggota keluarga baru dalam seuatu rumah tangga akan
menimbulkan stres dan juga dapat mempengaruhi psikologi ibu, bahwa ibu
sekarang memiliki tanggung jawab dan beban yang harus dilaksanakan dengan
baik. Semakin berkembangnya usia anak maka kebutuhan fisiknya juga akan
semakin bertambah hal ini membuat para orang tua menjadi lebih menyiapkan
kebutuhan yang diperlukan oleh anaknya sehingga hal tersebut memicu para
orang tua agar lebih bekerja keras untuk mencukupi segala hal yang diperlukan
oleh anaknya.

Pemasalahan yang sering terjadi yaitu apabila orang tua memiliki anak yang
super aktif (nakal) maka orang tua khusunya seorang ibu yang pertama kali
berfikir apakah ibu tersebut salah dalam mendidik dan mengarahkan anaknya,
karena dalam kehidupan sehari-hari seorang ibu lah yang paling banyak

23
waktunya berdekatan denga anak dari pada ayahnya, hal tersebut tentunya sangat
mengganggu psikologi ibu. Masalah psikologi yang bisa terjadi pada ibu seperti:

1. Ibu yang memiliki anak down syndrome


Anak down syndrome mengalami hambatan perkembangan fisik
maupun mental, hal ini yang menyebabkan keluarga sulit untuk menerima
keadaan anak dengan down syndrome. Menurut Gunarhadi (2005),faktor
yang menyebabkan tingginya resiko melahirkan anak down syndrome
adalah usia ibu, yaitu 35 tahun lebih. Namun bukan berarti bayi lahir
mengalami down syndrome hanya dari kalangan ibu yang berusia 35
tahun lebih. Menurut Stray (dalam Gunarhadi, 2005),kenyataanya 80%
anak down syndrome lahir dari ibu yang berusia kurang dari 35 tahun.
Menurut Gunarhadi (2005), alat reproduksi pada anak down syndrome
berfungsi seperti anak normal seuisanya. Hal tersebut merupakan tantangan
khusus bagi orang tua untuk memberikan pemahaman mengenai alat
reproduksi pada anak dan memberikan penanganan apabila anak sudah
memasuki masa pubertas.
Memiliki anak dengan berkebutuhan khusus merupakan salah satu
sumber stres dan beban bagi orang tua baik secara fisik maupun mental.
Lestari (2012),menyatakan sumber stres adalah salah satunya masalah
anggota keluarga yang berkebutuhan khusus. Beban yang dialami orang
tua dengan anak berkebutuhan khusus memunculkan reaksi emosional
didalam dirinya. Penolakan tidak hanya dilakukan oleh individu lain di
sekitar tempat tinggalnya, namun beberapa bahkan tidak diterima dalam
keluarganya sendiri.
Penerimaan orang tua terhadap kondisi anak sangat memengaruhi
perkembangan anak-anak yang berkebutuhan khusus di masa mendatang.
Menurut Lestari (2012),orang tua sangat berpengaruh dalam membantu
mengembangkan kemampuan anak yang merupakan anugerah dari Tuhan
yang harus dijaga dan dirawat. Menurut Mangunsong (2011),Parenting
support group memengaruhi tentang penerimaan diri seorang ibu yang
memiliki anak berkebutuhan khusus. Parenting support group adalah

24
sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggotanya . Upaya yang
dilakukan untuk ibu dengan anak down syndrome adalah: (1) upaya
penanganan profesional yaitu mengenai upaya penanganan profesional
(medis). Upaya para subjek untuk mendapatkan diagnosis dan solusi
dari medis mengenai keadaan anak. (2) Stressor memiliki anak down
syndrome yaitu mengenai proses penerimaan diri mengenai keadaan dan
diagnosismedis ketiga subjek mengalami perubahan emosi. Hal itu
dipengaruhi oleh problematika dalam keluarga, lingkungan, diri sendiri,
dan dalam pola pengasuhan anak,Sehingga hal tersebut juga
memunculkan stres pada ketiga subjek. (3) Dukungan sosial dan
penyesuaian diri yaitu mengenai dukungan sosial dan penyesuaian diri
berisi mengenai dorongan secara positif yang memengaruhi proses
penerimaan diri. Faktor dukungan sosial sendiri berasal dari keluarga
dan lingkungan. Ketiga subjek mendapatkan dukungan keluarga dan
lingkungan. Cara mengatasi masalah juga memengaruhi dalam proses
penerimaan diri. (4) Pengasuhan anak down syndrome yaitu mengenaiyaitu
mengenai pengasuhan anak down syndrome yang dipengaruhi faktor
dari dalam dan luar. Tema pengasuhan anak down syndrome meliputi
penerimaan diri subjek dan penerapan pengasuhan pada anak.
2. Ibu sebagai orang tua tunggal
Wanita sebagai orang tua tunggalmelaksanakan tanggung jawab
mencarinafkah. Mereka lebih banyak memilih untuk mengurus anak
mereka sendiri tanpa suami, sehingga banyak diantara mereka yang
mengalami stress. Menurut Glasser (dalam Santoso, 2004) ibu sebagai
orangtua tunggal mempunyai kecenderungan terisolasi, membiarkan diri
mereka terkucil dari persahabatan dan pergaulan dunia luar. Simon de
Beavior (dalam Ibrahim, 2002) menyatakan bahwa wanita banyak
mengalami penurunan tingkat rasional dan sosial akibat dari
(kurungan) tugas-tugas rumah tangga seperti mengurus suami dan
anak-anak, memasak, menjahit, mencuci dan sebagainya.

25
Pemecahan masalah pada ibu sebagai orang tua tunggal adalah
kemampuan dan kecakapan ibu sebagai orang tua tunggal dalam
menyelesaikan permasalahan secara efektif yang meliputi usaha untuk
memikirkan, memilih dan mempertahankan alternatif jawaban kepada satu
pemecahan atau solusi yang ideal dengan meminimalkan dampak negatif
yang ditimbulkan ditengah pilihan hidup yang dipilihnya ketika menduduki
dua jabatan sekaligus; sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah dan
sebagai ayah. Dan harus memiliki dua bentuk sikap, sebagai wanita dan
ibu harus bersikap lembut terhadap anaknya, dan sebagai ayah yang
bersikap jantan dan bertugas memegang kendali aturan dan tata tertib, serta
berperan sebagai penegak keadilan dalam kehidupan rumah tangga.
3. Ada juga masalah-masalah lain semisal yang terjadi pada keluarga, yaitu
adanya Ibu Tiri dan Ibu Angkat.
1. Ibu Tiri

Salah satu sebab, anak-anak itu menjadi piatu; yaitu karena ditinggal
pergi oleh ibunya; atau ibunya meninggal dunia. Kemudian, kedudukan
ibu yang melahirkan anak tersebut ditempati oleh wanita lain seiring
pernikahan ayahnya. Secara otomatis wanita pengganti, memiliki otoritas
penuh dalam menjalankan semua hak dan kewajibannya sebagaimana ibu
kandung si anak selama hidup bersama. Wanita pengganti tadi menjadi
istri baru ayahnya atau hidup berdiam-bersama dengan ayah dari anak
tersebut.

Pada masa ini, ada beracam-macam cerita dan legenda tentang ibu tiri
yang ganas-jahat kita jumpai pada hampir setiap bangsa di dunia. Cerita-
cerita itu memberikan gambaran tentang penderitaan dan kesengsaraan
yang harus dialami oleh anak tiri, serta penampilan kekejaman ibu tiri
dalam menyiksa dan menyakiti anak tirinya. Bahkan tidak jarang ibu tiri
ini berusaha dengan segala macam daya dan akal untuk menyingkirkan
dan membunuh anak tirinya.

26
Maka perumpamaan yang menyatakan bahwa ibu tiri itu suka
“menggodok anak tirinya dalam kuali panjang” yang sangat populer di
tengah masyarakat kita, memang mendekati realitas nyata. Hal ini
menujukkan bahwa dalam kenyataanya, ibu tiri itu sering menyebabkan
azab sengsara kepada anak-anak tirinya. Motif utama semua tingkat
keganasan ibu tiri ini terutama didasari oleh iri hati dan dengki. Misalnya
ibu tiri tersebut sama sekali tidak menghendaki suaminya memberikan
kasih-sayang kepada anaknya sendiri. Sebab ia ingin memonopoli
suaminya. Ibu tiri itu selalu berusaha dengan cara-cara yang licik untuk
menyingkirkan dan menyisihkan anak gadis tirinya; dan selanjutnya
mengangkangi semua hak dan preorogatif yang menjadi milik anak tirinya
untuk diri sendiri.

Kita telah memahami, bahwa sikap wanita terhadap anak-anaknya


hingga pada usia remaja sengat besar mempengaruhi perkembangan emosi
dan fantasi anak terhadap pengasuhnya. Bahkan pada masa perkembangan
tersebut, anak-anak sering menirukan perilaku ibu tiri baik itu secara sadar
ataupun tidak sadar menggunakan gaya masokhistis sebagai anak tiri;
sedang kawan atau kakaknya memerankan fungsi ibu tiri yang kejam. Ada
pula gadis-gadis cilik yang suka bermain-main sebagai ibu tiri yang ganas
terhadap adik-adiknya atau terhadap bonekanya, karena iyaa marah dan
membenci ibunya. Dari hal ini dapat kita lihat, apakah seorang wanita itu
kelak menjadi seorang ibu tiri yang baik atau menjadi ibu tiri yang ganas,
tidak hanya tergantung pada konstitusi psikis wanita itu sendiri, akan tetapi
juga dipengaruhi oleh semua faktor lingkungan sosialnya. Karena itu ibu
tiri bukan satu fenomena yang terisolasi atau berdiri sendiri akan tetapi
gejala ibu tiri itu hendaknya difahami secara psikologis dalam relasinya
dengan lingkungan dan keluarganya; yaitu dengan ayah, nenek-kakek, ibu,
atau ibunya yang sudah meninggal, kakak-kakak, adik dan lain
sebagainya.

27
Pada sisi yang lain ketika ibu tiri diposisikan berperilaku negatif
ternyata banyak juga wanita memposisikan dirinya baik secara sadar atau
tidak mencari calon suami yang telah ditinggalkan isteri sebelumnya. Ada
wanita-wanita yang selalu berminat pada pria yang sudah kawin saja
terutama pada pria yang sudah mapan atau lebih mapan. Jika keinginan itu
terwujut, si wanita akan merasa senang sekali dengan catatan dia berpokus
pada kesenangannya sendiri. Ada pula wanita yang didorong oleh
motivasi-motivasi egoistis yang selalu cenderung untuk merebut suami
orang lain guna menunjukkan kelebihan dirinya, misalnya dia merasa lebih
cantik, lebih pintar, lebih pandai bermain seks dan lain-lain kepada dunia
luar. Adapula tipe wanita yang sangat berminat pada duda-duda yang
mempunyai anak-anak piatu, sebab didorong oleh perasaan iba. Biasanya
wanita-wanita sedemikian ini pada mulanya bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Misalnya, karena wanita itu tidak mampu melahirkan
seorang bayi sebab mandul. Oleh karena ingin diperistri oleh seorang duda
dari kelas menengah, sehingga status sosial wanita tersebut bisa terangkat
keatas.

2. Ibu Angkat

Ibu angkat adalah seorang wanita yang mengadopsi anak (mengambil


anak) baik satu atau lebih dikenal atau tidak orang tua anak tersebut karena
didasari oleh keinginan memiliki anak. Secara umum keinginan seorang
wanita untuk menjadi ibu (ibu angkat) tidak dapat terkabul karena ia
mandul dan tidak bisa melahirkan seorang bayi. Tetapi sebelumnya adalah
lebih baik bila kita melihat kebelakang kenapa wanita tersebut
mengangkat beberapa orang anak. Atau apakah sebabnya sampai wanita
ini tidak bisa melahirkan seorang anak? Ada beberapa alasan yang dapat
kita pertimbangkan antara lain:

a) Ketakutan sendiri untuk menjalani fungsi-fungsi biologisnya.

28
b) Mau mengeksploitir kepuasan-kepuasan seksual saja, tanpa bersedia
menanggung resiko punya anak.

c) Tipe wanita anrogynus yang mengingkari tugas-tugas reproduktif dan


ingin memiliki seorang bayi menurut konsepsi dan fantasi sendiri.

d) Kecenderungan-kecenderungan homoseksualitas atau lesbian.

e) Fantasi-fantasi parthenogenetis yang ingin melahirkan seorang bayi


tanpa pertolongan atau lantaran seorang pria.

f) Ketegangan-ketegangan batin yang neurotis sifatnya; dan lain-lain.


Semua alasan tersebut di atas dapat memberikan dorongan kepada ibu-ibu
steril untuk melakukan adopsi terhadap seorang bayi atau seorang anak.

Pada pihak lain, walaupun seorang wanita memiliki kehidupan psikis


dengan sifat-sifat maternal sejati, namun ada kalanya oleh sesuatu hal
dapat menjadi steril dan tidak dapat melahirkan anak sendiri. Hal ini
diistilahkan dengan mandul yang sering sifatnya menjadi tragis. Wanita
sipenderita merasakan kegetiran hati bahkan tidak jarang menjadi frustasi
yang tak terpecahkan. Tetapi apabila wanita tersebut siap dan mampu
mengalihkan mengkompensasi dambaan melahirkan anak sendiri jalan
paling ringkas ditempuhnya dengan mengadopsi atau mengangkat seorang
anak.

Pada sisi ini ibu berperan karena didasari oleh dambaan memiliki anak
dalam bentuk pelindung anak yakni dengan memberikan perlindungan,
perawatan, dan kasih sayang yang tulus pada anak tersebut. Wanita ini
akan menganggap anak tersebut sebagai subtitut dari anak kandung
sendiri. Maka seorang ibu angkat itu benar-benar akan bisa menempati
kedudukannya sebagai seorang ibu kandung dengan penuh kasih sayang
dan sifat-sifat maternal, yang bisa menerima dengan hati ikhlas walau
kondisi fisik steril. Si wanita akan dapat mengembangkan kehidupan
emosionalnya sesuai dengan kondisi anak-anaknya. Apabila ia mampu
mengembangkan sifat-sifat feminin-masokhitis maternal dirinya dengan

29
sendirinya ia akan dapat dan bersedia untuk berkorban-diri, serta
mengapdikan diri.

Reaksi psikis seorang anak angkat ini terutama sekali bukan


bergantung pada faktor asalnya, dan saat ia dilahirkan oleh ibunya sendiri.
Akan tetapi justru banyak bergantung pada kondisi milieunya yang
sekarang; antara lain berupa kondisi finansial, kondisi intelektual, dan
norma-norma etis yang dianut oleh ibu dan ayah angkat tadi. Namun faktor
paling penting ialah; kondisi kehidupa psikis ibu angkatnya. Sebab, sejak
anak itu diangkat oleh wanita tersebut, pengaruh wanita inilah merupakan
faktor tunggal yang akan membentuk ciri-ciri fisik dalam kondisi psikis
anak angkat tersebut.

Untuk memahami ibu angkat tersebut sebagai idividu ataupun sebagai tipe
Wanita, marilah kita pelajari dua faktor yang terdapat pada wanita
tersebut, yaitu:

1) Kapasitas-kapasitas keibuan/maternal wanita ini dalam relasinya


dengan anak angkatnya.

2) Motivasi-motivasi tertentu yang mendorong wanita tersebut mengakat


seorang bayi atau anak seorang wanita lain baik sebelumnya dikenal atau
tidak.

Mengenai motivasi yang menjadi pendorong bagi upaya adopsi itu


juga sangat bervariasi, sebanyak pikiran dan perasaan manusia. Misalnya
saja, seorang perawan tua yang merasa terpaksa memungut seorang anak,
karena anak tersaebut membutuhkan seorang ibu-pengganti akan
mempunyai alasan yang berbeda dengan seorang isteri yang mandul
namun ingin melaksanakan fungsi keibuannya secara instinktif dengan
memungut seoarang bayi. Motivasi seorang bibi yang harus mengadopsi
kemenakannya, karena ia adalah satu-satunya keluarga yang masih ada,
akan berbeda dengan motivasi seorang wanita kaya namun tidak beranak,

30
dan ingin memungut anak sebanyak mungkin untuk menunjukkan
martabat kekayaannya; dan saeterusnya.

Memang, proporsi paling besar (jumlah paling banyak) keluarga yang


memungut anak ialah: pasangan-pasangan yang kawin, namun tetap steril
keadaanya. Oleh karena itu “psikologi dari ibu-ibu angkat” ini sebagian
besar oleh: Motif-motif psikologis kemandulan atau sterilitasnya, dan
reaksi psikisnya terhadap kemandulan dirinya. Motif-motif psikologis itu
antara lain:

1) Kecemasan dan ketakutan yang luar biasa besarnya, tapi sering tidak
disadari terhadap fungsi reproduktif atau fungsi melahirkan anak.
Kecemasan ini lebih dominan daripada keinginan menjadi seorang ibu.

2) Sifat yang sangat infantil, sehingga secra tidak sadar ia merasa tidak
mampu memikul tanggung jawab sebagai seorang ibu.

3) Secara emosional dia terlalu dicekam oleh interest-interest dan minat


diluar tugas keibuannya; misalnya sangat aktif dibidang ilmu pengetahuan,
seni, politik, sosial, dan lain sebagainya.

4) Relasinya dengan suami dianggap begitu indah-syahdu dan memuaskan


sehinggan ia merasa takut akan terganggu oleh kehadiran anak-anak
mereka. Karena itu, wanita tadi ingin mempertahankan status-quonya,
yaitu tidak mau melahirkan bayi.

5) Wanita itu begitu cinta dan menyayang suaminya, sehingga ia tidak


sampai hati membebani suaminya dengan tugas-tugas baru sebagai
AYAH.

6) Peringatan dan larangan dari ibu si wanita ketika ia masih gadis, kini
masih saja jelas terngiang-ngiang sebagai obsesi. Yaitu berupa larangan
atrau peringatan yang menyatakan, bahwa hubungan seksual itu adlah
tabuh, dan perbuatan dosa. Sehingga wanita itu selalu dicekam oleh
perasaan-perasaan berdosa dan kecemasan batin apabila melakukan

31
senggama dengan suaminya. Peristiwa sedemikian ini bisa
mengakibatkan: sterilitas dirinya.

7) Wanita yang bersangkutan dihinggapi fantasi-fantasi neurotis; yaitu


merasa bahwa kesucian dirinya dilanggaroleh “perbuatan-perbuatan
larangan dan dosa” sewaktu melakukan coitus dengan suaminya.
Ketegangan-ketegangan batin dan kecemasan yang timbul oleh karenanya
justru menstimulir kemandulannya.

8) Wanita yang sangat matriarkhal, dominan, dan suka memerintah. Ia


menganggap suaminya sebagai seorang “bayi” yang harus dilindunginya;
dan menganggap suaminya tidak kompeten untuk menjadi” jantan
pemacek”

9) Ada kutukan-kutukan herediter tertentu, sehingga menyebabkan


kemandulan dirinya.

10) Penyiksaan-diri (terhadap diri sendiri) oleh sifat-sifat yang


hypernarsistis, sehingga wanita yang bersangkutan tidak mau mengakui
kemandulannya. Dan dengan biaya serta korban apapun juga ia ingin
melahirkan seorang bayi; sekalipun dirinya tidak mampu melakukan hal
itu (ada semacam obsessi). Jika seorang wanita sudah sungguh-sungguh
berniat untuk mengangkat seorang anak pungut, dan ia mampu mengatasi
atau mengalahkan kesepuluh motif psikologis yang dituliskan diatas serta
motif-motif neurotis yang tidak disadari lainnya, maka pastilah ia akan
bisa menjadi seorang ibu angkat yang baik.

2.7 Pengelolaan Gangguan Psikologi Secara Umum

Masalah – masalah yang timbul dalam kehidupan wanita menjelang transisi


menjadi orang tua tentu banyak dialami oleh sebagian wanita. Hal tersebut
dikarenakan kurangnya pendidikan atau pengetahuan tentang persiapan untuk
menjadi orang tua. Hal tersebut akan menjadikan atau menimbulkan masalah.
Misalnya yaitu gangguan psiokologis yang terjadi pada wanita karena belum siap
untuk menjadi orangtua. Jika dalam sebuah keluarga terjadi hal tersebut maka

32
orang tua yang harus berperan untuk membantu menenangkan atau meyakinkan
yaitu orang-orang terdekat seperti suami, orangtua, mertua, dan saudara-
saudaranya. Apabila hal yang dilakukan tidak berhasil atau dirasa kurang cukup
maka bisa di bawa ke ahli psikologi agar mendapatkan pengarahan tentang kesiapan
untuk menjadi orang tua.

2.8 Peran Bidan dalam Pengelolaan Gangguan Psikologi

Agar seorang wanita memiliki kesiapan dalam prosesnya menjadi orang tua
maka perlu adanya bimbingan konseling atau penyuluhan dari tenaga kesehatan
mengenai hal tersebut, misalnya bidan. Bidan disini berperan untuk memberikan
penyuluhan kepada warga pada massa pranikan atau massa sebelum pernikahan
dengan memberikan materi tentang transisi menjadi orang tua, persiapan untuk
menjadi orang tua, dan hal- hal lain yang terkait dengan kesiapan untuk menjadi
orang tua. Hal ini dimaksudkan agar para warga yang akan menjadi orang tua tidak
salah dalam memberikan bimbingan dan asuhan kepada para anak- anaknya.
Sehingga para anak dapat memperoleh. Kebutuhan yang semestinya dan tiak
keluar dari batas yang ditetapkan.

33
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Wanita adalah seorang perempuan dewasa yang juga sifat keibuan. Bagi
orang yang memiliki anak sifat-sifat keibuaan itu akan semakin jelas dalam
perannya sebagai ibu dari anak-anak dan pendidik. Fungsi sebagai ibu dan
pendidik bagi anak-anaknya bisa dipenuhi dengan baik, bila ibu tersebut mampu
menciptakan iklim psikis yang gembira-bahagia dan bebas; sehingga suasana
rumah tangga menjadi semarak, dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat,
menyenangkan, serta penuh kasih-sayang.

Bahwasanya ada banyak wanita yang sangat menderita dan tidak bahagia
dalam perkawinan, sebenarnya bukan disebabkan oleh status perkawinan itu,
akan tetapi disebabkan oleh: tidak siap dan kurangnya kemampuan wanita
tersebut memainkan beberapa peranan ganda yang berbeda-beda dalam status
perkawinan. Kemampuan tersebut tidak hanya diperlukan dalam kondisi
perkawinan saja, akan tetapi juga berlaku pada setiap kondisi kehidupan
manusia.

Pada dasarnya tugas seorang ibu mencakup memelihara anak, mendidik serta
mengasuh anak yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
seorang ibu. Dalam mesyarakat juga dikenal adanya ibu tiri, di mana sudah
menjadi imej bahwa seorang ibu tiri itu merupakan sosok yang kejam, jahat dan
bersikap tidak adil sehingga kebanyakan orang khususnya anak-anak tidak
menginginkan adanya ibu tiri. Selain dari ibu tiri ada juga yang disebut dengan
ibu angkat, yaitu seorang wanita yang tidak bisa melahirkan seorang anak
sehingga dia berkeinginan untuk mengangkat seorang anak dengan mengadopsi.
Hal ini dilakukan untuk menghadirkan seorang anak yang dapat memberikan
keceriaan dalam keluarga.

34
3.2 Saran

Sebagai seorang wanita hendaknya kita mengetahui peran orang tua sejak dini
dengan mengikuti penyuluhan tentang persiapan menjadi orangtua, sehingga
kita tidak salah dalam memberikan asuhan terhadap anak kita kelak.

35
DAFTAR PUSTAKA

Kartono, kartini. 2007. psikologi wanita (jilid II) mengenal wanita sebagai ibu dan
nenek. Bandung:CV mandar maju

Marni dan margiati.2013. pengantar psikologi kebidanan. Yogyakarta: pustaka


pelajar

Muhammad Syafi‟ie El-Bantanie. 2006. Bidadari Dunia Potret Ideal Wanita


Muslim. Tangerang: Qultum Media. Cet.Ke-2

Gunarsa, Singgih D.2004.psikologi praktis: anak, remaja, keluarga. Jakarta:


Gunung Mulia diakses hari jum’at jam 06.30 WIB

Gustiana Lita. Mudjiran. Karneli, Yeni (2018). Pergeseran Peran Wanita Yang
Sudah Menikah dan Implikasinya dalam Layanan Bimbingan dan
Konseling. Jurnal Bimbingan dan Konseling Islam vol. 2, no. 2,2018
diakses hari jum’at jam 08.00 WIB

Rachmawati,Nur,Sarah.Masykur,Mujab,Achmad.(2016). “Pengalamam Ibu Yang


Memiliki Anak Down Syndrome”. Jurnal Empati, Oktober 2016,
Volume5(4),822-830 diakses pada 2/11/2020 jam 15.00 WIB

Laksono,Ridho,Artanto.(2008). “Pemecahan Masalah Pada Wanita Sebagai


Orangtua Tunggal”. Skripsi.Psikologi.UMS.Surakarta diakses pada
2/11/2020 jam 16.00 WIB

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa


Indoneia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Cet. Ke-4, hal. 1051

Deni Ike Purwanti. 2017. Pekerja Wanita dan Pendidikan Agama Islam pada
Anak Dalam Keluarga di Dusun Kasrepan Desa Demuk Pucanglaban
Tulungagung.Skripsi, IAIN Tulung Agung

36

Anda mungkin juga menyukai