Anda di halaman 1dari 21

PELAYANAN KONSELING UNTUK REMAJA PUTRI USIA PERNIKAHAN

DINI

REVIEW JURNAL

Disusun untuk memenuhi tugas ujian tengah semester matakuliah Psikologi


Konseling

yang dibina oleh Muallifah, S.Psi., MA

Disusun Oleh

Hannani Shulfiyati
17410041 / B

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2019
Judul : Pelayanan Konseling untuk Remaja Putri Usia Pernikahan Dini

Penulis : Afri Rahmadia Marta

Judul jurnal : Keputusan Perempuan Menikah Dini

Volume : Volume 6 No.0 3 2017, hlm 101-104

A. LATAR BELAKANG
Masa dewasa merupakan salah satu periode dalam rentangan kehidupan
manusia, dimana individu meninggalkan masa remajanya. Masa dewasa
merupakan masa atau periode yang terpanjang dalam keseluruhan rentang
hidup seorang individu, yaitu antara kurang lebih 18 tahun hingga individu itu
meninggal dunia. Namun, sama halnya dengan masa remaja, para ahli
menemukan kesulitan untuk menentukan kapan masa dewasa itu dimulai. Hal
ini karena setiap kebudayaan berbeda-beda dalam menentukan kapan seseorang
mencapai status dewasa secara formal. Pada sebagian besar kebudayaan kuno,
status ini tercapai apabila pertumbuhan pubertas telah selesai atau setidak-
tidaknya sudah mendekati selesai dan apabila organ kelamin anak telah
mencapai kematangan serta mampu berproduksi. Desmita (2008:3)
menjelaskan bahwa dalam kebudayaan Amerika, seorang anak dipandang
belum mencapai status dewasa kalau ia belum mencapai usia 21 tahun.
Sementara itu dalam kebudayaan Indonesia, seseorang dianggap resmi
mencapai status dewasa apabila sudah menikah,meskipun usianya belum
mencapai 21 tahun.
Menurut Santrock (2002:4) setidaknya ada dua kriteria yang harus
terpenuhi untuk menunjukkan akhir masa remaja dan permulaan dari masa
dewasa, yaitu kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam
membuatkeputusan. Kemandirian ekonomi ditandai dengan pekerjaan yang
berpenghasilan yang dimiliki oleh seseorang yang telah menginjak usia dewasa.
Sedangkan kemandirian dalam membuat keputusan ditandai dengan
kemantapan seseorang dalam pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan cinta atau pasangan hidup.
Terlepas dari perbedaan dalam penentuan waktu dimulainya status
kedewasaan tersebut, pada umumnya psikolog membagi masa dewasa atas tiga
periode, seperti yang dijelaskan oleh Feldman (dalam Santrock, 2007:6), yaitu
early adulthood (masa dewasa awal) sekitar usia 20 tahun dan berlangsung
sampai sekitar usia 40-45 tahun; middle adulthood (pertengahan masa dewasa)
sekitar usia 40-45 sampai sekitar usia 65 tahun; dan old age (masa dewasa lanjut
atau masa tua) sekitar usia 65 tahun sampai meninggal.
Masa dewasa awal disebut usia reproduktif karena pada masa ini
sebagian besar individu cenderung memilih untuk menikah dan berperan
sebagai orangtua. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (2012:278) bahwa di
antara banyak tugas perkembangan orang dewasa awal, tugas-tugas yang
berkaitan dengan pekerjaan dan hidup berkeluarga merupakan tugas yang
sangat banyak, sangat penting dan sangat sulit diatasi. Dengan demikian, tugas
perkembangan pada periode dewasa awal adalah memilih pasangan hidup,
membentuk keluarga dan mengelola sebuah rumah tangga.
Pernikahan merupakan tugas perkembangan orang yang memasuki
tahap masa dewasa awal, seperti yang diungkapkan oleh Havigurst (dalam
Dariyo, 2003) ialah mencari dan menemukan calon pasangan hidup. Pernikahan
merupakan salah satu tugas perkembangan. Tugas perkembangan sendiri ialah
segala yang harus dilalui individu pada suatu tahap perkembangan. Jika ada
tugas perkembangan pada tahapnya tidak terselesaikan pada saatnya akan
menghambat perkembangan ke tahap selanjutnya. Hal tersebut menyebabkan
kemampuan psikis tidak berjalan optimal.
Penentuan batas minimum usia perkawinan sangat penting, sebab
secara tidak langsung mempengaruhi kualitas rumah tangga. Sebuah keluarga
yang berkualitas akan mencetak generasi yang lebih baik. Kehidupan yang
tentram, damai, dan teratur adalah idaman bagi setiap orang. Sama halnya
dengan kehidupan berumah tangga yang merupakan benteng untuk
menanggulangi permasalahan kehidupan dalam dewasa ini. Oleh karena itu
dalam melaksanakan perkawinan diperlukan kesungguhan dan keseriusan.
Karena sebuah rumah tangga akan muncul berbagai permasalahan yang
dihadapi setiap pasangan, yang jelas akan memerlukan sikap dan pikiran yang
matang untuk dapat menyelesaikan persoalan yang ada.
Kenyataannya masih terdapat fenomena pernikahan, yaitu menikah
dini. Pelakunya adalah remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Fenomena
nikah di usia dini masih dijumpai di luar negeri maupun dalam negeri.
Masyarakat Timur Tengah dan Asia Selatan pada beberapa kelompok
masyarakat di Sub Sahara Afrika. Di Asia Selatan terdapat 9,7 juta anak
perempuan 48% menikah umur di bawah 18 tahun, Afrika sebesar 42% dan
Amerika Latin sebesar 29%. Penelitian di Bangladesh terdapat 3.362 remaja
putri terdapat 25,9% menikah di usia muda disebabkan karena faktor
pendidikan. Penelitian di Jeddah Saudi Arabia menunjukkan 27,2% remaja
menikah sebelum berusia 16 tahun (Rafidah dkk, 2009). Di India, 47% dari
pernikahan berusia kurang dari 18 tahun.
Berdasarkan latar belakang dan fakta tersebut, penulis tertarik dengan
topik tersebut karena pada masa sekarang banyak seseorang yang usia dini
sudah melakukan pernikahan sehingga perlu dijadikan kajian penelitian untuk
mengetahui bagaimana Pelayanan Konseling untuk Remaja Putri Usia
Pernikahan yang baik. Akan dibahas dalam riview jurnal ini.
B. TUJUAN
Berdasarkan Latar Belakang tersebut, penulis ingin menunjukkan apa
tujuan dari penelitian tersebut yaitu :
1. Untuk Mengetahui Pengertian dari Pernikahan Usia Muda.
2. Untuk Mengetahui Faktor penyebab apa saja yag menjadikan Pernikahan
Usia Muda.
3. Untuk Mengetahui Kondisi Pribadi Wanita pada Pernikahan Usia Muda.
4. Untuk Mengetahui Masalah dalam Pernikahan Usia Muda.

C. LANDASAN TEORI
1. Pengertian Pernikahan Usia Muda
Pernikahan merupakan proses awal pembentukan suatu rumah tangga
yang kelangsungannya sangat tergantung dari kesiapan, kematangan dan
kualitas mental. Untuk mencapai pernikahan yang bahagia diperlukan
persiapan baik dari pihak pria maupun pihak wanita. Oleh karena itu, baik
pria maupun wanita harus sudah benarbenar siap dan matang baik secara
fisik maupun psikis untuk melakukan pernikahan.
Pernikahan atau perkawinan merupakan salah satu variabel yang dapat
mempengaruhi proses pendewasaan pada seseorang. Lebih lanjut lagi
diterangkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 Ayat 1 bahwa “Perkawinan hanya diizinkan bila pihak pria
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai
usia 16 (enam belas) tahun.” Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Agama
Republik Indonesia No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah Pasal 8
dijelaskan bahwa “Apabila seorang calon suami belum mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan seorang calon isteri belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun, harus mendapat dispensasi dari pengadilan”. Pasal-
pasal tersebut sangat jelas hampir tak ada alternatif penafsiran, bahwa usia
yang diperbolehkan menikah di Indonesia untuk pria 19 (sembilan belas)
tahun dan untuk wanita 16 (enam belas) atau 18 (delapan belas) tahun.
Berdasarkan peraturan tersebut, Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional atau disingkat menjadi BKKBN melalui promosi di
media cetak dan media eletronik pada tahun 2013 mengemukakan bahwa
usia yang ideal untuk melakukan pernikahan adalah usia antara 21-25 tahun
bagi wanita dan usia 25-30 tahun bagi pria. Menurut beberapa sumber data
menunjukkan usia wanita menikah di Indonesia masih tergolong usia muda,
yaitu di bawah 21 tahun. Pernikahan di bawah 21 tahun sering disebut
sebagai pernikahan usia muda. Hal ini disebabkan secara kesehatan
reproduksi bisa dikatakan masih terlalu muda, secara mental sosial belum
siap dan secara ekonomi juga biasanya belum mapan. Sejalan dengan hal
itu, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 11 Tahun 2007
tentang Pencatatan Nikah Pasal 7 juga telah menjelaskan bahwa “Apabila
seorang calon mempelai belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun,
harus mendapat izin tertulis kedua orangtua”. Izin ini sifatnya wajib, karena
usia itu dipandang masih memerlukan bimbingan dan pengawasan
orangtua/wali.
Sebelum memasuki jenjang pernikahan, seseorang sudah dihadang oleh
persoalan yang berhubungan dengan penyesuaian, baik terhadap calon istri
atau suami, maupun terhadap orang-orang lain yang mempunyai hubungan,
beserta norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Demikian juga
selama menjalani hidup berumah tangga, sering timbul masalah yang
berhubungan dengan konflik dalam kehidupan pernikahan yang dipicu oleh
banyak faktor. Selain itu, berdasarkan wawancara dengan salah seorang
Bidan yang bertugas di Klinik Nasywa Kota Sungai Penuh Provinsi Jambi
pada tanggal 21 Juni 2013 diperoleh informasi bahwa kurangnya kesiapan
mental pada beberapa calon ibu dalam menghadapi kelahiran anaknya dan
sikapnya terhadap kehamilan merupakan masalah-masalah yang sering
timbul pada masa dewasa awal ini.
2. Faktor Penyebab Pernikahan Usia Muda
Banyak faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk menikah
pada usia tersebut, diantaranya adalah faktor sosial, ekonomi dan budaya.
Faktor sosial yang berpengaruh terhadap perkawinan usia muda pada
wanita adalah faktor pendidikan. Rendahnya pendidikan orangtua dan
remaja mendorong untuk melakukan pernikahan pada usia di bawah 21
tahun, perempuan remaja yang tidak melanjutkan sekolah akhirnya
menganggur, karena sulitnya mencari pekerjaan.
Faktor ekonomi yang mempengaruhi pernikahan adalah jumlah
pendapatan orangtua. Orangtua yang berpendapatan rendah biasanya tidak
mampu membiayai sekolah anaknya sehingga orangtua ingin anaknya
segera menikah, ingin lepas dari tanggungjawab dan orangtua berharap
mendapat bantuan secara ekonomi. Pada umumnya mereka hanya tamat
SD, SMP atau SMA. Berdasarkan data catatan pernikahan dari KUA
Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci tahun 2012-2013
diperoleh keterangan tentang jenjang pendidikan wanita yang mengalami
pernikahan usia muda, yaitu 45 wanita yang tamat SMA, 50 wanita yang
tamat SMP, dan 26 wanita yang tamat SD. Dengan kondisi tersebut
daripada menjadi beban keluarga akhirnya orangtua menganjurkan anaknya
untuk segera menikah.
Faktor budaya yang mempengaruhi perkawinan adalah tradisi di daerah
setempat. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang Ibu dari
wanita yang menikah usia muda pada tanggal 10 Agustus 2013 diperoleh
keterangan bahwa pernikahan usia muda yang dialami oleh putrinya
dipengaruhi oleh lingkungan setempat yang berpendapat bahwa malu
menjadi perawan tua, lebih baik jadi janda muda daripada perawan tua. Jadi,
konotasi perawan tua merupakan momok bagi sebagian masyarakat yang
tinggal di Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci.
Beberapa wanita di Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci
telah menikah pada usia muda. Berdasarkan hasil wawancara dengan
petugas KUA Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci pada
tanggal 15 Agustus 2013 diperoleh keterangan bahwa faktor penyebab
terjadinya pernikahan usia muda berbedabeda, diantaranya rendahnya
pendidikan orangtua dan remaja di Kecamatan Air Hangat Timur
Kabupaten Kerinci mendorong untuk melakukan pernikahan pada usia di
bawah 21 tahun. Selama menjalani hidup berumah tangga, sering timbul
masalah yang berhubungan dengan konflik dalam kehidupan pernikahan
yang dipicu oleh banyak faktor. Selain itu, kurangnya kesiapan mental pada
beberapa calon ibu dalam menghadapi kelahiran anaknya dan sikapnya
terhadap kehamilan, juga merupakan masalah-masalah yang sering timbul
pada masa dewasa awal ini dengan adanya pernikahan usia muda pada
wanita di Kecamatan Air Hangat Timur Kabupaten Kerinci.
3. Kondisi Pribadi Wanita pada Pernikahan Usia Muda.
Pernikahan usia muda terjadi pada wanita usia dibawah 21 tahun. Pada
usia rentangan usia 16-20 tahun, seorang wanita mulai menemukan nilai-
nilai hidup baru, sehingga semakin jelaslah pemahaman tentang keadaan
diri sendiri. Menurut Kartono (2006:66) pada periode ini seseorang mulai
bersikap kritis terhadap objek-objek di luar dirinya dan ia mampu
mengambil sintese antara dunia luar dan dunia internal. Pada perkembangan
ini dibangun dasar-dasar yang akan menentukan pembentukan
kepribadiannya. Oleh karena itu, periode usia tersebut merupakan
perjuangan terakhir bagi remaja menjelang kedewasaannya.
Masa dewasa awal sebenarnya merupakan kelanjutan dari masa remaja.
Menurut Santrock (2007:4), setidaknya ada dua kriteria yang harus
terpenuhi untuk menunjukkan akhir masa remaja dan permulaan dari masa
dewasa, yaitu kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat
keputusan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Sigmund Freud (dalam Prayitno,
2006:4) mengungkapkan seseorang yang telah dewasa itu mampu
bertanggung jawab terhadap segala tingkah laku dan pekerjaan atau karir
yang dilakukannya sehari-hari dan terhadap cintanya yang telah
dinyatakannya pada seseorang. Pada fase dewasa awal ini manusia menjadi
matang dalam berpikir untuk memikul tanggung jawab dan cinta terhadap
pasangannya yang telah menjadi pilihannya, selanjutnya akan melakukan
pernikahan dan membentuk keluarga.
Sejak seseorang menyandang status dewasa, ia diharapkan memiliki
kesiapan untuk menerima kewajiban dan tanggung jawab sebagai orang
dewasa, yang ditunjukkan dengan pola-pola tingkah laku sebagaimana yang
berlaku pada kebudayaan sekitarnya. Sampai saat ini belum ada rumusan
tugas-tugas perkembangan yang khas bagi orang dewasa sesuai dengan
karakteristik kebudayaan Indonesia, secara teoritis rumusan tugas-tugas
perkembangan yang diajukan oleh Robert J. Havighurst agaknya dapat
dijadikan acuan. Dalam hal ini, Havighurst (dalam Santrock, 2007:16)
menyebutkan 8 tugas perkembangan orang dewasa awal, yaitu:
a. Memilih Jodoh
b. Belajar hidup bersama dengan suami atau istri
c. Mulai hidup berkeluarga
d. Membesarkan anak.
e. Mengelola rumah tangga.
f. Mulai bekerja.
g. Memikul tanggungjawab.
h. Menemukan kelompok sosial yang cocok dengan nilai-nilai yang
dianutnya.
Tugas perkembangan periode dewasa awal yang ditandai kemandirian
secara karir dan cinta dapat dicapai dengan optimal oleh seseorang individu
apabila tugas perkembangan pada periode sebelumnya yaitu periode remaja
akhir telah terpenuhi. Oleh sebab itu, disarankan bagi wanita untuk tidak
menikah pada usia di bawah 21 tahun.
4. Masalah dalam Pernikahan Usia Muda.
Masalah akan dialami seseorang apabila hal yang terjadi padanya tidak
sesuai dengan yang diharapkannya. Menurut Winkel (1997:334) masalah
adalah suatu kondisi, situasi suasana yang tidak mengenakkan yang dapat
mengganggu berjalan dan berkembangnya kehidupan.
Wanita yang menikah pada usia muda menghadapi problem atau
masalah. Charoters, et al. (dalam Kertamuda, 2009:31) mengemukakan
bahwa dampak dari seorang wanita yang melahirkan di usia muda memiliki
perasaan sangat mendalam pada anak yang dilahirkannya. Hal tersebut
sering membuat mereka dibebani oleh tanggung jawab sebagai orangtua,
termasuk sebagai pengasuh dan model bagi anak-anaknya.
Untuk mengatasi masalah yang terjadi, maka ibu muda perlu
menyeimbangkan antara tanggung jawab sebagai orangtua dan kebutuhan
akan pendidikan lanjut, menjaga keamanan sosial ekonomi, serta memenuhi
kebutuhan, baik semosional dan fisik dari anaknya. Hal ini tidak mudah
karena menurut Furstenberg, et al. (dalam Kertamuda, 2009:32) remaja
yang menjadi orangtua sering menghadapi lingkungan yang tidak nyaman
karena mereka berperan sebagai orangtua dan juga bertanggung jawab
untuk memenuhi segala kebutuhan, padahal mereka tidak mempunyai
pendidikan yang cukup dan tidak pula bekerja.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dihubungkan dengan pendapat
Mooney (dalam Prayitno dan Amti, 1994:242) yang mengidentifikasi 330
masalah yang sering terjadi pada seseorang individu kemudian dibagi
kembali oleh Prayitno dkk (1996:2) dalam beberapa bidang masalah
melalui Alat Ungkap Masalah (AUM) Umum Masyarakat, yaitu:
a. Jasmani dan kesehatan.
b. Diri pribadi.
c. Hubungan sosial dan kemasyarakatan.
d. Ekonomi dan keuangan.
e. Keadaan hubungan dalam keluarga.
f. Pendidikan, karir, dan pekerjaan.
g. Agama, nilai, dan moral
h. Hubungan dengan jenis kelamin lain dan perkawinan.
i. Waktu senggang

D. METODE PENELITIAN (PARTISIPAN, ALAT UKUR, PROSEDUR)


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Untuk memperoleh gambaran data yang relevan maka penelitian
dilakukan dengan menggunakan wawancara langsung dan observasi terhadap
enam orang resonden untuk menganalisa faktor penyebab perempuan
memutuskan untuk menikah di usia dini. Penentuan sampel dilakukan secara
purposive Sampling agar hasil yang diperoleh dapat diberlakukan untuk
populasi perempuan. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan
teknik analisa kualitatif yaitu mereduksi data, menyajikan data, dan menarik
kesimpulan.

E. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Keputusan perempuan menikah dini di Desa Pulo dapat dianalisa melalui
beberapa hal sebagai berikut:
Faktor dasar pertimbangan perempuan memutuskan untuk menikah dini
Keinginan ingin menikah muncul atas keinginan sendiri, yang
dipengaruhi oleh budaya masyarakat desa yang telah banyak menikah pada
usia dini, kemudian pendidikan non formal (pesantren) yang diajarkan oleh
para tengku menuntut mereka untuk segera cepat menikah, karena bagi
perempuan yang sudah baligh tidak baik menyendiri terlalu lama, khawatir
terjadi sesuatu yang tidak baik, serta kurangnya minat masyarakat terhadap
kelanjutan sekolah formal.
Hal ini sesuai dengan teori ketertarikan yang diungkapkan oleh Olson
Defrain (2012:79) yang dikenal dengan teori the stimulus value role theory,
ia menyebutkan bahwa “pemilihan pasangan merupakan proses dimana
individu tertarik pada calon pasangannya berdasarkan stimulus tertentu”.
Stimulus yang dimaksud dalam penelitian ini dapat diartikan seperti
ketertarikan terhadap daya tarik fisik, setelah tertarik pada fisik maka
ketertarikan akan muncul ketika keduanya sama-sama mengetahui
memiliki keyakinan yang sama, nilai yang sama, perasaan yang sama, strata
keluarga yang hampir sama, pendidikan yang sama, budaya yang sama dan
lain sebagainya. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Lott dan Lott (Abu
Ahmadi, 1999:231) dalam teori reinforcement yang menyatakan bahwa
“setiap orang dirangsang untuk menyukai orang lain”.
Profil perempuan desa Pulo yang telah menikah di usia dini
Bagi mereka kehidupan jauh lebih baik dibandingkan sebelum menikah,
karena para suami tidak menuntut mereka untuk bekerja membantu
perekonomian keluarga. Budaya masyarakat desa yang tidak terlalu
glamour membuat kehidupan rumah tangga menjadi lebih sederhana.
Sehingga para perempuan yang telah menikah tidak merasa terbebani
hidupnya. Mereka cukup mengerjakan pekerjaan Ibu Rumah Tangga
sebagaimana lazimnya. Para isteri di Desa Pulo juga tidak sibuk melakukan
program KB (keluarga Berencana) karena menurut mereka setiap anak
sudah ada rezekinya dari Allah SWT. Selain itu rendahnya pendidikan
diantara kedua belah pihak juga menyebabkan tidak terlalu banyak
permasalahan yang dialami oleh pasangan yang menikah di usia dini,
khusunya bagi perempuan itu sendiri.
Hal ini di dukung oleh pendapat Dryfoos (Santrock, 2003:166)
“sejumlah remaja yakin bahwa meningkatnya keberanian remaja
mengambil resiko, bukan disebabkan oleh faktor kematangan seperti
egosentrisme, tetapi lebih disebabkan oleh faktor konstektual seperti
kemiskinan, ekonomi keluarga yang buruk, dukungan pendidikan yang
kurang memadai”.
Bentuk-bentuk budaya masyarakat dalam kaitannya terhadap
perempuan di Desa Pulo
Masyarakat desa tidak dipengaruhi oleh arus dunia teknologi seperti
masyarakat perkotaan, Desa Pulo hanya sibuk melakukan kegiatan
pertanian seperti bersawah, berkebun, dan ke hutan. Untuk itu menikah dini
bukan diakibatkan oleh perilaku yang tidak senonoh atas televisi ataupun
informasi sex lainnya. Selain itu sikap masyarakat yang tidak pro terhadap
pendidikan formal menyebabkan pola pikir masyarakat masih terbelakang
terhadap cita-cita. Khusus bagi pemuda dan pemudi tidak memiliki
keberanian dan keinginan untuk sekolah tinggi, sehingga pilihan menikah
lebih cepat dianggap sangat baik untuk mengatasi jumlah pengangguran di
desa. Dalam perspektif mereka bahwa dengan menikah maka keinginan
untuk bertani di motivasi karena sudah berumah tangga. Dengan kondisi
yang demikian dapat disimpulkan bahwa Desa Pulo merupakan suatu
kawasan yang memiliki minat pendidikan rendah. Rendahnya minat
bersekolah pada masyarakat bukan dikarenakan sulitnya ekonomi, tapi
tidak adanya motivasi ekstrinsik yang menunjang. Seperti masyrakat dan
tokoh masyarakat yang tidak pro terhadap keberadaan pendidikan
konvensional, pemahaman yang sempit terhadap pendidikan, dan anak-
anak yang tidak memiliki goal yang dalam karirnya secara lebih luas.
Hal ini sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh Munandar
Soelaeman (2008:130) mengenai masyarakat desa yaitu “berkembangnya
cara bertani menyebabkan lahirnya suatu persekutuan hidup permanen pada
suatu tempat, kampung, babakan, dengan sifatnya yang khas yaitu
kekeluargaan, adanya kolektivitas dalam pembagian tanah, ada kesatuan
ekonomis yang memenuhi kebutuhan sendiri”. Konsepsi ini sangat
equivalendengan kondisi masyarakat Desa Pulo yang memiliki pekerjaan
dominan sebagai petani, mereka senantiasa berperilaku tolong-menolong
saat bekerja di sawah ataupun di kebun bahkan di hutan. Semua pekerjaan
bertani itu lebih cenderung mereka lakukan dengan cara kolektif. Untuk itu
tidak sulit bagi perempuan apabila harus menikah pada usia dini.
Pentingnya Bimbingan dan Konseling untuk Pernikahan Usia Muda
Pernikahan di usia yang masih muda dapat menimbulkan resiko
kesehatan bagi wanita, terutama apabila terjadi kehamilan di usia muda.
Menurut Kertamuda (2009:31) hal tersebut dikarenakan kematangan secara
biologis yang belum betul-betul sempurna dapat mengakibatkan kematian
saat melahirkan. Selain itu, kematangan secara pribadi juga masih belum
maksimal. Untuk itu, setiap pasangan perlu matang secara pribadi dalam
menghadapi lingkungan yang berbeda satu sama lain. Keluarga besar
terkadang memiliki peran yang kuat dalam kehidpan rumah tangga
pasangan suami istri, sehingga keputusan keluarga cenderung lebih
dominan. Permasalahan-permasalahan yang terjadi perlu disikapi secara
matang untuk menghindari hal-hal yang tidakdiinginkan dari pasangan
tersebut.
Selain itu, terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi sebagai seorang
remaja yang harus berperan sebagai ibu muda, diantaranya adalah bentuk
identitas, kegelisahan pada kemandirian dan pubertas. Pada kenyataannya
tidak mudah menjadi orangtua di usia muda karena dapat meningkatkan
resiko megatif pada mereka untuk menjadi orangtua yang cakap. Apabila
pasangan tidak dapat menangani apa yang terjadi pada kehidupan mereka,
maka sudah pasti kehidupan pernikahan mereka akan goyah.
Penanganan secara intensif perlu diberikan kepada pasangan suami istri
muda yang menghadapi masalah dalam pernikahannya. Hough dan Stevens
(dalam Kertamuda, 2009:32) menggaris bawahi dua tipe sistem dukungan,
yaitu formal dan informal. Sistem informal termasuk kerabat, teman-teman
dan tetangga. Sedangkan,dukungan formal termasuk institusi, agensi atau
program-program di luar keluarga yang mendukung.
Salah satu cara yang dapat ditempuh diantaranya adalah konsultasi dan
konseling yang mendalam pada pasangan, ini merupakan salah satu jalan
untuk dapat membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Menurut
Kertamuda (2009:32) hal tersebut bertujuan agar memperoleh gambaran
secara jelas dampak psikologis dari peristiwa yang menimpa dirinya dan
keluarganya. Sehingga melalui konseling diharapkan dapat memberikan
bantuan atau pertolongan terhadap keadaan, perasaan serta kondisi
psikologisnya dan juga rencana masa depannya.
Masalah yang dihadapi oleh pasangan dalam pernikahan dapat
dientaskan melalui layanan bimbingan dan konseling. Prayitno dan Amti
(1994:100) mengemukakan bahwa bimbingan adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seorang atau beberapa
orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa; agar orang yang
dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri;
dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat
dikembangkan; berdasarkan normanorma yang berlaku. Lalu Prayitno dan
Amti (1994:106) menjelaskan bahwa konseling adalah proses pemberian
bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli
(disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami sesuatu
masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang
dihadapi oleh klien. Dengan demikian, layanan bimbingan dan konseling
adalah proses pemberian bantuan oleh seorang konselor kepada klien
dengan tujuan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki klien dan
mengentaskan masalah yang dialami klien.
Konseling pernikahan dan keluarga merupakan suatu profesi yang baru
akan berkembang di Indonesia. Menurut Kertamuda (2009:119) konseling
ini menekankan pada perubahan sistem yang terdapat dalam keluarga.
Tahapan konseling, teori dan dinamika serta penggunaan keterampilan
konseling pada konseling pernikahan dan keluarga memiliki persamaan
dengan konseling individual dan konseling kelompok.
Prayitno (2004) menjelaskan tentang konseling individual sebagai salah
satu layanan yang diberikan kepada seorang individu yang mengalami
permasalahan peribadi dan diharapkan permasalahan tersebut dapat
terentaskan. Sedangkan, konseling kelompok adalah layanan yang
diberikan kepada sejumlah orang untuk membahas salah satu masalah
pribadi anggota kelompok.
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa bentuk bimbingan
dan konseling yang dapat diberikan pada pernikahan dan keluarga adalah
layanan konseling individual, konseling kelompok, konsultasi dan mediasi.
Pernikahan usia dini di negara Amerika Serikat
Disisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Jeremey & Charles di
Amerika Serikat mengungkapkan bahwa pernikahan dini memang
menurun dalam beberapa terakhir beberapa dekade, tetapi itu masih jauh
dari langka. Lebih dari 25% wanita menikah sebelum usia 23, seperti yang
terjadi lebih dari 15% pria muda. Pernikahan di awal masa dewasa jelas
bercorak ras. Hanya 11% wanita Afrika Amerika menikah sebelum usia 23
tahun. Wanita kulit putih dan Hispanik memiliki tingkat pernikahan
tertinggi sebelum 23 hampir 30% masing-masing, meskipun wanita
Hispanik tidak secara signifikan lebih mungkin menikah pada saat ini
daripada wanita Asia. Di antara laki-laki, orang kulit hitam adalah juga
yang paling tidak mungkin menikah sebelum usia 23. Hanya 9% menikah
sebelum usia ini, dibandingkan dengan 12% pria Asia dan 16% pria kulit
putih. Laki-laki Hispanik adalah yang paling mungkin menikah dini:
Hampir seperempatnya menikah sebelum usia 23.
Karakteristik demografis dan keluarga lainnya juga memainkan peran
penting dalam perkawinan waktu dewasa muda. Seperti prediksi hipotesis
geografi kami, pernikahan dini lebih umum bagi mereka yang tumbuh di
Selatan dan di daerah pedesaan. Lebih dari 30% dari semua wanita yang
tinggal di Selatan selama masa remaja menikah sebelum ulang tahun ke-23
mereka, seperti halnya tentang 37% dari mereka yang tinggal di daerah
pedesaan. Para pria muda dari Selatan juga memiliki angka awal yang lebih
tinggi perkawinan, meskipun laki-laki pedesaan secara statistik tidak lebih
atau kurang cenderung menikah lebih awal daripada mereka rekan-rekan.
Status sosial ekonomi orang tua juga merupakan faktor penting untuk
menikah muda di Amerika Serikat. Hanya sekitar 16% wanita muda
dengan orang tua berpendidikan tinggi dan berkebangsaan tinggi sekitar
10% pria muda menikah sebelum usia 23 tahun, dibandingkan dengan 29%
dan 19% wanita muda dan laki-laki, masing-masing, tanpa orangtua yang
berpendidikan tinggi. Tingkat pernikahan dini tidak berbeda, Namun,
berdasarkan tingkat pendapatan keluarga. Orang tua tampaknya telah
mentransmisikan norma perkawinan antar generasi. Wanita muda yang
tumbuh di rumah dengan struktur keluarga "lain" (termasuk mereka yang
hidup dengan biologis orang tua dan pasangan tinggal bersama orang tua
itu, serta mereka yang hidup tanpa orang tua kandung) dan remaja putra
dari keluarga orang tua tunggal paling sering menghindari pernikahan dini.
Bahkan, waktu pernikahan orang tua juga merupakan prediktor signifikan
pernikahan muda: Untuk kedua wanita dan laki-laki, mereka yang orang
tuanya menikah sebelum usia 21 lebih mungkin daripada rekan mereka
untuk menikah sendiri sebelum usia 23.
Pernikahan pada usia dewasa awal sangat bervariasi menurut afiliasi
agama. Lebih dari 42% wanita yang tumbuh sebagai Protestan konservatif
menikah sebelum usia 23. Para wanita ini lebih kemungkinan menikah
lebih awal dari Protestan Hitam, Protestan garis utama, Katolik, Yahudi,
dan wanita yang tidak beragama secara religius. Wanita Mormon juga
memiliki tingkat pernikahan mendekati 40%, tetapi berkat perwakilan kecil
mereka dalam sampel, mereka berbeda secara signifikan dari Hitam Wanita
Protestan dan Yahudi. Perempuan Yahudi, Protestan Hitam, dan Katolik,
di sisi lain tangan, adalah di antara wanita yang paling tidak mungkin untuk
menikah sebelum usia 23. Di bawah 1% wanita Yahudi, hanya 11% wanita
dari tradisi Protestan Hitam, dan hanya 17% wanita Katolik menikah lebih
awal. Wanita Protestan arus utama, wanita tidak terafiliasi, dan wanita dari
"lain" tradisi keagamaan menempati semacam jalan tengah sehubungan
dengan tingkat perkawinan sebelum usia 23. Pola angka pernikahan dini
pria berdasarkan tradisi keagamaan mereka selama masa remaja mirip
dengan itu untuk wanita, meskipun ada sedikit perbedaan statistik di antara
ini kelompok. Namun demikian, Protestan dan Mormon konservatif adalah
yang paling mungkin untuk menikah sebelum usia 23; laki-laki yang tidak
beragama, laki-laki Protestan arus utama, dan laki-laki dari "lain" tradisi
keagamaan jatuh di tengah spektrum; dan Katolik, Protestan Hitam, dan
Pria Yahudi memiliki tingkat pernikahan dini terendah.
Sejauh ini, kami telah menemukan variasi yang signifikan dalam
prevalensi pernikahan dini karakteristik demografis dan keluarga. Namun,
hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk variasi oleh karakteristik
pribadi. Memang, satu-satunya perbedaan signifikan dalam tingkat
pernikahan secara pribadi karakteristik adalah di antara mereka dengan
aspirasi pendidikan yang berbeda. Baik wanita maupun pria yang sangat
ingin menghadiri kuliah melaporkan prevalensi pernikahan yang lebih
rendah sebelum usia 23 dari rekan-rekan mereka. Menariknya, hadirin
ibadah dan arti-penting agama selama masa remaja, pantang berjanji, lulus
sekolah menengah, IPK sekolah menengah, dan bahkan riwayat hidup
bersama tidak dikaitkan dengan pernikahan sebelum usia 23 di antara
wanita atau pria.
karakteristik demografi dan keluarga adalah penting prediktor
perkawinan dini pada awal abad ke - 21, seperti yang dapat kita harapkan
dari Temuan bivariat pada Tabel 3. Tidak mengherankan, wanita hampir
dua kali lebih mungkin dibandingkan pria menikahlah lebih awal.
Meskipun pengaruh utama yang kuat dari gender pada pernikahan dini,
satu-satunya yang signifikan efek interaksi berdasarkan gender adalah
interaksi gender dan ras-etnis (tidak ditampilkan). Sebagai Tabel 3
menunjukkan, hanya orang Afrika-Amerika yang berisiko lebih rendah
daripada orang kulit putih untuk menikah lebih awal interaksi
menunjukkan bahwa perempuan kulit hitam dan hispanik lebih mungkin
dibandingkan laki-laki dari kelompok ras untuk menikah dini. Pria kulit
hitam, bagaimanapun, masih lebih kecil kemungkinannya daripada pria
kulit putih menikah lebih awal, dan pria Hispanik lebih cenderung menikah
lebih awal daripada pria kulit putih.
Karakteristik demografis dan keluarga lainnya memainkan peran
penting dalam pernikahan dini baik. Orang-orang yang tumbuh di Selatan
lebih cenderung menikah di usia yang lebih muda daripada mereka dari
bagian lain negara itu, setelah faktor-faktor berkorelasi seperti urbanitas
dan agama afiliasi. Demikian pula, orang dewasa muda yang tumbuh di
daerah pedesaan juga lebih cenderung menikah lebih muda dari mereka
yang tinggal di pinggiran kota. Status sosial ekonomi orang tua dan
karakteristik perkawinan juga mempengaruhi waktu pernikahan. Peluang
orang muda yang orang tuanya memiliki gelar sarjana menikah lebih awal
adalah 33% lebih rendah daripada rekan-rekan mereka, dan dewasa muda
dari keluarga dalam kategori pendapatan yang lebih tinggi juga memiliki
peluang pernikahan yang lebih rendah. Dewasa muda dari struktur keluarga
yang berbeda tidak berbeda dalam pengaturan waktu perkawinan mereka,
tetapi pengaturan waktu pernikahan orang tua berbeda prediksi pernikahan
dini. Orang yang orang tuanya menikah pada usia 22 atau lebih muda jauh
lebih mungkin menikahi diri mereka sendiri. Khususnya, ini adalah salah
satu prediktor terkuat pernikahan dini.
Tradisi agama juga merupakan faktor penting dalam pernikahan selama
masa dewasa awal, bahkan setelahnya akuntansi untuk faktor lain yang
mungkin menjelaskan asosiasi, seperti ras, wilayah tempat tinggal, dan
religiusitas (antara lain). Dewasa muda yang tumbuh sebagai konservatif
Orang Protestan, Mormon, dan penganut agama “lain” lebih cenderung
untuk menikah usia yang lebih muda daripada Protestan arus utama. Umat
Katolik lebih kecil kemungkinannya untuk melakukannya daripada yang
dilakukan oleh orang-orang biasa sama, sedangkan Protestan Hitam,
Yahudi, dan orang dewasa muda yang tidak berafiliasi memiliki peluang
yang sama pernikahan sebelumnya sebagai Protestan arus utama
(meskipun temuan nol Yahudi kemungkinan disebabkan oleh masalah
kecil).
F. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa faktor dasar
perempuan memutuskan untuk menikah dini adalah mutlak atas dasar
keinginan sendiri dengan alasan suka sama suka terhadap calon suami,
rendahnya keinginan perempuan untuk melanjutkan sekolah di tingkat formal,
budaya masyarakat yang pro terhadap pernikahan dini merupakan faktor
terpenting yang menyebabkan perempuan desa untuk segera menikah, dan
pengaruh lingkungan teman sebaya menjadi pertimbangan yang mempengaruhi
keputusan untuk menikah.
Kehidupan dalam pernikahan dan berkeluarga tidak akan selalu berjalan
dengan mulus. Hal ini disebabkan masalah akan timbul selama kehidupan
berjalan. Masalah-masalah yang timbul dapat mengakibatkan pasangan suami
istri merasa tidak bahagia. Olson dan DeFrain (dalam Kertamuda, 2009:122)
menyebutkan bahwa pasangan dan keluarga yang menunjukkan gejala ada
masalah dalam hubungannya dengan pasangan sebaiknya segera mencari
bantuan pada konselor atau terapis pernikahan. Pasangan suami istri dapat
menerima bantuan sebelum masalah yang dialami menjadi bertambah parah
sehingga akan mempunyai kesempatan untuk menghadapi kesulitan dan
membangun hubungan yang kuat. Dengan demikian dapat dikategorikan bahwa
para perempuan Desa Pulo mengambil keputusan berdasarkan intusi.
Diharapkan bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti variabel lain dalam
penelitian ini yang belum terungkap kebenarannya.

G. DAFTAR PUSTAKA
Desmita. (2008). Psikologi Orang Dewasa. Batusangkar: STAIN Batusangkar
Press
Hurlock, Elizabeth B. (2012). Psikologi Perkembangan; Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan (Edisi
Kelima) (Alih Bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo). Jakarta: Erlangga
Kertamuda, Fatchiah E. (2009). Konseling Pernikahan untuk Keluarga
Indonesia. Jakarta: Salemba Humanika.
Santrock, John W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup
(Jilid I) (Alih Bahasa: Achmad
Chusairi dan Juda Damanik). Jakarta: Erlangga.
Santrock, John W. (2003). Adolescence Perkembangan Remaja. Jakarta:
Erlangga.
Prayitno & Amti, Erman. (1994). Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling.
Jakarta: Depdikbud
Winkel, WS. (1997). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta:
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Soelaeman, Munandar. (2008). Ilmu Sosial Budaya Dasar Teori dan Konsep
Ilmu Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai