Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat subjective well-being, yaitu: kontrol diri,
optimism, pendapatan, kepribadian, faktor biologis, faktor demografis, perilaku dan hasil
a. Kontrol Diri
Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu yang ada di lingkungan sekitar dan
kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan
kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan
perilaku, kecendrungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang
lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, dan menutupi perasaannya
Kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi: faktor internal (dari diri individu)
dan faktor eksternal ( lingkngan individu). faktor internal mencakup kondisi biologis, usia dan
emosi. Sedangkan faktor eksternal mencakup lingkunagn sekitar termasuk orang tua, keluarga,
b. Optimis
Optimisme adalah kepercayaan bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang
positif (Roat et al., 2014). Chang (2002) mendefinisikan optimisme sebagai pengharapan
individu akan terjadinya hal- hal baik, dengan kata lain individu optimis merupakan individu
yang mengharapkan peristiwa baik akan terjadi dalam hidupnya dimasa depan. Optimisme
mengharapkan hal baik akan terjadi dan masalah yang terjadi akan terselesaikan dengan hasil
akhir yang baik. Individu optimis juga mempunyai area kepuasan hidup yang lebih luas
(Srivastava et al., 2006). Optimisme dipengaruhi beberapa faktor yaitu psimis, pengalaman
subjective well-being seseorang, juga merupakan sumber daya yang berasal dari kesejahteraan
individu. Orang yang bahagia mungkin akan mendapatkan uang di atas rata-rata dibandingkan
dengan orang yang tidak bahagia. Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan adanya hubungan
positif antara pendapatan dan subjective well-being di berbagai negara (Diener & Ryan, 2009).
Hubungan ini tetap ada bahkan ketika variabel lain seperti pendidikan telah dikendalikan. Dapat
diduga kepuasan dengan pendapatan juga terkait dengan kebahagiaan. Meskipun pendapatan
memiliki akibat yang kecil saat faktor yang lain dikontrol, mungkin melalui faktor lain dimana
efek dari pendapatan itu munculkan berakibat besar (misalnya, kesehatan yang lebih baik)
d. Kepribadian
Menurut Lykken dan Tellegan (2009) kecenderungan temperamen yang dihasilkan dari
faktor genetic memberikan sumbangan sebanyak 50% dari variabel kebahagiaan. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa sifat kepribadian tertentu (ekstraversion misalnya) akan lebih banyak
mengalami afek positif, dibandingkan sifat yang lain (neuroticsm misalnya) yang lebih banyak
mengalami afek negatif (Diener & Ryan, 2009). Diener, dkk. (2003) menjelaskan bahwa
subjective well-being dapat memiliki kesensitifan pada faktor eksternal, seperti keberhasilan atau
perceraian, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa kemunculan subjective well-being tetap
stabil sepanjang waktu dan itu cukup kuat hubungannya dengan sifat kepribadian yang dimiliki
Sejumlah studi menunjukkan hubungan yang relatif cukup besar antara self-rated health
dengan subjective well-being dan efek ini akan tetap ada ketika variabel lain seperti SES dan usia
sudah dikontrol (Diener & Ryan, 2009). Campbell et al. (2009) menemukan bahwa meskipun
kesehatan dinilai oleh subyek sebagai faktor yang paling penting dalam kebahagiaan, kepuasan
akan kesehatan sebenarnya termasuk delapan prediktor kepuasan hidup yang terkuat (Diener et
al., 2012). Meskipun beberapa peneliti menemukan bahwa tidak ada hubungan sama sekali
antara kesehatan dengan subjective well-being, mereka menemukan bahwa ketika faktor lain
seperti kegiatan di waktu luang telah diukur, efeknya tidak signifikan. Bultena dan Oyler (2009)
interaksi sosial telah dikontrol. Beberapa studi telah menggunakan banyak pengukuran objektif
f. Faktor Demografis
Faktor demografis yang mempengaruhi SWB meliputi: umur, jenis kelamin, ras,
Faktor umur dalam mempengaruhi SWB, Mroezek dan Spiro (2009) menjelaskan bahwa
meskipun terdapat perbedaan individu, tetapi kepuasan hidup sebenarnya meningkat pada usia 45
hingga 65 tahun, sebelum kemudian menurun karena adanya kematian yang akan datang.
Berdasarkan hasil penelitian longitudinal ditemukan bahwa afek positif lebih sedikit menurun
pada usia tua, namun begitu juga pada afek negatif (Diener & Ryan, 2009). Akan tetapi, tidak
ada hubungan yang konsisten antara usia dengan subjective well-being, akan tetapi terdapat
kecenderungan bahwa kepuasan hidup akan semakin menurun seiring bertambahnya usia
individu pada negara-negara yang berkembang ataupun miskin dibandingkan dengan negara-
negara yang maju. Sehingga usia tua tidak selalu merupakan pembawa ketidakbahagiaan (Diener
Diener et al. (2011) mengatakan sebagian hasil penelitian menunjukkan terdapat kenaikan
yang lambat pada kepuasan dengan usia, tetapi tambpaknya afek positif dan afek negatif lebih
intens dialami oleh kaum muda. Dengan demikian, kaum muda tampaknya mengalami tingkat
kesenangan yang lebih tinggi, tetapi orang-orang tua tampaknya menilai hidupnya dengan cara
Jenis kelamin laki-laki dan perempuan mempengaruhi SWB. Meskipun perempuan lebih
banyak menunjukkan afek negatif, tetapi juga terlihat lebih banyak mengalami kesenangan
(Diener & Ryan, 2009). Sehingga, hanya ditemukan sedikit perbedaan pada kebahagiaan secara
umum yang ditemukan di antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, dua studi telah
menemukan interaksi sederhana berkaitan dengan usia. Studi tersebut menunjukkan bahwa
perempuan yang lebih muda lebih bahagia dibandingkan laki-laki yang lebih muda, dan
perempuan yang lebih tua lebih bahagia dibandingkan laki-laki yang lebih tua (Diener & Ryan,
2009).
Faktor ras pada individu berpengaruh pada SWB, meskipun ini bisa dikatakan tidak
universal. Pada negara Amerika, kulit hitam biasanya ditemukan memiliki subjective well-being
lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih (Diener & Ryan, 2009). Sebab kulit hitam dan
putih pada umumnya berbeda di dalam usia, pendidikan, pendapatan, status pernikahan, dan
urbanisasi, maka sangat penting untuk mengontrol faktor ini jika ingin mengetahui pengaruh dari
ras. Apabila hal itu telah dilakukan, dan pengaruh terhadap subjective well-being masih
ditemukan, maka hal itu tergantung dari jenis kelamin dan usia individu (Diener & Ryan, 2009).
Dari segi pekerjaan, Individu yang tidak memiliki pekerjaan (pengangguran) merupakan
kelompok yang tidak bahagia, bahkan ketika perbedaan pendapatan telah dikontrol. Hal ini
menggambarkan bahwa menjadi pengangguran memiliki efek yang sangat efektif terhadap
subjective well-being untuk banyak individu yang sudah jelas mengalami kesulitan keuangan
(Azizan & Mahmud, 2018). Pengangguran mempengaruhi well-being baik pada laki-laki dan
perempuan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ibu rumah tangga tidak lebih bahagia dari
Pengaruh pendidikan dan subjective well-being tidak terlihat kuat dan justru berhubungan
dengan faktor yang lain seperti pendapatan. Beberapa studi yang lain telah menemukan bahwa
meskipun faktor yang lain telah dikontrol, tetapi tidak ada efek yang signifikan tentang
pendidikan terhadap subjective well-being dan beberapa penelitian yang lain menunjukkan
bahwa pendidikan lebih banyak memiliki efek positif pada perempuan (Azizan & Mahmud,
2018).
Pentingnya agama dan tradisionalisme agama secara luas berhubungan dengan subjective
well-being. Hubungan yang positif ini berasal dari arti dan tujuan hidup, serta berasal dari
jaringan sosial dan pendukung yang berasal dari organisasi keagamaan (Azizan & Mahmud,
2018)..
Status pernikahan dan keluarga, meskipun beberapa studi gagal menemukan pengaruh
signifikan secara statistik antara subjective well-being dan pernikahan, tetapi sebenarnya
hubungan tersebut positif. Beberapa studi skala besar menunjukkan bahwa individu yang
menikah memiliki tingkat subjective well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu
Perilaku dan hasil individu yang mempengaruhi SWB meliputi: kontak social, kejadian
Kontak sosial adalah hubungan masing-masing pihak dalam berinteraksi baik dengan
berbicara, tatap muka, maupun bersalaman. Banyak studi telah menemukan hubungan antara
kepuasan dengan teman dan pengukuran subjektif lainya (seperti kesendirian) dengan subjective
well-being. Banyaknya relasi sosial individu tidak hanya akan berhubungan dengan tingginya
subjective well-being. Akan tetapi, relasi sosial juga sebagai penyangga terhadap stressor pokok
kehidupan, seperti kematian dan kehilangan pekerjaan (Azizan & Mahmud, 2018).
Beberapa penelitian telah menemukan adanya hubungan positif antara berbagai macam
pengukuran objektif tetang aktivitas sosial dengan berbagai macam pengukuran subjective well-
being. Kontak sosial sangat direkomendasikan jika ingin meningkatkan happiness dan hal ini
ketika faktor kesehatan telah dikontrol. Kontak sosial yang dimaksud adalah kontak sosial
dengan saudara bukan dengan sanak saudara. Akan tetapi, bagaimana parameternya, kapan, dan
mengapa kontak sosial meningkatkan SWB masih menjadi bahan penelitian (Larsen & Eid,
2008).
meskipun tidak terlalu signifikan. Terdapat beberapa hal yang harus dicatat: kejadian hidup yang
baik maupun buruk merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri di dalam kehidupan individu
dan kejadian hidup yang baik berhubungan dengan afek positif sedangkan kejadian buruk
bagaimana kejadian tersebut akan mempengaruhinya. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini
adalah kejadian yang terjadi terkontrol atau tidak dan aspek-aspek yang lain dari kejadian
tersebut merupakan variabel yang penting. Selain itu, dampak dari suatu kejadian yang besar dan
dampak dari kumulatif kejadian kecil yang sering terjadi setiap harinya diperlukan sebagai kajian
Aktifitas yang mempengaruhi SWB mengacu pada perlaku, sedangkan kejadian hidup
mengacu pada hasil. Beberapa aktivitas merupakan faktor yang baik bagi subjective well-being
tetapi yang lain tidak. Hubungan antara aktivitas dan subjective well-being tergantung kepada
kepribadian individu. Mengingat luas dan ketidakjelasannya konsep aktivitas ini maka hal
tersebut kemudian dicampur dengan hal yang lain seperti kontak sosial, aktivitas fisik, hobi, dan