Anda di halaman 1dari 13

Mauliddita Salsabila Azzahra

Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

Sehat dengan Bahagia? Bisakah?

Mitos: Apakah Orang yang Bahagia Lebih Sehat?

Sehat, telah menjadi salah satu indikator dari kesejahteraan bagi manusia.
Sebuah keadaan dimana seseorang terbebas dari rasa sakit maupun penyakit
(WHO), dan keadaan yang mendatangkan kebaikan bagi tubuhnya. Tentu tujuan
implisit setiap orang dalam hidupnya adalah menjadi sehat, maka dari itu semua
orang senantiasa menjaga kesehatannya, baik kesehatan fisik maupun mentalnya.
Dengan menjadi sehat, dapat memudahkan seseorang dalam mencapai tujuan-
tujuan eksplisit hidupnya.

Lalu bagaimanakah cara menjadi sehat atau menaikkan taraf kesehatan bagi
seseorang? Banyak orang berusaha keras untuk menjaga pola makannya, dengan
makan makanan sehat, kemudian menyisihkan waktu di tengah kesibukannya untuk
berolahraga, atau di zaman yang serba modern ini banyak juga orang
mengkonsumsi multivitamin untuk memenuhi kebutuhan zat-zat yang diperlukan
oleh tubuhnya. Semuanya dilakukan demi menjaga kesehatan.

Tetapi selain upaya-upaya tersebut, apakah keadaan mental seseorang dapat


mempengaruhi kesehatan seseorang?

Sebuah studi dari kedokteran dan psikologi, reaksi emosional seseorang


seperti kebahagiaan terhadap hidup dapat mempengaruhi fisiologi dalam beberapa
cara yang akhirnya berefek pada kesehatan (Rozansky dkk., 1999; Kuhn dkk., 2009;
Schr€oder, 2013).

Namun sebelum itu semua, sebenarnya apa yang dimaksud dengan


‘kebahagiaan’?

1
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

Apa itu Kebahagiaan?

Kebahagiaan; kesenangan dan ketenteraman hidup, keberuntungan (Kamus


Besar Bahasa Indonesia). Seperti yang juga di definisikan secara harfiah oleh
KBBI, bagi sebagian besar orang pun menganggap kebahagiaan merupakan sebuah
keadaan dimana seseorang merasa senang dan beruntung dalam hidupnya. Biasanya
kebahagiaan ini pun juga dapat merujuk pada perasaan bersyukur.

Kemudian untuk memvalidasi konsep dan definisi kebahagiaan tadi lebih


lanjut, Oishi dan rekan-rekannya melakukan sebuah studi pada tahun 2013 untuk
mengungkap konsep kebahagiaan sebenarnya dengan membedah definisi serta
perkembangan sejarah dari konsep kebahagiaan di seluruh dunia. Hasil dari studi
tersebut menyimpulkan bahwa, konsep kebahagiaan di zaman kuno merupakan
manifestasi dari keberuntungan baik, nasib, atau kondisi eksternal yang umum, dan
pengertian ini terus digunakan hingga era modern di Amerika. Hal ini juga
dibuktikan bahwa dari banyak variasi kebudayaan dengan tradisi linguistik yang
ada di dunia, bukan hanya di Amerika saja, tetap mengkonotasikan kebahagiaan
sebagai sebuah nasib keberuntungan, walaupun akhirnya pada tahun 1961an
definisi tersebut dianggap kuno oleh American English. Menurutnya, variasi dalam
konseptualisasi dari kebahagiaan dari berbagai bahasa, kebudayaan, dan waktu
memiliki implikasi penting untuk penelitian terhadap kebahagiaan dan subjective
well-being (SWB), karena dari variasi-variasi tersebut dapat memengaruhi hasil
survey mengenai apa yang dimaksud dengan kebahagiaan.

Lalu bagaimana karakteristik orang yang bahagia? Dari penelitian yang


dilakukan oleh Diener dan Seligman pada 222 orang mahasiswa di Universitas
Illinois pada tahun 2002. Mengungkapkan bahwa, orang-orang yang bahagia
memiliki tingkat kepuasan yang tinggi terhadap hidupnya, tidak pernah berpikir
untuk melakukan bunuh diri, dan dapat mengingat lebih banyak kenangan baik
daripada buruk dalam kehidupan sehari-harinya. Dan juga orang-orang yang
bahagia itu sedikit menghabiskan waktu menyendiri, mereka lebih sering
bersosialisasi dan dilaporkan menjalin banyak hubungan dekat, baik menurut
informan maupun diri mereka sendiri. Diener dan Seligman juga mengungkapkan

2
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

bahwa terdapat perbedaan pula pada orang-orang bahagia dengan yang tidak. Dari
hasil tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) yang mengukur
psikopatologi seseorang, orang-orang yang bahagia mendapatkan hasil yang rendah
dalam tes tersebut, mereka tidak mendapatkan skor pada rentang klinis, sedangkan
orang-orang yang tidak bahagia sebaliknya. Kemudian dari sudut psikologisnya,
orang-orang yang bahagia cenderung lebih ekstrovert, memiliki skor neurotisme
yang rendah, dan memiliki sikap agreeableness yang lebih tinggi.

Keuntungan Bahagia
Melansir dari penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 oleh Gruber dkk
yang berjudul The Dark Side of Happiness, ada beberapa keuntungan yang
didapatkan bahkan mungkin sudah dirasakan oleh sebagian besar orang dari
kebahagiaan. Yang pertama adalah, bahagia yang menghasilkan emosi positif
memfasilitasi pelebaran proses aksi dan berfikir serta membangun sumber vital
sosial, fisik, dan kognitif (e.g., Fredrickson, 1998). Kedua, selain menghasilkan
emosi positif tadi, bahagia juga dapat meningkatkannya, sehingga mendorong
seseorang untuk melakukan tindakan prososial dan berafiliasi dengan orang lain
(Isen, 2000). Ketiga, emosi positif memfasilitiasi fleksibilitas kognitif dengan cara
memungkinkan orang lain untung menggeser atensi menjadi stimulus utama
(Carver, 2003) dan mengarahkan atensi selektif untuk memengaruhi lingkungan
(Tamir & Robinson, 2007). Yang terpenting, emosi positif memiliki hubungan
dengan peningkatan kesehatan fisik (Fredrickson & Levenson, 1998; Tugade,
Fredrickson, & Barrett, 2004), dan kesehatan mental (Bonanno & Keltner, 1997;
Folkman & Moskowitz, 2000). Sebagai tambahan, penelitian telah membuktikan
bahwa peningkatan emosi positif berkontribusi pada hasil dari kesehatan positif
(Fredrickson, 1998; Lyubomirsky, King, & Diener, 2005). Contohnya, kegiatan
meditasi diyakini dapat mendorong kebahagian yang merujuk pada peningkatan
kesehatan psikologis (i.e., reductions in depression symptoms) saat dibandingkan
dengan hasil dari group kontrol (Fredrickson, Cohn, Coffey, Pek, & Finkel, 2008).
(Gruber dkk., 2011, hal. 223)

3
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

Dan jika melihat secara kontras dari sudut menurunnya emosi negatif
beberapa diantaranya adalah, level emosi negatif yang rendah diasosiasikan dengan
pengurangan resiko dari berbagai macam ganggung psikologis, potensi kecemasan
dan depresi sebagai asal mula gangguan kepribadian (Kring, 2008), bahkan level
emosi negatif yang lebih rendah lagi juga diasosiasikan dengan menurunnya resiko
serius dari kondisi kesehatan, seperti penyakit jantung koroner (Kubzansky &
Kawachi, 2000; Kubzansky dkk., 1997). (Gruber dkk., 2011, hal. 223)

Dari hasil kutipan-kutipan tersebut tak dapat dipungkiri bahwa memang


menjadi bahagia ternyata sangat menguntungkan bagi seseorang dengan banyak
sekali manfaat yang berperan cukup besar dalam kondisi kesehatan seseorang, baik
itu kesehatan fisik ataupun mental.

Tapi tidak sampai disini, penulis ingin menggali lebih dalam lagi mengenai
korelasi antara kebahagiaan dengan kesehatan, apakah memang bahagia 100%
menguntungkan atau ada juga sisi gelap dari kebahagiaan?

Kontra: Sisi Gelap dari Kebahagiaan

Jika memang dengan menjadi bahagia dapat membuat seseorang lebih


sehat, wajar jika dapat diasumsikan bahwa kita harus menjadi sebahagia mungkin
agar dapat lebih sehat lagi. Tapi apakah itu benar? Apa yang terjadi jika kita terlalu
bahagia?

Seperti yang telah dibahas bahwa kebahagiaan memiliki korelasi dengan


kesehatan, baik itu kesehatan fisik maupun mental. Namun sekali lagi, masih
melansir dari penelitian Gruber dkk bahwa ternyata dari beberapa riset terbaru dapat
menjawab asumsi tersebut dengan cukup mengejutkan. Dari data meta-analisis
menjelaskan bahwa intensitas kebahagiaan yang sangat tinggi, beberapa orang tidak
mengalami peningkatan psikologis ataupun kesehatan dan bahkan terkadang
mereka mengalami kerugian. Misalnya, ketika level emosi positif sedang akan
memunculkan kreatifitas, sedangkan level emosi positif yang tinggi tidak (Davis,
2008). Lebih jauh, orang-orang dengan rasio emosi positif yang sangat tinggi-ke-

4
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

emosi negatif (i.e., >5:1) memperlihatkan perilaku yang lebih kaku (Fredrickson &
Losada, 2005). Mengejutkannya lagi, orang tua dan guru yang dinilai memiliki
tingkat ‘keceriaan’ yang tinggi memiliki prospek resiko kematian yang lebih besar
(Freidman dkk., 1993). Bahkan, ketika mengalami tingkat emosi positif yang sangat
tinggi, beberapa orang dapat melakukan tindakan-tindakan yang memiliki
kecenderungan resiko tinggi, seperti mengkonsumsi alkohol, makan berlebihan,
dan menggunakan narkoba (Cyders & Smith, 2008; L.R. Martin dkk., 2002).
Baumeister, Bratslavsky, Finkenauer, dan Vohs (2001) juga menambahkan bahwa
individu dengan level emosi positif yang tinggi cenderung untuk mengabaikan
ancaman penting dan bahaya. (Gruber, dkk., 2011, hal. 224)

Sebagai kesimpulan, ternyata tingkat kebahagiaan yang sangat tinggi tidak


linear dengan tingkat kesehatan yang sangat tinggi pula, terutama kesehatan mental.
Tapi seperti yang kita ketahui segala sesuatu yang ada di bumi jika dilakukan atau
dikonsumsi berlebihan pasti tidak akan menimbulkan manfaat yang berlebih pula.
Kita dapat menganalogikannya dengan makanan, manusia makan untuk memenuhi
kebutuhan energi dan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh. Tetapi jika seseorang
berlebihan dalam makan, bukannya menjadi lebih kuat dengan energi dan zat yang
lebih banyak, tapi justru kandungan-kandungan itu terbuang percuma karena
kapasitas tubuh sudah penuh dan bahkan dapat menyebabkan obesitas yang lebih
parah lagi dapat berujung pada kematian. Dan hal yang sama juga dapat
diaplikasikan pada kebahagiaan.

Apa yang Terjadi di Otak? Apakah Stimulus Bahagia Bermanfaat?

Keedwell, P. A. dkk melakukan sebuah eksperimen komparatif pada tahum


2005 yang mengangkat variabel disosiasi ganda pada apa yang terjadi di bagian
ventromedial prefrontal cortical (VMPFC) pada otak orang-orang yang depresi dan
orang-orang yang sehat saat merespon stimulus sedih dan bahagia. VMPFC
merupakan area otak yang terlibat dalam penilaian potensi stimulus yang

5
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

bermanfaat atau menguntungkan, bagian ini dapat mengalami disfungsi jika terjadi
major depressive disorder (MDD).

Dalam penelitiannya, Keedwell dkk menemukan bahwa stimulus bahagia


ditangkap lebih besar justru oleh VMPFC (bagian kanan) pada orang-orang yang
depresi dibandingkan dengan orang-orang yang sehat. Pada orang-orang yang
sehat, bagian otak yang merespon stimulus bahagia lebih besar yaitu di area
hippocampus (bagian kanan).

Kontrasnya, respon terhadap stimulus sedih yang lebih besar juga


diobervasi terjadi pada bagian otak ventrolateral prefrontal cortex (VLPFC) pada
orang-orang yang sehat. Aktvitas di area otak bagian VLPFC ini sering
dikorelasikan dengan tingkat pemikiran negatif pada subjek yang depresi (Dunn
dkk, 2002) dan dapat merefleksikan ruminasi negatif pada subjek yang sehat dalam
merespon atau mengingat memori yang buruk. Penelitian-penelitan tersebut
mendukung pemahaman bahwa VLPFC bekerja secara berkebalikan dengan
VMPFC dimana VLPFC akan lebih merespon stimulus yang buruk atau merugikan
dibandingkan dengan stimulus yang menguntungkan (O’Doherty dkk, 2001; Small
dkk, 2003).

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa, dimana VMPFC merespon stimulus


bahagia lebih besar pada orang-orang yang depresi karena memang stimulus
bahagia dianggap menguntungkan dan orang-orang yang depresilah yang lebih
membutuhkan dibandingkan orang-orang yang sudah sehat. Sehingga orang-orang
yang depresi akan lebih ‘haus’ akan stimulus bahagia yang menguntungkan bagi
mereka. Faktor hormonal juga terjadi pada orang-orang yang depresi dimana
mereka akan kekurangan hormon dopamin, dan ketika mereka mengalaminya,
untuk memenuhi kebutuhan akan hormon dopamin tersebut, orang-orang yang
depresi cenderung akan melakukan hal-hal yang membuat mereka bahagia yang
akhirnya untuk mencukupkan kebutuhan dopaminnya. Kembali lagi, bahwa
stimulus bahagia memang dibutuhkan oleh orang-orang depresi karena
menguntungkan.

6
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

Tapi bukan berarti bagi orang-orang yang sehat stimulus bahagia tidak
menguntungkan, tetapi karena orang yang sehat yaitu orang yang tidak sakit baik
fisik maupun mentalnya (depresi) sudah mencukupi kebutuhan akan stimulus
positifnya berupa merasa bahagia maka stimulus bahagia tidak banyak di respon
oleh VMPFC. Dari hal ini sudah cukup menjawab bahwa orang-orang yang bahagia
cenderung lebih sehat.
Untuk menunjang beberapa pemaparan yang sudah dijelaskan di atas,
penulis akan menyertakan beberapa bukti berupa eksperimen-eksperimen yang
terkait akan mitos bahwa ‘orang yang bahagia lebih sehat’.

Mematahkan Mitos: Kebahagiaan terkait pada Gender dan Kesehatan pada


Remaja Masa Awal

Mahon dkk melakukan penelitian ini pada tahun 2005 dalam rangka
mencari tahu perbedaan kebahagiaan berdasarkan gender serta mencari tahu
hubungan antara kebahagiaan dan beberapa variabel kesehatan seperti perolehan
status sehat, kesehatan klinis, dan wellness pada remaja masa awal, dan menguji
hubungan-hubungan tersebut pada remaja laki-laki dan remaja perempuan secara
terpisah. Mahon dkk mengambil 151 sampel remaja laki-laki dan perempuan dan
melakukan survey untuk mengukur variabel-variabel kesehatan tadi.

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan akan kebahagiaan pada laki-laki maupun perempuan. Dan secara
statistik ditemukan adanya korelasi positif antara kebahagian dan variabel-variabel
kesehatan pada seluruh sampel, dengan pola yang beragam dari hubungan ketika
remaja laki-laki dan remaja perempuan diteliti secara terpisah.

Ketika remaja laki-laki dan remaja perempuan dianalisis secara terpisah,


besarnya hubungan antara kebahagiaan dan perolehan status sehat memanglah
sama. Tapi, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mahon dkk mengatakan bahwa
perolehan status sehat pada remaja masa awal merupakan variabel penting dalam
memahami kebahagiaan, atau sebaliknya. Walau begitu, perubahan besaran
hubungan antara kebahagiaan dan kesehatan terjadi lebih signifikan pada remaja

7
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan. Penemuan ini diasosiasikan


bahwa semakin tinggi tingkat kesehatan maka semakin tinggi pula tingkat
kebahagiaan pada remaja laki-laki tapi tidak untuk remaja perempuan. Ketika
remaja laki-laki memiliki hanya beberapa (lebih sedikit) gejala dan keluhan pada
kesehatannya, maka mereka akan semakin bahagia, begitu pula sebaliknya.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Mahon dkk ini lagi-lagi kita
menemukan bahwa korelasi antara kebahagiaan dan kesehatan memang ada, dan
semakin sehat seseorang maka semakin bahagialah dia, berlaku juga kebaliknnya.
Semakin bahagia seseorang maka semakin sehatlah dia, walaupun kita menemukan
perbedaan perubahan antara hubungan tersebut lebih signifikan terjadi pada laki-
laki (yang disini remaja), tetapi bukan berarti hal ini tidak terjadi pada perempuan.
Kebahagiaan berkorelasi dengan kesehatan bagi siapa saja, baik laki-laki maupun
perempuan.

Mematahkan Mitos: Kesehatan dan Kebahagiaan diantara Para Orang Tua

Angner dkk melakukan penelitian ini pada tahun 2009 terhadap 383 orang
tua yang berumur 49-99 tahun di Alabama, Amerika. Tujuan dari penelitian ini
adalah (1) mengetahui hubungan antara kesehatan dan kebahagiaan melalui tes
pengukuran baik subjektif maupun objektif, (2) untuk membuktikan hipotesis
bahwa pengukuran kesehatan yang subjektif merupakan prediktor yang lebih baik
dibandingkan pengukuran kesehatan yang objektif, dan (3) untuk mengidentifikasi
komorbiditas spesifik yang diasosiasikan dengan tingkat kebahagiaan yang rendah.

Hasil penelitian dari 383 orang tadi, terklasifikasi bahwa terdapat 234 orang
yang dikategorisasikan bahagia dan 89 orang yang dikategorisasikan tidak bahagia.
Hasil pengukuran tingkat kebahagiaan ini dinilai menggunakan Subjective
Happiness Scale yang sudah banyak digunakan karena dapat divalidasi dengan
baik. Sedangkan seperti tujuan penelitian ini, pengukuran akan tingkat kesehatan
dilakukan menggunakan 2 cara yaitu; pengukuran subjektif berupa pertanyaan-
pertanyaan yang membutuhkan pemikiran kognitif seperti, “secara umum,

8
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

bagaimana anda menyatakan kesehatan anda: sangat baik, cukup baik, baik, kurang,
jelek”, dan juga pengukuran objektif berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengacu
pada apakah mereka sering mengalami nyeri, apakah mereka pernah di diagnosa
oleh dokter dengan penyakit-penyakit seperti darah tinggi, diabetes, jantung,
kanker, dsb. Pertanyaan tersebut dianggap objektif (walaupun semua jawaban
diperoleh dengan menggunakan metode self-report) karena semua pertanyaan
benar-benar mengarah pada gejala-gejala yang terdefinisi, disabilitas, dan kondisi.

Tetapi perbedaannya menurut hasil penelitian ini adalah, korelasi antara


kesehatan dan kebahagiaan dibuktikan oleh pengukuran subjektif dibandingkan
pengukuran objektif (menjawab hipotesis penelitian ini). Pengukuran objektif tidak
dapat memprediksi kebahagiaan lebih baik dari pengukuran subjektif, terkecuali 2
komorbiditas spesifik yaitu debilitating pain atau rasa nyeri yang melemahkan dan
urinary incontinence yaitu gangguan tidak dapat mengontrol buang air kecil
(menjawab tujuan penelitian ini yang ke-3).

Lalu bagaimana orang-orang dengan penyakit-penyakit parah lainnya?


Seperti jantung, kanker, dll? Bahkan penjelasan-penjelasan sebelum bagian ini pun
konsisten dengan hubungan antara kesehatan dan kebahagiaan. Tetapi tidak dengan
penelitian ini, terkecuali 2 komorbiditas yang spesifik tadi.

Ternyata, untuk menjawab pertanyaan ini menurut Angner dkk, orang-


orang cenderung untuk beradaptasi dengan penyakit dalam beberapa waktu.
Dibandingkan dengan orang-orang yang sehat, orang-orang yang menderita
penyakit mengkompensasinya dengan mengambil kebahagiaan dari hal lain selain
kesehatan seperti pekerjaan, keluarga, dll atau bahkan perkembangannya dalam
menghadapi penyakit tersebut, seperti ketika mereka mulai lebih baik. Tetapi untuk
orang-orang yang menderita debilitating pain dan urinary incontinence, kondisi ini
sangat mengganggu kehidupan serta fungsi sehari-hari yang akhirnya mereka pun
juga tidak dapat menyesuaikan diri dengan penyakit tersebut atau bahkan
mengkompensasi kebahagiaan melalui aspek lain selain kesehatan.

9
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

Dan dari yang saya pahami melalui penelitian ini, saya mendapatkan
pandangan bahwa ketika orang-orang yang menderita penyakit parah tetap dapat
mengkompensasi penyakit tersebut dengan mengganti sumber kebahagiaan dari
hal-hal di luar kesehatan, dan juga yang terpenting adalah ketika mereka
menyaksikan proses penyembuhan mereka dari penyakit tersebut, dengan begitu
mereka sudah merasa bahagia. Hal ini tentu tidak terlepas dari sugesti positif yang
dihasilkan oleh pemikiran mereka sendiri, ketika mereka tidak putus asa, ketika
mereka tetap merasa bahagia, sehingga mereka dapat menikmati setiap proses
penyembuhan penyakit mereka, yang tentu saja dapat mempercepat proses
penyembuhan tersebut. Hal ini berlaku secara terbalik juga, dengan kebahagiaan
yang subjektif, yang ditanam oleh masing-masing orang dapat membuat mereka
lebih sehat, atau disini dapat mengarahkan mereka untuk mencapai kesehatan. Dan
bahkan seperti yang didapat dari penelitian ini, pengukuran subjektif kesehatan
dapat memprediksi kebahagiaan, karena orang-orang dapat memanipulasi rasa sakit
karena kebahagiaan yang dapat mereka dapatkan selain dari kesehatan.

Kesimpulan
Emosi positif yang memiliki peranan penting dalam peningkatan kesehatan
sehingga seseorang dapat terhindar atau setidaknya mencegah potensi dari berbagai
penyakit, salah satunya bersumber dari kebahagiaan. Walaupun di sisi lain
kebahagiaan pun juga tetap harus ada batasnya. Tetapi, untuk memenuhi kebutuhan
diri akan emosi positif tersebut dengan cara yang paling mudah dan menyenangkan
bukankah dengan bahagia?
Semua orang pasti mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya, dan
tidaklah sulit untuk memenuhi kebahagiaan itu sendiri, bahkan di sisi lain
kebahagiaan pun juga dapat disebarkan melalui berbagai cara. Hal yang paling
sederhana adalah bersyukur akan kondisi apapun yang dimiliki sekarang. Dari
penelitian Angener dkk yang juga sudah di jelaskan diatas, bahkan orang-orang
yang menderita penyakit pun tetap dapat merasa bahagia walaupun dengan
kenyataan bahwa mereka sekarat, karena mereka mendapat dukungan dari
lingkungannya serta proses penyembuhan yang misalnya semakin membaik,

10
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

mereka menanamkan kebahagiaan itu agar mereka tetap dapat bertahan dan mampu
melewati keadaan sesulit apapun yang mereka sedang alami. Jika saja orang-orang
itu menyerah, merasa tidak bahagia dan emosi negatif lah yang memenuhi seluruh
pikiran dan tubuhnya, justru mereka akan tetap terjebak dalam keadaannya itu dan
bahkan menambah penyakit pada dirinya sendiri. Seperti yang juga telah kita bahas
bahwa, emosi negatif dapat memicu depresi dan menambah resiko penyakit seperti
jantung koroner. Sedangkan emosi positif dapat membantu pengingkatan
kesehatan.
Itu untuk kasus orang-orang yang sakit, lalu pada orang normal? Sama
namun tidak serupa, untuk orang-orang normal pun juga tetap harus mensyukuri
apapun itu yang dimilikinya, dengan kehadiran keluarga dan kondisi lingkungan
juga diharapkan agar mereka tetap dapat merasa bahagia walaupun pasti setiap
orang memiliki permasalahan hidup dan kekurangannya masing-masing. Namun
dengan mensubstitusinya dengan perasaan bahagia yang dapat menimbulkan serta
meningkatkan emosi positif sehingga mereka tetap dapat sehat secara fisik maupun
mental, yang kemudian menjadi ‘bahan bakar’ untuk terus melanjutkan hidupnya
sebaik mungkin. Orang-orang yang lebih bahagia tentunya juga lebih stabil
emosinya, dengan begitu keadaan tubuh dan mentalnya pun akan tetap stabil dan
mempermudah mereka untuk mempertahankan kondisi dan kinerja terbaiknya
untuk mencapai tujuan utama dalam hidupnya, yang lagi-lagi akan berbalik kepada
kebahagiaan itu akan terus muncul ketika semua tujuan hidup mereka tercapai.
Ketika mereka sudah mencapai semuanya, hanya ada kebahagiaan tanpa kecemasan
sehingga mereka tidak akan merasakan penyesalan dalam hidupnya yang dapat
berujung pada stress atau lebih parahnya lagi gangguan mental. Hal-hal yang tidak
diinginkan inilah yang juga berhubungan erat dengan kesehatan mental seseorang.
Kebahagiaan pun juga dapat disebarkan, dengan kita mempromosikan
kebahagiaan maka sama saja kita juga mempromosikan kesehatan, dan begitu pula
sebaliknya. Kedua hal ini memang benar-benar hal yang tidak dapat dipisahkan,
linear dengan definisi WHO mengenai kesehatan mental bahwa, kebahagiaan atau
mental well-being dapat dikonseptualisasikan sebagai kesehatan mental. Juga
seperti yang telah dijelaskan mengenai karakteristik orang-orang yang bahagia,

11
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

mereka cenderung ekstrovert dan memiliki banyak hubungan baik dengan orang
lain. Dengan level emosi positif yang tinggi, orang-orang yang bahagia akan
menebarkan stimulus positif juga untuk orang lain, sehingga emosi positif orang
lain pun juga muncul atau meningkat. Terutama pada orang yang sedang sedih,
bagian otak ventromedial prefrontal cortical (VMPFC) mereka akan teraktivasi dan
menangkap stimulus positif tersebut, karena stimulus itu berguna dan dibutuhkan
bagi mereka. Maka peranan lingkungan yang mendukung kebahagiaan terhadap
penyebaran kebahagiaan melalui stimulus positif pun juga sama pentingnya dengan
penanaman rasa bahagia itu dari diri sendiri.
Disini kita dapat mengambil contoh dari negara Bhutan yang menganut
filosofi buddha. Sejak 40 tahun yang lalu, rajanya telah memutuskan bahwa untuk
mengukur perkembangan negaranya bukan berdasarkan Gross Domestic Product
(GDP), tetapi lebih baik menggunakan Gross National Happiness (GHP).
Kebahagiaan dipandang sebagai pusat dari perkembangan dan pengaturan publik
yang dapat dicapai melalui perkembangan ekonomi, preservasi lingkungan,
promosi budaya, dan pemerintah yang baik. Fokusnya bukanlah kepuasaan
langsung dari setiap individu, tetapi membuat kondisi yang adil pada area-area
seperti pendapatan, dan lapangan pekerjaan (Bull, 2008, hal. 35).
Dari banyak aspek yang telah dibahas, untuk menjawab pertanyaan
sekaligus judul dari pembahasan ini, ‘Sehat dengan Bahagia? Bisakah?’.
Jawabannya adalah bisa.

12
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?

REFERENSI

1. Angner, E., Ray, M. N., Saag, K. G., & Allison, J. J. (2009). Health and
Happiness among Older Adults. Journal of Health Psychology, 14, 503-512.
2. Bull, T. (2008). Hunting Happiness or Promoting Health? Why Positive
Psychology Deserves a Place in Health Promotion. Promotion & Education,
15, 34-35.
3. Diener, E. & Seligman, M.E.P. (2002). Research Report: Very Happy People.
Psychological Science, 13, 81-84.
4. Gruber, J., Mauss, I. B., & Tamir, M. (2011). A Dark Side of Happiness? How,
When, and Why is Happiness is Not Always Good. Perspectives of
Psychological Sciences, 6, 222-233.
5. Keedwell, P. A., Andrew, C., Williams, S.C.R, Brammer, M. J., Philips, M.L.
(2005). A Double Dissociation of Ventromedial Prefrontal Cortical Responses
to Sad and Happy Stimuli in Depressed and Healthy Individuals. Biol
Psychiatry, 58, 495-503.
6. Mahon, N. E., Yarcheski, A., & Yarcheski, T.J. (2005). Happiness as Related
to Gender and Early Adolescents. Clinical Nursing Research, 14, 175-190.
7. Oishi, S., Graham, J., Kesebir, S., & Galinha, I.C. (2013). Concepts of
Happiness Across Time and Cultures. Personality and Social Psychology
Bulletin, 39 (5), 559-577.

13

Anda mungkin juga menyukai