Menurut Seligman dkk, ada lima aspek utama yang dapat menjadi sumber
kebahagiaan sejati, yaitu :
Setiap orang bisa sampai kepada kebahagiaan akan tetapi tidak semua orang bisa
memiliki kebahagiaan. Menurut David G. Myers, seorang ahli kejiwaan yang
berhasil mengadakan penelitian tentang solusi mencari kebahagiaan bagi manusia
modern. Ada empat karakteristik menurut Myers (1994) yang selalu ada pada
orang yang memiliki kebahagiaan dalam hidupnya, yaitu :
Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki kepercayaan
diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti diatas.
b. Optimis
Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau pesimis,
yaitu permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah) dan pervasif
(menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak situasi). Orang yang
optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab permanen dan peristiwa
buruk bersifat sementara sehingga mereka berusaha untuk lebih keras pada setiap
kesempatan agar ia dapat mengalami peristiwa baik lagi (Seligman, 2005).
Sedangkan orang yang pesimis menyerah di segala aspek ketika mengalami
peristiwa buruk di area tertentu.
c. Terbuka
Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang lain. Penelitian
menunjukkan bahwa orang – orang yang tergolong sebagai orang extrovert dan
mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki kebahagiaan yang lebih
besar.
1) Budaya
Triandis (2000) mengatakan faktor budaya dan sosial politik yang spesifik
berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang ( dalam Carr, 2004). Hasil
penelitian lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana demokrasi yang
sehat dan stabil lebih daripada suasana pemerintahan yang penuh dengan konflik
militer (Carr, 2004). Carr (2004), mengatakan bahwa budaya dengan kesamaan
sosial memiliki tingakat kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan juga lebih
tinggi pada kebudayaan individualitas dibandingkan dengan kebudayaan
kolektivistis (Carr, 2004). Carr (2004) juga menambahkan kebahagiaan lebih
tinggi dirasakan di negara yang sejahtera di mana institusi umum berjalan dengan
efisien dan terdapat hubungan yang memuaskan antara warga dengan anggota
birokrasi pemerintahan.
2) Kehidupan Sosial
Penelitian yang dilakukan oleh Seligman dan Diener (Seligman 2005)
menjelaskan hampir semua orang dari 10% orang yang paling bahagia sedang
terlibat dalam hubungan romantis. Menurut Seligman (2005), orang yang sangat
bahagia menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit
menghabiskan waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi.
4) Pernikahan
Seligman (2005) mengataka bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan
kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan
kebahagiaan dengan pernikahan, yaitu orang yang lebih bahagia lebih atraktif
sebagai pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu
pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan
seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak,
membangun keluarga, menjalankan peran sebagai orang tua, menguatkan identitas
dan menciptakan keturunan (Carr, 2004). Kebahagiaan orang yang menikah
memengaruhi panjang usia dan besar penghasilan dan ini berlaku bagi pria dan
wanita (Seligman, 2005). Carr (2004), menambahkan orang yang bercerai atau
menjanda lebih bahagia pada budaya kolektifis dibandingkan dengan budaya
individualis karena budaya kolektifis menyediakan dukungan social yang lebih
besar daripada budaya individualis.
5) Usia
Penelitian dahulu yang dilakukan oleh Wilson mengungkapkan kemudaan
dianggap mencerminkan keadaan yang lebih bahagia (Seligman, 2005). Namun
setelah diteliti lebih dalam ternyata usia tidak berhubungan dengan kebahagiaan
(Seligman, 2005). Sebuah penelitian otoratif atas 60.000 orang dewasa dari 40
bangsa membagi kebahgiaan dalam tiga komponen, yaitu kepuasan hidup, afek
positif dan afek negatif (Seligman, 2005). Kepuasan hidup sedikitmeningkat
sejalan dengan betambahnya usia, afek positif sedikit melemah dan afek negatif
tidak berubah (Seligman, 2005). Seligman (2005) menjelaskan hal yang berubah
ketika seseorang menua adalah intensitas emosi dimana perasaan “mencapai
puncak dunia” dan “terpuruk dalam keputusasaan” berkurang seiring dengan
bertambhanya umur dan pengalaman.
6) Uang
Banyak penelitian yang dilakukan untuk melihat hubungan antara kebahagiaan
dan uang (Seligman, 2005). Umumnya penelitian yang dilakukan dengan cara
membandingkan kebahagiaan antara orang yang tinggal di negara kaya dengan
orang yang tinggal di negara miskin. Perbandingan lintas-negara sulit untuk
dijelaskan karena negara yang lebih kaya juga memiliki angka buta huruf yang
lebih rendah, tingkat kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi,
kebebasan yang lebih luas dan barang materil yang lebih banyak (Seligman,
2005). Seligman (2005) menjelaskan bahwa di negara yang sangat miskin, kaya
berarti bias lebih bahagia. Namun di negara yang lebih makmur dimana hampir
semua orang memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu
berdampak pada kebahgiaan (Seligman, 2005). Seligman (2005), menyimpulkan
penilaian seseorang terhadap uang akan mempengaruhi kebahagiaannya lebih
daripada uang itu sendiri.
7) Kesehatan
Kesehatan objektif yang baik tidak begitu berkaitan dengan kebahagiaan
(Seligman, 2005). Menurut Seligman (2005), yang penting adalah persepsi
subjektif kita terhadap seberapa sehat diri kita. Berkat kemampuan beradapatasi
terhadap penedritaan, seseorang bisa menilai kesehatannya secara positif bahkan
ketika sedang sakit. Ketika penyakit yang menyebabkan kelumpuhan sangat parah
dan kronis, kebahagiaan dan kepuasan hidup memang menurun (Seligman, 2005).
Seligman (2005) juga menjelaskan orang yang memiliki lima atau lebih masalah
kesehatan, kebahagiaan mereka berkurang sejalan dengan waktu.
8) Jenis Kelamin
Jenis kelamin memiliki hubungan yang tidak konsisten dengan kebahagiaan.
Wanita memiliki kehidupan emosional yang lebih ekstrim daripada pria. Wanita
lebih banyak mengalami emosi positif dengan intensitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan pria. Tingkat emosi rata-rat pria dan wanita tidak berbeda
namun wanita lebih bahagia dan lebih sedih daripada pria (Seligman, 2005).
Seligman, M. (2002). Authentic Happiness: Using The New Positive Psychology to Realize Your
Potential for Lasting Fulfi llment. New York: Free Press.
Seligman, M. (2005). Authentic Happiness: Using The New Positive Psychology to Realize Your
Potential for Lasting Fulfi llment (Eva Yulia Nukman, Penerjemah). Bandung: PT. Mizan
Pustaka.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Tulisan pendek Albert Einstein di secarik
kertas sempat menghebohkan dan disebut-sebut sebagai teori kebahagiaan versi
Einstein. Namun, secara saintifik pun definisi kebahagiaan begitu relatif dari teori
relativitas umum yang diciptakan Einstein.
Tujuh tahun kemudian, Einstein mengeluarkan satu teori lagi. Kali ini, teori itu
tidak dipublikasikan secara ilmiah karena bukan hasil pemikirannya sebagai
sebagai seorang fisikawan.
Tulisan singkat yang disebut teori kebahagiaan itu merupakan beberapa kata yang
Einstein tulis di sebuah kertas tertanda Imperial Hotel in Tokyo, Jepang. Ia
memberikan kerta itu kepada seorang pelayan hotel sebagai ganti tip karena
Eistein tak punya uang. Kepada lelaki muda pelayan hotel itu, Einstein
mengatakan kertas itu akan bernilai mahal satu hari nanti.
Einstein benar. Selembar kertas yang disebut teori kebahagiaan Einstein itu terjual
seharga 1,56 juta dolar AS dalam lelang para akhir November 2017 lalu. Penjual
kertas milik Einstein itu konon adalah kemenakan si pemuda pelayan hotel.
Setelah 95 tahun ditulis, pada lelang akhir November lalu akhirnya kalimat itu
dibuka ke publik. ''Hidup sederhana dan tenang membawa lebih banyak
kebahagiaan dari pada usaha mencapai sukses tanpa rehat,'' demikian tulis
Einstein dalam kertas itu.
Adalah hal yang menarik mendapati Einstein menulis hal semacam itu. Pada
1922, bersamaan dengan tahun tulisan itu dibuat di Tokyo, Einstein baru saja
dikabarkan memenangkan hadiah Novel fisika. Ketenaran mendadak nampaknya
melelahkan fisik dan mental Einstein.
Tentu saja, para saintis sendiri sangat relatif dalam mendefinisikan kebahagiaan
ketimbang teori umum relatifitas sendiri. Salah satu ulasan saintifik soal
kebahagiaan yang dinilai cukup bagus pernah diterbitkan pada 2005.
Dari ulasan 225 studi tentang kebahagiaan yang dilakukan peneliti University of
California Sonja Lyubomirsky bersama timnya menemukan, secara singat
kebahagiaan merupakan perilaku yang melahirkan sukses pekerjaan, hubungan
dan kesaehatan, dan merupakan hasil afeksi positif yang dimiliki seseorang.
Ulasan yang dipublikasikan dalam Psychological Bulletin milik American
Psychological Association (APA) itu menyatakan manusia saat ini berlari di
treadmill hedonistik.
Dalam tulisan terpisah, guru besar psikologi Knox College Illinois, AS, Frank T.
McAndrew menyampaikan, orang-orang saat bekerja keras mencapai tujuan,
berharap kebahagiaan yang akan dicapai pada ujungnya.
''Sayangnya, setelah itu tercapai, kita kembali ke titik nol. Kita mencari lagi dan
lagi apa yang membuat kita bahagia selanjutnya,'' kata McAndrew seperti dikutip
Live Science, pekan ini.
Jawabnya: belum tentu. Lalu apakah yang sejahtera pasti bahagia? Jawabnya
"YA". Mengapa demikian? Mari kita telusuri bersama, mengapa demikian.
Kesejahteraan adalah seluruh apa yang baik/semua yang baik yang dibutuhkan
manusia, baik lahir maupun batin, terpenuhi dengan cukup. Cukup di sini adalah
batas minimal untuk mengukur sebuah kesejahteraan. Memang ukuran cukup
akan bersifat subyektif, karena akan dikatakan cukupnya orang berbeda². Ada
yang sudah dapat banyak, tetapi merasa belum cukup. Ada yang baru terpenuhi
sedikit, tapi merasa sudah cukup. Tetapi tentu tolok ukurnya adalah situasi umum
di Negara kita. Dalam hal pendapatan keuangan tolok ukurnya adalah UMR. Itu
hanya satu poin saja dari aneka kebutuhan manusia . Maka kalaupun dilihat dari
pendapatannya, orang sudah cukup, belum dapat dikatakan bahwa ia sudah
sejahtera.
Dalam arti ini bila orang menyatakan bahawa tujuan hidup manusia adalah
kebahagiaan, itu tak lain maksudnya adalah kesejahteraan. Tapi kalau
kebahagiaan dalam arti hanya sekedar rasa bahagia, itu hanya sebagian kecil dari
kesejahteraan. Bisa kita teliti dari ungkapan ini : « Orang yang bahagia belum
tentu sejahtera, tapi orang yang sejahtera pasti bahagia ». Memang orang bisa
merasa bahagia walapun belum sejahtera. Misal, dalam ungkapan : « Saya
bahagia jadi istrimu, walaupun kita belum punya rumah, belum punya pekerjaan
tetap dan masih sangat kekurangan untuk makan sehari-hari kita ». Saya dalam
ungkapan itu sudah merasa bahagia, tapi jelas belum sejahtera. Tapi kalau orang
sudah disebut sejahtera pastilah ia bahagia, karena seluruh kebutuhannya
terpenuhi. Termasuk kebutuhan akan rasa bahagia, yg adalah salah satu dri
kebutuhan batiniahnya.
Kesejahteraan saya coba ibaratkan dengan dua sisi mata uang. Uang menjadi
berguna bila memiliki dua sisinya dengan lengkap. Kesejahteraan, pun pula hidup
akan menjadi lengkap dan penuh bila kebutuhan pada kedua sisinya terpenuhi.
Orang baru akan disebut sejahtera bila seluruh apa yang baik, yang menjadi
kebutuhan baik lahir maupun batinnya terpenuhi dengan cukup. Dan itulah
sebetulnya yang menjadi tujuan hidup manusia. Bila orang sejahtera secara lahir
dan batin, itulah keadaan yang disebut dengan keselamatan di dunia ; yang kelak
akan mendapat kesempurnaannya dalam hidup baru di dunia-akherat.
Nah, sejauh saya ketahui, cita-cita Pendiri Negeri ini dalam Pancasila dan UUD
45 adalah kesejahteraan dalam arti ini. Kenapa tolok ukurnya adalah « cukup », ya
karena SDA di nusantara ini musti dipergunakan untuk semua warga negaranya,
supaya cukup untukku, cukup untukmu dan cukup untuk kita semua. Dalam
kenyataannya, saat ini SDA negri ini, pelan-pelan akan jadi milik segelintir orang
(bdk. Tulisan sdr Tina Sihaloho : Dukung Pejuang HAM dari Sibolga). Dalam arti
ini sejauh mana kesejahteraan warga negara diperjuangkan, akan terlihat dari
apakah warga miskin yang sudah kelaparan dan terkena gizi buruk, jadi prioritas
pembangunan atau tidak. Klo pembangunan bangsa hanya dimengerti sebagai
pembangunan gedung, jalan dan pasar, yang betapa malangnya nasip si miskin
dari bangsa ini. Atau dengan kata lain orang yang lapar dan melarat harus jadi
pilihan pertama dalam sebuah kesejahteraan bersama. Kalau tidak, jangan pernah
harap ada kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia.