Anda di halaman 1dari 11

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI


Dosen Pengampu: Rindha Widyaningsih, S.Fil, M.A

Review 3 Jurnal Komunikasi
Nama : Leli Ristawati
NIM : F1C010048

JURNAL 1

Judul : Does marriage make people happy, or do happy people get married?
Penulis : Alois Stutzer & Bruno S. Frey
Penerbit : The Journal of Socio-Economics
University of Zurich, Switzerland
Received 4 June 2003; accepted 12 October 2004
Tema : Komunikasi Keluarga
Abstraksi
Jurnal ini meneliti tentang orang-orang yang memutuskan untuk menikah nantinya
dan yang memutuskan untuk selibat atau tidak menikah sampai usia lanjut. Penelitian ini
memakan waktu selama 7 tahun dan memasukan beberapa pengaruh pembagian kerja dalam
kehidupan keluarga seseroang yang nantinya menikah dengan yang berkeputusan untuk
selibat. Pembagian kerja ini nantinya berpengaruh pada sikap yang akan diambil yang
bersangkutan terkait dengan menikah atau tidaknya. Meskipun penelitian ini lebih cenderung
menggunakan metode kuantitatif, namun dengan teknik wawancara dan observasi selama 7
membuat penelitian ini juga menggunakan metode kualitatif. Sementara itu, aspek pendidikan
juga dilibatkan dalam penelitian ini. Pada subjek yang memutuskan untuk menikah dan
mempunyai pasangan, ternyata kebahagiaan tidak bisa didapat begitu saja. Karena tingkat
pendidikan yang lebar antara suami dan istri dapat menimbulkan efek negatif pada tingkat
kepuasan hidup.

Latar belakang
Pernikahan adalah salah satu institusi legal yang penting dalam kehidupan
seseorang. Institusi ini mengatur hubungan manusia dan komitmen yang terbentuk
diantaranya. Komitmen ini memiliki efek positif bagi kedua pasangan dalam kontribusinya
meraih sebuah kebahagiaan. Dalam jurnal ini yang ingin difokuskan adalah efek dari
keputusan menikah. Menggunakan survey yang dilakukan peneliti dan The German Socio-
Economic Panel, memberi kita keleluasaan untuk menganalisa, apakah menikah itu membuat
orang bahagia, atau orang-orang bahagiakah yang memutuskan untuk menikah? Atau apakah
pernikahan menciptakan kebahagiaan atau sebuah kebahagiaan yang meningkatkan
prosentase terjadinya pernikahan? Penelitian ini juga tidak menganjurkan pembacanya untuk
menikah atau malah tidak menikah, tapi lebih kepada pemberian informasi akan
perbandingan kehidupan orang yang menikah dan tidak.
Metode
Penelitian ini melibatkan 15.286 orang dengan rentang umur: 20-40 tahun yang
memakan waktu selama 7 tahun ini mengambil sampel dari wanita yang dalam rentang 17
tahun terakhir ini memutuskan untuk menikah, lalu dianalisis tingkat kepuasannya dari
berbagai sisi melalui pertanyaan-pertanyan atau survey. Bagi sampel yang masih single dan
berencana untuk menikah, diberlakukan penelitian demikian: 3 tahun sebelum menikah, 3
tahun setelah menikah dan 1 tahun untuk evaluasi. Bagi sampel yang memang tidak akan
menikah, maka penelitian akan tingkat kepuasannya dipantau selama 7 tahun itu dengan
mendasarkan survei pada berbagai aspek seperti ekonomi, tingkat afeksi, kepuasan pada
keluarganya, pembagian kerja dikeluarganya, dan lain-lain. Instrumen lain yang dipakai
contohnya adalah pada pertanyaan awalan mengenai Seberapa puaskah Anda dengan
kehidupan Anda? dengan menggunakan skala 0 jika sangat tidak puas dan 10 jika sangat
puas dengan kehidupannya. Pertanyaan ini merupakan sebuah awal dari banyaknya sub-
pertanyaan lain yang akan dijelaskan pada tabel-tabel dibagian hasil penelitian.


Hasil
Dengan mengkategorikan objek penelitian menjadi beberapa jenis yaitu kepuasan
wanita dilihat dari sisi gaji, pendidikan dan karir. Berikut adalah beberapa poin penting yang
ada dalam jurnal ini:
1. Dibandingkan dengan single, orang yang menikah memiliki kesehatan fisik dan psikis
yang lebih baik karena kurangnya depresi yang ditimbulkan. Mereka juga akan hidup
lebih lama. Bukti mengenai hal ini telah diteliti sebelumnya oleh Burman dan Margolin
(1992) serta Ross (1990). Sebagai tambahan, Waite dan Gallagher (2000) meneliti lebih
rinci dari sisi pendapatan, kesehatannya, tingkat kelahiran, penghargaan terhadap
kehadiran anak dan kepuasan seksual.
2. Orang yang menikah dilaporkan memiliki angka subjektivitas yang lebih besar
ketimbang orang-orang yang belum pernah menikah, bercerai, berpisah dengan pasangan
atau menjadi janda-duda.
3. Diantara orang-orang yang tidak menikah, individu yang memiliki partner atau pasangan
berbagi, akan lebih bahagia ketimbang yang sebaliknya.
4. Tabel 1 mengestimasikan 1333.952 sampel observasi dari 15.286 orang yang
menunjukkan fungsi kebahagiaan pada tataran mikroekonomik. Hal pertama yang bisa
disimpulkan adalah ada efek kepuasan yang positif pada orang yang telah menikah
dibandingkan mereka yang single. Sampel yang tidak menikah namun meiliki pasangan
berbagi memiliki tingkat kepuasan agak di bawahnya. Sementara orang-orang yang telah
menikah namun bercerai menunnjukkan angka paling rendah pada taraf kepuasan
hidupnya.

5. Grafik ini menunjukkan tingkat kepuasan 3 kategori sampel yang dikelompokkan
peneliti.


6. Grafik ini menunjukkan tingkat kepuasan orang-orang yang memutuskan untuk
menikah. Diteliti sejak sebelum menikah sampai beberapa tahun setelah menikah.
Kepuasan ini mendasarkan diri pada ukuran umur, tingkatan edukasi/ pendidikan,
pola asuh dalam keluraga batih, pendapatan, ukuran perabotan rumah tangga,
posisinya pada pengaturan pekerjaan dalam rumah, dan hubungannya dengan
tetangga.

7. Grafik ini menunjukkan tingkat kepuasan yang diperoleh responden terkait dengan
perbedaan pendapatan yang diperoleh pasangannya atau calon pasangannya.

8. Hasil akhirnya adalah lebih bahagia orang yang menikah, daripada orang yang
memutuskan untuk atau tidak menikah, apapun kelaminnya tidak berpengaruh
JURNAL 2

Judul : Who Have Higher Psychological Well-Being? A Comparison Between
Early Married And Adulthood Married Women
Penulis : Lavina Rosalinda, Latipun, Yuni Nurhamida
Penerbit : Journal of Educational, Health and Community Psychology 2013, Vol. 2,
No. 1. ISSN: 2088-3129
Tema : Komunikasi Keluarga
Abstraksi
Secara teoritis, pernikahan dan usia adalah aspek yang saling berkaitan dengan
tingkat psychological well-being (PWB). Orang yang menikah cenderung lebih sehat dari sisi
psikis dan fisik, jadi hal itu akan meningkatkan angka PWB. Angka ini akan ini uga lebih
tinggi pada orang dewasa ketimbang yang muda. Pertanyaannya adalah bagaimana dengan
wanita yang menikah di usia belia maupun yang menikah di usia dewasa? Penelitian ini akan
perbedaan di antara kedua subjek itu menggunaka skala PWB sebagai instrumen
penelitiannya. Penelitian ini melibatkan 67 wanita dengan usia 20-30 tahun, yang menikah
baik di bawah umur 20 dan diatas 20 tahun.

Latar Belakang
Psychological well-being (PWB) adalah konsep psikologis manusia sebagai individu
yang mampu menerima dirinya apa adanya, PWB tidak memiliki gejala dan penekanan
tertentu. PWB sangat penting karena nilai mentalitas yang positif membuat individu mampu
mengidentifikasi apa yang terhilang dari dirinya. Diungkapkan dalam jurnal ini bahwa
individu dengan angka PWB yang tinggi adalah individu yang puas dengan kehidupannya,
mempunyai kondisi emosional yang positif, mampu menghadapi dan mengatasi pengalaman
buruk, mempunyai hubungan yang baik dengan sesama, mampu mewujudkan keinginannya
sendiri tanpa ketergantungan dengan orang lain, mampu mengendalikan kondisi lingkungan,
mempunyai tujuan yang jelas dalam hidupnya dan mampu mengembangkan dirinya (Ryff,
1989).
Pernikahan menolong seseorang untuk lebih sehat secara fisik dan psikologis dan
membawa efek yang positif dalam kehidupan (Wilson & Oswald, 2005). Tapi adanya
kekerasan dalam rumah tangga, perceraian, atau pernikahan yang tidak direncanakan dapat
menyebabkan individu memiliki angka PWB yang rendah. Ketidakharmonisan dalam
pernikahan ini bisa dipicu banyak faktor terutama yang disorot dalam jurnal ini adalah
kurangnya usia atau kurang dewasa secara usia dari pihak suami maupun istri.
Survey dalam korang Suara Merdeka pada tahun 2011 mengungkapkan bahwa 44%
wanita menikah di usia belia. Hal ini dapat memicu kekerasan karena usia muda diidentikkan
dengan pengekangan kebebasan dari keluarga besar, terutama dalam hal berkeluarga sendiri.
Terutama saat orang-orang yang lebih tua merasa bahwa anak-anak muda lebih suka
berkumpul dengan sesamanya ketimbang mengurus keluarga. Kurangnya kepercayaan ini
menyebabkan keluarga besar melakukan pengekangan dan berdampak pada tkurang
bahagianya pasangan muda.
Sementara pasangan yang menikah pada usia matang lebih siap diperhadapkan
dengan masalah-masalah keluarga baik sevcara fisik maupun psikis sehingga dinamika
kehidupan berkeluarga dapat ditangani dengan baik.

Metode
Penelitian ini mengikutsertakan 67 wanita dengan umur 20-30 tahun yang menikah
dibawah atau diatas 20 tahun. Berdomisili di daerah Song-song, Kraguman, Wajak dan
Kendal Payak, Malang, Jawa Timur. Nilai rata-rata subjek penelitian ini adalah 50, sementara
standar nilai devisiasinya adalah 10. Teknik pengambilan samplingnya adalah purposive
smapling. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan skala PWB yang dikembangkan
oleh Caroll D. Ryff (1989). Mengukur beberapa aspek dalam hidup yang meliputi;
penerimaan diri sendiri, relasi positif dengan sesama, otonomi, pengaruh lingkungan, tujuan
hidup dan pertumbuhan individu, nilai konsistensi internalnya adalah .33 sampai .56 npada
tiap aspek (Liwarti, 2013).
Dari 42 nomor pertanyaan yang diajukan (tidak disertakan dalam jurnal), ada 5 opsi
tanggapan yang diajukan (sangat tidak setuju, tidak setuju, ragu-ragu, setuju, dan sangat
setuju). Ada 34 wanita yang menikah dibawah umur 20 tahun dan 33 wanita yang menikah
diatas umur 20 tahun.


Hasil

Hasil menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara wanita yang
menikah di usia belia dan yang menikah di usia matang (t=3.816, p=0.000, p=<0,01). Wanita
yang menikah di usia matang memiliki angka PWB yang lebih tinggi ketimbang wanita yang
menikah di usia muda. Hasil lainnya juga menunjukkan bahwa wanita yang menikah pada
usia diatas 20 tahun memahami betul tentang arti penerimaan diri sendiri, memiliki relasi
yang lebih positif dengan sesama, mampu mengendalikan otonomi keluarga dan dirinya,
mampu mengontrol pengaruh lingkungan terhadap keluarganya, memiliki tujuan hidup yang
jelas dan mampu membawa keluarganya ke arah yang jelas tentunya dengan didampingi dan
didukung peran suami. Keseluruhan penelitian ini juga ingin memberi gambaran dan saran
bagi masyarakat bahwa usia dini meskipun sudah matang secara fisik, namun sebenarnya
belum siap dalam mengarungi bahtera rumah tangga secara mandiri dan yang kadang terpisah
dengan keluarga besar. Karena jiwanya yang madu sangat muda, masih ada kecenderungan
untuk mengikuti ego individu ketimbang memprioritaskan kepentingan keluarganya sendiri.

JURNAL 3

Judul : The Reasons for a Divorce: Six Cases from the Religion Court of Purwokerto
in Central Java, Indonesia
Penulis : Syamsuhadi Irsyad
Penerbit : SOSIOHUMANIKA: Jurnal Pendidikan Sains Sosial dan Kemanusiaan,
6(1) Mei 2013
Tema : Komunikasi Keluarga
Abstraksi
Artikel ini berjudul Alasan untuk Bercerai: Enam Kasus dari Pengadilan Agama
Purwokerto di Jawa Tengah, Indonesia. Perkawinan dimaksudkan untuk kebaikan, namun
kenyataannya masih ditemui perkawinan yang tidak mampu mencapai tujuan yang mulia,
sebagaimana diharapkan oleh pasangan suami isteri dan diamanatkan oleh ketentuan Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal. Kadangkala yang terjadi justru sebaliknya, konflik keluarga yang berkepanjangan
dapat berakibat terjadinya perceraian. Penelitian ini merupakan penelitian normatif deskriptif
dengan menggunakan metode studi kasus kualitatif, yang dimaksudkan untuk memberikan
gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai alasan-alasan penyebab perceraian dalam
pemeriksaan perkara di Pengadilan, dengan mengacu pada norma yang ada. Penentuan lokasi
penelitian dilakukan secara purposif di wilayah hukum Pengadilan Agama Purwokerto.
Populasi dalam penelitian ini adalah kasus perceraian yang diajukan ke Pengadilan Agama
Purwokerto selama tahun 2011..

Latar Belakang
Ddalam ajaran agama Islam, menikah bukan hanya sebagai sebuah kewajiban tapi
juga berhubungan erat dengan iman dan kepercayaan terhadap Allah. Merupakan bentuk
kedamaian dan kecintaan terhadap sesama terutama keluarganya. Menikah juga memiliki dua
dimensi berdasarkan arti pernikahan yang dituliskan pada UU no.1 1974 Pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, yaitu (1) dmensi hubungan antar sesama manusia, dan (2) dimensi hubungan manusia
dengan tuhannya. Seiring dengan poin pertama, hubungan dengan sesama, terutama pasangan
suami istri, dapat menimbulkan suatu pertengkaran. Konflik pastilah muncul dalam
kehidupan, terkadang dalam sebuah keluarga, konflik ini ada yang berlarut-larut dan
menimbulkan penyebab atau keinginan untuk bercerai.
Undang-undang no.1 1974 mengenai pernikahan di atas tidak memberikan
penjelasan mengenai makna perceraian. Rokhmadi (2008), seperti yang ditulis dalam jurnal
ini, mengatakan bahwa perceraian adalah pemutusan hubungan pernikahan yang bisa
dilakukan dengan berbagai cara dan bentuk. UU no. 3 tahun 1975 mengklasifikasikan
perceraian dalam 3 bentuk: (1) Perceraian akibat kematian, (2) Cerai talak dan Cerai gugat,
(3) Cerai karena keputusan pengadilan. Selain itu, perceraian juga merupakan konsekuensi
atas tidak harmonisnya kehidupan bersama antara suami dan istri (Depag RI, 1974).
Ada dua jenis perceraian yaitu: (1) Talak. Perceraian yang diajukan oleh pihak
suami. (2) Cerai gugat. Perceraian yang diajukan oleh pihak istri. Keputusan pengadilan
mengacu pada pihak yang mengajukan.
Pereraian tidak hanya merusak ikatan keluarga, tapi juga menimbulkan berbagai
koonsekuensi mengenai hak dan obligasi terhadap pihak-pihak yang bersangkutan, berkaitan
dengan keputusan sidang. Namun, keputusan sidang saja terkadang tidak cukup untuk
menuntaskan permasalahan yang dialami pasutri yang bermasalah itu.
Berdasarkan permasalahan di atas, dituliskan bahwa rumusan masalahnya adalah:
(1) Apa tujuan pengajuan perceraian? (2) Alasan apa yang disetujui Pengadilan Agama Islam
Purwokerto berkaitan dengan pengajuan perceraian?

Metode
Penelitian ini adalah penelitian normatif deskriptif yang menerapkan metode
kualitatif studi kasus. Bertujuan untuk memberikan deskripsi komperhensif yang jelas
mengenai penyebab perceraian yang diteliti. Lokasi penelitian disekelsi atau dipilih secara
purposif yaitu daerah di sekitar Pengadilan Agama Islam Purwokerto, Jawa Tengah.
Populasinya adalah kasus-kasus pengadilan perceraian selama tahun 2011.
Data primer yang berupa kasus pengadilan dan hasil wawancara peneliti dengan
yang berkasus ditunjang dengan data sekunder yaitu dokumen-dokumen yang berasal dari
perpustakaan atau yang didapat melalui penelusuran internet berkaitan dengan kasus yang
diteliti. Selanjutnya penelitian ini akan mengklasifikasikan perceraian yang diajukan oleh
suami dan perceraian yang diajukan oleh istri.



Contoh Kasus
Ahmad Mustolih, 35 tahun, muslim, bekerja sebagai bagian keamanan pada
perusahaan swasta di Purwokerto adalah pihak yang tergugat dari istrinya (saat itu), Tri
Utami Irawati, 34 tahun, muslim, bekerja sebagai guru. Diputuskan pengadilan pada 18
Agustus 2011, kasus ini mengungkapkan bahwa Tri, yang mengajukan cerai gugat, tidak puas
dengan pendapatan tergugat (Ahmad) sejumlah Rp 800.000 setiap bulannya karena dirasa
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Selain itu, penggugat mengklaim
bahwa tergugat sulit untuk mematuhi saran penggugat seperti mentaati shalat lima waktu
yang merupakan kewajiban umat muslim.

Hasil
Perceraian adalah hal yang biasa dan sudah dimengerti dalam tatanan kehidupan
bermasyarakat. Dalam kasus ini pengajuan Cerai Gugat (cerai yang diajukan dari pihak istri)
lebih banyak, 4 kasus dari total 6 kasus yang diteliti. Hal-hal yang mendasari dikabulkannya
permohonan perceraian adalah dikarenakan sering terjadi pertengkaran dan perselisihan yang
dikarenakan isteri tidak taat pada suami, nafkah untuk kebutuhan hidup kurang, adanya
perselingkuhan, pergi tanpa pamit, suami melakukan penganiayaan terhadap isteri, dan suami
melakukan pernikahan siri tanpa diketahui isteri.
Namun seburuk apapun sikap suami dimata istri maupun sebaliknya, ada baiknya
keluarga tetap dipertahankan demi anak dan komitmen yang telah dibentuk sejak awal
pernikahan diputuskan. Bila ditinjau lebih jauh, komitmen inilah yang akan menguatkna
ikatan pernikahan pasutri dan secara tidak langsung mampu mendidik keduanya dalam
mengendalikan emosi dan mengatasi permasalahnnya sendiri dengan mengedepankan
prioritas masalah.
Juri pengadilan juga diharapakna mampu dengan jeli dan berhati-hati dalam
mengabulkan pengajuan cerai. Bisa jadi pengajuan itu hanyalah tipu daya salah satu pihak
dan menguntungkan dirinya sendiri serta melarikan diri dari tanggung jawabnya sebagai
suami atau istri.

Anda mungkin juga menyukai