Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PROSES PERUBAHAN PSIKOLOGI PADA WANITA


PRA KEHAMILAN, MASA KEHAMILAN,
PERSALINAN, NIFAS, MENYUSUI,
LANSIA DINI DAN LANJUT

DISUSUN OLEH:
RAHMAWATI
02171275

TUGAS
PSIKOLOGI KEBIDANAN
DOSEN : ANDI SITTI UMRAH, S.ST., M.Keb.

AKADEMI KEBIDANAN MUHAMMADIYAH


PALOPO
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah. Puji syukur milik Allah SWT. Hanya karena izin-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Tak lupa kami panjatkan
salawat serta salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. beserta
keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh insan yang dikehendaki-Nya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata
kuliah Psikologi. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Karena itu kami mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat membangun
demi perbaikan makalah mendatang. Harapan kami semoga makalah ini
bermanfaat dan memenuhi harapan berbagai pihak. Aamiin.

Palopo, 10 Desember 2018

Penyusun

i
DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN
KATA PENGANTAR.......................................................................................... I
DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Tujuan Penulisan............................................................................... 2
C. Manfaat Penulisan............................................................................. 2
D. Sistematika Penulisan........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Wanita Sebagai Ibu
1. Fungsi Keibuan ............................................................................ 4
2. Sifat Keibuan................................................................................ 7
3. Relasi Ibu Dan Anak.................................................................... 11
B. Ibu Tiri Dan Ibu Angkat
1. Ibu Tiri.......................................................................................... 13
2. Ibu Angkat.................................................................................... 15
C. Wanita Sebagai Lansia
1. Periode Klimakterium/ Menopause ............................................. 20
2. Perilaku Aneh Pada Periode Kelimakterium ................................ 24
3. Kondisi Psikis Wanita Setengah Baya......................................... 25
4. Masa Lansia ................................................................................. 27
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................ 30
B. Saran................................................................................................. 30
Daftar Pustaka

1ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asal kata “wanita” (bahasa Inggris: woman) adalah: vani atau
vanitai atau desire (bahasa Sansekerta) dalam bahasa Indonesia diartikan
“keinginan”. Jadi wanita mengandung makna sesuatu yang selalu
diinginkan. Arti konotasi dari kata ini ialah wanita sebagai objek seks,
selalu diinginkan (Sanskrit- English Dictionary; Sir Monier Williams,
Delhi Varanasi, Motilal Banarsidas, 1981). Menurut defenisi dalam
Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, perempuan adalah orang (manusia)
yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan
menyusui. Sedangkan wanita adalah perempuan yang berusia dewasa atau
dapat dikatakan wanita adalah menggambarkan perempuan dewasa.
Wanita juga sebutan yang digunakan untuk spesies manusia berjenis
kelamin betina. Sedang lawan jenisnya adalah pria. Dapat kita simpulkan
bahwa wanita adalah perempuan dewasa berjenis kelamin betina lawan
jenis pria yang memiliki konotasi sebagai objeks seks kaum pria. Itu
sebabnya gerakan perjuangan perempuan tidak memakai istilah wanita
tetapi sebagai gerakan perempuan. Tetapi di sini didefenisikan wanita
adalah sebagai perempuan dewasa yang menitikberatkankepada sifat
keibuan secara fungsional dalam tanggung jawabnya (Marmi & Margiyati,
2013).
Istilah ibu berasal dari kata “empu” (bahasa Sansekerta) artinya
yang mulia, dihormati, membimbing, mengasuh. Ibu juga dapat dikatakan
wanita yang telah melahirkan seseorang, sebutan untuk wanita yang sudah
bersuami, dan juga panggilan yang lazim kepada wanita baik yang sudah
bersuami maupun yang belum. Sedang dalam kata sifat keibuan adalah
lemah lembut, penuh kasih sayang, dan sebagainya dan biasanya sifat

1
2

perasaan lebih cepat tumbuh pada anak perempuan. Dapat disimpulakan


bahwa ibu adalah perempuan dewasa yang lebih menonjol pada sifatnya
sebagai yang mulia, dihormati, membimbing, mengasuh atau dapat
dikatakan sebagai guru, penuntun yang penuh kasih sayang dan perawat
walaupun tidak semata-mata dibatasi oleh hubungan biologis (Marmi &
Margiyati, 2013).

B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Dapat meningkatkan pemahaman tentang wanita sebagai ibu.
2. Dapat meningkatkan pemahaman tentang ibu tiri dan ibu angkat.
3. Dapat meningkatkan pemahaman tentang wanita sebagai lansia.

C. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui fungsi keibuan.
2. Untuk mengetahui sifat keibuan.
3. Untuk mengetahui relasi ibu dan anak.
4. Untuk mengetahui bagaimana perilaku ibu tiri dan ibu angkat.
5. Untuk mengetahui periode klimakterium/ menopause.
6. Untuk mengetahui perilaku aneh pada periode klimakterium.
7. Untuk mengetahui kondisi psikis pada wanita setengah baya.
8. Untuk mengetahui masa nenek-nenek.

D. Sistematika Penulisan
1. BAB I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
b. Tujuan Penulisan
c. Manfaat Penulisan
d. Sistematika Penulisan
3

2. BAB II PEMBAHASAN
a. Wanita Sebagai Ibu
1). Fungsi Keibuan
2). Sifat Keibuan
3). Relasi Ibu Dan Anak
b. Ibu Tiri Dan Ibu Angkat
1). Ibu Tiri
2). Ibu Angkat
c. Wanita Sebagai Lansia
1). Periode Klimakterium/ Menopause
2). Perilaku Aneh Pada Periode Klimakterium
3). Kondisi Psikis Wanita Setengah Baya
4). Masa Lansia
3. BAB III PENUTUP
a. Kesimpulan
b. Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB II

PEMBAHASAN

A. Wanita Sebagai Ibu


Seorang wanita yang baru pertama kali memiliki seorang anak tentu
dia masih perlu belajar banyak agar menjadi sesosok ibu yang dapat
menuntun dan membimbing anaknya agar menjadi seorang anak yang
berbudi pekerti luhur. Ibu berusaha untuk menjadi orangtua yang terbaik
bagi anaknya, agar anaknya bisa terbimbing dan terarah pergaulannya. Ibu
akan berusaha menghilangkan sifat-sifat atau perilaku dalam dirinya yang
buruk agar anaknya bisa memandang sesosok ibunya itu sebagai orang tua
yang paling sempurna. Seorang ibu berusaha untuk memberikan semua
kasih sayangnya kepada anaknya agar anak tersebut tidak merasa bahwa
dirinya itu tidak diharapkan (Marmi & Margiyati, 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan psikologis:
1. Fungsi Keibuan
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis dan psikis
Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga.
Jantung dalam tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi
kehidupan seseorang. Apabila jantung berhenti berdenyut, maka
orang tersebut tidak dapat melangsungkan hidupnya. Dari
perumpamaan ini dapat disimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu
sebagai tokoh sentral yang sangat penting untuk melaksanakan
kehidupan. Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran
anaknya, dia harus memberikan susu agar anak itu bisa
melangsungkan hidupnya. Mula-mula ibu menjadi pusat logistik,
memenuhi kebutuhan fisik, fisiologis, agar ia dapat meneruskan
hidupnya. Baru sesudahnya terlihat bahwa ibu juga harus memenuhi
kebutuhan-kebutuhan lainnya, kebutuhan sosial, kebutuhan psikis,

4
5

yang bila tidak dipenuhi bisa mengakibatkan suasana keluarga


menjadi tidak optimal. Sebagai dasar suasana keluarga, ibu perlu
menyadari perannya: memenuhi kebutuhan anak (Marmi &
Margiyati, 2013).
b. Peran dalam merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra
dan konsisten
Ibu mempertahankan hubungan-hubungan dalam keluarga. Ibu
menciptakan suasana yang mendukung kelancaran perkembangan
anak dan semua kelangsungan keberadaan unsur keluarga lainnya.
Seorang ibu yang sabar menanamkan sikap-sikap, kebiasaan pada
anak, tidak panik dalam menghadapi gejolak di dalam maupun di
luar diri anak, akan memberi kemudahan bagi anak dan kelurganya
tidak boleh di pengaruhi oleh emosi atau keadaan yang berubah-
ubah (Marmi & Margiyati, 2013).
Misalnya bila sedang memberi makan pada anak kecil, lalu ada
tamu datang, sehingga emosi ibu berubah, lalu anak dikesampingkan
dengan keras. Ini bisa berakibat anak tidak senang bila ada teman
(Marmi & Margiyati, 2013).
c. Peran ibu sebagai pendidik yang mampu mengatur dan
mengendalikan anak
Ibu juga berperan dalam mendidik anak dan mengembangkan
kepribadiannya. Pendidikan juga menuntut ketegasan dan kepastian
dalam melaksanakannya. Biasanya seorang ibu sudah lelah dari
pekerjaan rumah tangga setiap hari, sehingga dalam keadaan
tertentu, situasi tertentu, cara mendidiknya dipengaruhi oleh emosi.
Misalnya suatu kebiasaan yang seharusnya dilakukan oleh anak,
anak tidak perlu melakukannya, bila ibu dalam keadaan senang.
Sebaliknya bila ibu sedang lelah, maka apa yang harus dilakukan
anak disertai bentakan-bentakan. Contoh lain bisa dilihat dalam
pembentukan keteraturan belajar. Bila anak dibiasakan untuk belajar
setiap sore mulai pukul 16.00, tetapi ibu yang sedang mendampingi
6

anaknya belajar kedatangan tamu, acara belajar itu di batalkan.


Perubahan arah pendidikan tersebut akhirnya akan menyebabkan
anak tidak mempunyai pegangan yang pasti, tidak ada pengarahan
perilaku yang tetap dan tidak ada kepastian perilaku yang benar atau
salah. Ibu dalam memberikan ajaran dan pendidikan harus konsisten,
tidak boleh berubah-ubah (Marmi & Margiyati, 2013).
d. Peran ibu sebagai contoh dan teladan
Dalam mengembangkan kepribadian dan membentuk sikap-
sikap anak, seorang ibu perlu memberikan contoh dan teladan yang
dapat diterima. Dalam mengembangkan kepribadian, anak belajar
melalui peniruan terhadap orang lain. Seringkali tanpa disadari,
orang dewasa memberi contoh dan teladan yang sebenranya justru
tidak diinginkan (Marmi & Margiyati, 2013).
e. Ibu sebagai manajer yang bijaksana
Dalam mengembangkan kepribadian dan membentuk sikap-
sikap anak, seorang ibu perlu memberikan contoh dan teladan yang
dapat diterima. Dalam mengembangkan kepribadian, anak belajar
melalui peniruan terhadap orang lain. Seringkali tanpa disadari,
orang dewasa memberi contoh dan teladan yang sebenranya justru
tidak diinginkan (Marmi & Margiyati, 2013).
f. Ibu memberi rangsangan dan pelajaran
Seorang ibu juga memberi rangsangan sosial perkembangan
anak. Sejak masa bayi pendekatan ibu dan percakapan dengan ibu
memberi rangsangan bagi perkembangan anak, kemampuan bicara
dan pengetahuan lainnya. Setelah anak masuk sekolah, ibu
menciptakan suasana belajar yang menyenangkan agar anak senang
belajar di rumah, membuat Pekerjaan Rumah (PR) di rumah. Anak
akan belajar dengan lebih giat bila merasa enak daripada bila disuruh
belajar dengan bentakan. Dengan didampingi ibu yang penuh kasih
sayang akan memberi rasa aman yang diperlukan setiap anggota
keluarga. Agar ibu dapat melaksanakan tugas dengan baik,
7

dukungan dan dorongan ayah sangat dibutuhkan. Disamping ibu


sebagai jantung, harus ada ayah sebagai otak dalam keluarga, kepala
keluarga dan berperan utama dalam menciptakan suasana keluarga
(Marmi & Margiyati, 2013).
g. Peran ibu sebagai istri
Biasanya bila suatu keluarga sudah bertambah banyak, dengan
adanya kelahiran anak yang baru maka peran ibu sebagai istri mulai
terdesak. Kesibukan ibu merawat dan membesarkan anak, menguras
tenaga dan menghabiskan waktu, pagi, siang, malam, sehingga tidak
ada waktu untuk suami. Seorang suami yang penuh pengertian akan
turut mengambil bagian dalam tugas-tugas istri sebagai ibu.
Partisipasi suami dalam tugas merawat, memelihara, dan mendidik
anak diharapkan bisa mempererat hubungan ayah dan ibu. Ibu yang
berfungsi sebagai istri bagi suaminya perlu menyediakan waktu
untuk konsolidasi, menciptakan keakraban, kemesraan, dan kesatuan
yang akan memberikan tenaga baru untuk melaksanakan tugas-tugas
lainnya dalam menciptakan suasana keluarga. Ibu sebaiknya
membagi waktu sedemikian rupa sehingga ada waktu khusus untuk
rekreasi bersama suami. Rekreasi dengan pengertian menciptakan
kembali suasana keluarga yang baik dengan memperkuat ikatan
suami istri. Maka jelaslah bahwa dalam menciptakan suasana
keluarga dan hubungan antar anggota keluarga, peran suami sebagai
kepala keluarga perlu diperhatikan (Marmi & Margiyati, 2013).
2. Sifat Keibuan
Setiap wanita tentunya diharapkan memiliki sifat keibuan, sifat
keibuan tak hanya akan disenangi pria saja namun juga orang lain di
sekitarnya. Sifat keibuan seorang wanita dapat tercerminkan dari perilaku
kasih sayang serta penuh perhatian, baik itu kepada anak dan
keluarganya. Meskipun memiliki gender yang sama, namun tidak semua
wanita memiliki sifat keibuan (Savitra, 2018).
8

Bahkan terdapat penelitian yang menjelaskan jika sifat keibuan


seseorang dapat menurun dikarenakan adanya “gen ibu”. Penelitian yang
berasal dari Rockfeller University, New York ini menjelaskan jika gen
ibu ini lah yang bertanggung jawab dalam memotivasi wanita untuk
melindungi, memberi makan, hingga membersarkan anak-anak nya.
Dalam bahasa ilmiah, gen ini diberi nama ER Alpha (Estrogen Receptor
Alpha) (Savitra, 2018).
Mengapa penting sekali seorang wanita memiliki sifat keibuan?
Hal ini dikarenakan peran ibu dalam keluarga yang cukup besar, dengan
mengurusi segala kebutuhan rumah tangga. Wanita yang memiliki jiwa
keibuan tentu saja akan mampu menangani hal tersebut. Tak heran jika
banyak pria yang mencari tipikal wanita keibuan untuk dijadikan seorang
istri. Kali ini akan dijelaskan mengenai sifat keibuan dalam psikologi.
a. Pengertian
Salah satu sifat keibuan yang cukup utama adalah adanya rasa
pengertian di dalam dirinya. Tidak semua wanita memiliki sifat
pengertian, hanya wanita dengan sifat keibuan saja yang memiliki
jiwa pengertian. Selalu menghargai serta menerima pria apa adanya,
dan tidak banyak menuntut. Selalu melihat kondisi dan situasi
sehingga tidak sampai memicu sebuah permasalahan (Savitra, 2018).
b. Mengerti hal mana yang harus diprioritaskan terlebih dahulu
Sifat keibuan lainnya dalam diri seorang wanita adalah dapat
mengerti hal mana yang harus diprioritaskan terelbih dahulu. Mana
yang menjadi kepentingan berasama ataupun kepentingan pribadi,
sehingga mereka akan berusaha mendahulukan kepentingan bersama
dan menunda terlebih dahulu kebutuhna pribadinya. Sifat keibuan ini
lah yang membuat wanita tersebut dapat selalu diandalkan dan
menjadi partner yang baik di dalam sebuah hubungan (Savitra, 2018).
c. Supel
Supel menjadi karakter lainnya dalam sifat keibuan menurut
psikologi. Wanita dengan sifat keibuan tentu saja memiliki pribadi
9

yang ramah, supel, dan pintar beradaptasi dalam kondisi apapun.


Setiap orang memang memiliki karakteristik yang berbeda satu sama
lainnya, namun wanita yang memiliki sifat keibuan akan memahami
bagaimana cara menghadapi sebuah kondisi. Bagaimana cara
berperilaku yang benar, baik itu kepada orang yang lebih tua,
seumuran, bahkan yang lebih muda sekalipun (Savitra, 2018).
d. Setia dan menjadi pendengar yang baik
Siapa yang tidak menginginkan wanita yang setia dan selalu
menjadi pendengar yang baik? Tentu saja ini menjadi sikap wanita
yang disukai pria. Meskipun topik yang dibahas kadang tidak
dimengerti, namun mereka tetap mendengarkan dan memberikan opini
(Savitra, 2018).
e. Menyayangi anak kecil
Sifat lainnya yang masuk ke dalam sifat keibuan adalah
menyayangi anak-anak kecil. Tidak semua wanita menyukai anak
kecil, bahkan beberapa ada yang membenci anak kecil. Bukan karena
belum menikah atau tidak memiliki anak, hanya saja ini memang
dikarenakan adanya sifat keibuan yang mempengaruhi. Meskipun
belum memiliki anak sekalipun, wanita yang memiliki sifat keibuan
akan menyukai bahkan menyayangi anak-anak kecil. Sehingga nanti
saat memiliki anak sendiri, mereka paham bagaimana cara merawat
dan cara mendidik anak agar cerdas (Savitra, 2018).
f. Mempunyai kesabaran yang tinggi
Tidak semua orang dapat sabar, terutama ketika emosi sedang
memuncak maka kesabaran hanyalah sebuah kata-kata saja. Namun
jika memiliki sifat keibuan, maka wanita tersebut dapat selalu sabar
dalam menghadapi berbagai hal. Meskipun dalam kondisi emosi yang
sedang memuncak, namun dirinya dapat menangani dengan baik dan
mencoba bersikap tenang (Savitra, 2018).
10

g. Tegar menghadapi masalah


Dalam menjalani hidup, terkadang tak pernah mulus. Ada saja
masalah yang akan kita hadapi bahkan hingga memicu
munculnya tanda-tanda stress. Namun jika anda memiliki sifat
keibuan, maka segala masalah yang ada akan dihadapi dengan penuh
ketegaran. Wanita yang memiliki sifat keibuan akan berusaha
menangani masalah tersebut dan tidak manja kepada pasangannya.
Mereka memahami jika semua masalah ada solusi dan jalan
keluarnya, dan mereka paham bagaimana cara mendewasakan diri
dalam menghadapi masalah (Savitra, 2018).
h. Selalu memperhatikan penampilan
Yang dimaksudkan dengan memperhatikan penampilan disini
tidak harus selalu ber make up setiap harinya. Namun dapat mengurus
penampilan diri sendirinya dengan baik. Sehingga nanti secara
otomatis mereka juga dapat mengurus keluarganya dnegan baik. Tak
hanya itu wanita dengan berpenampilan menarik tentu saja akan
disukai oleh banyak pria (Savitra, 2018).
i. Menghormati segala perbedaan pendapat
Perbedaan pendapat di dalam setiap hubungan tentu saja ada,
tinggal bagaimana seeorang menyikapinya. Wanita yang memiliki
sifat keibuan, dalam kehidupan tentu saja akan selalu terjadi
perbedaan pendapat dan hal tersebut adalah wajar-wajar saja terjadi.
Mereka akan mencoba menghormati perbedaan pendapatn yang ada
dan menganggap perbedaan tersebut dapat dipersatukan (Savitra,
2018).
j. Terbuka
Sifat keibuan menuntut seorang wanita memiliii keterbukaa,
termasuk pada pasangan, keluarga, dan teman-temannya. Mereka akan
dengan senang hati memberikan pendapat tanpa dipaksa sedikitpun
(Savitra, 2018).
11

Sifat keibuan memang merupakan pengaruh dari “gen keibuan”


yang diwariskan. Namun bukan berarti jika sifat keibuan tersebut tidak
dapat dipelajari wanita-wanita lainnya. Anda tetap dapat belajar
bagaimana menjadi seseorang yang bersifat keibuan, bagi anak-anak
anda, pasangan anda, maupun keluarga anda. Semoga informasi diatas
dapat bermanfaat untuk anda (Savitra, 2018).
3. Relasi Ibu Anak
Ikatan emosional dengan anak mulai timbul pada periode prenatal,
yakni ketika wanita mulai membayangkan dan melamunkan dirinya
sebagai ibu. Mereka mulai berfikir seakan-akan dirinya adalah seorang
ibu dan membayangkan kualitas ibu seperti apa yang mereka miliki.
Orang tua yang sedang menantikan bayi berkeinginan untuk menjadi
orang tua yang hangat, penuh cinta dan dekat dengan anaknya (Marmi &
Margiyati, 2013).
Hubungan ibu dan anak terus berlangsung sepanjang masa hamil
sebagai suatu proses perkembangannya. Tiga fase dalam pola
perkembangan yaitu:
a. Fase 1
Wanita menrima fakta biologis kehamilan. Ia harus mampu
mengatakan, “saya hamil” dan menyatukan anak tersebut ke dalam
tubuh dan citra dirinya (Marmi & Margiyati, 2013).
b. Fase ke-2
Ibu menerima janin yang tumbuh sebagai sesuatu yang terpisah
dari dirinya dan sebagai seorang yang perlu dirawat. Ia dapat berkata,
“saya akan memiliki bayi” (Marmi & Margiyati, 2013).
c. Fase ke-3
Ibu mulai dengan realisis mempersiapkan diri untuk melahirkan
dan mengasuh anaknya. Ia akan mengatakan “saya akan menjadi ibu”
dan ia mulai mendefenisikan sifat-sifat anak tersebut (Marmi &
Margiyati, 2013).
12

Ikatan di perkuat melalui penggunaan respon sensual atau


kemampuan oleh kedua pasangan dalam melakukan interaksi orang tua
anak. Respon sensual dan kemampuan yang dipakai dalam komunikasi
antara orang tua dan anak meliputi hal-hal berikut:
a. Sentuhan
Sentuhan atau indra peraba, dipakai secara ekstensif oleh orang
tua dan pengasuh lain sebagai suatu sarana untuk mengenali bayi baru
lahir. Cara-cara ibu mendekatkan diri dengan anak melalui sentuhan
antara lain:
1) Begitu anak dekat dengan ibunya, mereka memulai proses
eksplorasi dengan ujung jarinya, salah satu daerah tubuh yang
paling sensitif (Marmi & Margiyati, 2013).
2) Kemudian pengasuh memakai telapak tangannya untuk mengelus
badan bayi dan akhirnya memeluk dengan lengannya (Marmi &
Margiyati, 2013).
3) Gerakan-gerakan lembut dipakai untuk menenangkan bayi (Marmi
& Margiyati, 2013).
4) Ibu menepuk atau mengusap lembut bayi mereka dipunggung
setelah menyusuinya, lalu bayi juga akan menepuk-nepuk dada
ibunya sewaktu menyusu (Marmi & Margiyati, 2013).
b. Kontak mata
Kesenangan untuk melakukan kontak mata diperlihatkan
berulang-ulang. Beberapa ibu berkata, begitu bayinya bisa
memandang mereka, mereka merasa lebih dekat dengan bayinya.
Orang tua menghabiskan waktu yang lama untuk membuat bayinya
membuka matanya dan melihat mereka (Marmi & Margiyati, 2013).
c. Suara
Saling mendengar dan merespon suara antara orangtua dan
bayinya juga penting. Orang tua menunggu tangisan bayinya dengan
perasaan cemas. Saat suara yang membuat mereka yakin bayinya
dalam keadaan sehat terdengar, mereka mulai melakukan tindakan
13

untuk menghibur. Ketika orang tua berbicara dengan menggunakan


nada tinggi, batin menjadi tenang dan beralih ke mereka (Marmi &
Margiyati, 2013).
d. Aroma
Perilaku lain-lain yang terjalin antara bayi dengan orang tua
yaitu respon terhadap aroma atau bau masing-masing. Ibu
berkomentar terhadap aroma bayi mereka ketika baru lahir dan
mengetahui bahwa setiap anak memiliki aroma yang unik. Bayi
belajar dengan cepat untuk membedakan susu ibunya (Marmi &
Margiyati, 2013).
e. Entraiment
Bayi baru lahir bergerak sesuai dengan struktur pembicaraan
orang dewasa. Mereka menggoyang tangan, mengangkat kepala,
menendang-nendang kaki, seperti berdansa mengikuti nada suara
orang tuanya. Hal ini berarti bahwa jauh sebelum ia mampu
berkomunikasi dengan kata-kata. Entrainment terjadi saat anak mulai
berbicara. Irama ini juga berfungsi sebagai umpan balik positif kepada
orangtua dan menegakan suatu pola komunikasi efektif dan positif
(Marmi & Margiyati, 2013).
f. Bioritme
Anak baru lahir dapat dikatakan senada dengan ritme alamiah
ibunya, misalnya pada denyut jantung. Setelah lahir, bayi yang
menangis dapat ditenangkan dan dipeluk dengan posisi yang
sedemikian sehingga ia bisa mendengar denyut ibunya atau
mendengar suara denyut jantung yang direkam (Marmi & Margiyati,
2013).

B. Ibu Tiri Dan Ibu Angkat


1. Ibu Tiri
Ibu tiri adalah perempuan yang menikah dengan ayah kandung
seorang anak. Salah satu penyebab anak-anak menjadi piatu; yaitu karena
14

ditinggal pergi oleh ibunya atau ibunya meninggal dunia. Kemudian,


kedudukan ibu yang melahirkan anak tersebut ditempati oleh wanita lain
seiring pernikahan ayahnya. Secara otomatis wanita pengganti, memiliki
otoritas penuh dalam menjalankan semua hak dan kewajibannya
sebagaimana ibu kandung si anak selama hidup bersama (Marmi &
Margiyati, 2013).
Situasi ibu tiri seringkali di-pradeterminir (dipastikan terlebih
dahulu) sejak mula pertama oleh pilihan wanita tersebut mengenai bakal-
suaminya didorong oleh suara batinnya, ada wanita-wanita yang selalu
berminat pada pria-pria saja yang sudah kawin, yaitu pada kaum pria
yang sudah mapan. Karena itu mereka akan senag sekali, apabila bisa
kawin dengan seorang duda yang kematian istrinya (Marmi & Margiyati,
2013).
Adapula wanita-wanita yang didorong oleh motivasi-motivasi
egoistis yang selalu cenderung untuk merebut suami orang lain guna
menunjukkan kelebihan dirinya, misalnya dia merasa lebih cantik, lebih
pintar, lebih pandai bermain seks dan lain-lain pada dunia luar. Adapula
tipe wanita yang sangat berminat pada duda-duda yang mempunyai anak-
anak piatu, sebab didorong oleh perasaan iba. Biasanya wanita-wanita
sedemikian ini pada mulanya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.
Misalnya, karena wanita itu tidak mampu melahirkan seorang bayi sebab
mandul. Oleh karena ingin diperistri oleh seorang duda dari kelas
menengah, sehingga status sosial wanita tersebut bisa terangkat keatas
(Marmi & Margiyati, 2013).
Psikologi mengenai ibu tiri terhadap duda atau suami dan anak
tirinya itu memang kompleks. Jika suasana romantis secara bulan madu
yang terlampau, dan ibu tiri ini mulai menghayati tugas-tugas rutin
rumah tangga yang berat dan manoton, dan mulailah ia merasakan
ketidaksenangan, dan memendam kebencian terhadap anak-anak wanita
lain. Maka ibu tiri yang semula bersikap halus mesra itu kini mulai
“berkembang” menjadi wanita galak-ganas dan kejam. Kondisi
15

psikologis ibu tiri ini tidak ada bedanya dengan keadaan seorang ibu
dengan rasa kebencian terhadap suaminya sendiri lalu melampiaskan
kebencian dan kekejaman terhadap anak-anaknya. Sikap ibu tiri yang
ganas itu terutama disebabkan karena ia merasa bahwa anak-anak itu
bukan darah dahingnya sendiri dan dianggap menjadi saingan baginya
dalam memperebutkan kasih suaminya (Marmi & Margiyati, 2013).
Kepribadian wanita menentukan sifat keibutiriannya. Nasib anak-
anak tiri dan fungsi ibu tiri itu sendiri sebagian besar di determiner oleh
mutu cinta wanita kepada suaminya, dan oleh kepribadiannya. Jika
wanita yang sifatnya sungguh-sungguh halus-mesra dan sangat feminim,
ia pasti rela berkorban demi kebahagiaan suami dan anak tirinya, agar
bisa berfungsi sebagai ibu yang baik (Marmi & Margiyati, 2013).
Akan tetapi, apabila wanita itu sifatnya sangat egoitis dan erotis,
mempunyai kecenderungan sangat kuat untuk “dimiliki” oleh suaminya,
maka sifat-sifat yang sangat narsitis dan agresif akan dominan. Ia akan
menolak dan membenci anak tirinya yang dianggap sebagai agen-
pengacau atau troublemaker, atau ia selalu berusaha membuat suaminya
marah dan membenci anak-anaknya sendiri. Ia selalu merasa cemburu
oleh sikap suaminya yang penuh kasih-sayang dan dianggap terlalu
berlebih-lebihan terhadap anak-anak sendiri, lebih-lebih kalau anak
tirinya laki-laki yang menjelang dewasa (Marmi & Margiyati, 2013).
Wanita yang sangat narsitis pada umumnya berusaha untuk selalu
dicintai dan didambakan oleh pria manapun juga. Ia akan tetap mengasihi
dan suaminya, selama anak tiri tersebut mau membalas sikap-sikapnya
yang erotis, dan suaminya sanggup memberikan kepuasan seksual pada
dirinya. Mamun apabila anak tiri yang sudah menjadi jejaka ternyata
tidak mau membalas “cintanya”, maka ia berubah menjadi ganas, kejam
dan jahat secara tidak tanggung-tanggung (Marmi & Margiyati, 2013).
2. Ibu Angkat
Ibu angkat adalah seorang wanita yang mengadopsi anak
(mengambil anak) baik satu atau lebih dikenal atau tidak orang tua anak
16

tersebut karena didasari oleh keinginan memiliki anak. Secara umum


keinginan seorang wanita untuk menjadi ibu (ibu angkat) tidak dapat
terkabul karena ia mandul dan tidak bisa melahirkan seorang bayi. Ada
beberapa alasan mengapa seorang wanita mengangkat seorang anak:
a. Ketakutan sendiri untuk menjalani fungsi- fungsi biologisnya
b. Mau mengeksploitir kepuasan-kepuasan seksual saja, tanpa bersedia
menanggung resiko punya anak
c. Tipe wanita anrogynus yang mengingkari tugas-tugas reproduktif dan
ingin memiliki seorang bayi menurut konsepsi dan fantasi diri
d. Kecenderungan-kecenderungan homoseksual atau lesbian
e. Fantasi-fantasi parthenogenetis yang ingin melahirkan seorang bayi
tanpa pertolongan atau lantaran seorang pria
f. Ketengangan-ketegangan batin yang neurotis sifatnya.
Pada pihak lain, walaupun seorang wanita memiliki kehidupan
psikis dengan sifat-sifat maternal sejati, namun ada kalanya oleh sesuatu
hal dapat menjadi steril dan tidak dapat melahirkan anak sendiri. Hal ini
diistilahkan dengan mandul yang sering sifatnya menjadi tragis. Wanita
dengan penderita mandul merasakan kegetiran hati bahkan bahkan tidak
jarang menjadi frustasi yang tak terpecahkan. Tetapi apabila wanita
tersebut siap dan mampu mengalihkan mengkompensasi dambaan
melahirkan anak sendiri jalan paling ringkas di tempuhnya dengan
mengadopsi atau mengangkat seorang anak. Pada sisi ini ibu berperan
karena didasari oleh dambaan memiliki anak dalam bentuk pelindung
anak yakni dengan memberikan perlindungan, perawatan dan kasih
sayang yang tulus pada anak tersebut. Maka seorang ibu angkat akan
benar-benar bisa menempati kedudukannya sebagai seorang ibu kandung
dengan penuh kasih sayang dan sifat-sifat yang maternal, yang bisa
menerima dengan hati ikhlas walau kondisi fisik steril. Wanita akan
dapat mengembangkan kehidupan emosiaonalnya sesuai dengan kondisi
anak-anaknya. Apabila ia mampu mengembangkan sifat-sifat feminim-
masokhitis maternal dirinya dengan sendirinya ia akan dapat dan
17

bersedia untuk berkorban diri, serta mengabdikan diri (Marmi &


Margiyati, 2013).
Reaksi psikis seorang anak angkat bukan tergantung pada faktor
asalnya, dan saat ia dilahirkan oleh ibunya sendiri. Akan tetapi justru
banyak bergantung pada kondisinya yang sekarang seperti kondisi
finansial, kondisi intelektual, dan norma-norma etis yang dianut oleh ibu
dan ayah angkatnya. Namun faktor paling penting ialah kondisi
kehidupan ibu angkatnya. Sebab, sejak anak itu diangkat oleh ibu
angkatnya, pengaruh wanita inilah merupakan faktor tunggal yang akan
membentuk ciri-ciri fisik dalam kondisi psikis anak angkat tersebut
(Marmi & Margiyati, 2013).
Untuk memahami ibu angkat sebagai individu ataupun sebagai tipe
wanita, inilah dua faktor yang terdapat pada wanita tersebut,yaitu:
a. Kapasitas-kapasitas keibuan/ maternal wanita dalam relasi dengan
anak angkatnya.
b. Motivasi-motivasi tertentu yang mendorong wanita tersebut
mengangkat seorang bayi atau anak seseorang wanita lain baik
sebelumnya dikenal atau tidak (Marmi & Margiyati, 2013).
Mengenai motivasi yang menjadi pendorong bagi adopsi itu juga
sangat bervariasi, sebanyak pikiran dan perasaan manusia. Misalnya,
seorang perawan tua yang merasa terpaksa memungut seorang anak,
karena anak tersebut membutuhkan seorang ibu pengganti akan
mempunyai alasan yang berbeda dengan seorang isteri yang mandul
namun ingin melaksanakan fungsi keibuannya secara instinktif dengan
memungut seorang bayi. Motivasi seorang bibi yang harus mengadopsi
kemenakannya, karena ia adalah satu-satunya keluarga yang masih ada,
akan berbeda dengan motivasi seorang wanita kaya namun tidak beranak,
dan ingin memungut anak sebanyak mungkin untuk meunjukkan
martabat kekayaannya. Memang, proporsi paling besar (jumlah paling
banyak) keluarga yang memungut anak ialah: pasangan-pasangan yang
kawin, namun tetap steril keadaannya. Oleh karena itu “psikologi dari
18

ibu-ibu angkat” ini sebagian besar oleh: motif-motif psikologis


kemandulan atau sterilitasnya, dan tekasi psikisnya terhadap kemandulan
dirinya. Motif-motif psikologis itu antara lain:
a. Kecemasan dan ketakutan yang luar biasa besarnya, tetapi sering tidak
disadari terhadap fungsi reproduktif atau fungsi melahirkan anak.
Kecemasan ini lebih dominan daripada keinginan menjadi seorang
ibu.
b. Sifat yang sangat infantile, sehingga secara tidak sadar ia merasa tidak
mampu memikul tanggung jawab sebagai seorang ibu.
c. Secara emosional dia terlalu dicekam oleh interest-interest dan minat
diluar tugas keibuannya, misalnya sangat aktif dibidang ilmu
pengetahuan, seni, politik, sosial.
d. Relasinya dengan suami dianggap begitu indah syahdu dan
memuaskan sehingga ia merasa takut akan terganggu dengan
kehadiran anak-anak mereka. Karena itu, wanita ingin
mempertahankan statusnya, yaitu tidak mau melahirkan bayi.
e. Wanita begitu cinta dan menyayangi suaminya, sehingga ia tidak
sampai hati membebani suaminya dengan tugas-tugas baru sebagai
ayah.
f. Peringatan dan larangan dari ibu si wanita ketika ia masih gadis, kini
masih saja jelas terngiang-ngiang sebagai obsesi berupa peringatan
atau larangan yang menyatakan, bahwa hubungan seksual itu adalah
tabuh, dan perbuatan dosa. Sehingga wanita itu selalu dicekam oleh
perasaan-perasaan berdosa dan kecemasan batin apabila melakukan
senggama dengan suaminya. Peristiwa sedemikian ini bisa
mengakibatkan sterilitas dirinya.
g. Wanita yang bersangkutan dihinggapi fantasi-fantasi neurotis; yaitu
merasa bahwa kesucian dirinya dilanggar oleh “perbuatan-perbuatan
larangan dan dosa” sewaktu melakukan coitus dengan suaminya.
Ketegangan-ketegangan batin dan kecemasan yang timbul oleh
karenanya justru menstimulir kemandulannya.
19

h. Wanita yang sangat matriarchal, dominan dan suka memerintah. Ia


menganggap suaminya sebagai seorang “bayi” yang harus
dilindunginya, dan menganggap suaminya tidak kompoten untuk
menjadi “jantan pemacek”.
i. Ada kutukan-kutukan herediritar tertentu, sehingga menyebabkan
kemandulan dirinya.
j. Penyiksaan diri (terhadap diri sendiri) oleh sifat-sifat hypernarsistis,
sehingga wanita yang bersangkutan tidak mau mengakui
kemandulannya. Dan dengan biaya serta korban apapun juga ia ingin
melahirkan seorang bayi, sekalipun dirinya tidak mampu melakukan
hal itu (ada semacam obsesi) (Marmi & Margiyati, 2013).
Jika seorang wanita sudah sungguh-sungguh berniat untuk
mengangkat seorang anak pungut, dan ia mampu mengatasi atau
mengalahkan 10 motif psikologis serta motif-motif neurotis yang tidak
disadari lainnya, maka pastilah ia akan bisa menjadi seorang ibu angkat
yang baik; (Marmi & Margiyati, 2013)
Memang ada analogy psikis diantara kedudukan ibu tiri dengan ibu
angkat antara lain:
a. Anak-anak itu oleh sebab tertentu jadi piatu. Kondisi ini disebabkan
oleh karena mereka ditinggalkan oleh ibunya (lari atau kawin dengan
pria lain), atau disebabkan oleh kematian ibu kandungnya.
b. Kedudukan ibu tersebut lalu diambil alih oleh seorang ibu subtitum
(ibu pengganti), yang berperan sebagai ibu angkat atau ibu adopsi,
ataupun pada kasus lain pada ibu tiri karena dikawini oleh sang duda
(Marmi & Margiyati, 2013).
Namun, perbedaan peranggapan dan perbedaan sosial psikologis
antara kondisi ibu angkat dan ibu tiri memang ada. Yaitu pada pendapat
tradisional dan prasangka yang menyatakan bahwa semua ibu tiri itu
pasti menyebabkan kesengsaraan, azab dan kepedihan pada anak-anak
tirinya. Hal ini disebabkan karena ibu tiri selalu menggunakan pola
tingkah laku “tradisional”, beratribut kejam, agresif, egoistis, iri,
20

dengkih, sadistis, ganas, dan suka bermusuhan (Marmi & Margiyati,


2013).
Sedang ibu angkat pada umumnya bersifat lembut, perhatian,
penuh kasih sayang, tidak egoistis, bersedia menggantikan kedudukan
ibu kandung secara suka rela dan dibekali dengan hati belas kasih
(Marmi & Margiyati, 2013).

C. Wanita Sebagai Lansia


Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai adanya
penuruna kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi
satu sama lain (Marmi & Margiyati, 2013).
Adapun beberapa pendapat mengenai pengertian masa tua: Badan
kesehatan dunia (WHO) menetapkan 65 tahun sebagai usia yang
menunjukkan proses penuan yang berlangsung secara nyata dan seseorang
telah disebut lanjut usia. Lansia banyak menghadapi berbagai masalah
kesehatan yang perlu penanganan segera dan terintegrasi. Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu: usia
pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) 60-74 tahun,
lanjut usia tua (old) 75-90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90
tahun (Marmi & Margiyati, 2013).
1. Periode Klimakterium/Menopause
Periode klimakterium disebut sebagai periode kritis dalam fungsi-
fungsi psikis dan fisik. Periode “krisis” yaitu terjadinya krisis-krisis
dalam kehidupan yang berupa psikosomatis/rohani dan jasmani
mengalami perubahan-perubahan dalam system hormonal sehingga
berlangsung proses kemunduran yang progresif dantotal (Marmi &
Margiyati, 2013).
Klimakterium merupakan periode peralihan dari fase reproduksi
menuju fase usia tua (senium) yang terjadi akibat menurunnya fungsi
generatif ataupun endokrinologik dari ovarium. Menopause merupakan
21

suatu gejala dalam kehidupan wanita yang ditandai dengan berhentinya


siklus menstruasi (Marmi & Margiyati, 2013).
Menurut Helena (1973), klimakterium diawali dengan satu fase
pendahuluan atau fase preliminer yang menandai satu proses
“pengahiran”. Munculah tanda-tanda antara lain:
a. Menstruasi menjadi tidak lancer atau tidak teratur, datang dalam
interval waktu yang lebih lambat atau lebih awal.
b. Haid yang keluar banyak sekali, atau malah sedikit sekali.
c. Muncul gangguan vasotoris berupa penyempitan atau pelebaran
pembuluh darah.
d. Merasa pusing-pusing, sakit kepala terus menerus.
e. Berkeringat terus-terusan.
f. Neuralgia atau nyeri syaraf terus-terusan.
Semua gejala ini adalah fenomena klimakteris, akibat perubahan
fungsi kelenjar hormonal. Terjadi pula erosi kehidupan psikis, sehingga
terjadilah krisis yang terwujud dalam gejala-gejala psikologis seperti :
depresi (kemurungan), mudah tersinggung dan meledak marah, banyak
kecemasan, sulit tidur, sukar tidur karena bingung dan gelisah. Gejala-
gejala ini dapat dianggap sebagai “jeritan minta tolong” agar wanita
tersebut masih diperbolehkan meneruskan aktivitasnya (Marmi &
Margiyati, 2013).
Klimakterium dapat di bagi menjadi dua tahap, yaitu:
a. Tahun-tahun di mana menstruasi sudah tidak teratur, sering terganggu,
atau terhenti sama sekali, namun organ endokrin seksual masih terus
berfungsi.
b. Berhentinya secara definitive organ pembentuk sel telur. Berhentinya
lembaga kehidupan (Marmi & Margiyati, 2013).
22

Menurut Baziad (2003) klimakterium dibagi menjadi beberapa


tahap, yaitu:
a. Pramenopause (<2 bulan sebelum menstruasi terakhir)
Fase pramenopause adalah fase antara usia 40 tahun dan
dimulainya fase klimakterik. Fase ini ditandai dengan siklus haid yang
tidak teratur, dengan perdarahan haid yang memanjang dan jumlah
darah haid yang relative banyak dan kadang-kadang disertai nyeri haid
(dismenorea).
b. Perimenopause (2-12 bulan sejak menstruasi terakhir)
Perimenopause merupakan fase peralihan antara pramenopause
dan pascamenopause. Fase ini ditandai dengan siklus haid yang tidak
teratur. Pada kebanyakan wanita siklus haidnya >38 hari dan sisanya.
Beberapa ahli menyebutkan bahwa istilah perimenopause meliputi
wanita pada usia 45-65 tahun.
c. Menopause
Menopause adalah perdarahan haid yang terakhir yang terjadi
pada usia 40-65 tahun. Periode terjadinya menopause ketika
persediaan sel telur habis, indung telur mulai menghentikan produksi
estrogen akibatnya haid tidak muncul lagi. Pada wanita tersebut
menginjak masa menopause, yang berarti berhentinya masa
kesuburannya.
d. Pascamenopause (>12 bulan sejak menstruasi terakhir)
Pasca menopause adalah masa setelah menopause sampai
senilis. Fase ini terjadi pada usia di atas 60-65 tahun. Biasanya wanita
beradaptasi dengan perubahan fisik dan psikologis (Marmi &
Margiyati, 2013).
Perubahan pada masa menopause:
a. Perubahan kejiwaan
Perubahan kejiwaan yang dialami seorang wanita menjelang
menopause meliputi masa tua, tidak menarik lagi, rasa tertekan karena
takut menjadi tua, mudah tersinggung, mudah terkejut sehingga
23

jantung berdebar, takut tidak bisa memenuhi kebutuhan seksual suami,


rasa takut bahwa suami akan menyeleweng, keinginan seksual
menurun dan sulit mencapai kepuasan (Manuaba, 2009) (Munawarah,
Hafifah;, 2013).
b. Perubahan fisik
Pada perubahan fisik, seorang wanita mengalami perubahan
kulit, lemak bawah kulit menjadi kendur, kulit mudah terbakar sinar
matahari dan menimbulkan pigmentasi dan menjadi hitam. Pada kulit
tumbuh bintik hitam. Otot bawah kulit wajah mengendur sehingga
jatuh dan lembek. Kelenjar kulit kurang berfungsi, sehingga kulit
menjadi kering dan keriput (Manuaba 2009) (Munawarah, Hafifah;,
2013).
Perubahan pada pola makan dianjurkan kearah makanan yang
mengandung banyak serat. Juga terjadi perubahan kerja usus halus dan
besar. Menurunnya estrogen dapat menimbulkan perubahan kerja usus
menjadi lambat. Kerja usus halus dan besar yang lambat menimbulkan
gangguan buang air besar berupa obstipasi (sembelit) (Munawarah,
Hafifah;, 2013).
Perubahan pada sistem jantung dan pembuluh darah terjadi
karena adanya perubahan metabolisme, menurunnya estrogen,
menurunnya pengeluaran hormon paratiroid. Meningkatkan hormon
FSH dan LH serta rendahnya estrogen dapat menimbulkan perubahan
pembuluh darah (Munawarah, Hafifah;, 2013).
Perubahan yang terjadi pada alat genitalia meliputi liang
senggama terasa kering, lapisan sel liang senggama menipis yang
menyebabkan mudah infeksi (infeksi kandung kemih, infeksi liang
senggama). Daerah sensitif semakin sulit dirangsang, saat
berhubungan seksual dapat menimbulkan nyeri (dyspareunia) dan
sulit mencapai orgasme (Munawarah, Hafifah;, 2013).
Perubahan pada tulang terjadi karena kombinasi rendahnya
hormone estrogen dan paratiroid. Tulang mengalami deklasifikasi
24

(pengapuran) arinya kalsium menurun sehingga tulang keropos dan


mudah terjadi patah tulang tertutama pada persendian paha.
Menghadapi perubahan turunnya hormonal, seorang wanita dapat
menunjukan respon berupa mereka siap menghadapi perubahan
sebagai proses alamiah atau mereka gelisah menghadapi perubahan
sehingga menimbulkan gejala klinis, dan memerlukan perawatan dan
pengobatan (Manuaba,2009) (Munawarah, Hafifah;, 2013).
2. Perilaku Aneh Pada Periode Klimakterium
Masa pra-klimakteris ini mirip sekali dengan masa pubertas, karena
itu di sebut pubertas kedua. Sedang periode klimakterium sendiri banyak
kemiripannya dengan periode pubertas. Tingkah laku orang pada periode
ini sering lucu, aneh-aneh, janggal atau tidak pada tempatnya. Misalnya
wanita kaya dan gemuk memakai rok mini atau rok panjang merah belah
pinggir tinggi (Marmi & Margiyati, 2013).
Tingkah laku yang “berlebihan” tersebut bermaksud untuk:
a. Mengingkari ketuaannya dan ingin mengulangi kembali pola
kebiasaan di masa muda.
b. Menimbuni dirinya dengan pakaian dan perhiasan warna-warni serta
macam-macam bahan kosmetik, agar kelihatan masih “remaja”.
Sekalipun tingkah laku wanita-wanita setengah tua ini kadang-
kadang kelihatan komis lucu, namun biasanya kebiasaan tersebut
mengakibatkan akibat-akibat yang cukup tragis. Maka oleh manifestasi
yang janggal dan aneh-aneh itu, klimakterium disebut pula sebagai “usia
berbahaya” (the dangerous age) (Marmi & Margiyati, 2013) .
Dengan berhentinya aktivitas indung telur, maka sistem endokrin
menjadi kacau balau fungsinya, sehingga mengakibatkan kekacauan pula
pada fungsi-fungsi organis dan fungsi psikis lainnya. Namun, demikian,
manifestasi individual periode klimakterium tersebut sebagian besar
dipengaruhi oleh kepribadian masing-masing individu. Sebab struktur
kepribadian yang terintegrasi dengan baik, akan mempengaruhi secara
positif proses gangguan kelenjar. Artinya, kepribadian tadi bisa
25

mengkompensasikan gangguan-gangguan fisiologis dan gangguan psikis


dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang intelligen (Marmi & Margiyati,
2013).
Satu tipe wanita-wanita klimakteris ada yang memperlihatkan
aktivitas hypomanis semu. Wanita tersebut merasakan seolah-olah
vitalitas hidupnya jadi bertambah. Jika ia dahulu menghindari
pengalaman-pengalaman yang menggunakan kekerasan atau
kesembronoan, maka sekarang ini seakan-akan ia dikejar-kejar oleh nafsu
untuk menyerempet-nyerempet bahaya, guna memperkaya pengalaman
hidupnya. Ia merasa muda bagaikan gadis remaja dan selalu meyakinkan
diri sendiri bahwa ia berambisi atau mampu memulai kehidupannya dari
awal lagi (Marmi & Margiyati, 2013).
3. Kondisi Psikis Wanita Setengah Baya
Relasi persahabatan wanita-wanita klimakteris ini sering kali juga
mengalami perubahan. Persahabatan yang dulunya bersifat loyal dan
harmonis, menjadi retak berantakan oleh rasa iri hati, kecemasan
ketakutan, serta panic tanpa sebab-sebab yang jelas. Wanita-wanita ini
menjadi cerewet, menjadi sangat gila, dan menggugah pertengkaran
dimana-mana. Relasi sosialnya menjadi patologis sifatnya. Ada kalanya
terjadi ledakan-ledakan emosional yang paranoid, sebagai produk dari
semakin intensifnya konflik-konflik batin/psikis pada periode klimakteris
(Safitri, 2011).
Baik di masa pubertas maupun pada periode klimakteris. Selama
dua periode ini anak gadis dan wanita setengah baya mengkonstruksikan
“dunia masa sekarang” (Safitri, 2011).
Namun, jika gadis puber mengarahkan pandangannya pada masa
depan, maka wanita setengah tua itu justru menengokkan pada masa
lampau dengan rasa kerinduan (nostalgia) (Safitri, 2011)
Pada anak-anak gadis yang mempunyai predisposisi
neurotisobsesif, gejala-gejala ini segera lenyap, kemudian digantikan
dengan tendens maskulinitas yang kuat dan proses intelektualisasi. Pada
26

umumnya mereka bersifat sangat maskulin, kejantan-jantanan, sangat


ambisius, sangat intelek, namun miskin kehidupan emosionalnya (Safitri,
2011).
Selama periode produktif sampai masa klimakteris, maskulinitas
wanita tersebut dengan sukses tersublimasikan dan pribadinya tidak
menampilkan gejala-gejala neuortis. Akan tetapi pada periode
klimakteris, tendens-tendens feminitaas yang selalu ditekan kuat-kuat
dan biasanya sukses, kini mulai menampilkan ³haknya´. Lalu terjadilah
konflik-konflik batin di antara tendens feminitas melawan keenderungan-
kecenderungan hypermaskulin. Jika pertentangan di antara dua tendens
itu pada usia pubertas dengan sukses bisa disublimasikan, atau bisa
diselesaikan dengan baik, maka biasanya pada usia setengah tua itu
wanita tersebut justru gagal dalam perjuangan psikis tersebut., lalu jatuh
sakit karena ia tidak memiliki daya tahan, sedangkan kondisi fisik
dan psikis sudah menjadi lemah. Jelasnya, ia tidak mampu menerima
dengan hati yang pasrah. Sifat-sifat femininnya yang sejati yang kini
muncul secara spontan (Safitri, 2011).
Hampir semua wanita usia klimakteris mengalami dalam tempo
yang relatif pendek atau relatif panjang suasana hati depresif dan
melankolis. Sebab utamanya adalah :
a. Karena ia ingin mengingkari dan memproses proses biologis
mengarah pada ketuaan.
b. Ia terlampau melebih-lebihkan keadaan dirinya, serta terlalu
menganggap dramatis proses ketuaannya.
c. Kemunduran jasmaniah itu dirasakan sebagai kemungkinan dan
mendekatnya kematian juga sebagai tidak ada gunanya lagi untuk
terus hidup.
d. Hidupnya kini dianggap tidak mengandung harapan, penuh kepedihan
dan pribadinya dilupakan oleh semua orang.
27

Banyaknya rasa depresi pada usia menjelang tua ini memang


berkaitan dengan kepahitan dan kepedihan hati, karena wanita yang
bersangkutan merasa kehilangan dunia remaja indah yang sudah lampau.
Dan seperti depresi anak gadis puber yang kadang kala diselingi dengan
perasan-perasaan extatis (gelora semangat yang menyala-nyala),
demikian pula kondisi-kondisi depresif wanita setengah baya ini kerap
kali diselingi dengan cinta birahi dan kegairahan hati, bagaikan kelip
gemerlapnya cahaya pelita yang hampir redup kehabisan minyak. Maka
kondisi senja hari´ pada wanita setengah umur ini masih memberikan
berkas-berkas pancanaran sinar-sinar indah dalam ketidaksadarannya.
Devaluasi (adanya kemunduran nilai dan kerusakan) pada organ-organ
vital, mengakibatkan munculnya perasaan destruksi atau kerusakan pada
fungsinya. Kemudian mengakibatkan perubahan-perubahan berupa
kemunduran pada kemampuan psikisnya (Safitri, 2011).
4. Masa Lansia
Perkembangan masa dewasa akhir atau usia lanjut, membawa
penurunan fisik yang lebih besar dibandingkan dengan periode periode
usia sebelumnya. Rentetan perubahan perubahan dalam penurunan fisik
yang terkait dengan penuaan, dengan penekanan pentingnya
perkembangan perkembangan baru dalam penelitian proses penuaan yang
mencatat bahwa kekuatan tubuh perlahan lahan menurun dan hilangnya
fungsi tubuh kadangkala dapat diperbaiki ( Elok HS. MSi, 2010).
Hal inilah yang biasanya terjadi pada usia dewasa lanjut dan
berikut adalah beberapa penurunan dan hilangnya fungsi tubuh dalam hal
fisiologis masa perkembangan masa dewasa akhir atau usia lanjut:
a. Otak dan sistem saraf
Saat individu beranjak tua maka akan kehilangan sejumlah
neuron, unit unit sel dasar dari sistem syaraf. Beberapa peneliti
memperkirakan kehilangan itu mungkin sampai 50% selama tahun
tahun dewasa. Walaupun penelitian lain percaya bahwa kehilangan itu
lebih sedikit dan bahwa penyelidikan yang tepat terhadap
28

penyelidikan hilangnya neuron belum dibuat di dalam otak ( Elok HS.


MSi, 2010).
b. Perubahan sensori
Perubahan sensori fisik masa dewasa akhir melibatkan indera
penglihatan, pendengaran, perasa, pembau, dan indera peraba. Pada
masa dewasa akhir penurunan indera penglihatan bisa mulai dirasakan
dan terjadi mulai awal masa dewasa tengah. Adaptasi terhadap gelap
lebih menjadi lambat, yang berarti bahwa orang rang lanjut usia
membutuhkan waktu lama untuk memulihkan kembali penglihatan
mereka ketika keluar dari ruangan yang terang menuju ke tempat yang
agak gelap ( Elok HS. MSi, 2010).
c. Sistem peredaran darah
Tidak lama berselang terjadi penurunan jumlah darah yang
dipompa oleh jantung dengan seiringnya pertambahan usia sekalipun
pada orang dewasa yang sehat. Bagaimanapun, kita mengetahui
bahwa ketika sakit jantung tidak muncul, jumlah darah yang dipompa
sama tanpa mempertimbangakan usia pada masa dewasa.
Kenyataannya para ahli penuaan berpendapat bahwa jantung yang
sehat dapat menjadi lebih kuat selama kita menua dengan kapasitas
meningkat bukan menurun ( Elok HS. MSi, 2010).
d. Sistem pernafasan
Kapasitas akan menurun pada usia 20 hingga 80 tahun sekalipun
tanpa penyakit. Paru paru kehilangan elatisitasnya, dada menyusut,
dan diafragma melemah. Meskipun begitu berita baiknya adalah
bahwa orang dewasa lanjut dapat memperbaiki fungsi paru paru
dengan latihan latihan memperkuat diafragma ( Elok HS. MSi, 2010).
e. Seksualitas
Penuaan menyebabkan beberapa perubahan penurunan dalam
hal seksualitas manusia, lebih banyak pada laki laki dari pada
perempuan. Orgasme menjadi lebih jarang pada laki laki, terjadi
dalam setiap 2 sampai 3 kali hubungan seksual bukan setiap kali.
29

Rangsangan yang lebih langsung biasanya dibutuhkan untuk ereksi.


Sekalipun hubungan seksual terganggu oleh kelemahan, relasi lainnya
harus dipertahankan, diantara kedekatan sensualitas, dan nilai sebagai
seorang laki laki maupun wanita ( Elok HS. MSi, 2010).
Kriteria nenek-nenek ada yang baik, lemah lembut, penuh rasa
keibuan, akan tetapi ada juga nenek-nenek yang ganas, sangat egois, suka
membenci orang, iri hati, jahat, kejam dan tidak feminime. Nenek yang
semacam ini biasanya ditakuti oleh anak-anak dan bahkan oleh cucunya
(Marmi & Margiyati, 2013).
Adapun tipe nenek yang baik hati dapat digolongkan dalam 3
bentuk yaitu:
a. Wanita yang memiliki sifat keibuan sejati. Mereka yang melanjutkan
sifat-sifat yang baik ini dapat secara otomatis akan menganggap
cucunya sebagai anak-anak sendiri yang paling kecil (Marmi &
Margiyati, 2013).
b. Berjiwa muda ialah mereka yang mengaggap fungsi kenenekannya
sebagai suatu pengalaman baru, dan sebagai satu periode hidup baru.
Dekadensi psikisnya yang disebabkan oleh ketuaannya
dikompensasikan dengan macam-macam aktifitas yang positif,
misalnya kesibukan melukis, membatik, menulis novel, main music
atau gemelan, bertanam anggrek (Marmi & Margiyati, 2013).
c. Nenek yang unggul, nenek ini bersifat sabar, sumarah dan suamareh
hatinya. Artinya dia sudah bisa meletakkan dan menyesuaikan dirinya
dengan segala kondisi yang dihadapinya (Marmi & Margiyati, 2013).
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ibu berusaha untuk menjadi orangtua yang terbaik bagi anaknya, agar
anaknya bisa terbimbing dan terarah pergaulannya. Ibu akan berusaha
menghilangkan sifat-sifat atau perilaku dalam dirinya yang buruk agar anaknya
bisa memandang sesosok ibunya iyu sebagai orang tua yang paling sempurna.
Ibu tiri adalah perempuan yang menikah dengan ayah kandung seorang anak.
Ibu angkat adalah seorang wanita yang mengadopsi anak (mengambil anak)
baik satu atau lebih. Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai
adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling
berinteraksi satu sama lain.

B. Saran
Sebaiknya kepada pembaca untuk mencari referensi yang lain, agar
lebih memahami dan mengetahui tentang wanita sebagai ibu, ibu tiri, ibu
angkat, dan wanita sebagai lansia.
Dengan selesainya penulisan makalah ini, maka penulis mengharap
kepada pembaca sekiranya menemukan kesalahan pada makalah ini untuk
memperbaikinya. Sebab penulis bukanlah orang sempurna yang tidak lepas
dari sifat kekeliruan, sehingga penulis juga biasa melakukan kesalahan. Dan
jika ada sesuatu yang biasa di jadikan bahan kajian oleh pembaca maka penulis
akan merasa termutifasi.
Saran dan kritik dari pembaca yang sifatnya membangun semangat
menulis penulis akan selalu ditunggu oleh penulis.

30
31

DAFTAR PUSTAKA

Elok HS. MSi. (2010). Perkembangan Masa Usia Lanjut. Bandung: Remaja
Rosda Karya
Marmi, S. M., & Margiyati, S. M. (2013). Psikologi Kebidanan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Munawarah, Hafifah;. (2013). Hubungan Pengetahuan Dengan Penerimaan Diri


Wanita Klimakterium Dalam Menghadapi Menopause. Bandung;
Alfabeta.

Safitri, G. (2011, Agustus 19). Wanita Sebagai Lansia. Jakarta: Agromedia


Pustaka

Savitra, K. (2018, Januari 16). Psikologi Keluarga. Bandung: Refika Aditana

Anda mungkin juga menyukai