Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang mempunyai karakter yang istimewa
dan berbeda dengan anak pada umumnya dimana mereka memiliki keterbatasan mental, fisik,
emosi yang menghambat perkembangannya (Lisinus et al., 2020). Anak berkebutuhan khusus
memang berkembang berbeda pada anak umumnya, mereka memerlukan perhatian khusus dalam
meningkatkan perkembangannya (Zulfia, 2020). Perhatian yang mereka dapat merupakan
perhatian dari keluarga, orang tua dan orang orang terdekat di sekelilingnya. Anak dengan
disabilitas tidak mampu melakukan kegiatan secara mandiri sehingga memiliki ketergantungan
yang lebih besar kepada orang tua nya (Desriyani, 2019).

Di Indonesia jumlah anak berkebutuhan khusus yang tercatat melaksanakan pendidikan


di sekolah luar biasa (SLB) mencapai 144.621 siswa pada tahun ajaran 2020/2021.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 82.326 anak berkebutuhan khusus berada di jenjang pendidikan
sekolah dasar (SD). (Sumber databoks.katadata.co.id). Data terakhir dijawa timur anak
berkebutuhan khusus pada tahun 2015 meningkat yaitu sebanyak 1.892 orang yang sebelumnya
adalah 1.308 jumlah tersebut meningkat terlebih lagi yang berada disejumlah desa terpencil,
terluar dan terdepan (Surya.co.id). Anak berkebutuhan khusus memiliki beberapa karakter dan
jenis yang berebeda dan memiliki keterbatasan sedang hingga berat, anak berkebutuhan khusus
dikelompokan menjadi beberapa bagian yang pertama ada Gangguan Belajar yaitu seperti Slow
Learner, Tuna Grahita, dan Kesulitan Belajar, kedua ada Gangguan Perilaku yaitu seperti
Autisme, ADHD (Attention Devicit Hyperactivity Disorder), Tuna Laras, Anxienty
(Kecemasan), ketiga Gangguan Fisik dan Ganda seperti Tuna Netra, Tuna Rungu,Tuna Daksa,
Celebral Plasy dan Tuna Ganda (Ratrie Desningrum, 2007)

Anak dengan gangguan spektrum autisme adalah anak berkebutuhan khusus yang
memiliki gangguan perkembangan seperti dalam hal berkomunikasi, interaksi sosial, dan
aktifitas imajinasi yang dapat dilihat ketika anak berumur 3 tahun dimana menunjukan gejala
gejala yang sangat tidak biasa seperti bertingkah laku yang tidak wajar dan menyimpang, mereka
senang dengan dunianya sendiri, kadang juga mereka tidak mengenali seseorang disekitarnya
dengan kontak mata meskipun orang disekitarnya adalah orang tuanya (Larete, 2016). Anak autis
memerlukan perhatian dan penanganan khusus dari orangtua dan keluarga agar mereka bisa
hidup dengan kualitas yang baik (Sinaga & Pardede, 2021). Gangguan spektrum autis ini bisa
terjadi pada siapapun tanpa melihat status dari sosial dan ekonomi orang tua (Aritonang dalam
Larete., 2016). Anak yang memiliki gangguan tersebut memerlukan beberapa terapi antara lain
medkamentosa (obatobatan), terapi wicara, iomedis (diet dan suplemen), terapi perilaku dan
terapi okupasi (Ruminem, 2020)

Orang tua dalam hal ini merupakan orang yang paling bereperan dalam membesarkan dan
mengasuh anaknya yang memiliki keterbatasan, orangtua bertanggung jawab atas segala hal
tentang anak mereka (Lestari, 2016). Orangtua dari anak berekebutuhan khusus memiliki
kekhawatiran dan harapan, mereka sering khawatir akan masa depan anaknya dan juga mereka
mempunyai harapan untuk anak mereka untuk bisa bersosialisasi dengan baik (Onainor, 2019).
Orang tua melakukan berbagai upaya dan strategi agar anak mereka bisa berkembang dan
bersosialisasi dengan baik, orang tua dari anak autis harus memiliki pengetahuan khusus tentang
mengasuh dan mendidik karena anak autis memiliki masalah pendengaran dan komunikasi serta
kurangnya kontak mata, untuk melatih kemandirian anak autis dalam kegiatan sehari-hari seperti
mandi, berpakaian, buang air kecil, buang air besar dan kegiatan lainnya, orang tua harus sabar
dalam melatih disiplin agar anak patuh dan mendengarkan apa yang diajarkan.(Dewi et al., 2018)

Menurut Hassan (2021) mengasuh anak berkebutuhan khusus memiliki beberapa beban
yang mencakup Beban Fisik, Beban Psikologi, Beban Sosial, Dan Beban Keuangan. Beban fisik
yang dirasakan orang tua yaitu menyangkut kesehatannya dimana saat mengasuh anak
berkebutuhan khusus mereka lelah, kurang tidur, mengalami tekanan darah tinggi. Beban
psikologi pada orang tua mereka merasakan cemas, stress dan depresi dikarenakan adanya
masalah perilaku anak, kurangnya dukungan dari keluarga dan sekitarnya. Beban sosial yang
dialami orang tua manyangkut perasaan malu, adanya omongan yang tidak enak dari orang
sekitar apalagi jika orang tua dari anak tersebut masih muda, dan yang terakhir adalah Beban
keuangan dimana beban ini sangat dirasakan oleh orang tua karena banyak dari mereka hidup
dengan serba kecukupan dan paspasan, orang tua dengan anak berkebutuhan khusus sangat
memerlukan biaya yang cukup besar dimana anaknya memerlukan terapi dan permainan yang
mendukung.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fithriyah & Carrasco (2021) dimana meneliti
tentang beban pengasuh dan faktor psikososial pada ibu dengan anak gangguan spektrum autism
ditempat penitipan anak di rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya terdapat subyek yang mengalami
tingkat beban sedang sebanyak 50%, tingkat tinggi sebesar 34%, dan sangat tinggi sebesar 8%,
sedangkan tingkat beban sangat rendah sebanyak 4%, dan tingkat rendah sebanyak 4%. Pada
penelitian Mukhtar (2018) tentang beban pengasuhan pada orang tua dengan anak gangguan
spektrum autis didapatkan sebagian besar responden menilai beban pengasuhan yang mereka
alami tergolong rendah dan sangat rendah, hanya 16% responden yang menilai bahwa beban
pengasuhan yang mereka alami tergolong tinggi dan 29% lainnya menilai beban pengasuhan
yang mereka alami tergolong sedang, menurut Mukhtar hal tersebut tidak menunjukan bahwa
orang tua dari anak autis terbebas dari beban pengasuhan dimana secara obyektif orang tua dari
anak autis tetap mengalami kesulitan dalam proses mengasuh dan dalam aktivitas sehari harinya
namun secara subyektif orang tua dari anak autis mereka tidak mengalami masalah mental dan
emosi yang berat

Menurut Zarit 1980 beban pengasuhan diartikan sebagai beban yang dirasakan pengasuh
terhadap kondisi fisik, emosi, kehidupan sosial dan keadaan finansial dari merawat keluarganya.
Menurut Liu, 2020 beban pengasuh adalah tingkat ketegangan multifuset yang dirasakan oleh
pengasuh dari merawat anggota keluarga atau orang yang dicintai dari waktu ke waktu. Hoening
dan Hamilton pertama kali mengungkapkan bahwa beban pengasuhan terbagi menjadi dua beban
yaitu beban subyektif dan beban obyektif, dimana beban subyektif adalah beban yang melibatkan
perasaan pribadi pengasuh dan dihasilkan saat proses mengasuh, sedang beban obyektif adalah
suatu peristiwa atau pengalaman negative yang didapat saat mengasuh. ( Hoening dan Hamilton
1966 dalam Liu et al., 2020),

Adapun beberapa faktor faktor yang berhubungan dengan beban pengasuhan Menurut
Ariska (2020) dalam penelitiannya yaitu Faktor usia jika semakin tua usia pengasuh maka beban
yang dirasakan cukup berat atau lebih tinggi karena adanya penurunan fisik. Jenis kelamin
pengasuh perempuan memiliki beban pengasuhan yang lebih berat dari laki laki karena
perempuan merupakan pengasuh utama dibandingkan dengan laki laki. Pendidikan jika pengasuh
memiliki pendidikan yang tinggi maka pengetahuan yang didapat mengenai pengasuhan dan
pemahaman mengenai anaknya. Pekerjaan jika pengasuh tidak bekerja maka akan memiliki
kehidupan sosial yang kurang dan memiliki anggapan peran berbeda dalam proses mengasuh,
penghasilan yang kurang akan membuat pengasuh merasakan beban yang tinggi karena dalam
merawat anaknya memrlukan biaya yang cukup mahal. Status pernikahan pengasuh yang tidak
memilki pasangan akan mengakibatkan beban yang tinggi dimana mereka harus mengasuh
anaknya tanpa ada bantuan dari pasangan. Hubungan dengan keluarga, jika pengasuh memiliki
hubungan yang tidak baik dengan keluarga maka akan membuat pengasuh merasakan beban
yang tinggi dimana tidak ada yang membantu dalam mengangani anak. Dukungan keluarga,
pengasuh yang tidak dapat dukungan dari keluarga akan merasakan beban yang cukup tinggi
dimana kurangnya dukungan dari orang terdekat

Anda mungkin juga menyukai