Anda di halaman 1dari 4

Teori mengenai Sex Education & Pernikahan dini

Sex education

Sex education atau lebih dikenal dengan istilah pendidikan seks merupakan salah satu
cara untukmengurangi atau mencegah penyalahgunaan seks khususnya untuk mencegah
dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan. Menurut Sarwono (dalam Puspitosari, 2002),
pendidikan seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks
sebagaimana pendidikan lain pada umumnya,mengandung pengalihan nilai-nilai dari
pendidik ke subjek didik. Dengan demikian informasi tentang seks tidak diberikan telanjang,
melainkan secara kontekstual, yaitu dalam kaitannya dengan norma-norma yang berlaku
dalam masyarakat. Pendidikan seks harus diberikan secara integral dengan pendidikan moral
dan agama agar remaja mendapatkan informasi tentang kehidupan seks secara benar sehingga
dapat menjaga pertumbuhan naluri seksualnya secara benar.
Menurut Pratama dkk. (2014), menjelaskan bahwa pendidikan seks adalah suatu
informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar. Informasi tersebut
bisa meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, hubungan/tingkah
laku seksual. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan seks penting
bagi remaja, dan seyogyanya diberikan ketika mulai beranjak dewasa agar mereka (remaja)
memiliki pemahaman yang benar tentang seks.
Dalam bidang psikologi,pendidikan seks tidak sekedar mengajarkan arti seks
sebenarnya. Namun juga, memperkenalkan struktur dan fungsi tubuh, alat dan fungsi
reproduksi, cara menjaga dan merawat organ intim, berpakaian sopan, etika bergaul sesuai
dengan batasan-batasannya serta cara menghindar dari kejahatan seksual maupun
konsekuensi perilaku seksual yang tidak baik, dan lainnya. Pendidikan seks yang diberikan
dapat disesuaikan dengan tahap perkembangan anak, yakni:

1. Pada anak usia prasekolah, pengenalan jenis kelamin. Anak di rentang usia ini
sudah memiliki kemampuan mengenali kelamin dan membedakan antara pria dan
wanita dari karakteristik fisik.
2. Pada anak usia SD di rentang kelas 1 – 3, dapat mengenalkan anggota bagian tubuh
pribadi. Mengajarkan bahwa dari bagian tertentu pada tubuh ini ada yang tidak boleh
sembarangan disentuh atau dilihat orang lain. Sekaligus juga mengajarkan
kepadaanak tentang pencegahan jika ada orang yang memaksa, seperti berteriak, lari,
memukul, dan sebagainya.
3. Pada anak usia kelas 4 SD, anak memahami bahwa akan terjadi perubahan pada
fisik mereka menginjak usia puberstas, menjelaskan pula tentang kematangan alat
reproduksi.
4. Menginjak usia pubertas, yaitu usia 9-12 tahun, anak harus mulai memahami
konsep hubungan antar lawan jenis yang baik dan tepat. Mereka harus paham tentang
konsekuensi dari tindakan mereka.
5. Menginjak kelas yang lebih tinggi atau di usia dewasa, yaitu usia 13-18 tahun,
mengenalkan tentang gaya pacaran yang baik, bahaya dari seks bebas. Anak
cenderung tertutup perihal perbincangan yang menyangkut seks, namun jika orang tua
telah membiasakan pembicaraan ini dari awal, anak akan lebih nyaman dan terbuka.
Pernikahan dini

Pernikahan dini menurut Indraswari (dalam Syafiq Hasyim, 1999: 31) dapat
diartikan sebagai pernikahan yang dilakukan sebelum usia 16 tahun bagi perempuan
dan 19 tahun bagi laki-laki, batasan usia ini mengacu pada ketentuan formal batas
minimum usia menikah yang berlaku di Indonesia. Definisi Indaswari mengenai
pernikahan dini menekankan pada batas usia pernikahan dini. Batas usia yang
ditetapkan mengacu pada ketentuan formal dalam UU perkawinan.
Pernikahan dini merupakan sebuah perkawinan di bawah umur yang target
persiapannya (persiapan fisik, persiapan mental, dan persiapan materi) belum
dikatakan maksimal (Muhammad M. Dlori, 2005: 5). Definisi menurut Dlori lebih
menekankan pada faktor persiapan remaja dalam pernikahan dini. Remaja melakukan
pernikahan dini dianggap belum memenuhi persiapan fisik, persiapan mental dan
persiapan materi yang dibutuhkan untuk melangsungkan pernikahan.
Definisi lain dikemukakan oleh Riduan Syarani (1980: 8) pernikahan dini
adalah pernikahan antara seorang pria dan seorang wanita yang masih belum dewasa
baik psikis maupun mentalnya. Sementara itu, definisi menurut Riduan Syarani lebih
menekankan pada faktor kedewasaan remaja yang melakukan pernikahan dini.
Remaja dianggap belum mencapai taraf kedewasaan untuk melakukan pernikahan
dini. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan dini adalah
pernikahan yang dilakukan oleh remaja atau anak yang dibawah umur 16 bagi
perempuan dan 19 tahun bagi lakilaki tanpa adanya kesiapan baik psikis, mental
maupun materi yang belum bisa dipenuhi oleh seorang remaja yang akan melakukan
sebuah pernikahan.
Pernikahan yang dilangsungkan pada usia remaja umumnya akan
menimbulkan masalah baik secara fisiologis, psikologis maupun sosial ekonomi.
Dampak pernikahan pada usia muda lebih tampak nyata pada remaja putri
dibandingkan remaja laki-laki. Dampak nyata dari pernikahan usia dini adalah
terjadinya abortus atau keguguran karena secara fisiologis organ reproduksi
(khususnya rahim) belum sempurna. Meningkatnya kasus perceraian pada pasangan
usia muda dikarenakan pada umumnya pasangan usia muda keadaan psikologisnya
belum matang, sehingga masih labil dalam menghadapi masalah yang timbul dalam
pernikahan.
Sumber :
Triningtyas, D. A., & Muhayati, S. (2017, November). INTRODUCTION TO SEX
EDUCATION THROUGH PREMARITAL COUNSELING. In Prosiding Seminar Nasional Hasil
Penelitian LPPM Universitas PGRI Madiun (pp. 87-89).
Pohan, N. H. (2017). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PERNIKAHAN USIA DINI TERHADAP REMAJA PUTRI. Jurnal Endurance: Kajian Ilmiah
Problema Kesehatan, 2(3), 424-435.
Rumekti, M. M. (2016). Peran Pemerintah Daerah (Desa) Dalam Menangani
Maraknya Fenomena Pernikahan Dini Di Desa Plosokerep Kabupaten Indramayu. E-
Societas, 5(6).

Anda mungkin juga menyukai