Kelompok 5 :
Tingkat : II
BAB II
PENDAHULUAN
BAB III
TINJAUAN TEORI
Perencanaan dalam upaya akselerasi penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) pada
dasarnya bertujuan mengorganisasikan tenaga, tatanan yang telah dimiliki, waktu dan sumber
daya lain serta memilih metoda yang tepat untuk mencapai tujuan yang spesifik. Salah satu
upaya ini antara lain adalah perluasan jangkauan pelayanan kebidanan dasar dan pelayanan
ibu hamil berisiko tinggi obstetri. Jangkauan pelayanan kebidanan dasar berupa kegiatan
pelayanan antenatal dan pertolongan persalinan normal oleh tenaga kesehatan/bidan yang
memiliki ketrampilan untuk melakukan pertolongan persalinan melalui pendekatan pelayanan
aktif yang intensif dengan cara mendekatkan pelayanan sedekat mungkin kepada ibu
hamil/bersalin. Jangkauan pelayanan ibu hamil berisiko tinggi obstetri berupa upaya untuk
melakukan rujukan agar ibu dapat melakukan persalinan di rumah sakit Dati II yang memiliki
kemampuan untuk melakukan pertolongan persalinan dengan risiko. Pada pendekatan
pelayanan ibu bersalin yang baik terutama untuk mencegah terjadinya komplikasi kehamilan
ataupun persalinan, upaya pencegahan (preventif) merupakan upaya terbaik dibandingkan
dengan upaya kuratif. Sehingga pada paket dasar ini upaya preventif dilakukan dengan
melakukan antenatal skrining, penanganan kala I, kala II serta manajemen aktif kala III,
pengawasan kala IV dan penanganan Bayi Baru Lahir yang baik dan benar, merupakan suatu
hal yang penting dalam upaya menurunkan angka kematian ibu bersalin.
Perdarahan pada kehamilan dan persalinan menjadi penyebab utama kematian ibu di dunia
yang merupakan bagian dari 500,000 kematian ibu setiap tahun dan 99% dari kematian ini
terutama terjadi di negara berkembang. Oleh karena itu perdarahan pada kehamilan dan pasca
persalinan menjadi komplikasi paling penting yang perlu mendapatkan perhatian dan
dilakukan upaya pencegahan secara khusus. Dengan demikian upaya untuk menurunkan
angka kematian ibu juga tidak dapat dipisahkan dari deteksi dini perdarahan dalam kehamilan
dan Manajemen Aktif Kala III yang dilakukan menurunkan risiko perdarahan pasca
persalinan.
Perdarahan per vaginam setelah 22 minggu kehamilan atau pada persalinan sebelum bayi
lahir
• Atonia uteri
• Robekan serviks dan vagina
• Retensio plasenta
• Uterus terbalik
2. Pemberian uterotonika
Uterotonika diberikan untuk menghasilkan kontraksi yang adekuat. Ada dua jenis uterotonika
yang dapat dipakai yaitu Oksitosin dan Ergometrin. Uterotonika yang dianjurkan adalah
Oksitosin 10 IU secara intramuskuler.
Perbaikan sistem pelayanan kesehatan maternal dan neonatal tidak cukup dengan
hanya melakukan standardisasi pelayanan dan peningkatan kemampuan sumber daya
manusia, tetapi juga perbaikan sistem rujukan maternal dan neonatal yang akan menjadi
bagian dari tulang punggung sistem pelayanan secara keseluruhan. Karena dalam
kenyataannya, masih akan selalu terdapat kasus maternal dan neonatal yang harus
mendapatkan pelayanan pada fasilitas kesehatan yang sesuai setelah mendapatkan
pertolongan awal di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Beberapa kasus kegawatdaruratan
maternal dan neonatal memerlukan tempat rujukan antara sebagai sarana untuk melakukan
stabilisasi, setelah itu pengobatan dan tindakan definitif harus dikerjakan di fasilitas
pelayanan yang lebih baik oleh karena keterbatasan teknis baik di fasilitas pelayanan
kesehatan primer maupun tempat rujukan antara (Puskesmas). Kasus perdarahan pasca
persalinan tidak memerlukan tempat rujukan antara, karena tindakan definitive histerektomi
atau ligasi arteria hipogastrika hanya bisa dilakukan di rumah sakit kabupaten, tetapi
stabilisasi pasien tetap harus dikerjakan lebih dahulu di tempat asal rujukan.
Dari beberapa keadaan diatas, tampak sangat jelas bahwa berfungsinya sistem rujukan
maternal dan neonatal akan menjadi tulang punggung (backbone) untuk penurunan AKI dan
AKB.
Sistim rujukan pelayanan kegawatdaruratan maternal dan neonatal mengacu pada
prinsip utama kecepatan dan ketepatan tindakan, efisien, efektif dan sesuai dengan
kemampuan dan kewenangan fasilitas pelayanan.
Setiap kasus dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang ke Puskesmas
PONED harus langsung dikelola sesuai dengan prosedur tetap sesuai dengan Buku Acuan
Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Setelah dilakukan stabilisasi kondisi
pasien, kemudian ditentukan apakah pasien akan dikelola di tingkat Puskesmas PONED atau
dilakukan rujukan ke Rumah Sakit PONEK untuk mendapatkan pelayanan yang lebih baik
sesuai dengan tingkat kegawatdaruratannya.
• Masyarakat dapat langsung memanfaatkan semua fasilitas pelayanan kegawatdaruratan
obstetri dan neonatal.
• Bidan di Desa dan Polindes dapat memberikan pelayanan langsung terhadap ibu hamil / ibu
bersalin dan ibu nifas baik yang datang sendiri atau atas rujukan kader/masyarakat. Selain
menyelenggarakan pelayanan pertolongan persalinan normal, Bidan di Desa dapat melakukan
pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan dan
kemampuannya atau melakukan rujukan pada Puskesmas, Puskesmas PONED dan Rumah
Sakit PONEK sesuai dengan tingkat pelayanan yang sesuai.
• Puskesmas non-PONED sekurang-kurangnya harus mampu melakukan stabilisasi pasien
dengan kegawatdaruratan obstetri dan neonatal yang datang sendiri maupun dirujuk oleh
kader / Dukun / Bidan di Desa sebelum melakukan rujukan ke Puskesmas PONED dan
Rumah Sakit PONEK.
• Puskesmas PONED memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan langsung terhadap
ibu hamil / ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau atas
rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa dan Puskesmas. Puskesmas PONED dapat
melakukan pengelolaan kasus dengan komplikasi tertentu sesuai dengan tingkat kewenangan
dan kemampuannya atau melakukan rujukan pada Rumah Sakit PONEK.
• RS PONEK 24 Jam memiliki kemampuan untuk memberikan pelayanan PONEK langsung
terhadap ibu hamil / ibu bersalin, ibu nifas dan bayi baru lahir baik yang datang sendiri atau
atas rujukan kader/masyarakat, Bidan di Desa Puskesmas dan Puskesmas PONED.
• Pemerintah Propinsi/Kabupaten melalui kebijakan sesuai dengan tingkat kewenangannya
memberikan dukungan secara manajemen, administratif maupun kebijakan anggaran
terhadap kelancaran pelayanan kegawatdaruratan obstetrik dan neonatal. Ketentuan tentang
persalinan yang harus ditolong oleh tenaga kesehatan dapat dituangkan dalam bentuk
Peraturan Daerah, sehingga deteksi dini kelainan pada persalinan dapat dilakukan lebih awal
dalam upaya pencegahan komplikasi kehamilan dan persalinan
• Pokja/Satgas GSI merupakan bentuk nyata kerjasama lintas sektoral di tingkat Propinsi dan
Kabupaten untuk menyampaikan pesan peningkatan kewaspadaan masyarakat terhadap
komplikasi kehamilan dan persalinan serta kegawatdaruratan yang mungkin timbul oleh
karenanya. Dengan penyampaian pesan melalui berbagai instansi/institusi lintas sektoral,
maka dapat diharapkan adanya dukungan nyata masyarakat terhadap sistem rujukan PONEK
24 Jam
• Rumah Sakit Swasta, Rumah Bersalin dan Dokter/Bidan Praktek Swasta dalam sistem
rujukan PONEK 24 Jam diharuskan melaksanakan peran yang sama dengan RS Ponek 24
Jam, Puskesmas PONED dan Bidan dalam jajaran pelayanan rujukan. Institusi ini diharapkan
dapat dikoordinasikan dalam kegiatan pelayanan rujukan PONEK 24 Jam sebagai
kelengkapan pembinaan pra rumah sakit
Apabila tindakan yang dilakukan pada kasus perdarahan postpartum tidak berhasil untuk
menimbulkan kontraksi uterus yang adekuat sehingga menghentikan perdarahan yang terjadi,
maka rujukan akan menjadi alternatif terakhir.
Dalam melakukan rujukan perlu dipertimbangkan beberapa prinsip rujukan kegawatdaruratan
obstetrik dan neonatal:
o Komunikasi awal harus sudah dilakukan sebelum dan selama proses rujukan dilaksanakan.
o Rujukan harus dilakukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki fasilitas dan
kemampuan untuk melakukan tindakan yang lebih baik bagi kondisi pasien.
o Rujukan hanya dilakukan setelah upaya stabilisasi pasien sesuai dengan prosedur baku
nasional (Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal) dan upaya
stabilisasi ini harus tetap dilakukan selama proses rujukan berlangsung.
o Selama rujukan berlangsung pasien harus didampingi oleh tenaga medis yang memiliki
keterampilan klinik untuk melakukan tindakan dukungan terhadap kehidupan (life saving
skills).
o Rujukan harus merupakan bagian dari proses peningkatan pengetahuan dan kemampuan
tenaga kesehatan, sehingga apabila telah dilakukan tindakan definitif ditempat tujuan rujukan,
harus kembali dilakukan komunikasi tentang apa yang telah dilakukan dan tindak lanjut pasca
rujukan (termasuk apabila terjadi kegagalan pada rujukan dan tindakan yang dilakukan).
B. IDENTIFIKASI PENYEBAB TERJADINYA PERDARAHAN POST PARTUM
Beberapa faktor Predisposisi yang terkait dengan perdarahan pasca persalinan yang
disebabkan oleh Atonia Uteri, diantaranya adalah :
a) Uterus membesar lebih dari normal selama kehamilan, diantaranya:
(1) Jumlah air ketuban yang berlebihan (Polihidramnion)
(2) Kehamilan gemelli
(3) Janin besar (makrosomia)
b) Kala satu atau kala 2 memanjang
c) Persalinan cepat (partus presipitatus)
d) Persalinan yang diinduksi atau dipercepat dengan oksitosin
e) Infeksi intrapartum
f) Multiparitas tinggi
g) magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklamsia atau
eklamsia.
h) umur yang terlalu tua atau terlalu muda(<20 tahun dan >35 tahun) (Depkes, 2010).
2) Retensio Plasenta
Retensio plasenta (placental retention) merupakan plasenta
yang belum lahir dalam setengah jam setelah janin lahir. Adanya
retensio plasenta member kontribusi terhadap kejadian perdarahan
post partum sebesar 16% - 17% (Mochtar, 2010).
Klasifikasi Retensio Plasenta
(a) Plasenta adhesive, plasenta belum terlepas dari dinding rahim
atau melekat pada desidua endometrium lebih dalam.
(b) Plasenta inkreta, dimana vilikorialis tumbuh lebih dalam dan
menembus desidua sampai ke miometrium.
(c) Plasenta akreta, menembus lebih dalam miometrium tetapi tidak
menembus serosa.
(d) Plasenta perkreta, yang menembus sampai serosa atau peritoneum dinding rahim.
(e) Plasenta inkarserata, plasenta yang sudah terlepas tetapi belum keluar dan terletak di
bagian bawah rahim (Maryunani, 2009).
3) Plasenta Restan
Adanya sisa plasenta yang sudah terlepas tapi belum keluar akan menyebabkan perdarahan
yang banyak. Plasenta restan member kontribusi terjadinya perdarahan post partum sebesar
23% sampai 29%. Sebabnya bias karena atonia uteri, karena adanya lingkaran kontriksi pada
bagian bawah rahim akibat kesalahan penanganan kala III, yang akan menghalangi plasenta
keluar.
4) Laserasi jalan lahir
Robekan jalan lahir adalah trauma yang diakibatkan oleh kelahiran bayi yang terjadi pada
serviks, vagina, atau perineum. Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan
dengan trauma. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan
spontan perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstrasi. Robekan
yang terjadi bisa ringan (lecet,laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat
ringan sampai ruptur perineum totalis (sfingter ani terputus), robekan pada dinding vagina,
forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra dan bahkan yang terberat ruptur uteri.
Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada laserasi ataupun sisa
plasenta.
Faktor risiko terjadinya laserasi jalan lahir adalah sebagai berukut:
a) Faktor maternal
(1) Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong
(sebab paling sering)
(2) Pasien tidak mampu berhenti mengejan
(3) Partus diselesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan
fundus yang berlebihan
(4) Edema dan kerapuhan pada perineum
(5) Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum
(6) Arcus pubis dengan pintu bawah panggul yang sempit pula
sehingga menekan kepala bayi ke arah posterior
(7) Perluasan episiotomi
b) Faktor janin
(1) Bayi yang besar
(2) Posisi kepala yangg abnormal – misalnya presentasi muka
dan occipitoposterior
(3) Kelahiran bokong
(4) Ekstraksi forcep yang sukar
(5) Distosia bahu
(6) Anomali kongenital, seperti hydrocephalus
Selain itu, faktor-faktor lain yang menyebabkan kehilangan
darah secara berlebihan, bila terjadi laserasi yaitu:
(1) Interval yang lama antara dilakukan episiotomy dan kelahiran
anak.
(2) Perbaikan episiotomi setelah bayi dilahirkan tanpa semestinya
yaitu ditunggu terlalu lama.
(3) Pembuluh darah yang putus pada ujung episiotomi tidak
berhasil dijahit.
(4) Pemeriksaan inspeksi tidak dilakukan pada serviks dan vagina
bagian atas.
(5) Kemungkinan terdapatnya beberapa tempat cidera tidak
terpikirkan
(6) Ketergantungan pada obat-obat oksitoksik serta disertai
penundaan terlalu lama mengeksploitasi uterus (Hacker, 2010).
Derajat Robekan Jalan Lahir:
(1) Derajat I :Robekan yang hanya terjadi pada mukosa
vagina, vulva bagian depan, kulit perineum.
(2) Derajat II : Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian
depan, kulit perineum dan otot perineum
(3) Derajat III : Robekan terjadi pada mukosa vagina, vulva bagian
depan, kulit perineum, otot-otot perineum dan sfingterani
eksterna.
(4) Derajat IV yaitu Robekan yang terjadi pada
seluruh perineum dan sfingterani yang meluas sampai
ke mukosa rectum (Maryunani, 2009).
5) Kelainan Bekuan darah
Afibrinogemi atau hipofibrinogemi dapat terjadi setelah abrupsio/solusio plasenta, retensio
plsenta, janin mati yang lama di dalam rahim dan pada emboli cairan ketuban. Kelainan
factor bekuan darah memberi kontribusi terhadap terjadinya perdarahan post partum sebesar
0,5 – 0,8%. Salah satu teori etiologic memperkirakan bahwa bahan tromboplastik yang
timbul dari degenerasi dan otolisis desidua serta plasenta dapat memasuki sirkulasi maternal
dan menimbulkan koagulasi intravaskuler serta penurunan vibrinogen yang beredar.
Kegagalan tersebut yaitu pada kegagalan mekanisme pembekuan, menyebabkan perdarahan
yang tidak dapat dihentikan dengan biasanya dipakai untuk mengendalikan perdarahan.
Kelainan bekuan darah periportal adalah factor yang beresiko tinggi pada perdarahan pada
masa nifas, tetapi untungnya jarang terjadi. Pasien dengan masalah pembekuan dapat
menimbulkan perdarahan masa nifas karena ketidakmampuannya untuk membentuk bekuan
darah yang stabil ditempat perlekatan plasenta.
Pada multipara akan terjadi kemunduran dan cacat pada endometrium yang
mengakibatkan terjadinya fibrosis pada bekas implantasi plasenta pada persalinan
sebelumnya, sehingga vaskularisasi menjadi berkurang. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
janin, plasenta akan mengadakan perluasan implantasi dan vili khorialis akan menembus
dinding uterus lebih dalam lagi sehingga akan terjadi plasenta adhesive sampai prekreta.
Pada setiap kehamilan dan persalinan akan terjadi perubahan serabut otot menjadi jaringan
ikat pada uterus. Hal ini dapat menurunkan kemampuan uterus berkontraksi sehingga sulit
melakukan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang terbuka setelah lepasnya
plasenta, hal ini dapat menyebabkan terjadinya perdarahan post partum.
Ibu dengan paritas tinggi, terutama grandemultipara
(melahirkan >4 kali), seringkali disebut sebagai faktor risiko yang
penting pada kejadian perdarahan postpartum. Perdarahan
postpartum pada grandemultipara terjadi akibat otot rahim sudah
kurang mampu berkontraksi dengan baik karena bila terlalu sering
melahirkan, otot rahim akan semakin lemah.
b) Jarak Persalinan
Jarak persalinan yang kurang dari 2 tahun mengakibatkan kelemahan dan kelelahan otot
rahim, sehingga cenderung akan terjadi perdarahan postpartum. Bila jarak kelahiran
dengan anak sebelumya kurang dari 2 tahun, kondisi rahim dan kesehatn ibu belum pulih
dengan baik, sehingga cenderung mengalami partus lama, atau perdarahan postpartum.
Disamping itu persalinan yang berturut-turut dalam jarak waktu singkat mengakibatkan
uterus menjadi fibrotik, sehingga mengurangi daya kontraksi dan retraksi uterus. Kondisi
seperti ini berakibat terjadinya perdarahan pospartum.
d) Partus lama
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam untuk primigravida dan
atau lebih dari 18 jam untuk multigravida. Akibat dari partus lama, apabila tidak segera
ditangani, akan terjadi dehidrasi, asfiksia bayi, ruptura uteri, infeksi dan kematian ibu akibat
perdarahan. Mekanisme terjadinya perdarahan pada partus lama adalah oleh karena
kelemahan dan kelelahan otot rahim.
e) Usia Kehamilan
Umur Kehamilan adalah masa sejak sejak hari pertama haid terakhir sampai bayi dilahirkan,
dihitung dalam minggU. Ibu melahirkan dengan usia kehamilan < 37 minggu disebut
persalinan preterm. Pada ibu yang mengalami persalinan preterm ini dapat merupakan faktor
risiko untuk terjadinya retensio plasenta. Retensio plasenta merupakan faktor risiko dan
penyebab langsung terjadinya perdarahan postpartum
f) Status gizi
Asupan gizi pada ibu hamil merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan
karena pada ibu hamil, disamping makan untuk dirinya sendiri, juga untuk janin yang
dikandungnya. Ibu dengan status gizi buruk mempunyai risiko untuk mengalami perdarahan
postpartum dan infeksi pada masa nifas.
g) Anemia kehamilan
Bila ibu menderita Anemia berat selama kehamilan, maka ia akan sering mengalami sesak
nafas, edema, gagal jantung kongestif, anoksia otak, sehingga sering mengakibatkan
kematian ibu.Pada saat persalinan dapat terjadi gangguan his, kala pertama dapat berlangsung
lama sehingga terjadi partus lama. Kondisi seperti ini dapat diikuti oleh retensio plasenta dan
perdarahan postpartum karena atonia uteri. Disamping itu ibu hamil dengan Anemia yang
diperparah dengan perdarahan pada saat persalinan, maka keadaan ini akan memudahkan
terjadinya infeksi masa nifas.
h) Umur ibu
Umur ibu saat melahirkan mempunyai pengaruh terhadap timbulnya perdarahan postpartum.
Ibu dengan umur di bawah 20 tahun, rahim dan panggul sering kali belum tumbuh mencapai
ukuran dewasa. Sebagai akibatnya pada umur tersebut bila melahirkan, bisa mengalami
persalinan lama, sehingga berisiko terjadinya perdarahan postpartum. Bila umur di atas 35
tahun, kondisi kesehatan ibu sudah menurun, sehingga hamil pada umur tersebut mempunyai
kemungkinan lebih besar untuk terjadi persalinan lama dan perdarahan postpartum.
i) Antenatal Care
Apabila pemeriksaan kehamilan dilakukan dengan cara yang teratur, dan dilakukan oleh
tenaga yang profesional, maka kelalaian selama kehamilan dapat terdeteksi, sehingga
komplikasi yang timbul saat persalinan seperti perdarahan postpartum dapat diperkirakan.
Bidan menurut KEPMENKES RI N0. 900 Tahun 2002 adalah seorang wanita yang
telah mengikuti program pendidikan bidan dan lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang
berlaku, sedangkan praktik bidan adalah serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh bidan kepada pasien (individu, keluarga dan masyarakat) sesuai dengan
kewenangan dan kemampuannya. Kewenangan Bidan dalam menjalankan
praktiknya sebagaimana tercantum dalam KEPMENKES RI No. 900 Tahun 2002 BAB V
Pasal 14 adalah sebagai berikut:
a) Pelayanan kebidanan
b) Pelayanan keluarga berencana
c) Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kebidanan kepada ibu meliputi (Pasal 16 ayat (1)):
a) Penyuluhan dan konseling
b) Pemeriksaan fisik
c) Pelayanan Antenatal pada kehamilan normal
d) Pertolongan pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu
hamil dengan abortus iminens, hiperemesis gravidarum tingkat I,
preeklamsi ringan dan Anemia ringan
e) Pertolongan persalinan normal
f) Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala di
dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan
lahir, distosia karena inersia uteri primer, post term dan pre term
g) Pelayanan ibu nifas normal
h) Pelayanan ibu nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta dan infeksi ringan
i) Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi keputihan, perdarahan
tidak teratur dan penundaan haid
Bidan dalam memberikan pelayanan sebagaimana dalam pasal 18
KEPMENKES berwenang untuk:
a) Memberikan imunisasi
b) Memberikan suntikan pada penyulit kehamilan, persalinandan nifas
c) Mengeluarkan plasenta secara manual
d) Bimbingan senam hamil
e) Pengelupasan sisa jaringan konsepsi
f) Episiotomi
g) Penjahitan luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat II
h) Amniotomi pada pembukaan serviks lebih dari 4 cm
i) Pemberian infus
j) Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika, antibiotika dan
secativa
k) Kompresia bimanual
l) Versi ekstraksi gemelli pada kelahiran bayi kedua dan seterusnya
m) Vacum ekstraksi dengan kepala bayi di dasar panggul
n) Pengendalian Anemia
o) Meningkatkan pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
p) Resusitasi pada bayi baru lahir dengan asfiksia
q) Penanganan hipotermi
r) Pemberian minum dengan sonde/pipet
s) Pemberian obat-obat terbatas melalui lembaran permintaan obat
t) Pemberian surat keterangan kelahiran dan kematian.
Tatalaksana konseling merupakan usaha saling belajar yang menyangkut dua individu dalam
suasana edukatif. Pihak pertama adalah konsuler atau klien yang meminta atau memerlukan
bantuan dari pihak kedua. Termasuk dalam pengertian konseling adalah suatu hubungan
membantu ( Helping relationship ) antara dua individu, yang bertujuan agar individu yang
dibantu dapat memperoleh insight terhadap masalahnya, mau bertanggung jawab dan mampu
mengambil keputusan yang efektif. Hasil yang didapatkan dari konseling adalah pematangan
( Maturita, Autonomi ) ketika seorang menjadi lebih mampu mengarahkan hidupnya menjadi
lebih baik, bertanggung jawab, atas segala tindakannya tanpa melemparkan
keorang lain atau situasi. Konseling adalah suatu bentuk bantuan, ia merupakan suatu proses
pelayanan yang melibatkan kemampuan profesionalnya pada pemberi pelayanan. Istilah
konseling digunakan untuk menggantikan istilah penyuluhan yang selama ini menyertai kata
bimbingan yaitu bimbingan dan penyuluhan. Hubungan antara manusia yang mengandung
unsur-unsur pemberian bantuan. Ini memang diperlukan karena berbagai kondisi yang
dilematis, konflik ataupun krisis yang dialami individu dan perlu bantuan. Upaya pemberian
bantuan selanjutnya disebut helping yang sifatnya professional.
Ciri-ciri hubungan helping yaitu hubungan helping yang penuh makna dan
bermanfaat, afeksi sangat mencolok dalai hubungan helping, kebutuhan pribadi tampil atau
terjadi dalam hubungan helping, hubungan helping terbentuk melalui kesepakatan bersama
individu yang hendak dibantu membutuhkan informasi, pelajaran, advis, bantuan,
pemahaman, dan atau perawatan dari orang lain, hubungan helping dilangsungkan melalui
komunikasi dan interaksi, hubungan helping terbentuk melalui kesepakatan bersama
individu-individu terlibat, struktur hubungan helping adalah jelas dan gambling, upaya-upaya
yang bersifat kerjasam ( Collaborative ) menandai hubungan helping (helper) dapat dengan
mudah ditemui atau didekati ( Approachable ) banyak orang mempunyai daya mampu
alamiah untuk membantu dengan baik karena pengalaman hidupnya yang menguntungkan.
Mereka mempunyai daya mampu intelektual untuk memahami dan memperhatikan cirri-ciri
helping secara alamiah sehingga lebih dapat menolong orang lain dengan baik.
1. Tujuan Konseling
Sejalan dengan perkembangan konsep konseling, maka tujuan konseling pun mengalami
perubahan dari yang sederhana sampai ke yang lebih konprehensif ( Kusnanto, 2004 ).
Dengan proses konseling dapat mencapai beberapa hal tertentu, yaitu :
(a) mendapat dukungan selagi klien memadukan segenap kekuatan dan Kemampuan untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi,
(b) memperoleh wawasan baru yang lebih segar tentang berbagai alternatif, pandangan dan
pemahaman-pemahaman serta keterampilan-keterampilan baru
(c) mencapai Kemampuan untuk mengambil keputusan dan keberanian untuk
melaksanakannya, Kemampuan untuk mengambil resiko yang mungkin ada dalam proses
pencapaian tujuan yang dikehendaki.
Tujuan konseling dapat terentang dari sekedar klien mengikuti kemauan-kemauan konsuler
sampai kepada masalah pengambilan keputusan, pengembangan kesadaran, penyembuhan
penyakit, dan penerimaan diri sendiri. Pengembangan yang mengacu pada perubahan positif
pada diri individu merupakan tujuan dari semua upaya konseling. Sementara itu tujuan
konseling dalam pelayanan kehamilan dan persalinan dimaksudkan untuk perubahan sikap
dan perilaku terutama pada pemahaman tentang komplikasi kehamilan dan persalinan serta
pemilihan pertolongan persalinan.
2. Fungsi
Dalam kelangsungan perkembangan dan kehidupan manusia, berbagai pelayanan diciptakan
dan diselenggarakan. Masing-masing pelayanan itu berguna dan memberikan manfaat untuk
memperlancar dan memberikan dampak positif sebesar-besarnya terhadap kelangsungan
perkembangan dan kehidupan itu, khususnya dalam bidang tertentu yang menjadi fokus
pelayanan yang dimasud. Misalnya pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas
berguna dan memberikan manfaat kepada yang berkepentingan untuk memperoleh informasi
tentang kesehatan, pemeriksaan dan pengobatan agar Kesehatan yang bersangkutan
terpelihara.
Fungsi konseling ditinjau dari kegunaan atau manfaat ataupun keuntungan-keuntungan apa
yang diperoleh melalui pelayanan, sangat banyak dan dapat dikelompokkan menjadi empat
fungsi yaitu :
(a) Fungsi Pencegahan, Pencegahan pada aspek Kesehatan
didefinisikan sebagai upaya mempengaruhi dengan cara yang positif dan
bijaksana pada lingkungan individu yang dapat menimbulkan kesulitan atau
kerugian sebelum kesulitan atau kerugian benar-benar terjadi. Setelah memiliki wawasan
tentang upaya pencegahan, apa yang selayaknya
dilakukan oleh konselor dalam rangka melaksanakan fungsi pencegahan itu
adalah : (1) Mendorong perbaikan lingkungan yang kalau diberikan akan
berdampak negatif terhadap individu yang bersangkutan, (2) Mendorong
perbaikan kondisi diri pribadi klien. (3) Meningkatkan kemampuan individu
untuk mempengaruhi perilaku kehidupan dan (4) Menggalang dukungan
kelompok dan keluarga terhadap individu yang bersangkutan. Secara
operasional konselor menampilkan kegiatan dalam rangka fungsi
pencegahan, kegiatannya antara lain berupa program yang akan
dilaksanakan melalui tahap-tahap : 1) Identifikasi masalah,
2) Mengidentifikasi dan menganalisis sumber-sumber penyebab timbulnya
masalah, 3) Mengidentifikasi pihak-pihak yang dapat membantu pencegahan
masalah, 4) Menyusun rencana program pencegahan, 5) Pelaksanaan dan
monitoring serta evaluasi dan laporan ( Uripni, 2003 )
Tatalaksana konseling dalam fungsi pencegahan berorientasi pada
identifikasi masalah yang terkait pada kecendrungan terjadinya komplikasi
kehamilan dan persalinan, termasuk dalam pemilihan penolong persalinan.
Prinsip konseling dalam pencegahan, memberikan pencerahan terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi kehamilan dan
persalinan
(b) Fungsi Pemahaman, Pemahaman yang sangat perlu dihasilkan
oleh pelayanan konseling adalah pemahaman tentang diri klien beserta permasalahannnya
oleh klien sendiri dan oleh pihak-pihak yang akan
membantu klien. Pemahaman tentang klien merupakan titik tolak upaya
pemberian bantuan terhadap klien. Sebelum seorang konselor atau pihakpihak
lain dapat memberikan layanan tertentu kepada klien, maka mereka
perlu terlebih dahulu memahami individu yang akan dibantu. Pemahaman
tidak hanya sekedar mengenal diri klien melainkan lebih jauh lagi yaitu
pemahaman yang menyangkut latar belakang pribadi klien, kekuatan dan
kelemahan serta kondisi lingkungannya
Materi pemahaman itu lebih lanjut dapat dikelompokkkan kedalam
berbagai data tentang : (1) Identitas klien ( Nama, Jenis Kelamin, Tempat
Tinggal , tanggal lahir, Orang Tua, Sta tus dalam keluarga Dll, (2) Pendidikan,
(3) status social ekonomi dan pekerjaan, (4) Status Kesehatan, (6) Keadaan
lingkungan dan tempat tinggal serta (7) Sikap dan kebiasaan Bumil.
Tatalaksana konseling dalam fungsi pemahaman berorientasi pada
pengenalan diri sesorang secara cermat tentang faktor kepribadian
lingkungan keluarga, umur, Ras, Pola Makan, Pekerjaan, Kebiasaan,
lingkungan kerja, Riwayat kehamilan dan persalinan
(c) Fungsi Pemeliharaan Dan Pengembangan, Fungsi
pemeliharaan berarti memelihara segala sesuatu yang baik pada diri ibu
hamil baik itu pembawaan, sikap, kebiasaan yang telah terbentuk dalam
bertindak dan berprilaku sehari-hari serta kondisi Kesehatan dan kebugaran
tubuh. Supaya tidak terganggu yang akhirnya akan membawa dampak negatif terhadap ibu
hamil. Pemeliharaan dalam pelayanan konseling
bukanlah sekedar mempertahankan agar sesuatu yang dimaksud utuh, tidak
mengalami perubahan melainkan juga mengusahakan agar bertambah baik
Tatalaksana konseling dalam fungsi pemeliharaan Kesehatan klien
berorientasi pada munculnya sikap dan nilai-nilai untuk mempertahankan
kebiasaan-kebiasaan dan perilaku yang negatif.
1. Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi POGI, Pelatihan Asuhan Persalinan
Normal, Jakarta 2009
2. Jaringan Nasional Pelatihan Klinik Kesehatan Reproduksi POGI, Pelatihan Pelayanan Obstetri dan
Neonatal Emergensi Dasar, Jakarta 2009
3. Yayasan Bina Pustaka, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta
2008
4. Yayasan Bina Pustaka, Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta
2008