Anda di halaman 1dari 57

IBU HAMIL DENGAN

KETERGANTUNGAN
OBAT
Rabu, 17 Desember 2014

Ibu Hamil Dengan Ketergantungan Obat Dan Askepnya


OLEH

                       AYU SUSWANTI

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM MAKASSAR
MAKASSAR
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kelompok ini. Kami menyadari masih
banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini yang tentunya jauh dari kesempurnaan.
Karena itu kelompok kami selalu membuka diri untuk setiap saran dan kritik yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan karya kami selanjutnya.
Terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagi pihak. Untuk itu
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu, baik secara langsung
ataupun tidak langsung.
Akhirnya semoga sumbangan amal bakti semua pihak tersebut mendapat balasan yang
setimpal dari- Nya. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kelompok kami
khususnya dan masyarakat pecinta ilmu pengetahuan pada umumnya.
Makassar,  Desember 2014

Penulis

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengaruh Zat Adaktif Pada Ibu Hamil:
1.      Pengertian ketergantungan obat
2.      Jenis – jenis zat adaktif
3.      Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan obat
B.     Dampak yang terjadi pada janin yang terlahir dari seorang ibu yang di pengaruhi obat:
  Analisis dan efek samping pada Ibu dan Janin.
C.     Asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat pada kasus ibu hamil dengan
ketergantungan obat.
BAB III PENUTUP
A.      Kesimpulan
B.       Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Kehamilan merupakan suatu proses luar biasa yang akan dialami oleh setiap wanita
normal. Dimana si Ibu bertanggung jawab untuk melindungi si calon bayi dari segala bentuk
ancaman baik ancaman dari dalam maupun dari luar. Misalnya pada Ibu yang ketergantungan
obat, alkohol maupun nikotin.
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada
akhir-akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media
elektrolit seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang
memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, tidak terkecuali pada ibu hamil.
Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya
pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk
mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya ibu hamil, dalam
penggunaan NAPZA tersebut juga berakibat fatal terhadap si janin (calon bayi). Hal ini
terlihat jelas dengan semakin meningkatnya angka kematian bayi baru lahir dan BBLR,
dengan riwayat si Ibu ketergantungan obat.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak
disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga
kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di
rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu
dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).

B.       Rumusan Masalah
1.         Bagaimana pengaruh zat adiktif pada ibu hamil :
a.    Apa pengertian ketergantungan obat ?
b.    Sebutkan Jenis – jenis zat adaktif ?
c.    Bagaimana proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan obat ?
2.         Bagaimana dampak yang terjadi pada janin yang terlahir dari seorang ibu yang dipengaruhui
obat:
 Menganalisis dan efek samping pada Ibu dan Janin ?
3.         Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat pada kasus ibu hamil dengan
ketergantungan ?

C.      Tujuan Masalah
1.         Mengetahui pengaruh zat adiktif pada ibu hamil.
a.    Pengertian ketergantungan obat
b.    Jenis – jenis zat adaktif
c.    Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan obat
2.         Mengetahui dampak yang terjadi pada janin yang terlahir dari seorang ibu yang
dipengaruhui obat.
 Analisis dan efek samping pada Ibu dan Janin.
3.         Mengetahui asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat pada kasus ibu hamil dengan
ketergantungan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengaruh Zat Adaktif Pada Ibu Hamil


1.         Pengertian ketergantungan obat
Ketergantungan obat adalah kebutuhan secara psikologis terhadap suatu obat dalam
jumlah yang makin lama makin bertambah besar untuk menghasilkan efek yang diharapkan.
Menurut WHO merupakan gabungan berbagai bentuk penyalahgunaan obat dan
didefenisiskan sebagai suatu keadaan psikis maupun fisik yang terjadi karena interaksi suatu
obat dengan organisme hidup. Hal ini termasuk reaksi perilaku dan selalu terpaksa
menggunakan obat secara periodik untuk mengalami efekpsikis dan mencegah efek yang
tidak enak karena kehilangan obat tersebut.

2.         Jenis-jenis zat adiktif


a.         Sedativa
Golongan yang paling sering digunakan adalah benzodiazepin dan barbiturat serta
metabolitnya dapat melalui plasenta. Kadarnya sama dengan kadar dalam darah ibu selama 5-
10 menit setelah pemberian intravena. Kadar pada neonatus lebih besar 1-3 kali dibandingkan
dalam serum ibu. Pemakaian dengan dosis 30-40 mg perhari dalam waktu lama akan
menyebabkan komplikasi pada bayi baru lahir. Terdapat 2 sindroma mayor komplikasi janin
akibat penggunaan diazepam :
1.              Floopy infant syndrome: terdiri atas hipotonia, letargi, kesulitan mengisap.
2.              Withdrawal syndrome: terdiri atas pertumbuhan janin terhambat, tremor, iritabilitas,
hipertonus, diare, muntah, menghisap dengan kuat.
b.         Heroin
Mempunyai kemampuan menstimulasi sejumlah reseptor spesifik pada susunan saraf
pusat. Reseptor mu (bertanggung jawab pada tingkat supraspinal yang menyebabkan
analgesia, euforia,depresi pernafasan, dan ketergantungan fisik), reseptor kappa (bekerja pada
spinal dan menyebabkan miosis dan sedasi) dan reseptor sigma (efek perangsangan jantung,
disforia, dan halusinogenik).
c.         Kokain
Kokain adalah obat vasoaktif dan dapat menyebabkan masalah pada bayi secara
sekunder karena kerusakan plasenta atau melalui efek langsung pada pembuluh darah janin.
Ada 2 jenis kokain : murni berupa serbuk putih dan yang telah dicampur dengan soda kue/
sodium karbonat kemudian direbus sampai airnya menguap dan tinggal kerak cokelat jenis ini
lebih adiktif dan berbahaya. Kokain dengan cepat diabsorpsi dan masuk dalam darah serta
menghasilkan efek dalam 6-8 menit. Adiksi kokain mengganggu psikologik, dan sulit diobati.
Kokain diabsorbsi dengan cepat pada semua membran mukosa dan menghambat reuptake
presinaps dari katekolaminpada neuron terminal. Akumulasi ini menyebabkan peningkatan
tonus simpatis dan vasokontriksi serta menimbulkan euforia, peningkatan denyut jantung,
hiperglikemia, hiperpireksia, dan midridiasis. Vasokontriksi koroner akan mengakibatkan
spasme, angina pektoris, infark miokard akut, aritmia jantung , dan bahkan kematian
mendadak. Dapat pula terjadi perdarahan subarakhnoid bila sebelumnya ada stroke
hemoragik, dan nekrosis usus.
Komplikasi maternal dapat berupa hipertensi maligna , iskemia jantung, infark miokard
bahkan kematian. Bayi pemakaian kokain dengan berat badan lahir rendah beresiko
mengalami perdarahan intraventrikuler dan keterlambatan penanganan. Ibu hamil pengguna
kokain beresiko terjadi  terjadi ketuban pecah dini 20%, pertumbuhan janin terhambat 25-
30%, persalinan kurang bulan 25%, perawatan mekonium dalam air ketuban 20% dan solusio
plasenta 6-10%.
d.        Alkohol
Fetal alcohol syndrome = FAS untuk menggambarkan gejala yang berhubungan dengan
pemekaian alkohol yang berat berupa: defisiensi pertumbuhan pre dan postnatal, gangguan
sistem saraf pusat yangberpengaruh terhadap kecerdasan dan perilak, muka yang khas
ditandai dengan posisi telinga yang rendah dan tidak paralel, philtrum yang khas yang
ditandai  pendek dan datar, muka yang panjang, kepala kecil, hidung pendek, malformasi
organ terutama pada jantung berupa defek septum, dapat pula terjadi hipoplasia ginjal,
divertikulum buli-buli, dan gangguan traktus urogenitalis yang lain, serta deformitas anggota
gerak.
Jenis Dan Kadar Minuman Beralkohol:
 Bir
Merupakan hasil fermentasi karbohidrat yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
Mengandung alkohol sebesar 3-6%.
 Wine
Dihasilkan dari fermentasi sari buah anggur. Sari buah lain yang juga bisa digunakan
adalah buah pir, apel, beri dan bunga dandelions. Mengandung alkohol sebesar 10-14%.
 Liquor
Minuman beralkohol yang dibuat dengan proses penyulingan lalu digabungkan dengan
aroma dan cita rasa lain seperti jeruk. Biasanya mengandung gula dan alkohol 30-35%.
 Vodka
Dikenal sebagai minuman tradisional Rusia. Biasanya merupakan hasil penyulingan dari
fermentasi bubur gandum. Mengandung 40% alkohol.
 Rum
Dihasilkan dari penyulingan berbagai produk fermentasi gula tebu. Umumnya yang
dicampur untuk pembuatan rum adalah sirup gula dan air. Kadar alkoholnya 40-75%.
 Gin
Merupakan hasil penyulingan dari fermentasi biji-bijian. Biasanya cita rasa didapat
dengan mencampurkan juniper berries (sejenis buah beri). Memiliki kadar alkohol 40-45%.
 Brandy
Minuman beralkohol ini dihasilkan dari penyulingan wine dari anggur. Kandungan
alkoholnya adalah 40-50%.
 Wiski
Sejenis liquor yang merupakan hasil penyulingan dari bubur biji-bijian. Kadar alkoholnya
40-50%.
e.         Metamfetamin
Metabolit aktif metamfetamin ialah: amfetamin, suatu stimulan SSP bentuk bubuk
metamfetamin dikenal sebagai “ SPEED” dan “METH”. Angka melahirkan bayi prematur
dan memiliki neonatus yang mengalami retardasi pertumbuhan intrauterin dal lingkar kepala
yang kecil , lebih tinggi dibandingkan kelompok wanita yang tidak menggunakan obat
(oro,dikson 1987) pola perilaku neonatus berubah ditandai dengan perilaku tidur yang
abnormal, perilaku minum yang buruk, tremor dan hipertonia. Gejala putus obat dapat diatasi
dengan fenobarbital atau tingtur alkohol opium (paregoric).
f.          Mariyuana
Mariyuana merupakan obat terlarang yang paling umum digunakan selama masa hamil,
dapat dihisap dalam rokok, pipa, pipa air, atau dicampur kedalam makanan.obat ini
menimbulkan keracunan  (intosikasi) dan sensori “tinggi (melayang). Mariyuana dengan
mudah dapat menembus plasenta dan dapat meningkatkan kadar monoksida dalam darah ibu,
yang dapat menurunkan oksigen dalam darah janin.
g.         Fenisiklidin
Fenisiklidin adalah obat sintesis yang dikenal dengan berbagai nama (peace pil, angle
dust, hog). Beberapa efeknya menyerupai skizofrenia, para penggunanya dapat dimasukan
keunit psikiatri. PCP cenderung digunakan dalam berbagai kombinasi alkohol, kokain dan
mariyuana, efek khusus pada kehamilan, janin dan neonatus belum di identifikasi.
h.         Tembakau
Hampir semua komplikasi pada plasenta dapat ditimbulkan oleh rokok meliputi abortus,
solusio plasenta, insufisiensi plasenta, berat badan lahir rendah, dan plasenta previa. Hal ini
akan meningkatkan kematian neonatus dan sindroma kematian kematian bayi mendadak.
Perempuan yang merokok  kehamilan trisemester keua dan tiga mempunyai resiko yang sama
bila merokok selama kehamilan. Bayi yang lahir dari seorang perokok bukan hanya
mempunyai BBLR, tetapi juga ukuran panjang tubuh, kepala dan dada yang lebih kecil, pH
tali pusat yang rendah dan menunjukan lebih banyak kelainan pada pemeriksaan neurologik.

3.         Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan obat


Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat memfokuskan pada
zat yang sering disalah gunakan individu yaitu: opiat, amfetamin, canabis dan alkohol.
1)        Rentang Respons Kimiawi
Perlu diingat bahwa pada rentang respons tidak semua individu yang menggunakan zat
akan menjadi penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hanya individu yang menggunakan
zat berlebihan dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan zat.
Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai
setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering
dianggap sebagai penyakit. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat.
Toleransi berarti bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang
diharapkan.
2)        Faktor penyebab.
Faktor penyebab pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA
meliputi :
a.         Faktor biologic
  Kecenderungan keluarga, terutama penyalahgunaan alcohol.
  Perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman.
b.        Faktor psikologik
  Tipe kepribadian ketergantungan.
  Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan penganiayaan waktu masa kanak kanak.
  Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan.
  Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit.
  Sifat keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya diri,
tidak mampu memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi.
c.         Faktor sosiokultural
  Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat.
  Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai zat seperti tembakau,
alkohol dan mariyuana.
  Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural.
  Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan kesempatan.

B.       Dampak yang terjadi pada janin yang terlahir dari seorang ibu yang di pengaruhi obat
 Analisis dan Efek Samping Pada Ibu dan Janin
a.    Sedativa-Hipnotika
Dalam dunia kedokteran, zat adiktif sedative-hipnotika digunakan sebagai zat penenang
yang dikenal juga dengan sebutan pil BK dan magadon.
Pemakaian sedative-hipkotiva dalam dosis kecil menenangkan. Sedangkan dalam dosis besar
menidurkan. Tanda-tanda gejala pemakaiannya yaitu mula-mula gelisah, mengamuk lalu
mengantuk, malasi daya pikir, menurun, bicara dan tindakan lambat.
Tanda-tanda gejala putus obat, yaitu gelisah, sukar tidur, gemetar, muntah, berkeringat,
denyut nadi cepat, tekanan darah naik dan kejang-kejang.
b.   Heroin
Segera setelah penyuntikan (atau inhalasi), heroin melintasi penghalang darah-otak.
Dalam otak, heroin dikonversi menjadi morfin dan cepat mengikat pada reseptor opioid.
Pelaku biasanya mengalami perasaan gelombang dan sensasi menyenangkan, serta tergesa-
gesa. Intensitas terburu-buru adalah fungsi dari berapa banyak obat yang diambil dan
seberapa cepat obat tersebut memasuki otak dan mengikat ke reseptor opioid alami.
Efek jangka pendek heroin :
         Tergesa-gesa “rush”
         Respirasi Tertekan
        Mendung fungsi mental

        Mual dan muntah

        Penindasan sakit

        Aborsi spontan

Heroin sangat adiktif karena memasuki otak begitu cepat. Dengan heroin, terburu-buru
biasanya disertai dengan pembilasan hangat dari kulit, mulut kering, dan terasa berat di kaki,
yang mungkin disertai mual, muntah, dan gatal-gatal parah.
Setelah efek awal, pelaku biasanya akan mengantuk selama beberapa jam. Mental fungsi
mendung oleh efek heroin pada sistem saraf pusat fungsi jantung lambat. Pernapasan juga
sangat lambat, kadang-kadang hampir mati. Overdosis heroin merupakan risiko khusus di
jalan, di mana jumlah dan kemurnian obat tidak dapat diketahui secara akurat.
Efek jangka panjang heroin :
        Addiction (Kecanduan)

        Penyakit infeksi, seperti  HIV/AIDS - hepatitis B & C

        Infeksi bakteri

        Abses

        Infeksi pada lapisan jantung dan katup.

        Arthritis dan masalah rematik lainnya

Penyalahgunaan heroin pada ibu hamil dapat menyebabkan komplikasi serius selama
kehamilan, termasuk pengiriman keguguran dan premature Anak-anak yang lahir dari ibu
kecanduan beresiko besar SIDS (sindrom kematian bayi mendadak). Wanita hamil tidak
boleh didetoksifikasi dari opiat karena peningkatan risiko abortus spontan atau kelahiran
prematur, melainkan, pengobatan dengan metadon sangat disarankan. Meskipun bayi yang
lahir dari ibu yg ketergantungan metadon dapat menunjukkan tanda-tanda ketergantungan
fisik, mereka dapat diobati dengan mudah. Penelitian juga menunjukkan bahwa efek dalam
paparan rahim untuk metadon relatif jinak.
c.    Kokain
Efek kokain, sama dengan amfetamin disertai stimulasi SSP jangka pendek. Ada
hambatan dalam ambilan ulang katekolamin, yang mengakibatkan kadar norepinefrin,
serotonin, dan domain tinggi. Hal ini mengakibatkan penyalahguna kokain terjaga berlebihan.
Kokain meningkatkan kadar norepinefrin dan serotonin dengan cepat dan menurunkan kadar
kedua zat tersebut dengan tiba-tiba.
Sistem biokimia norepinefrin, serotonin, dan dopamin memainkan peran utama mengatur
mood dan kesehatan mental.
d.   Alkohol
Alkohol atau etanol bersifat larut dalam air sehingga akan benar-benar mencapai setiap
sel setelah dikonsumsi. Alkohol yang dikonsumsi akan diserap masuk melalui saluran
pernafasan. Penyerapan terjadi setelah alkohol masuk kedalam lambung dan diserap oleh
usus kecil. Hanya 5-15% yang diekskresikan secara langsung melalui paru-paru, keringat dan
urin. Pernah dibuktikan bagaimana cepat dan mudahnya alkohol diserap oleh tubuh manusia.
Alkohol sangat mudah terdistribusi masuk ke dalam saluran darah janin melalui darah
ibunya dan dapat merusak sel-sel pada janin. Sel-sel utama yang menjadi target kerusakan
adalah pada otak dan medula spinalis.  Fetal alcohol syndrome (FAS)menggambarkan
rentang efek alkohol terhadap janin hingga bayi yang dilahirkan mengalami kelainan fisik
dan mental. Efeknya bervariasi dari ringan sampai sedang. Beberapa efek alkohol terhadap
janin antara lain adalah :
 Bentuk wajah yang ganjil. Bayi mungkin akan memiliki kepala kecil, dengan muka datar, dan
mata yang hanya bisa membuka sedikit. Dan keadaan ini makin kelihatan nyata ketika anak
berusia 2-3 tahun.
 Gangguan pertumbuhan. Anak yang terpapar alkohol saat masih dalam kandungan akan
tumbuh lebih lambat daripada anak yang normal.
 Masalah belajar dan perilaku. Hal ini karena alcohol juga akan mempengaruhi fungsi otak
anak.
 Cacat lahir. Selain dengan bentuk wajah ganjil, bayi mungkin akan mengalami kecacatan pada
berbagai bagian tubuh.
Biasanya, bayi akan lahir dengan bentuk otot tubuh dan kepala yang terlalu kecil. Selain
itu, bayi yang dikandung kemungkinan besar juga akan mengalami gangguan pada
pendengaran, penglihatan, dan juga masalah kecanduan alkohol serta gangguan pada
pelakunya.
e.    Marijuana
Komponen aktifnya adalah delta-9-tetrahidrokannabinol, dimetabolisme di hepar, 2
minggu setelah pemakaian masih dapat dideteksi dalam urin. Bila dihisap kurang dari 2jam,
sedang penggunaan oral efeknya mencapai 30-120 menit dan berakhir 5-7 jam.
Risiko maternal : mempunyai efek karsinogenik lebih kuat, menimbulkan inflamasi paru
yang luas, menghambat produksi makrofag paru.
Risiko perinatal : lipatan epiknatal lebih berat,hipertelorisme, pertumbuhan janin
terhambat,partus prematurus,partus presipitatus, risiko menunjang waktu persalinan serta
partus macet, komplikasi dalam air ketuban.
f.     Fenisiklidin (PCP)
Setelah digunakan, PCP mengendap di otak dan lemak tubuh selama waktu yang lama.
Obat ini dapat menembus plasenta dan cenderung ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi
dalam jaringan janin dari pada dalam jaringan maternal.
g.    Tembakau
Nikotin menyebabkan pembuluh darah plasenta vasokontriksi dan karbon monoksida
menonaktifkan Hb maternal dan janin, yang penting untuk mentranspor oksigen ke janin.
Paparan asap tembakau pada ibu hamil dapat mengakibatkan terganggunya
perkembangan janin dan pertumbuhan bayi serta katian pada bayi baru lahir. Namun, yang
paling menonjol adalah kelahiran bayi premature dan BBLR. Masalah pernafasan dan
sindrom kematian mendadak bayi juga umum terjadi.

D.      Asuhan keperawatan yang diberikan oleh perawat pada kasus ibu hamil dengan
ketergantungan obat.
1.    Pengkajian
Prinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang
psikiatri atau sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada
kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang
dilakukan meliputi :
a.       Perilaku
b.      Faktor penyebab dan faktor pencetus
c.       Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi:
         penyangkalan (denial) terhadap masalah
         rasionalisasi
         memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya
         mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya
d.      Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien
2.    Diagnosa Keperawatan
a.         Resiko tinggi kurang volume cairan dan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan: efek penggunaan obat-obatan psikoaktif.
b.         Resiko tinggi cedera terhadap diri sendiri, janin, atau bayi baru lahir yang berhubungan
dengan efek sensori obat.
c.         Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan gaya hidup dehidrasi dan malnutrisi metode
pemberian obat / efek obat.
d.        Kurang perawatan diri, mandi, higyene yang berhubungan dengan efek zat.
e.         Penyangkalan (denial) yang berhubungan dengan kurang pemahaman tentang proses
penyakit, efek obat psikoaltif pada janin yang bertumbuh dan kehamilan.
f.          Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan sistem pendukung yang kurang,
harga diri rendah, tidak adanya mekanisme sehat untuk mengenali dan mengungkapkan
kemarahan.
g.         Resiko tinggi kekerasan berhubungan dengan mempertahankan kebiasaan  menggunakan
obat, efek zat yang digunakan.
3.    Intervensi
  Dx: Resiko tinggi cedera terhadap diri sendiri, janin, atau bayi baru lahir yang berhubungan
dengan efek sensori obat.
  Hasil yang diharapkan:
 Persalinan pasien yang prematur akan disupresi
  Intervensi:
 Memantau terapi tokolisis melalui IV.
 Memantau status ibu dan janin akibat pemberian terapi
 Menganjurkan bumil untuk mengambil keputusan melakukan tirah baring, dan menjaga
kebersihan.
 Menyiapkan kepulangan pasien : memberi penyuluhan tentang pemberian obat oral dan cara
mengenali tanda persalinan prematur, apa dan bagaimana melaporkannya: sumber orang yang
dapat dihubungi saat diperlukan.
  Rasional:
 Pemantauan ketat penting untuk menentukan keefektifan dan megenali tanda dini toksisitas.
 Menunjukan penghargaan terhadap kemampuan pasien mengambil keputusan sehingga ia
akan merasa lebih kuat.
 Pengetahuan memberikan dasar dalam mengambil keputusan : merupakan proses yang
membantu dalam mengembangkan  keterampilan koping yang baru; kepercayaan perawat
dapat membantu pasien dalam mengembangkan harga diri, yang bisa membantu pasien
melewati sisi hidupnya yang lain.
  Evaluasi:
 Persalinan prematur disupresi tanpa terjadi toksisitas.
 Pasien mampu mematuhi tirah baring.
 Pasien minum obat oral sesuai instruksi, persalinan pre term tidak terjadi.

  Dx: Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan sistem pendukung yang kurang.
  Hasil yang diharapkan:
 Pasien akan mengungkan sikap positif terhadap dirinya.
 Pasien akan meneruskan kehamilannya sampai cukup bulan tanpa menggunakan kokain.
  Intervensi:
 Mendorong klien untuk mengenali kekuatan dirinya.
 Membantu mengembangkan strategi penyelesaian masalah.
 Menggali sumber untuk mengurangi penggunaan zat.
  Rasional:
 Mengurangi ketergantungan pada dominasi teman sebay ayang tidak tepat.
 Mendorong keterlibatan klien dalam rencana perawatan dan pelaksanaan aktivitas.
  Evaluasi:
 Klien mampu menggunakan pernyataan positif “saya” .
 Klien membantu mengembangkan rencana perawatan yang tepat untuk kelahiran aterm.
 Klien hadri dalam progam rehabilitasi, mendiskusikan masalah dengan perawat di klinik/
perawat kesehatan masyarakat, dan tetap bebas dari obat selama sisa masa hamilnya.
  Dx : nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan: efek penggunaan obat-
obatan psikoaktif.
  Hasil yang diharapkan:
 Ibu dan janin akan mempertahankan nutrisi yang ade kuat.
  Intervensi:
 Memberi si Ibu konsultasi tentang konsultasi wanita hamil dan janin.
 Bersama-sama mengembangkan rencana makan yang meliputi jadwal, lingkungan, dan jenis
makanan yang disukai/ tidak disukai.
  Rasional :
 Klien kurang memahami kebutuhan nutrisi selama hamil.
 Penyalahguna zat sering sekali lupa makan / lupa makanan kesukaannya.
  Evaluasi:
 Status nutrisi pasien dan asupan makanannya sesuai denagn kehamilannya trimester ketiga.
 Pasien menjalankan rencana makan dan memasukan makanan kesukaan dalam pilihan
makanan.

BAB IV
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada
akhir-akhir ini makin marak. Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang
memakai zat tergolong kelompok NAPZA tersebut, tidak terkecuali pada ibu hamil.
Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya
pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk
mendapatkannya. Kurangnya pengetahuan masyarakat khususnya ibu hamil, dalam
penggunaan NAPZA tersebut juga berakibat fatal terhadap si janin (calon bayi). Hal ini
terlihat jelas dengan semakin meningkatnya angka kematian bayi baru lahir dan BBLR,
dengan riwayat si Ibu ketergantungan obat.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak
disadari, kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga
kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di
rumah sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu
dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan
ketergantungan NAPZA (sindrom putus zat).

B.       Saran
Penulis harapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca semua untuk ilmu yang
lebih membangun. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang positif dari
pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Carpenitto, I.JBuku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 6, EGC, Jakarta: 1995


Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3,  EGC: 1995
Bobak, Lowdermig, Jensen. Buku Keperawatan Maternitas Edisi 4, EGC, Jakarta : 2004
http://www.saskschools.ca/~psychportal/Psych30/Ejournal-
Prenatal/influences_on_prenatal.htm
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15734273
http://teratogenmarijuana.pbworks.com/
hamil dengan ketergantungan obat
Ketergantungan Obat & Ketagihan

 
Unintended Pregnancy in Opioid-abusing Women
Sarah H. Heil, Ph.D,1 Hendree E. Jones, Ph.D,2 Amelia Arria, Ph.D,3 Karol Kaltenbach, Ph.D,4 Mara Coyle,
M.D,5Gabriele Fischer, M.D,6 Susan Stine, M.D., Ph.D,7 Peter Selby, M.D,8 and Peter R. Martin, M.D9

Author information ► Copyright and License information ►

The publisher's final edited version of this article is available at J Subst Abuse Treat

See other articles in PMC that cite the published article.

Abstract
Go to:

1. Introduction

Licit and illicit opioid dependence during pregnancy is often complicated by a multitude of
other factors, including low socioeconomic status, poor nutrition, lack of prenatal care, family
instability, interpersonal violence, homelessness, psychological problems, and other drug use
(Center for Substance Abuse Treatment, 1993). In the perinatal period, these intertwined
factors can contribute to a number of adverse maternal and infant outcomes including, but not
limited to, premature delivery, low birth weight, and neonatal abstinence syndrome
(see Kaltenbach et al., 1998 for a review). In the longer term, bearing a child in such
disadvantaged circumstances has been shown to significantly diminish the future wellbeing
of both the mother and the child (Graham 2007, 2009; Mishel et al., 2009).

Further compounding these difficult circumstances, opioid-dependent women become


pregnant more often than women in the general population. In a seminal study of the
reproductive health of opioid-dependent women, 54% reported having 4 or more pregnancies
in their lifetime compared to 14% of a nationally representative sample of US women
(Armstrong et al., 1999). These authors also observed that almost 5 times as many opioid-
dependent women reported ever having an abortion compared to women in the national
sample (57% vs. 12%), suggesting that many pregnancies among opioid-dependent women
were not intended.

To our knowledge, there is just one small study estimating unintended pregnancy among
opioid-dependent women. The results of this study indicated that 67% (24/36) of pregnant
women enrolled in a New York City methadone maintenance program reported they did not
plan the pregnancy (Selwyn et al., 1989). As a first step toward developing interventions to
reduce unintended pregnancy among opioid-dependent women, the present study sought to
estimate the prevalence of unintended pregnancy and its three subtypes (mistimed, unwanted,
and ambivalent) in a much larger sample of pregnant women reporting opioid abuse.

Go to:

2. Methods
2.1. Participants

Data were obtained from 946 opioid-abusing pregnant women screened for potential
enrollment in the MOTHER (Maternal Opioid Treatment: Human Experimental Research)
trial. This multi-site trial, performed at eight diverse U.S. and international clinical sites and
settings, was designed to compare the safety and efficacy of methadone and buprenorphine
for the treatment of opioid-dependence during pregnancy (Jones et al., 2008).

2.2. Screening Assessment

Participants who provided informed consent were screened for eligibility either at the time of
treatment entry or at the time they considered a change from their established drug treatment
program. Interviews were conducted with all potential participants to determine eligibility for
the study; at some sites, some information was collected by chart review prior to the
interview. Demographic information collected included age, education level, race, and
marital status. Drug use and treatment variables assessed included frequency of current
opioid and cocaine use and the number and type of prior treatment episodes.

Pregnancy intention of the current pregnancy was assessed by the question “When did you
intend to become pregnant?” Response options were “sooner”, “now”, “later”, “never”, and
“don’t know/unsure”. Women who responded that they intended to become pregnant
“sooner” or “now” were classified as having intended pregnancies. Women who responded
“later” were classified a having mistimed pregnancies. Women who responded “never” were
classified as having unwanted pregnancies. Women who responded “don’t know/unsure”
were classified as having ambivalent pregnancies (Mohlajee et al., 2007).

2.3. Data Analyses

Two types of analyses were performed to examine between-group differences. First, analyses
examined demographic differences between women with intended pregnancies and women
with unintended pregnancies. Statistically significant differences in continuous and
dichotomous variables were evaluated using t-tests, and z-tests, respectively. Second,
differences between groups on drug use and other factors were evaluated using logistic
regression models in which each variable of interest was entered separately into a logit model
controlling for age, race and site location.

Go to:

3. Results

3.1. Pregnancy Intentions

Of 946 opioid-abusing women screened, 129 (14%) reported having intended pregnancies
and 817 (86%) reported having unintended pregnancies. As a percentage of all pregnancies,
323 (34%) were mistimed, 252 (27%) were unwanted, and 242 (26%) were ambivalent
pregnancies.
3.2. Pregnancy Intention and Maternal Demographic Characteristics and Drug Use

No significant differences were observed on the 5 maternal demographic characteristics


compared between women with intended vs. unintended pregnancies (top of Table 1).
Regarding the subtypes of unintended pregnancy, women with mistimed pregnancies were
significantly younger compared to women with intended pregnancies (t(450) = 2.1, p < 0.05).
Women with unwanted pregnancies were significantly older (t(379) = 4.8, p < 0.001) and less
likely to be White (t(378) = 2.9, p < 0.01) compared to women with intended pregnancies.
Women with ambivalent pregnancies were significantly older (t(368) = 3.3, p = 0.001), less
likely to be White (t(366) = 2.7, p < 0.01) and employed (t(354) = 2.8, p < 0.01) compared to
women with intended pregnancies.

Table 1

Maternal Demographic Characteristics and Drug Use by Pregnancy Intention

Regarding maternal drug use, women with unintended pregnancies were more likely to have
used cocaine in the 30 days prior to screening compared to women with intended pregnancies
(adjusted odds ratio = 1.6, p < 0.05). Regarding the subtypes of unintended pregnancy,
women with mistimed pregnancies were less likely to have used cocaine in the past 30 days
compared to women with intended pregnancies (adjusted odds ratio = 1.8, p < 0.05). Women
with ambivalent pregnancies were more likely to report prior medication-assisted treatment
compared to women with intended pregnancies (adjusted odds ratio = 0.5, p < 0.05). [Table
1about here]

Go to:

4. Discussion

Unintended pregnancy was highly prevalent in this sample; nearly 9 of every 10 women
screened reported that the current pregnancy was unintended. This rate is 2–3 times the rate
observed in the general population (Chandra et al., 2005; Mohllajee et al., 2007; Williams et
al., 2006). In addition, the occurrence of unintended pregnancy in the current sample was
nearly 20% higher than previous estimates in pregnant women with opioid problems (Selwyn
et al., 1989).

To our knowledge, this is the first report of the rates of the three subtypes of unintended
pregnancy in opioid-abusing pregnant women. The percentage of women reporting mistimed,
unwanted or ambivalent pregnancies in the present sample were fairly comparable, with each
representing about one-third of the total sample. The percentage of women reporting an
unwanted pregnancy was nearly 3 times higher in the present study compared to the general
population and the percentage of women reporting ambivalence, more than 4 times higher
(Mohllajee et al., 2007). These figures dramatically underscore the need to develop
interventions to bring contraceptive use in line with conception desires among opioid-abusing
women.

Although there were few differences between women with intended vs. unintended
pregnancies, more differences emerged when women with unintended pregnancies were
disaggregated into the three subtypes of unintended pregnancy and compared to women with
intended pregnancies. Consistent with the literature on pregnancy intention in the general
population, women with mistimed pregnancies were younger (D’Angelo et al.,
2004; Mohlajee et al., 2007). A lower percentage of these women also reported recent
cocaine use compared to women with intended pregnancies. In studies of the general
population, women with mistimed pregnancies report more smoking, but less drinking
compared to women with intended pregnancies (D’Angelo et al., 2004; Mohlajee et al.,
2007), suggesting some variability in drug use among women with mistimed pregnancies.

Consistent with the literature in the general population, women with unwanted and
ambivalent pregnancies were older and less likely to be White compared to women with
intended pregnancies (D’Angelo et al., 2004; Mohlajee et al, 2007). Women with ambivalent
pregnancies were also more likely to be unemployed and a higher percentage reported prior
medication-assisted treatment. Overall, the greatest number of differences was observed
between women with ambivalent vs. intended pregnancies. This is in contrast to the general
population literature, where women with ambivalent pregnancies tend to be most similar to
women with intended pregnancies in terms of demographic characteristics as well as maternal
and infant outcomes (Mohlajee et al., 2007). Additional studies will be needed to replicate
this pattern of results and to determine the implications of such differences.

Although there were no differences as a function of pregnancy intention on this variable, it is


notable that more than 90% of the total sample had a history of prior drug treatment,
averaging more than 3 episodes. These data suggest that drug abuse treatment programs may
be an important setting for interventions to reduce the very high rate of unintended pregnancy
in this population. In the late 1980’s, the Centers for Disease Control funded several
demonstration projects designed to improve access to reproductive health services for women
at high risk of unintended pregnancy and HIV infection, including women with substance use
disorders (see Armstrong et al., 1999). One strategy for doing so involved integrating free
family planning services into drug treatment programs. The limited results reported from
these projects suggests that women who received family planning services, including
inexpensive referral services, in their drug treatment program were more likely to be using
contraception at follow-up than women who didn’t (CDC, 1995). These findings suggest that
this is a promising model that should be further developed and rigorously tested as part of
efforts to reduce unintended pregnancy among drug-abusing women.
The present study has notable strengths. The data were systematically collected across eight
diverse U.S. and international clinical sites and settings and represent the largest dataset to
date on the topic of pregnancy intention in pregnant women with substance use disorders.
The study also has limitations. The format of the pregnancy intention question differed from
the format used in national surveys (e.g., the National Survey on Family Growth, Pregnancy
Risk Assessment Monitoring System) and has not been formally validated in women with
substance use disorders. Also, it is possible that women who were screened for potential
study participation may not be representative of the larger population of opioid-dependent
women. Nevertheless, the results of the present study clearly document the extremely high
rate of unintended pregnancy among a large sample of opioid-abusing women and underscore
the need for a greater scientific attention to this serious problem.

Go to:

Acknowledgments

Funding for this study was provided by NIDA research grants RO1 DA 015738, 015741,
015764, 015778, 015832, 017513, 018410, and 018417. We thank Laura Garnier for
assistance with statistical analyses.

Go to:

Footnotes
Publisher's Disclaimer: This is a PDF file of an unedited manuscript that has been accepted for
publication. As a service to our customers we are providing this early version of the manuscript. The
manuscript will undergo copyediting, typesetting, and review of the resulting proof before it is published in
its final citable form. Please note that during the production process errors may be discovered which could
affect the content, and all legal disclaimers that apply to the journal pertain.

Go to:

References

1. Armstrong KA, Kennedy MG, Kline A, Tunstall C. Reproductive health needs: comparing
women at high, drug-related risk of HIV with a national sample. Journal of the American
Medical Women’s Association. 1999;54:65–70. [PubMed]
2. Centers for Disease Control. What we have learned … 1990–1995. Retrieved
fromhttp://www.cdc.gov/std/research/older/wwhl-1990-1995/learn0.htm.
3. Center for Substance Abuse Treatment. Treatment Improvement Protocol (TIP) Series
5. Rockville, MD: Substance Abuse and Mental Health Services Administration; 1993.
Improving treatment for drug-exposed infants.
4. Chandra A, Martinez GM, Mosher WD, Abma JC, Jones J. Fertility, family planning, and
reproductive health of U.S. women: Data from the 2002 National Survey of Family
Growth. Vital and Health Statistics. 2005:1–160. [PubMed]
5. D’Angelo DV, Gilbert BC, Rochat RW, Santelli JS, Herold JM. Differences between mistimed
and unwanted pregnancies among women who have live births. Perspectives on Sexual and
Reproductive Health. 2004;36:192–197. [PubMed]
6. Graham H. Unequal lives: health and socioeconomic inequalities. Berkshire, England: Open
University Press; 2007.
7. Graham H. Women and smoking: Understanding socioeconomic influences. Drug and
Alcohol Dependence. 2009;104(Suppl 1):S11–16. [PubMed]
8. Jones HE, Martin PR, Heil SH, Kaltenbach K, Selby P, Coyle MG, Stine SM, O’Grady KE, Arria
AM, Fischer G. Treatment of opioid dependent pregnant women: Clinical and research
issues. Journal of Substance Abuse Treatment. 2008;35:245–259. [PMC free
article] [PubMed]
9. Kaltenbach K, Berghella V, Finnegan L. Opioid dependence during pregnancy. Effects and
management. Obstetrics and Gynecology Clinics of North America. 1998;25:139–
151. [PubMed]
10. Mishel Ll, Berstein J, Shierholz H. The state of working America, 2008/2009. Ithaca, NY: ILR
Press; 2009.
11. Mohllajee AP, Curtis KM, Morrow B, Marchbanks PA. Pregnancy intention and its
relationship to birth and maternal outcomes. Obstetrics and Gynecology. 2007;109:678–
686. [PubMed]
12. Selwyn PA, Carter RJ, Schoenbaum EE, Robertson J, Klein RS, Rogers MF. Knowledge of HIV
antibody status and decisions to continue or terminate pregnancy among intravenous drug
users.JAMA. 1989;261:3567–2571. [PubMed]
13. Williams L, Morrow B, Shulman H, Stephens R, D’Angelo D, Fowler CI. PRAMS 2002
Surveillance Report. Retrieved
from http://www.cdc.gov/PRAMS/2002PRAMSSurvReport/Index.htm.
DEFINISI
Ketagihan adalah perbuatan kompulsif (yang terpaksa
dilakukan) dan keterlibatan yang berlebihan terhadap suatu
kegiatan tertentu. 
Kegiatan ini bisa berupa pertaruhan (judi) atau berupa
penggunaan berbagai zat, seperti obat-obatan. 
Obat-obatan dapat menyebabkan ketergantungan psikis saja
atau ketergantungan psikis dan fisik. 

Ketergantungan psikis merupakan suatu keinginan untuk


terus meminum suatu obat untuk menimbulkan rasa senang
atau untuk mengurangi ketegangan dan menghindari
ketidaknyamanan. 
Obat-obatan yang menyebabkan ketergantungan psikis
biasanya bekerja di otak dan memiliki satu atau lebih dari
efek berikut ini : 
- mengurangi kecemasan dan ketegangan 
- menyebabkan kegembiraan, euforia (perasaan senang yang
berlebihan) atau perubahan emosi yang menyenangkan
lainnya 
- menyebabkan perasaan meningkatnya kemampuan jiwa
dan fisik 
- merubah persepsi fisik. 

Ketergantungan psikis dapat menjadi sangat kuat dan sulit


untuk diatasi. 
Hal ini terjadi terutama pada obat-obatan yang merubah
emosi dan sensasi, yang mempengaruhi sistim saraf pusat. 

Untuk para pecandu, aktivitas yang berhubungan dengan


obat menjadi bagian yang penting dalam kehidupannya
sehari-hari, sehingga suatu bentuk ketagihan biasanya
mempengaruhi kemampuan bekerjanya, proses belajarnya
atau mempengaruhi hubungannya dengan keluarga dan
teman. 
Pada ketergantungan yang berat, sebagian besar fikiran dan
aktivitas pecandu, tertuju pada bagaimana memperoleh dan
menggunakan obat. 
Seorang pecandu dapat menipu, berbohong dan mencuri
untuk bisa memuaskan ketagihannya. 
Pecandu memiliki kesulitan untuk berhenti menggunakan
obat dan seringkali kembali kepada kebiasaannya setelah
beberapa saat berhenti. 

Beberapa obat-obatan menyebabkan ketergantungan fisik,


namun ketergantungan fisik tidak selalu menyertai
ketergantungan psikis. 
Pada obat-obat yang menyebabkan ketergantungan fisik,
tubuh menyesuaikan diri terhadap obat yang dipakai secara
terus menerus dan menyebabkan timbulnya toleransi;
sedangkan jika pemakaiannya dihentikan, akan timbul gejala
putus obat. 
Toleransi adalah kebutuhan untuk meningkatkan secara
progresif dosis obat untuk menghasilkan efek yang biasanya
dapat dicapai dengan dosis yang lebih kecil. 

Gejala putus obat terjadi jika pemakaian obat dihentikan


atau jika efek obat dihalangi oleh suatuantagonis. 
Seseorang yang mengalami gejala putus obat, merasa sakit
dan dapat menunjukkan banyak gejala, seperti sakit kepala,
diare atau gemetar (tremor). 
Gejala putus obat dapat merupakan masalah yang seirus dan
bahkan bisa berakibat fatal. 

Penyalahgunaan obat adalah lebih dari sekedar efek


fisiologisnya. 
Sebagai contoh, penderita kanker yang sakitnya diobati
selama beberapa bulan atau beberapa tahun dengan opioid
(misalnya morfin), hampir tidak pernah menjadi pecandu
narkotik, meskipun mereka bisa menjadi tergantung secara
fisik. 
Penyalahgunaan obat adalah suatu konsep yang terutama
diartikan sebagai gangguan fungsi perilaku dan penolakan
oleh masyarakat/lingkungan. 

Di Amerika Serikat, istilah medis drug abuse(penyalahgunaan


obat) diartikan sebagai penyelewengan fungsi dan
maladaptasi, bukan ketergantungan yang disebabkan oleh
penggunaan obat. 
Dalam bahasa sehari-hari, penyalahgunaan obat (drug abuse)
sering diartikan sebagai: 
- penggunaan obat ilegal untuk coba-coba dan untuk
kesenangan 
- penggunaan obat-obatan resmi untuk mengatasi masalah
atau gejala tanpa resep dari dokter, dan 
- penggunaan obat yang berakibat ketergantungan. 

Penyalahgunaan obat terjadi pada semua kelompok sosial-


ekonomi dan meliputi golongan pendidikan tinggi dan orang-
orang profesional maupun mereka yang tidak berpendidikan
dan tidak bekerja. 

Meskipun penyalahgunaan obat memiliki efek yang kuat,


tetapi emosi pemakai dan lingkungan dimana obat diminum,
secara berarti akan mempengaruhi efeknya. 
Sebagai contoh, seseorang yang merasa sedih sebelum
meminum alkohol dapat menjadi lebih sedih sebagai efek
dari alkohol. 
Orang yang sama akan menjadi ceria bila meminumnya
dengan teman yang senang. 
Kita tidak selalu dapat memperkirakan dengan tepat, apa
yang akan diakibatkan oleh obat pada orang yang sama setiap
ia meminumnya. 

Bagaimana terjadinya ketergantungan obat adalah rumit dan


tidak jelas. 
Proses ini dipengaruhi oleh zat kimia yang terkandung dalam
obat, efek obat, kepribadian pengguna obat dan kondisi
lainnya, seperti faktor keturunan dan tekanan sosial. 
Perkembangan dari pemakaian coba-coba menjadi
penggunaan yang sekali-sekali dan kemudian menjadi
toleransi dan ketergantungan, belum begitu bisa dimengerti. 

Banyak pemikiran mengenai istilah kepribadian pecandu. 


Orang yang kecanduan sering merasa rendah diri, tidak
dewasa, mudah frustasi dan memiliki kesulitan dalam
menyelesaikan masalah pribadi dan kesulitan dalam
berhubungan dengan lawan jenisnya. 

Para pecandu mungkin mencoba untuk lari dari kenyataan


yang digambarkan sebagai ketakutan, penarikan diri dan
depresi. 
Beberapa pecandu memiliki riwayat percobaan bunuh diri
atau melukai dirinya sendiri. 

Para pecandu kadang digambarkan sebagai pribadi yang


tergantung, memerlukan dukungan dalam membina
hubungan dan memiliki kesulitan menjaga diri mereka
sendiri. 
Yang lainnya memperlihatkan kegeraman yang jelas dan tidak
disadari dan ekspresi seksual yang tak terkendali; mereka
mungkin menggunakan obat-obatan untuk mengendalikan
perilaku mereka. 

Bukti yang ada menunjukkan bahwa sebagian besar dari ciri


tersebut timbul sebagai akibat dari kecanduan jangka panjang
dan bukan penyalahgunaan obat yang baru saja terjadi. 

Kadang-kadang, anggota keluarga atau teman-teman bisa


berkelakukan seakan-akan mengijinkan sang pecandu
melanjutkan penyalahgunan obatnya atau alkohol; orang-
orang ini disebut kodipenden (juga disebut pemberi ijin). 
Kodipenden bisa membela sang pecandu untuk
menghentikan penggunaan obat-obatan atau alkohol namun
jarang mengerjakan sesuatu yang lain untuk membantu
merubah perilakunya. 

Anggota keluarga atau teman yang peduli seharusnya


menganjurkan sang pecandu untuk berhenti
menyalahgunakan obat dan masuk ke program pengobatan. 
Bila sang pecandu menolak mencari pengobatan, anggota
keluarga atau temannya tersebut bahkan bisa mengancam
untuk menariknya dari pergaulan. 
Pendekatan ini mungkin tampaknya kejam, namun dapat
disertai dengan intervensi penuntunan secara profesional. 
Hal ini dapat menjadi salah satu cara untuk meyakinkan sang
pecandu bahwa perubahan perilaku harus dilakukan. 

Pecandu yang hamil, akan mencemari janinnya dengan obat-


obatan yang ia gunakan. 
Pecandu yang hamil seringkali tidak mengakui pada dokter
atau perawatnya bahwa ia menggunakan alkohol dan obat-
obatan. 

Janin tersebut bisa mengalami ketergantungan secara fisik. 


Segera setelah lahir, bayi tersebut dapat mengalami gejala
putus obat yang berat atau bahkan fatal, terutama jika dokter
dan para perawat tidak mengetahui bahwa ibunya seorang
pecandu. 
Bayi yang selamat dari gejala putus obat bisa mendapat
banyak masalah lainnya.
Aprinosi Iswahyudi
Putra
Berdasarkan yg ingin di tulis dan dishare
Senin, 28 April 2014

Asuhan Keperawatan Keluarga dengan AN. ketergantungan NAPZA


"FILE LENGKAP HUB"  aprinosiiswahyudi@gmail.com

BAB II

TTINJAUAN TEORI

A. Pengertian

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi


dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan
mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992)

Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika dan obat atau bahan berbahaya. Selain istilah
Narkoba juga dikenal istilah NAPZA yaitu Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua
istilah ini sebenarnya mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko kecanduan.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (UU no
22, tahun 1997)

NAPZA adalah zat-zat kimiawi yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia, baik ditelan
melalui mulut, dihirup melalui hidung maupun disuntikkan melalui urat darah. Zat-zat kimia itu
dapat mengubahpikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Pemakaian terus
menerus akan mengakibatkan ketergantungan fisik dan/atau psikologis.
(http://www.unicef.org/indonesia/id/HIV-AIDSbooklet_part4.pdf.

Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah
terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang  parah  dan  sering  dianggap 
sebagai  penyakit.  Adiksi  umumnya merujuk    pada    perilaku    psikososial    yang   
berhubungan    dengan ketergantungan  zat.  Gejala  putus  zat  terjadi  karena  kebutuan  biologik
terhadap    obat.    Toleransi    adalah    peningkatan    jumlah    zat    untuk  memperoleh   efek  
yang   diharapkan.   Gejala   putus   zat   dan   toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik
(Stuart & Sundeen, 2005).  

B. Jenis-Jenis NAPZA

NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:

1.    Narkotika

Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat
menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang  rasa  atau  nyeri  dan 
perubahan  kesadaran  yang  menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus.

Contoh narkotika yang  terkenal  adalah  seperti  ganja,  heroin,  kokain,  morfin,  amfetamin,
dan lain-lain. Narkotika menurut UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat  berbahaya  yang 
berasal  dari  tanaman  atau  bukan  tanaman  baik sintesis   maupun   semi   sintesis   yang  dapat  
menyebabkan   penurunan maupun   perubahan   kesadaran,   hilangnya   rasa,   mengurangi  
sampai menghilangkan   rasa   nyeri   dan   dapat   menimbulkan   ketergantungan (Wresniwiro
dkk.2004).

2. Etiologi

Faktor Penyebab Penyalahgunaan NAPZA

Pada setiap kasus, ada penyebab yang khas mengapa seseorang menyalahgunakan NAPZA
dan ketergantungan. Artinya, mengapa seseorang akhirnya terjebak dalam perilaku ini merupakan
sesuatu yang unik dan tidak dapat disamakan begitu saja dengan kasus lainnya. Namun berdasarkan
hasil penelitian, terdapat beberapa faktor yang berperan pada penyalahgunaan NAPZA.

a) Faktor keluarga 

Dalam percakapan sehari-hari, keluarga paling sering menjadi “tertuduh” timbulnya


penyalahgunaan NAPZA pada anaknya. Tuduhan ini tampaknya bukan tidak beralasan, karena hasil
penelitian dan pengalaman para konselor di lapangan menunjukkan peranan penting dari keluarga
dalam kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan hasil penelitian tim UNIKA Atma Jaya dan
Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang beresiko
tinggi anggota keluarganya (terutama anaknya yang remaja) terlibat penyalahgunaan NAPZA.

Keluarga yang memiliki sejarah (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan


NAPZAKeluarga dengan menejemen keluarga yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang
tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya, ayah bilang ya, ibu bilang tidak).Keluarga
dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak
yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun
antar saudara.

Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Di sini peran orang tua sangat dominan, dengan
anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua – dengan alasan sopan santun, adat
istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri – tanpa diberi kesempatan untuk
berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya. 
Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan
dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal
Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat,
mudah cemas dan curiga, dan sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu

b.) Faktor kepribadian 

Kepribadian penyalahguna NAPZA juga turut berperan dalam perilaku ini. Pada remaja,
biasanya penyalahguna NAPZA memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah.
Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan
emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi, juga turut
mempengaruhi. 

Selain itu, kemampuan remaja untuk memecahkan masalahnya secara adekuat berpengaruh
terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan melarikan diri. Hal ini juga
berkaitan dengan mudahnya ia menyalahkan lingkungan dan lebih melihat faktor-faktor di luar
dirinya yang menentukan segala sesuatu. Dalam hal ini, kepribadian yang dependen dan tidak
mandiri memainkan peranan penting dalam memandang

NAPZA sebagai satu-satunya pemecahan masalah yang dihadapi. 


Sangat wajar bila dalam usianya remaja membutuhkan pengakuan dari lingkungan sebagai bagian
pencarian identitas dirinya. Namun bila ia memiliki kepribadian yang tidak mandiri dan menganggap
segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan, akan sangat memudahkan kelompok teman
sebaya untuk mempengaruhinya menyalahgunakan NAPZA. Di sinilah sebenarnya peran keluarga
dalam meningkatkan harga diri dan kemandirian pada anak remajanya.

c) Faktor kelompok teman sebaya (peer group) 

Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman
atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu.
Tekanan kelompok dialami oleh semua orang bukan hanya remaja, karena pada kenyataannya
semua orang ingin disukai dan tidak ada yang mau dikucilkan. 
Kegagalan untuk memenuhi tekanan dari kelompok teman sebaya, seperti berinteraksi dengan
kelompok teman yang lebih populer, mencapai prestasi dalam bidang olah raga, sosial dan
akademik, dapat menyebabkan frustrasi dan mencari kelompok lain yang dapat menerimanya.
Sebaliknya, keberhasilan dari kelompok teman sebaya yang memiliki perilaku dan norma yang
mendukung penyalahgunaan NAPZA dapat muncul. 

d.) Faktor kesempatan 

Ketersediaan NAPZA dan kemudahan memperolehnya juga dapat dikatakan sebagai pemicu.
Indonesia yang sudah mendjadi tujuan pasar narkotika internasional, menyebabkan zat-zat ini
dengan mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melansir bahwa para penjual narkotika
menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk sampai di SD. Penegakan hukum yang
belum sepenuhnya berhasil – tentunya dengan berbagai kendalanya – juga turut menyuburkan
usaha penjualan NAPZA di Indonesia. 
Akhirnya, dari beberapa faktor yang sudah diuraikan, tidak ada faktor yang satu-satu berperan dalam
setiap kasus penyalahgunaan NAPZA. Ada faktor yang memberikan kesempatan, dan ada faktor
pemicu. Biasanya, semua faktor itu berperan. Karena itu,

C. Ciri-ciri pengguna Napza:

Fisik Berat badan turun drastis. Buang air besar dan kecil kurang lancar. Mata terlihat cekung
dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman. Sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang
jelas. Tangan penuh dengan bintik-bintik merah, seperti bekas gigitan nyamuk dan ada tandabekas
luka sayatan. Goresan dan perubahan warna kulit di tempat bekas suntikan. EmosiBila ditegur atau
dimarahi, dia malah menunjukkan sikap membangkang. Emosinya naik turun dan tidak ragu untuk
memukul orang atau berbicara kasar terhadapanggota keluarga atau orang di sekitarnya.Nafsu
makan tidak menentu. Sangat sensitif dan cepat bosan.Perilaku Bicara cedal atau pelo. Jalan
sempoyongan Malas dan sering melupakan tanggung jawab dan tugas-tugas rutinnya.Mengalami
jantung berdebar-debar.Mengalami nyeri kepala.Mengalami nyeri/ngilu sendi-sendi.Mengeluarkan
air mata berlebihan. Mengeluarkan keringat berlebihan. Menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh
dari keluarga.Selalu kehabisan uang.Sering batuk-batuk dan pilek berkepanjangan, biasanya terjadi
pada saat gejala "putuszat".Sering berbohong dan ingkar janji dengan berbagai macam
alasan. Sering bertemu dengan orang yang tidak dikenal keluarga, pergi tanpa pamit dan
pulanglewat tengah malam.Sering mengalami mimpi buruk.Sering menguap.Cenderung menarik diri
dari acara keluarga dan lebih senang mengurung dikamarSikapnya cenderung jadi manipulatif dan
tiba-tiba tampak manis bila ada maunya, sepertisaat membutuhkan uang untuk beli obat.Suka
mencuri uang di rumah, sekolah ataupun tempat pekerjaan dan menggadaikanbarang-barang
berharga di rumah.

 Begitupun dengan barang-barang berharga miliknya,banyak yang hilang.Takut air, jika


terkena akan terasa sakit, karena itu mereka jadi malas mandi. Waktunya di rumah kerapkali
dihabiskan di kamar tidur, kloset, gudang, ruang yang gelap, kamar mandi, atau tempat-tempat sepi
lainnya. Menghindar dari tanggung jawab yang sesuai, malas menyelesaikan tugas rutin
dirumah Gejala sakaw atau putus obat, Bola mata mengecil,Hidung dan mata berair

D. Pemeriksaan diagnostic

VCT.dia diajak teman-temannya melakukan VCT (visite conselling test). "Saat itu aku tidak
tahu untuk apa diajak VCT. Ternyata untuk memeriksakan diri apakah terkena HIV/AIDS atau tidak.

E. Penatalaksanaan 

Peran keluarga Ada beberapa alasan yang menuntut keberadaan keluarga sebagai pelaku
utama dari upaya mereduksi permintaan akan napza, Pertama, meningkatnya anak/remaja/pemuda
yang terlibat. Dari keseluruhan kasus narkoba, 80%-nya melibatkan mereka. Kedua, semakin
mudanya usia awal menggunakan napza. Saat usia awal menggunakan zat halusinogen adalah 10
tahun, obat psikotropika (10tahun), dan opium (13 tahun). Masa kritis untuk pertama kali memakai

Napza adalah ketika ia duduk di kelas satu SLTP, kelas satu SMU, atau ketika di semester 1-2
perguruan tinggi. Saat itu, mereka dihadapkan pada tantangan, konflik, dan kondisi baru. Ketiga,
besarnya pengaruh teman. Umumnya asal mula seseorang memakai napza adalah karena bujukan
teman. Penolakan terhadap tekanan ini sering kali mengakibatkan ia dikucilkan oleh kelompoknya.
Hasil penelitian Dadang Hawari (Pendekatan Psikiatri Klinis Pada Penyalahgunaan Zat, 1990)

 Memperlihatkan bahwa 81,3% pengguna napza karena pengaruh teman. Keempat,


besarnya pengaruh konflik/stres dalam diri anak terhadap peluangnya menggunakan napza. Hasil
penelitian Dadang Hawari (1990) memperlihatkan bahwa pada umunya alasan untuk anak/remaja
menggunakan napza antara lain adalah percaya bahwa napza dapat mengatasi semua persoalan,
atau memperoleh kenikmatan atau menghilangkan kecemasan, gelisah, takut. Kelima, hasil
penelitian juga memperlihatkan bahwa keadaan keluarga yang tidak kondusif atau dengan kata lain
disfungsi keluarga memunyai risiko relatif estimated relative risk) bagi anak/remaja terlibat
penyalahgunaan napza dibandingkan;

F.         Pada remaja, selain faktor – faktor diatas Keadaan ketergantungan obat dapat disebabkan karena
pada masa remaja mengalami suatu keadaan yang relatif mudah berubah-ubah,ini disebabkan
karena ciri dari remaja itu sendiri diantaranya :
1. Masa remaja sebagai periode penting
Walaupun semua periode dalam rentang kehidupan penting pada usia remaja perkembangan
fisik dan mental yang cepat menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk
sikap ,nilai dan minat baru yang mempunyai akibat jangka panjang pada usia berikutnya.

2. Masa remaja sebagai periode peralihan


Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan orang dewasa ,bila berperilaku
anak-anak ia akan bertindak dewasa tetapi bila berperilaku dewasa dia dikatakan masih belum
waktunya seperti orang dewasa.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan


Ada 5 perubahan yang terjadi pada remaja : Pertama peningkatan emosi, Kedua, perubahan
fisik, Ketiga,perubahan perilaku, Keempat, perubahan pandangan terhadap nilai dan yang
kelima,bersikap ambivalen terhadap perubahan yang terjadi atas dirinya.

4. Masa remaja sebagai usia bermasalah


Terdapat dua alasan ,pertama sepanjang masa anak-anak segala masalah diselesaikan orang tua
atau guru.Kedua, karena remaja merasa mandiri sehingga tidak perlu bantuan orang lain, sehingga
banyak kegagalan-kegagalan dalam menyelesaikan masalah karena belum berpengalaman

5. Masa remaja sebagai masa mencari identitas


Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa perannya
dalam masyarakat.

6. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan


Karena anggapan bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapi, yang tidak dapat dipercaya
dan cenderung merusak maka remaja cenderung ragu dalam membuat keputusan dan mencari
bantuan dalam mengatasi masalanya.

7. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik


Remaja cenderung untuk melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan bukan
sebagaimana adanya.

G. Tahapan dan Perkembangan Anak pada remaja


        Keluarga dengan anak remaja Dimulai ketika anak pertama melewati umur 13 tahun, berlangsung selamaenam
hingga tujuh tahun. Tahap ini dapat lebih singkat jika anak meninggalkankeluarga lebih awal atau lebih lama jika
anak masih tinggal di rumah hinggaberumur 19 atau 20 tahun.

Perkembangan Tahap Perkembangan

1. Mengetahui kebutuhan anggota keluarga seperti


Keluarga dengan anak remaja
kebutuhan tempat tinggal privasi dan rasa
aman

2. Membantu anak untuk bersosialisasi

3. Beradaptasi dengan anak yang beru lahir


sementara kebutuhan anak lain juga harus
terpenuhi

4. Mempertahankan hubungan yang sehat baik


didalam maupun diluar

5. Pembagian waktu untuk individu, pasangan dan


anak

6. Pembagian tanggung jawab setiap anggota

7. Kegiatan dan waktu untk stimulasi tumbang anak

H. Konflik pekembangan : menjadi tantangan perawat

◦      Otonomi yg meningkat ( kebebasan anak remaja )

◦      Budaya anak remaja ( p’kemb dg teman sebaya )

◦      Kesenjangan antar generasi ( beda nilai-2 dg ortu )

I. Selain itu pada masa remaja mengalami beberapa perubahan diantaranya adalah :

1. Perubahan emosi
Pola emosi pada remaja sama dengan anak-anak,yang membedakan terletak pada ransangan
dan derajat yang membangkitkan emosi. Emosi yang umum yang dimiliki oleh remaja antara lain ;
amarah,takut,cemburu,ingin tahu,irihati,gembira, sedih, kasih sayang. Remaja yang memiliki
kematangan emosi memberikan reaksi emosional yang stabil , tidak berubah-ubah dari suatu
suasana hati ke suasana hati yang lain.

2. Perubahan sosial
Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah berhubungan dengan
penyesuaian sosial, hal tersebut dikarenakan oleh kuatnya pengaruh kelompok sebaya disebabkan
remaja lebih banyak diluar rumah bersama teman sebaya.

J. Faktor lingkungan juga mempengaruhi masalah ketergantungan obat , antara lain :

1. Orang tua
Sikap orang tua terhadap remaja merupaka faktor yang sangat penting bagi perkembangan
kepribadian remaja.Perkawinan yang tidak bahagia atau perceraian menimbulkan kebingungan pada
remaja.Bila orang tua tidak rukun ,maka sering mereka tidak konsekuen dalam hal mengatur disiplin
dan sering mereka bertengkar didepan anak-anak mereka.Sebaliknya disiplin yang dipertahankan
secara kaku dapat menimbulkan frustasi yang hebat.Disiplin harus dipertahankan dengan bijaksana
,jangan sampai seakan-akan ada dua blok dirumah,yaitu orang tua disatu pihak dan anak-anak dilain
pihak.

2. Saudara-saudara
Rasa iri hati terhadap saudar-saudara adalah normal, biasanya lebih nyata pada anak pertama
dan lebih besar antara anak-anak dengan jenis kelamin yang sama.Perasaan ini akan bertambah
keras bila orang tua memperlakukan anak-anak tidak sama (pilih kasih).Untuk menarik perhatian dan
simpati dari orang tua,biasanya remaja menunjukkan perilaku agresif atau negativistik.

3. Orang-orang lain didalam rumah


Seperti nenek,saudar orang tua atu pelayan,juga dapat mempengaruhi perkembangan
kepribadian pada remaja. Nenek pada umumnya menunjukkan sikap memanjakan terhadap cucunya

4. Hubungan disekolahnya
Yang perlu diselidiki adalah bagaimana hubungan remaja dengan gurunya, teman sekolahnya.
Tidak jarang seorang guru yang sifatnya terlalu keras justru menimbulkan kenakalan pada murid-
muridnya.

5. Keadaan ekonomi
Ketergantungan obat lebih sering didapati pada anak-anak dari golongan sosio-ekonomi tinggi
atau rendah. Hal ini terjadi mungkin karena orang tua mereka terlalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan
sosial (pada kalangan atas)atau sibuk dengan mencari nafkah (pada kalangan rendah) sehingga lupa
menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan baik pada para remaja.

Menurut Rosenheim,Tucker dan Lafore, diambil kesimpulan bahwa orang tua remaja dengan
ketergantungan obat sering menunjukkan sikap menolak terhadap anak mereka. Sikap menolak ini
mempunyai latar belakang tertentu, misalnya :

a.       Perkawinan yang tidak bahagia.Isteri mengira bahwa dengan adanya anak,hubungan suami istri
akan menjadi baik. Bila kemudian ternyata tidak demikian, maka anaklah yang dipersalahkan
(mungkin secara tidak disadari)

b.      Sikap menolak juga mungkin timbul karena sebelumnya ibunya takut hamil lagi karena kesulitan
ekonomi dan kelahiran seorang anak akan menambah beban keluarga.

c.       Sikap menolak dari orang tua terhadap anak mereka terutama pada remaja diantaranya adalah :

d.      Menghukum anaknya /remaja secara berlebih lebihan.

e.       Anak /remaja kurang diperhatikan mengenai makanan,pakaian,kemajuan disekolah dan kegiatan


sosial.

f.       Kurang sabar terhadap anaknya/remaja dan mudah marah.

g.      Ancaman-ancaman untuk mengusir anak/remaja

h.      Anak/remaja yang bersangkutan diperlakukan lain dibandingkan dengan saudara-saudaranya.

i.        Sangat kritis terhadap anak/remaja tersebut.

L. Tugas  Perkembangan  (Menurut  Havighurst)

1.      Menyesuaikan  diri  dengan  perubahan  fisiologis  - psikologis


2.      Belajar  bersosialisasi  sebagai  seorang  laki-laki maupun  wanita

3.      Memperoleh  kebebasan  secara  emosional  dari orang  tua  dan  orang  dewasa  lain

4.      Remaja  bertugas  untuk  menjadi  warga  negara  yang bertanggung  jawab.

5.      Memperoleh  kemandirian  dan  kepastian  secara ekonomis

M. Sebab-sebab umum pertentangan dalam keluarga

1.      standart perilaku

2.      Metode disiplin

3.      Hubungan dengan saudara kandung

4.      Komunikasi Keluarga

5.      Besarnya kelurga

6.      Perilaku yang kurang matang

7.      Memberontak terhadap sanak keluarga

B. Asuhan Keperawatan Keluaraga Pada Remaja

1 Pengkajian

1. Nama keluarga
2. Alamat dan nomor telepon
3. Komposisi keluarga
4. Tipe bentuk keluarga
5. Latar belakang kebudayaan
6. Identifikasi religi
7. Status kelas keluarga
8. Aktifitas-aktifitas rekreasi atau aktifitas waktu luang
2 .TAHAP PERKEMBANGAN DAN RIWAYAT KELUARGA

a.       Tahap perkembangan keluarga saat ini

b.      Jangkauan pencapaian tahap perkembangan

c.       Riwayat keluarga inti

d.      Riwayat keluarga orang tua

3. DATA LINGKUNGAN

a. Karakteristik-karakteristik rumah
b. Karakteristik-karakteristik dari lingkungan sekitar rumah dan komunitas yang lebih besar
c. Mobilitas geografi keluarga
d. Asosiasi-asosiasi dan transaksi-transaksi keluarga dengan komunitas
e. Jaringan dukungan sosial keluarga
4. STRUKTUR KELUARGA

1. Pola-pola komunikasi
Jangkauan komunikasi fungsional dan disfungsional(tipe-tipe pola berulang).

Jangkauan dari pesan dan bagaimana diungkapkan.

Karekteristik komunikasi dalam sub sistem-sub sistem keluarga.

Tipe-tipe proses komunikasi disfungsional yang ditemukan dalam keluarga.

Bidang-bidang komunikasi tertutup.

Variabel-variabel keluarga dan eksternal yang mempengaruhi komunikasi.

2. Struktur kekuasaan
Hasil-hasil dari kekuasaan.

Proses pengambilan keputusan.

Dasar-dasar kekuasaan.

Variabel-variabel yang mempengaruhi kekuasaan.

   Seluruh kekuasaan keluarga.

3. Struktur peran
Struktur peran formal.

Struktur peran informal


Analisis model-model peran.

   Variabel struktur peran yang mempengaruhi

4. Nilai-nilai keluarga
Bandingkan keluarga dengan orang Amerika / nilai-nilai kelompok referensi keluarga dan atau
mengidentifikasi nilai-nilai penting keluarga dan pentingnya (prioritas) dalam keluarga.

Kongruensi antara nilai-nilai keluarga dan nilai-nilai subsistem keluarga juga kelompok referensi dan
atau komunitas yan lebih luas.

Variabel-variabel yang mempengaruhi nilai-nilai keluarga.Apakah nilai-nilai ini dipegang teguh oleh
keluarga secara sadar maupun secara tidak sadar.

E. FUNGSI-FUNGSI KELUARGA

1. Fungsi afektif
 Kebutuhan-kebutuhan keluarga.
 Mutual Nurturance, keakrapan dan identifikasi.
 Diagram kedekatan dalam keluarga sangat membantu dalam hal ini.
 Perpisahan dan kekerabatan
2. Fungsi sosialisasi
 Praktik-praktik pengasuhan anak dalam keluarga.
 Kemampuan adaptasi praktik-praktik pengasuhan anak untuk bentuk keluarga dan situasi
dari keluarga.Siapa-siapa yang menjadi pelaku sosialisasi bagi anak-anak?Nilai-nilai anak dalam
keluarga. Keyakinan-keyakinan kultur yang mempengaruhi pola-pola pengasuhan anak.Estimasi
tentang apakah keluarga beresiko. Mengalami masalah-masalah pengasuhan anak dan jika demikian,
indikasi bagi faktor-faktor resiko tinggi. Adekuasi lingkungan rumah akan kebutuhan anak untuk
bermain.
3. Fungsi perawatan kesehatan
Keyakinan kesehatan, nilai-nilai dan perilaku keluarga.

Definisi sehat-sakit dari keluarga dan tingkat pengetahuan mereka.

Status kesehatan yang diketahui keluarga dan kerentanan terhadap sakit.

Praktik-praktik diit keluarga , adekuasi diit keluarga (catatan riwayat makan untuk 24 jam yang
direkomendasikan)

Fungsi jam makanan dan sikap terhadap makanan dan jam makan.

Kebiasaan tidur dan istirahat.

Latihan dan praktik-praktik rekreasi (tidak dimasukkan sebelumnya)

Kebiasaan menggunakan obat-obat keluarga.


Peran keluarga dalam praktik-praktik perawatan diri.

Praktik-praktik lingkungan keluarga. Cara-cara preventif berdasarkan medis(uji


fisik,mata,pendengnaran dan imunisasi)

Praktik-praktik kesehatan gigi. Riwayat kesehatan keluarga (baik penyakit umum maupun khusus yang
berhubungan dengan lingkungan maupun genetika).

   Layanan
kesehatan yanng diterima. Perasaan dan persepsi mengenai layanan kesehatan. Layanan
perawatan kesehatan darurat. Layanan kesehatan gigi. Sumber pembiayaan medis dan gigi. Logistik
perawatan yang diperoleh.

F. COPING KELUARGA

 Stressor-stressor keluarga jangka panjang dan pendek.


 Kemampuan keluarga untk merespon,berdasarkan penilaian obyektif terhadap situasi-situasi
yan menimbulkan stress.
 Penggunaan strategi-strategi koping(sekarang/yang lalu).
 -Perbedaan cara koping keluarga.
 -Strategi-strategi coping internal keluarga.
 -Strategi-strategi coping eksternal keluarga.
 Bidang-bidang atau situasi dimana keluarga telah mencapai penguasaan.
 Penggunaan strategi-strategi adaptif disfungsional yang digunakan(sekarang/yang lalu).

ANALISA DATA

Analisa data dilakukan dengan menggunakan tipologi masalah kesehatan,yang terdiri dari 3
kelompok sifat masalah kesehatan (Freeman).

1. Ancaman kesehatan (Health Treats)


Merupakan suatu kondisi atau situasi yang dapat menimbulkan penyakit,kecelakaan atau tidak
mengenal potensi kesehatan,misalnya:

Riwayat penyakit keturunan dalam keluarga, penyaki menular, besar/jumlah keluarga hubungannya
dengan sumber daya keluarga. Kecelakaan, nutrisi, stress, kesehatan lingkungan, Kebiasaan
personal. Karakteristik personal, Riwayat kesehatan,Peran,Status imunisasi.

2. Defisit kesehatan
Merupakan suatu keadaan gagal mempertahankan kesehatan termasuk:

 Keadaan sakit yang belum/sudah terdiagnosa.


 Kegagalan tumbuh kembang secara normal.
 Gangguan kepribadian.
3. Krisis
Adalah saat-saat keadaan menuntut terlampau banyak dari individu atau keluarga dalam hal
penyesuaian maupun dalam hal sumber daya mereka,meliputi :

 Perkawinan.
 Kehamilan,persalinan,masa nifas.
 Menjadi orang tua.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN KELUARGA

1. Ketidakmampuan keluarga mengenal masalah ketergantungan obat sehubungan dengan


kurangnya pengetahuan / informasi .
2. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan untuk melakukan tindakan terhadap
masalah ketergantungan obat pada remaja.
3. Ketidakmampuan keluarga memberikan perawatan pada anggota keluarga dengan
ketergantungan obat .
4. Ketidakmampuan keluarga memelihara lingkungan rumah yang menunjang kesehatan untuk
mengatasi masalah ketergantungan obat.
5. Ketidakmampuan keluarga memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan untuk mengatasi
masalah ketergantungan obat .
III. PERENCANAAN / PELAKSANAAN

Perencanaan tindakan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan


ketergantungan obat, pada dasarnya berupa pendidikan kesehatan pada keluarga menyangkut
ketergantungan obat diri. Beberapa tindakan yang dapat dilaksanakan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada keluarga, remaja dengan ketergantungan obat antara lain :

1. Diskusikan dengan keluarga perkembangan normal yang terjadi pada remaja dan pentingnya
membentuk ikatan emosional yang kuat untuk mencegah timbulnya permasalahan – permasalahan
dalam keluarga
2. Diskusikan dengan keluarga tentang pengertian dan contoh remaja dengan ketergantungan
obat.
3. Diskusikan tentang factor-faktor yang mempengaruhi permasalahan ketergantungan obat.
4. Beri kesempatan pada keluarga untuk mengungkapkan kemungkinan factor yang
menyebabkan timbulnya masalah ketergantungan obat pada anggota keluarganya .
5. Berikan reinforcement yang positif pada keluarga terhadap apa yang diketahui oleh keluarga
tentang reaksi menarik diri.
6. Berikan kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan permasalahan yang timbul
pada anak remajanya (terutama mengenai masalah yang dijumpai pada remaja) akibat dari
kurangnya perhatian atau factor lain.
7. Berikan kesempatan pada keluarga untuk menceriterakan tindakan yang telah dilakukan
dalam upaya menangani anggota keluarganya dengan ketergantungan obat dan berikan pujian serta
koreksi bila ada kekeliruan.
8. Diskusikan tentang tindakan (bimbingan, petunjuk dan pertimbangan) pada anak remajanya
sebelum melakukan sesuatu hal.
9. Diskusikan dengan keluarga tentang efek yang timbul bila anak remajanya dengan maslah
ketergantungan obat.
10. Diskusikan bahwa peran-peran negatif yang terjadi pada anak remaja timbul, tujuannya ingin
menyatakan kejengkelannya karena merasa kurang diperhatikan oleh lingkungannya.
11. Beri kesempatan kepada keluarga untuk mengungkapkan efek dari masalah ketergantungan
obat dan berikan reinforcement bila betul.
12. Diskusikan bahwa identitas akan terbentuk dengan baik bila tertanam rasa kepercayaan dan
disesuaikan dengan kemampuan dan keinginan anak remajanya.

BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian

A. Data Umum

1.Nama kk          : Bapak KR (50 Th)

2.Alamat                         : Rowoasri , RT 2 , RW 7 , Rowokangkung , Lumajang

3.Pekerjaan kk     : Petani sawit

4.Pendidikan kk  : SMA

5.KOMPOSISI KELUARGA

No Nama Jk Hub Dngn KK Umr Pdd Status Imunisasi ket


k

BCG Polio DPT Hptitis Cp


k
1 2 3 4 1 2 3 1 2 3

1 Tn Kr lk Kepela 50 SMA
Keluarga

2 Ny.s Pr Istri 46 SMA

3 An.K Lk Anak 1 18 SMA √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

4 An N Pr Anak 2 14 SMP √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

Geongram

 
Ket :                               :  Meninggal

                                       : Laki-laki

                                       : Perempuan

                                       : Tinggal satu rumah

6.  Tipe Keluarga                                                                                                        

            Keluaraga Tn KR termaksuk keluarga inti (nuclear Family) yang terdirir dari kepala keluarga
dan  anggota keluarga

7.suku :

Tn Kr merupakan suku asli bangsa  jawa dan  ada budaya dan tempat yang dapat
mempengaruhi tingat kesehatan keluarga seperti tidak boleh makan ikan pada anak bayi.

8. Agama :

Keluarga Tn. Kr menganut agama islam serta didalam keluarga Tn Kr tidak ada kepercayaan
yang dapat memepengaruhi status serta didalam keluarga Tn Kr tidak ada kepercayaan yang dapat
memepengaruhi status

9.status social : sebagian besar keluaraga memiliki pemasukan sebesar Rp. 10.000.000,- per bulan .
menurut keluarga keluraga slau memberikan apa yang diinginkan oleh Anaknya tanpa mengetahui
kegunaan tersebut.

10. rekreasi : keluarga Tn. Kr mengisi waktu luangnya dengan  menonton televisi, silaturohmi
keluarga, dan berkumpul dengan anggota keluarga yang lain

II. Riwayat Tahap Perkembangan

luga                  :

Keluarag Tn. Kr Menpunyai 2 orang anak yang berumur 18 thn ( Lk) dan 12(Pr) thn dan
memesuki perkembangan keluarga dg anak usia remaja

belum terpenuhi:
 Tahapan keluarga yang belum dapat dicapai saat ini adalah memberikan kebebasan pada
anak tanpa pengawasan atau memberikan tanggung jawab, serta tidak mampu melakuka
komunikasi yang baik

3. riwayat kesehatan inti                  :

                Tn. Kr merupakan anak kedua dari lima bersaudara, Tn Kr sekarang berstatus kepala
keluarga, dalam kegiatan sehari-hari Tn Kr selalu focus terhadap pekerjaannya sehingga
mengakibatkan  tidak terjalinnya komunikasi terhadap keluarganya khususnya pada anak laki-
lakinya, Tn Kr seorang yang otoriter, keras kepala, sering marah-marah jika anaknya pulang malam
sehingga mengakibatkan kurangnya keterbukaan dan komunikasi pada anak-anaknya pada saat
dilakukan pengkajian tidak terdapat masalah apapun dalam dirinya

               Ny. S merupakan Anak dari 4 bersaudara, Ny. S juga berperan sebagai istri dari Tn kr yang
mempunyai pekerjaan sebagai asisten dalam pekerjaan yang dilakukan sehari hari namun Ny. S
masih menjalin komunikasi dengan anaknya yang Perempuan dan agak tertutup pada anak yang laki-
laki tetapi Ns. S mengatakan selalu mengikuti apa yang diinginkan oleh anak laki-lakinya tanpa
melakukan pengawasan pada an.K pada saat dilakukan pengkajian tidak ditemukan gangguan
apapun pada Ny.S

               An K merupakan anak pertama dari Tn. Kr dan Ny.S  berada pada tahapan tumbuh kembang
remaja, namun kelurga merasa khawatir pada anak pertamanya dikarenakan pergaulan dengan
lingkungan yang tidak jelas, komunikasi Tn Kr dan anaknya sanggat tertutup dikarenakan Tn. Kr sibuk
dengan pekerjaannya yang bekerja dari pagi hingga malam hari. memiliki watak yang keras dan
hanya ingin menang sendiri tanpa memberikan kebebasan pada anaknya, namun keperluan An K
selalu dituruti oleh Tn.Kr tanpa mempertimbangan dan pengawasan terhadap An. K, Pada saat
perawat melakukan pengkajian pada An.k didapatkan, An.K terlihat sakaw, terdapat bekas suntikan
didaerah tangan Pupil miosis Anoreksi Sangat sensitif dan cepat bosan. Perilaku Bicara cedal atau
pelo Mengalami nyeri kepala Mengalami nyeri/ngilu sendi-sendi.Mengeluarkan air mata berlebihan.
Mengeluarkan keringat berlebihan. Menunjukkan sikap tidak peduli dan jauh dari keluarga.Selalu
kehabisan uang. Sering batuk-batuk dan pilek berkepanjangan Bola mata mengecil, Hidung dan mata
berair, anaknya sering marah-marah, pandangan seakan marah kepada Tn Kr

An N merupakan anak kedua dari Tn. Kr dan Ny.S  komunikasi Tn Kr dan anaknya sanggat
tertutup dikarenakan Tn Kr terlalu sibuk dengan pekerjaannya.  pada saat dilakukan pengkajian tidak
ditemukan gangguan apapun pada Ny.S

III. Keadaan Lingkungan

1. Karakterisitik rumah :

Keluraga Tn Kr. Tinggal dirumah kontrakkan milik Tn A, dengan luas rumah lebar 20 M X
panjang 18 M , terdiri 4 kamar tidur, 2 kamar mandi 1 km mandi dan wc ( Septik Thank) , ruang
tamu, dan dapurnya memanfaatkan pojok, dari lorong, type bangunan : lantai dari plester serta
dinding permanen, ventilasi : sinar matahari kurang masuk, jendela hanya 15 (0,75 x 1,2 M),
kebersihan ruang : Keadaan rumah bersih, barang-barag disusun dalam keadaan teratur, Sumber air
yang digunakan keluarga berupa air PAM dan Sumur,keluarga memasak air dengan menggunakan
kompor gas.

- denah rumah

Kamar An. N Kamar An. K


Ruang tamu
Ruang makan Kamar Tn Kr

Kamar tamu Ruang Kamar mnadi


Keluaraga

Dapur WC Kamar mandi

2. Karakteristik tetangga dan komunitas

Keluaraga Kr tinggal di RT X RW 03 yang terdiri dari penduduk dewasa, jarak antra rumah dengan
rumah yang lain tidak terlalu jauh hubungan keluarga dengan keluarga yang lain baik bahkan
Tetangga membantu berobat ke puskesmas yang tidak terlalu jauh dari rumah Tn Kr, tengga dan
sekitarnya peduli pada kesehatan pak KR

3 mobilitas geogrfis keluarga

            Awalnya Tn.Kr tinggal di Surabaya, namun karena kekurangan dalam biaya kontak rumah
akhirnya keluarga Tn.Kr Pindah kerumah yang dihuninya sekarang

4. Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan komunitas

                        Waktu yang sering digunakan keluaraga untuk berkumpul dan santai adalah pada malam
hari,  Keluraga Tn Kr jarnag dirumah karena kesibukannya masing masing, kleuraga Tn kr juga sering
berinteraksi dengan tetangga antara dengan mengikuti pengkajian dan aktif kuimpul di masyarakat

4. Sistem pendukung keluarga

Keluraga Tn Kr selalu memeperhatikan kesehatan, ia selalu membawa anaknya berobat ke


puskesmas terdekat yang berjarak dari rumah dengan puskesmas 500 hanya meter, selain itu juga Tn
Kr jg sering membawa anggota keluargaga berobat ke praktek dokter

IV. Struktur Keluarga
1. Pola Komunikasi Keluarga

  Keluarga kurang dalam berkomunikasi terhadap anggota keluarga yang lainnya khususnya Tn Kr
yang kurang berkomunikasi yang baik dengan anak-anak, sehingga tidak terjadi keterbukaan satu
dengan yang lainnya, dikarenakan kesibukan kedua orang tua yang selalu focus pada pekerjaan
sehingga kurang komunikasi pada anak

2. Struktur kekuatan keluarga

                        Jika terdapat masalah maka Tn Kr selalu yang menentukan keputusan apaa yang diambil
tanpa mendiskusikan terlebih dahulu dengan keluargnya

3. Struktur Peran

         Tn Kr adalah kepala keluarga dan bekerja sebagai  petani sawit yang bekerja dari pagi hari hingga
malam hari hari yang berpenghasilan  Rp. 5.000.000/ bulan, yang akhirnya terjadi kekurangan
komunkasi terhadap anggota keluarga yang lainnya, apabila dirumah Tn Kr disibukkan dengan
urusan pekerjaannya

                        Ny. S adalah seorang istri dari Tn Kr bekerja sebagai asisten dari Tn Krtani, Ny. S juga
membantu mempersiapkan keperlauan Tn.Kr selama  pekerjaan, Ny.S sering mencoba
berkomunikasi dengan baik namun An K hanya marah-marah dan membentak ibunya

3. Norma Keluarga

Menyesuaikan dengan nilai agama yg dianut dan norma yang ada, percaya penyakitnya bisa di
obati, dan penyakitnya tidak ada hubunganny dengan guna-guu

V. Fungsi Keluarga

1. Fungsi Afektif

Pak Kr sering menegur anaknya jika diperingatklan ibunya tidak mau, saling menghormati antar
anggota keluarga, dan semua anggota keluarga tn.Kr saling Menyayangi serta saling memebantu
satu sama lainnya

2. Fungsi Sosial

Keluarga mengajarkan agar berperilaku yang baik dengan tetannggga dan lingkungan.
Sekitar , hidup berdampingna dan merasa tentram, namun dalam berhunbungan dengan tetangga
sedikit kurang karena kesibukan keluarga Tn Kr

3. Fungsi Keperawatan Kesehatan


Jika sakit mencari Biasanya keluarga Tn Kr memanfaatkan tempat tenaga kesehatan yang
ada dengan cara mengunjungani instansi kesehatan seperti puskesmas hingga rumah sakit

Ny. S juga mengatakan jka anaknya sering mederita malaria, keluarga hanya mengrti sebatas mana
cara penularan penyait malaria, Ny.C jarang membawa anaknya berobat kerumah sakit atau pun
ketempat tenaga kesehatan lainnya dikarenakan kekuragan biaya:

a. Mengenal masalah narkoba pada An K keluarga Tn kr hanya mengenal cara penyebaran penyakit yang
diderita anaknya

b. Mengambil keputusan yang tepat mengenai tindakan yang cepat

Keluarga Tn.S mampu mengambil keputusan yang yang tepat dalam msalah kesehatan

c. keluarga  Tn Kr mampu memberikan perawatan pada anggota keluarga dengan ketergantungan obat .

d.  Menggunakan fasilitas yang ada dilingkungan

Keluarga Tn. Kr bekerja sebagai tani, jadi Tn Kr hanya mampu memebawa anaknya berobat kedukun
karena ketidak ada biayaan

e. Modifikasi Lingkungan

Keadaan dan ,lingkungan Tn.Kr belum mencerminkan rumah sehat

4. Fungsi reproduksi

Keluarga mengatakan  tidak ingin punya anak lagi, tidak ikut KB, hubungan suami istri masih, tetapi
jarang sekali.

5. Fungsi Ekonomi

Pegahasilan keluarga Tn. Kr sangat mencukupi terbukti denagn penghasilan Rp 5.000.000 perbulan
keluarga mempu mencukupi keperluannya, bahkan keluarga mampu member apa yang anaknya
kehendaki tanpa memonitor keinginan anaknya

VI. Stress Dan Koping Keluarga

1. Kemampuan keluarga Berespon thd stressor

Pasrah pada kondisinya sekarang, dianggap sebagai cobaaan bahkan sekarang aak tertuanya Tn Kr
mulai terpengaruh oleh lingkungan sekitar rumah yang kurang sehat

2. Strategi Koping yang dilakukan


Keluarga menerima ini apa adanya dan selalu mengawasi dan lebih mendekatkan diri kepada
anak tertuanya

3. Strategi adaptasi yang disfungsi

Tn Kr Sering marah  pada anak tertuanya jika pulang malam, sikap ototiter yang ditunjukan
Tn Kr, anak selalu menyendiri, malas, dianjurkan mencari alternatif pengobatan lain.

4. Stres jangka pendek dan Panjang

            a. Stres jangka Pendek

            Keluarga Tn KR bingung dengan perubahan yang ditunjukan oleh anak mereka yang terjadi
saat ini

b. Stes jangka Panjang

            Keluraga memikirkan kesehatan dan kedaan anak-anaknya terlebih pada anak pertamanya
yang selalu menyendiri

5. Kemampuan keluarga berespon

Keluarga mengatakan jika ada masalah sealu Tn Kr yang memutuskan apa yang akan dilakukan

Pemeriksaan Fisik

Diposkan oleh Aprinosi Iswahyudi Putra di 09.36 

Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Tidak ada komentar:


Poskan Komentar
Posting Lebih BaruPosting LamaBeranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)

Digital clock - DWR


Daily Calendar
Translate
Diberdayakan oleh  Terjemahan

Arsip Blog
 ▼  2014 (17)
o ►  Agustus (1)
o ▼  April (13)
 Asuhan Keperawatan Keluarga dengan AN. ketergantun...
 Contoh kasus cedera kepala berat Keperawatan gawat...
 Kep gawat darurat : Cedera Kepala berat
 cth analisis program unggulan puskesmas (Kep. komu...
 Contoh Leaflet kep. jiwa ( Presentasi)
 Asuhan Keperawatan dengan Psikososial
 contoh proposal Terapi aktifitas kelompok
 contoh PRE PLANNING HOME VISIT keperawatan jiwa
 KDK
 Askep Alzaimer
 syndrom steven jhonson Askep + kasus
 Bab II Askep Leukimia
 Pengaruh LAtihan fisik dengan pengontrolan prilaku...
o ►  Maret (3)
Ada kesalahan di dalam gadget ini
Mengenai Saya

Aprinosi Iswahyudi Putra 


Lihat profil lengkapku

Total Tayangan Laman

  38,338
Cari Blog Ini Cari Blog Ini
Cari Cari

Cari Blog Ini


Cari

Template Travel. Diberdayakan oleh Blogger.


ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KETERGANTUNGAN ZAT
ADITIF

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori NAPZA pada akhir-
akhir ini makin marak dapat disaksikan dari media cetak koran dan majalah serta media elektrolit
seperti TV dan radio. Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang memakai zat
tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun) sepertinya menjadi
suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja (DepKes, 2001).

Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena kurangnya pengetahuan
masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut serta kemudahan untuk mendapatkannya.
Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah tetapi kadangkala
disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan faktor lingkungan.

Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut; faktor keluarga lebih
pada hubungan individu dengan keluarga misalnya kurang perhatian keluarga terhadap individu,
kesibukan keluarga dan lainnya; faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap masyarakat
terhadap masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA (Hawari, 2000).

Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai melakukan
penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini ditunjukkan dengan makin banyaknya individu
yang dirawat di rumah sakit karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami
intoksikasi zat dan withdrawal.

Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan


ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari,
kecuali mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001).

Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta tenaga
kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu masyarakat yang di rawat di rumah
sakit untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu
perawat meningkatkan kemampuan merawat klien dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA (sindrom
putus zat.

B. Tujuan

     2. Tujua Khusus

a) Perawat dapat mengetahui pengertian klien penyalahgunaan dan

ketergantungan NAPZA.

b) Perawat dapat mengetahui proses terjadinya masalah klien NAPZA.

c) Perawat dapat melakukan asuhan keperawatan klien NAPZA.


BAB II

Timjaua Teoritis

A.      Defenisi

Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai setelah
terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap sebagai
penyakit. Adiksi umumnya merujuk pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan
ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi
adalah peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat dan
toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).

Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu melalui
pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma
ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya pemulihan
dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan
harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (DepKes., 2002).

Sesudah klien penyalahgunaan/ketergantungan NAZA menjalani program terapi


(detoksifikasi) dan komplikasi medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program
pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka yang bersangkutan dapat
melanjutkan ke program berikutnya yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).

Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit tidak sama karena tergantung pada
jumlah dan kemampuan sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang tersedia di
rumah sakit.

Menurut Hawari (2000) bahwa setelah klien mengalami perawatan selama 1 minggu
menjalani program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi selama 2 minggu maka klien
tersebut akan dirawat di unit rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya) selama 3-6
bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi berdasarkan parameter sembuh menurut medis
bisa beragam 6 bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna, 2003).

Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka perawatan di ruang rehabilitasi tidak
terlepas dari perawatan sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian
besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap
NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi

2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA

3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya

4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik

5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja

6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan dengan lingkungannya.

B. Proses Terjadinya Masalah

Proses terjadinya masalah penyalahgunaan dan ketergantungan zat memfokuskan pada zat
yang sering disalahgunakan individu yaitu: opiat, amfetamin, canabis dan alkohol.

1) Rentang Respons Kimiawi

Perlu diingat bahwa pada rentang respons tidak semua individu yang menggunakan zat akan
menjadi penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Hanya individu yang menggunakan zat berlebihan
dapat mengakibatkan penyalahgunaan dan ketergantungan zat.

Penyalahgunaan zat merujuk pada penggunaan zat secara terus menerus bahkan sampai
setelah terjadi masalah. Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan sering dianggap
sebagai penyakit. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi berarti
bahwa memerlukan peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang diharapkan (Stuart dan
Sundeen, 1995; Stuart dan Laraia, 1998).

2) Perilaku

3) Faktor penyebab.

Faktor penyebab pada klien dengan penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA meliputi:

a. Faktor biologic

 Kecenderungan keluarga, terutama penyalahgunaan alcohol

 Perubahan metabolisme alkohol yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman
b. Faktor psikologik

 Tipe kepribadian ketergantungan

 Harga diri rendah biasanya sering berhub. dengan penganiayaan waktu masa kanak kanak

 Perilaku maladaptif yang diperlajari secara berlebihan

 Mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit

 Sifat keluarga, termasuk tidak stabil, tidak ada contoh peran yang positif, kurang percaya diri, tidak
mampu memperlakukan anak sebagai individu, dan orang tua yang adiksi

c. Faktor sosiokultural

 Ketersediaan dan penerimaan sosial terhadap pengguna obat

 Ambivalens sosial tentang penggunaan dan penyalahgunaan berbagai zat seperti tembakau, alkohol
dan mariyuana

 Sikap, nilai, norma dan sanksi cultural

 Kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil dan keterbatasan kesempatan

4) Diagnosis medis

DSM-III-R (American Psychiatric Association, 1987) membagi menjadi dua katagori yaitu
psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik dan gangguan psikoaktif pengguna zat.
Psikoaktif zat yang menyebabkan gangguan mental organik mengakibatkan intoksikasi, withdrawal,
delirium, halusinasi dan gangguan delusi, dan lainnya. Gangguan psikoaktif pengguna zat
mengakibatkan ketergantungan atau penyalahgunaan (Wilson dan Kneisl, 1992).

Sedangkan DepKes (2001) menyatakan bahwa gejala psikiatri yang timbul adalah cemas,
depresi dan halusinasi. Penelitian yang dilakukan di USA menunjukkan > 50% penyalahgunaan
NAPZA non alkohol mengidap paling tidak satu gangguan psikiatri antara lain:

1) 26% mengalami gangguan alam perasaan seperti depresi, mania

2) 26% gangguan ansietas

3) 18% gangguan kepribadian antisocial

4) 7% skizofrenia

Mereka dengan penyalahgunaan alkohol sebanyak 37% mengalami komorbiditas psikiatri.


Diagnosis medis dan keperawatan yang berhubungan dengan penyalahgunaan dan
penggunaan zat. Kurang dari 27 diagnosa keperawatan yang umumnya digunakan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang dibagi menjadi 4 katagori yaitu: biologik, kognitif, psikososial
dan spiritual. (Stuart dan Laraia, 1998).

Diagnosis NANDA(berhubungan dengan diagnosis keperawatan) yang utama adalah


perubahan sensori persepsi, perubahan proses pikir, koping individu tidak efektif dan perubahan
proses keluarga (Stuart dan Sundeen, 1995).

Gangguan yang berhubungan penyalahgunaan zat yang termasuk DSM-III ada 2 cara.
Pertama, diagnosis utama yang berhubungan dengan penggunaan alkohol atau obat dikatagorikan
juga sebagai gangguan yang berhubungan dengan zat. Klien gangguan yang berhubungan dengan zat
juga didiagnosis sebagai gangguan psikiatrik axis I yang disebut dual diagnosis. Kedua, intoksikasi
atau withdrawal penggunaan zat sangat berhubungan dengan salah satu tipe gangguan mental,
dimana diagnosis tergantung pada katagori yang menjadi lokasi penyalahgunaan zat.

Contoh: seseorang yang mengalami depresi berhubungan dengan withdrawal alkohol,


diagnosis medik adalah gangguan mood karena penggunaan (withdarawal) zat. Katagori yang
termasuk dalam diagnosis karena penggunaan zat adalah delirium, demensia, psikotik, mood,
kecemasan, sex dan tidur (Stuart dan Laraia, 1998).

D. Asuhan Keperawatan Klien dengan Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA

1. Pengkajian

Prinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan format pengkajian di ruang psikiatri atau
sesuai dengan pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada kebijaksanaan rumah
sakit dan format pengkajian yang tersedia. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi :

a. Perilaku

b. Faktor penyebab dan faktor pencetus

c. Mekanisme koping yang digunakan oleh penyalahguna zat meliputi:

 penyangkalan (denial) terhadap masalah

 rasionalisasi

 memproyeksikan tanggung jawab terhadap perilakunya

 mengurangi jumlah alkohol atau obat yang dipakainya


d. Sumber-sumber koping (support system) yang digunakan oleh klien

2. Diagnosa Keperawatan

Perlu diingat bahwa diagnosa keperawatan di ruang detoksifikasi bisa berulang di ruang rehabilitasi
karena timbul masalah yang sama saat dirawat di ruang rehabilitasi. Salah satu penyebab muncul
masalah yang sama adalah kurangnya motivasi klien untuk tidak melakukan penyalahgunaan dan
ketergantungan zat. Hal lain yang juga berperan timbulnya masalah pada klien adalah kurangnya
dukungan keluarga dalam membantu mengurangi penyalahgunaan dan penggunaan zat.

Masalah keperawatan yang sering terjadi di ruang detoksifikasi adalah selain masalah keperawatan
yang berkaitan dengan fisik juga masalah keperawatan seperti:

a. Koping individu tidak efektif: ketidakmampuan menahan sugesti

b. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

c. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan, dan seterusnya

Sedangkan masalah keperawatan di ruang rehabilitasi bisa sama dengan di ruang detoksifikasi, maka
fokus utama diagnosa keperawatan NANDA di ruang rehabilitasi adalah:

a. Koping keluarga tidak efektif: ketidakmampuan

b. Kurang aktivitas hiburan, dan seterusnya

Contoh pohon masalah:

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

Perencanaan keperawatan (rencana tindakan keperawatan) secara jelas dapat dilihat pada lampiran.
Implementasi keperawatan yang dilakukan mengacu pada perencanaan keperawatan (rencana
tindakan keperawatan) yang disesuaikan dengan kebutuhan dan prioritas masalah klien.

Berikut ini beberapa bentuk implementasi yang dilakukan pada klien dengan penyalahgunaan dan
ketergantungan zat yaitu (Wilson dan Kneisl, 1992):

a. Program intervensi.

Peran perawat adalah menentukan program yang cocok untuk klien sesuai dengan tingkat
ketergantungan klien terhadap sakit dan gejala yang tampak. Untuk program di ruang rehabilitasi
dibagi menjadi 2 yaitu: 1) rehabilitasi sewaktu-waktu dimana perawat berperan sebagai fasilitator
bukan melakukan penanganan masalah fisik maupun psikiatri tetapi pada perawatan diri klien.
Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan perawatan diri secara mandiri;
2) perawatan lanjutan, bertujuan untuk memberikan pemulihan kembali bagi klien yang mengalami
ketergantungan alkohol dan zat atau penolakan keluarga terhadap klien.

b. Individu

Pendidikan untuk klien, misalnya menganjurkan klien untuk mengikuti sesi-sesi yang diadakan
perawat secara individu sesuai kebutuhan klien, tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan klien
dalam membantu memulihkan ketergantungan akan zat.

 Perubahan gaya hidup, yaitu mengajarkan klien dengan cara mendiskusikan koping yang biasa
digunakan. Diharapkan klien dapat mengubah penggunaan koping dari destruktif menjadi koping
yang konstruktif.

 Meningkatkan kesadaran diri klien, dengan cara mengidentifikasi hal-hal positif yang dimiliki klien dan
bisa dikembangkan secara positif serta mengurangi hal-hal yang negatif dalam diri klien.

c. Keluarga

 Pendidikan kesehatan bagi keluarga yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang mengalami penyalahgunaan dan
ketergantungan zat.

d. Kelompok

 Program twelve step : AA dan NA

 Terapi modalitas disesuaikan dengan kriteria dan kondisi klien yang akan diikutkan dalam terapi
tersebut.

3. Intervensi Keperawatan

a) Resiko tinggi terhadap cedera: jatuh berhubungan dengan kesulitan keseimbangan.Kriteria hasil:

 mendemonstrasikan hilangnya efek-efek penarikan diri yang memburuk

 tidak mengalami cedera fisik

Intervensi:

Mandiri
1) Identifikasi tingkat gejala putus alkohol, misalnya tahap I diasosiasikan dengan tanda/gejala
hiperaktivitas (misalnya tremor, tidak dapat beristirahat, mual/muntah,diaforesis, takhikardi,
hipertensi); tahap II dimanifestasikan dengan peningkatan hiperaktivitas ditambah dengan
halusinogen; tingkat III gejala meliputi DTs dan hiperaktifitas autonomik yang berlebihan dengan
kekacauan mental berat, ansietas, insomnia, demam.

2) Pantau aktivitas kejang. Pertahankan ketepatan aliran udara. Berikan keamanan lingkungan misalnya
bantalan pada pagar tempat tidur.

3) Periksa refleks tenton dalam. Kaji cara berjalan, jika memungkinkan

4) Bantu dengan ambulasi dan aktivitas perawatan diri sesuai kebutuhan

Kolaborasi

1) Berikan cairan IV/PO dengan hati-hati sesuai petunjuk

2) Berikan obat-obat sesuai petunjuk: benzodiazepin, oksazepam, fenobarbital, magnesium sulfat.

Rasional:

1) Pengenalan dan intervensi yang tepat dapat menghalangi terjadinya gejala-gejala dan mempercepat
kesembuhan. Selain itu perkembangan gejala mengindikasikan perlunya perubahan pada terapi
obat-obatan yang lebih intensif untuk mencegah kematian.

2) kejang grand mal paling umum terjadi dan dihubungkan dengan penurunana kadar Mg, hipoglikemia,
peningkatan alkohol darah atau riwayat kejang.

3) Refleksi tertekan, hilang, atau hiperaktif. Nauropati perifer umum terjadi terutama pada pasien
neuropati

4) mencegah jatuh dengan cedera

5) mungkin dibutuhkan pada waktu ekuilibrium, terjadinya masalah koordinasi tangan/mata.

6) Penggantian yang berhati-hati akan memperbaiki dehidrasi dan meningkatkan pembersihan renal dari
toksin sambil mengurangi resiko kelebihan hidrasi.

4. Evaluasi

Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat tergantung pada penanganan yang dilakukan
perawat terhadap klien dengan mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai. Sebaiknya
perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap keberhasilan yang telah dicapai dan
tindak lanjut yang diharapkan untuk dilakukan selanjutnya.
Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap
tujuan yang dicapai dan prioritas penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan kebutuhan
klien.

Klien relaps tidak bisa disamakan dengan klien yang mengalami kegagalan pada sistem tubuh. Tujuan
penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan kemampuan untuk hidup lebih lama bebas
dari ./penyalahgunaan dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan disesuaikan
dengan tujuan yang diharapkan, akan lebih baik perawat bersama-sama klien dalam menentukan
tujuan ke arah perencanaan pencegahan relaps.

DAFTAR PUSTAKA

1. Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan. Edisi 6. (terjemahan). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

2. Depkes. (2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan sarana


pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif
lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

3. (2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi pada pasien
ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat Direktorat Jenderal Bina
Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI.

4. (2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai penyalahgunaan
narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat.

5. Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan zat adiktif).
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

6. Rawlins, R.P., Williams, S.R., and Beck, C.K. (1993). Mental health-psychiatric nursing a holistic life-
cycle approach. Third edition. St. Louis: Mosby Year Book.

7. Stuart, G.W., and Laraia, M. T. (1998). Principles and practice of psychiatric nursing. Sixth edition. St.
Louis: Mosby Year Book.

8. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Principles and practice of psychiatric nursing. Fifth edition. St.
Louis: Mosby Year Book.
9. Stuart, G.W., and Sundeen, S.J. (1995). Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. (terjemahan). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9.    http://mentalnursingunpad.multiply.com/journal/item/7 

10. http://mustikanurse.blogspot.com/2007/02/asuhan-keperawatan-klien-dengan-sindrom.html

Anda mungkin juga menyukai