Anda di halaman 1dari 7

1.1.

1 Faktor yang Mempengaruhi Subjective Well-Being

Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat subjective well-being, yaitu: kontrol diri,

optimism, pendapatan, kepribadian, faktor biologis, faktor demografis, perilaku dan hasil

a. Kontrol Diri

Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu yang ada di lingkungan sekitar dan

kemampuan untuk mengontrol dan mengelola faktor-faktor perilaku sesuai dengan situasi dan

kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan

perilaku, kecendrungan menarik perhatian, keinginan mengubah perilaku agar sesuai untuk orang

lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, dan menutupi perasaannya

(Ghufron & S, 2010)

Kontrol diri dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi: faktor internal (dari diri individu)

dan faktor eksternal ( lingkngan individu). faktor internal mencakup kondisi biologis, usia dan

emosi. Sedangkan faktor eksternal mencakup lingkunagn sekitar termasuk orang tua, keluarga,

kelompok dan sosial (Ghufron & S, 2010).

b. Optimis

Optimisme adalah kepercayaan bahwa kejadian di masa depan akan memiliki hasil yang

positif (Roat et al., 2014). Chang (2002) mendefinisikan optimisme sebagai pengharapan

individu akan terjadinya hal- hal baik, dengan kata lain individu optimis merupakan individu

yang mengharapkan peristiwa baik akan terjadi dalam hidupnya dimasa depan. Optimisme

mengharapkan hal baik akan terjadi dan masalah yang terjadi akan terselesaikan dengan hasil

akhir yang baik. Individu optimis juga mempunyai area kepuasan hidup yang lebih luas

(Srivastava et al., 2006). Optimisme dipengaruhi beberapa faktor yaitu psimis, pengalaman

bergaul dengan orang lain, dan prasangka (Roat et al., 2014)


c. Pendapatan

Pendapatan biasanya didasarkan pada sumber-sumber eksternal yang dapat meningkatkan

subjective well-being seseorang, juga merupakan sumber daya yang berasal dari kesejahteraan

individu. Orang yang bahagia mungkin akan mendapatkan uang di atas rata-rata dibandingkan

dengan orang yang tidak bahagia. Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan adanya hubungan

positif antara pendapatan dan subjective well-being di berbagai negara (Diener & Ryan, 2009).

Hubungan ini tetap ada bahkan ketika variabel lain seperti pendidikan telah dikendalikan. Dapat

diduga kepuasan dengan pendapatan juga terkait dengan kebahagiaan. Meskipun pendapatan

memiliki akibat yang kecil saat faktor yang lain dikontrol, mungkin melalui faktor lain dimana

efek dari pendapatan itu munculkan berakibat besar (misalnya, kesehatan yang lebih baik)

(Larsen & Eid, 2008).

d. Kepribadian

Menurut Lykken dan Tellegan (2009) kecenderungan temperamen yang dihasilkan dari

faktor genetic memberikan sumbangan sebanyak 50% dari variabel kebahagiaan. Hasil penelitian

memperlihatkan bahwa sifat kepribadian tertentu (ekstraversion misalnya) akan lebih banyak

mengalami afek positif, dibandingkan sifat yang lain (neuroticsm misalnya) yang lebih banyak

mengalami afek negatif (Diener & Ryan, 2009). Diener, dkk. (2003) menjelaskan bahwa

subjective well-being dapat memiliki kesensitifan pada faktor eksternal, seperti keberhasilan atau

perceraian, tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa kemunculan subjective well-being tetap

stabil sepanjang waktu dan itu cukup kuat hubungannya dengan sifat kepribadian yang dimiliki

individu (Diener et al., 2003).


e. Faktor biologis

Sejumlah studi menunjukkan hubungan yang relatif cukup besar antara self-rated health

dengan subjective well-being dan efek ini akan tetap ada ketika variabel lain seperti SES dan usia

sudah dikontrol (Diener & Ryan, 2009). Campbell et al. (2009) menemukan bahwa meskipun

kesehatan dinilai oleh subyek sebagai faktor yang paling penting dalam kebahagiaan, kepuasan

akan kesehatan sebenarnya termasuk delapan prediktor kepuasan hidup yang terkuat (Diener et

al., 2012). Meskipun beberapa peneliti menemukan bahwa tidak ada hubungan sama sekali

antara kesehatan dengan subjective well-being, mereka menemukan bahwa ketika faktor lain

seperti kegiatan di waktu luang telah diukur, efeknya tidak signifikan. Bultena dan Oyler (2009)

menemukan adanya pengaruh kesehatan pada subjective well-being meskipun perbedaan

interaksi sosial telah dikontrol. Beberapa studi telah menggunakan banyak pengukuran objektif

tentang kesehatan seperti disease check-lists (Diener & Ryan, 2009).

f. Faktor Demografis

Faktor demografis yang mempengaruhi SWB meliputi: umur, jenis kelamin, ras,

pekerjaan, pendidikan, agama, status pernikahan dan keluarga.

Faktor umur dalam mempengaruhi SWB, Mroezek dan Spiro (2009) menjelaskan bahwa

meskipun terdapat perbedaan individu, tetapi kepuasan hidup sebenarnya meningkat pada usia 45

hingga 65 tahun, sebelum kemudian menurun karena adanya kematian yang akan datang.

Berdasarkan hasil penelitian longitudinal ditemukan bahwa afek positif lebih sedikit menurun

pada usia tua, namun begitu juga pada afek negatif (Diener & Ryan, 2009). Akan tetapi, tidak

ada hubungan yang konsisten antara usia dengan subjective well-being, akan tetapi terdapat

kecenderungan bahwa kepuasan hidup akan semakin menurun seiring bertambahnya usia

individu pada negara-negara yang berkembang ataupun miskin dibandingkan dengan negara-
negara yang maju. Sehingga usia tua tidak selalu merupakan pembawa ketidakbahagiaan (Diener

& Ryan, 2009).

Diener et al. (2011) mengatakan sebagian hasil penelitian menunjukkan terdapat kenaikan

yang lambat pada kepuasan dengan usia, tetapi tambpaknya afek positif dan afek negatif lebih

intens dialami oleh kaum muda. Dengan demikian, kaum muda tampaknya mengalami tingkat

kesenangan yang lebih tinggi, tetapi orang-orang tua tampaknya menilai hidupnya dengan cara

yang lebih positif (Diener & Chan, 2011).

Jenis kelamin laki-laki dan perempuan mempengaruhi SWB. Meskipun perempuan lebih

banyak menunjukkan afek negatif, tetapi juga terlihat lebih banyak mengalami kesenangan

(Diener & Ryan, 2009). Sehingga, hanya ditemukan sedikit perbedaan pada kebahagiaan secara

umum yang ditemukan di antara laki-laki dan perempuan. Meskipun demikian, dua studi telah

menemukan interaksi sederhana berkaitan dengan usia. Studi tersebut menunjukkan bahwa

perempuan yang lebih muda lebih bahagia dibandingkan laki-laki yang lebih muda, dan

perempuan yang lebih tua lebih bahagia dibandingkan laki-laki yang lebih tua (Diener & Ryan,

2009).

Faktor ras pada individu berpengaruh pada SWB, meskipun ini bisa dikatakan tidak

universal. Pada negara Amerika, kulit hitam biasanya ditemukan memiliki subjective well-being

lebih rendah dibandingkan dengan kulit putih (Diener & Ryan, 2009). Sebab kulit hitam dan

putih pada umumnya berbeda di dalam usia, pendidikan, pendapatan, status pernikahan, dan

urbanisasi, maka sangat penting untuk mengontrol faktor ini jika ingin mengetahui pengaruh dari

ras. Apabila hal itu telah dilakukan, dan pengaruh terhadap subjective well-being masih

ditemukan, maka hal itu tergantung dari jenis kelamin dan usia individu (Diener & Ryan, 2009).
Dari segi pekerjaan, Individu yang tidak memiliki pekerjaan (pengangguran) merupakan

kelompok yang tidak bahagia, bahkan ketika perbedaan pendapatan telah dikontrol. Hal ini

menggambarkan bahwa menjadi pengangguran memiliki efek yang sangat efektif terhadap

subjective well-being untuk banyak individu yang sudah jelas mengalami kesulitan keuangan

(Azizan & Mahmud, 2018). Pengangguran mempengaruhi well-being baik pada laki-laki dan

perempuan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ibu rumah tangga tidak lebih bahagia dari

yang bekerja yang bergaji (Azizan & Mahmud, 2018).

Pengaruh pendidikan dan subjective well-being tidak terlihat kuat dan justru berhubungan

dengan faktor yang lain seperti pendapatan. Beberapa studi yang lain telah menemukan bahwa

meskipun faktor yang lain telah dikontrol, tetapi tidak ada efek yang signifikan tentang

pendidikan terhadap subjective well-being dan beberapa penelitian yang lain menunjukkan

bahwa pendidikan lebih banyak memiliki efek positif pada perempuan (Azizan & Mahmud,

2018).

Pentingnya agama dan tradisionalisme agama secara luas berhubungan dengan subjective

well-being. Hubungan yang positif ini berasal dari arti dan tujuan hidup, serta berasal dari

jaringan sosial dan pendukung yang berasal dari organisasi keagamaan (Azizan & Mahmud,

2018)..

Status pernikahan dan keluarga, meskipun beberapa studi gagal menemukan pengaruh

signifikan secara statistik antara subjective well-being dan pernikahan, tetapi sebenarnya

hubungan tersebut positif. Beberapa studi skala besar menunjukkan bahwa individu yang

menikah memiliki tingkat subjective well-being yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu

yang tidak menikah (Azizan & Mahmud, 2018).


g. Perilaku dan Hasil

Perilaku dan hasil individu yang mempengaruhi SWB meliputi: kontak social, kejadian

dalam hidup dan aktifitas.

Kontak sosial adalah hubungan masing-masing pihak dalam berinteraksi baik dengan

berbicara, tatap muka, maupun bersalaman. Banyak studi telah menemukan hubungan antara

kepuasan dengan teman dan pengukuran subjektif lainya (seperti kesendirian) dengan subjective

well-being. Banyaknya relasi sosial individu tidak hanya akan berhubungan dengan tingginya

subjective well-being. Akan tetapi, relasi sosial juga sebagai penyangga terhadap stressor pokok

kehidupan, seperti kematian dan kehilangan pekerjaan (Azizan & Mahmud, 2018).

Beberapa penelitian telah menemukan adanya hubungan positif antara berbagai macam

pengukuran objektif tetang aktivitas sosial dengan berbagai macam pengukuran subjective well-

being. Kontak sosial sangat direkomendasikan jika ingin meningkatkan happiness dan hal ini

telah terbukti efektif (Diener et al., 2012).

Partisipasi sosial ditemukan memiliki pengaruh langsung terhadap kebahagiaan bahkan

ketika faktor kesehatan telah dikontrol. Kontak sosial yang dimaksud adalah kontak sosial

dengan saudara bukan dengan sanak saudara. Akan tetapi, bagaimana parameternya, kapan, dan

mengapa kontak sosial meningkatkan SWB masih menjadi bahan penelitian (Larsen & Eid,

2008).

Kejadian hidup memperlihatkan hubungan konsisten dengan subjective well-being

meskipun tidak terlalu signifikan. Terdapat beberapa hal yang harus dicatat: kejadian hidup yang

baik maupun buruk merupakan dua hal yang berdiri sendiri-sendiri di dalam kehidupan individu

dan kejadian hidup yang baik berhubungan dengan afek positif sedangkan kejadian buruk

berhubungan dengan afek negatif (Diener & Ryan, 2009).


Kemampuan individu dalam menghadapi kejadian hidup tersebut akan menentukan

bagaimana kejadian tersebut akan mempengaruhinya. Hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini

adalah kejadian yang terjadi terkontrol atau tidak dan aspek-aspek yang lain dari kejadian

tersebut merupakan variabel yang penting. Selain itu, dampak dari suatu kejadian yang besar dan

dampak dari kumulatif kejadian kecil yang sering terjadi setiap harinya diperlukan sebagai kajian

(Martin & Chanda, 2016).

Aktifitas yang mempengaruhi SWB mengacu pada perlaku, sedangkan kejadian hidup

mengacu pada hasil. Beberapa aktivitas merupakan faktor yang baik bagi subjective well-being

tetapi yang lain tidak. Hubungan antara aktivitas dan subjective well-being tergantung kepada

kepribadian individu. Mengingat luas dan ketidakjelasannya konsep aktivitas ini maka hal

tersebut kemudian dicampur dengan hal yang lain seperti kontak sosial, aktivitas fisik, hobi, dan

partisipasi di dalam organisasi formal (Azizan & Mahmud, 2018).

Anda mungkin juga menyukai