Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
Sehat, telah menjadi salah satu indikator dari kesejahteraan bagi manusia.
Sebuah keadaan dimana seseorang terbebas dari rasa sakit maupun penyakit
(WHO), dan keadaan yang mendatangkan kebaikan bagi tubuhnya. Tentu tujuan
implisit setiap orang dalam hidupnya adalah menjadi sehat, maka dari itu semua
orang senantiasa menjaga kesehatannya, baik kesehatan fisik maupun mentalnya.
Dengan menjadi sehat, dapat memudahkan seseorang dalam mencapai tujuan-
tujuan eksplisit hidupnya.
Lalu bagaimanakah cara menjadi sehat atau menaikkan taraf kesehatan bagi
seseorang? Banyak orang berusaha keras untuk menjaga pola makannya, dengan
makan makanan sehat, kemudian menyisihkan waktu di tengah kesibukannya untuk
berolahraga, atau di zaman yang serba modern ini banyak juga orang
mengkonsumsi multivitamin untuk memenuhi kebutuhan zat-zat yang diperlukan
oleh tubuhnya. Semuanya dilakukan demi menjaga kesehatan.
1
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
2
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
bahwa terdapat perbedaan pula pada orang-orang bahagia dengan yang tidak. Dari
hasil tes MMPI (Minnesota Multiphasic Personality Inventory) yang mengukur
psikopatologi seseorang, orang-orang yang bahagia mendapatkan hasil yang rendah
dalam tes tersebut, mereka tidak mendapatkan skor pada rentang klinis, sedangkan
orang-orang yang tidak bahagia sebaliknya. Kemudian dari sudut psikologisnya,
orang-orang yang bahagia cenderung lebih ekstrovert, memiliki skor neurotisme
yang rendah, dan memiliki sikap agreeableness yang lebih tinggi.
Keuntungan Bahagia
Melansir dari penelitian yang dilakukan pada tahun 2011 oleh Gruber dkk
yang berjudul The Dark Side of Happiness, ada beberapa keuntungan yang
didapatkan bahkan mungkin sudah dirasakan oleh sebagian besar orang dari
kebahagiaan. Yang pertama adalah, bahagia yang menghasilkan emosi positif
memfasilitasi pelebaran proses aksi dan berfikir serta membangun sumber vital
sosial, fisik, dan kognitif (e.g., Fredrickson, 1998). Kedua, selain menghasilkan
emosi positif tadi, bahagia juga dapat meningkatkannya, sehingga mendorong
seseorang untuk melakukan tindakan prososial dan berafiliasi dengan orang lain
(Isen, 2000). Ketiga, emosi positif memfasilitiasi fleksibilitas kognitif dengan cara
memungkinkan orang lain untung menggeser atensi menjadi stimulus utama
(Carver, 2003) dan mengarahkan atensi selektif untuk memengaruhi lingkungan
(Tamir & Robinson, 2007). Yang terpenting, emosi positif memiliki hubungan
dengan peningkatan kesehatan fisik (Fredrickson & Levenson, 1998; Tugade,
Fredrickson, & Barrett, 2004), dan kesehatan mental (Bonanno & Keltner, 1997;
Folkman & Moskowitz, 2000). Sebagai tambahan, penelitian telah membuktikan
bahwa peningkatan emosi positif berkontribusi pada hasil dari kesehatan positif
(Fredrickson, 1998; Lyubomirsky, King, & Diener, 2005). Contohnya, kegiatan
meditasi diyakini dapat mendorong kebahagian yang merujuk pada peningkatan
kesehatan psikologis (i.e., reductions in depression symptoms) saat dibandingkan
dengan hasil dari group kontrol (Fredrickson, Cohn, Coffey, Pek, & Finkel, 2008).
(Gruber dkk., 2011, hal. 223)
3
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
Dan jika melihat secara kontras dari sudut menurunnya emosi negatif
beberapa diantaranya adalah, level emosi negatif yang rendah diasosiasikan dengan
pengurangan resiko dari berbagai macam ganggung psikologis, potensi kecemasan
dan depresi sebagai asal mula gangguan kepribadian (Kring, 2008), bahkan level
emosi negatif yang lebih rendah lagi juga diasosiasikan dengan menurunnya resiko
serius dari kondisi kesehatan, seperti penyakit jantung koroner (Kubzansky &
Kawachi, 2000; Kubzansky dkk., 1997). (Gruber dkk., 2011, hal. 223)
Tapi tidak sampai disini, penulis ingin menggali lebih dalam lagi mengenai
korelasi antara kebahagiaan dengan kesehatan, apakah memang bahagia 100%
menguntungkan atau ada juga sisi gelap dari kebahagiaan?
4
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
emosi negatif (i.e., >5:1) memperlihatkan perilaku yang lebih kaku (Fredrickson &
Losada, 2005). Mengejutkannya lagi, orang tua dan guru yang dinilai memiliki
tingkat ‘keceriaan’ yang tinggi memiliki prospek resiko kematian yang lebih besar
(Freidman dkk., 1993). Bahkan, ketika mengalami tingkat emosi positif yang sangat
tinggi, beberapa orang dapat melakukan tindakan-tindakan yang memiliki
kecenderungan resiko tinggi, seperti mengkonsumsi alkohol, makan berlebihan,
dan menggunakan narkoba (Cyders & Smith, 2008; L.R. Martin dkk., 2002).
Baumeister, Bratslavsky, Finkenauer, dan Vohs (2001) juga menambahkan bahwa
individu dengan level emosi positif yang tinggi cenderung untuk mengabaikan
ancaman penting dan bahaya. (Gruber, dkk., 2011, hal. 224)
5
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
bermanfaat atau menguntungkan, bagian ini dapat mengalami disfungsi jika terjadi
major depressive disorder (MDD).
6
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
Tapi bukan berarti bagi orang-orang yang sehat stimulus bahagia tidak
menguntungkan, tetapi karena orang yang sehat yaitu orang yang tidak sakit baik
fisik maupun mentalnya (depresi) sudah mencukupi kebutuhan akan stimulus
positifnya berupa merasa bahagia maka stimulus bahagia tidak banyak di respon
oleh VMPFC. Dari hal ini sudah cukup menjawab bahwa orang-orang yang bahagia
cenderung lebih sehat.
Untuk menunjang beberapa pemaparan yang sudah dijelaskan di atas,
penulis akan menyertakan beberapa bukti berupa eksperimen-eksperimen yang
terkait akan mitos bahwa ‘orang yang bahagia lebih sehat’.
Mahon dkk melakukan penelitian ini pada tahun 2005 dalam rangka
mencari tahu perbedaan kebahagiaan berdasarkan gender serta mencari tahu
hubungan antara kebahagiaan dan beberapa variabel kesehatan seperti perolehan
status sehat, kesehatan klinis, dan wellness pada remaja masa awal, dan menguji
hubungan-hubungan tersebut pada remaja laki-laki dan remaja perempuan secara
terpisah. Mahon dkk mengambil 151 sampel remaja laki-laki dan perempuan dan
melakukan survey untuk mengukur variabel-variabel kesehatan tadi.
Hasil yang didapatkan dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan akan kebahagiaan pada laki-laki maupun perempuan. Dan secara
statistik ditemukan adanya korelasi positif antara kebahagian dan variabel-variabel
kesehatan pada seluruh sampel, dengan pola yang beragam dari hubungan ketika
remaja laki-laki dan remaja perempuan diteliti secara terpisah.
7
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
Dari penelitian yang dilakukan oleh Mahon dkk ini lagi-lagi kita
menemukan bahwa korelasi antara kebahagiaan dan kesehatan memang ada, dan
semakin sehat seseorang maka semakin bahagialah dia, berlaku juga kebaliknnya.
Semakin bahagia seseorang maka semakin sehatlah dia, walaupun kita menemukan
perbedaan perubahan antara hubungan tersebut lebih signifikan terjadi pada laki-
laki (yang disini remaja), tetapi bukan berarti hal ini tidak terjadi pada perempuan.
Kebahagiaan berkorelasi dengan kesehatan bagi siapa saja, baik laki-laki maupun
perempuan.
Angner dkk melakukan penelitian ini pada tahun 2009 terhadap 383 orang
tua yang berumur 49-99 tahun di Alabama, Amerika. Tujuan dari penelitian ini
adalah (1) mengetahui hubungan antara kesehatan dan kebahagiaan melalui tes
pengukuran baik subjektif maupun objektif, (2) untuk membuktikan hipotesis
bahwa pengukuran kesehatan yang subjektif merupakan prediktor yang lebih baik
dibandingkan pengukuran kesehatan yang objektif, dan (3) untuk mengidentifikasi
komorbiditas spesifik yang diasosiasikan dengan tingkat kebahagiaan yang rendah.
Hasil penelitian dari 383 orang tadi, terklasifikasi bahwa terdapat 234 orang
yang dikategorisasikan bahagia dan 89 orang yang dikategorisasikan tidak bahagia.
Hasil pengukuran tingkat kebahagiaan ini dinilai menggunakan Subjective
Happiness Scale yang sudah banyak digunakan karena dapat divalidasi dengan
baik. Sedangkan seperti tujuan penelitian ini, pengukuran akan tingkat kesehatan
dilakukan menggunakan 2 cara yaitu; pengukuran subjektif berupa pertanyaan-
pertanyaan yang membutuhkan pemikiran kognitif seperti, “secara umum,
8
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
bagaimana anda menyatakan kesehatan anda: sangat baik, cukup baik, baik, kurang,
jelek”, dan juga pengukuran objektif berupa pertanyaan-pertanyaan yang mengacu
pada apakah mereka sering mengalami nyeri, apakah mereka pernah di diagnosa
oleh dokter dengan penyakit-penyakit seperti darah tinggi, diabetes, jantung,
kanker, dsb. Pertanyaan tersebut dianggap objektif (walaupun semua jawaban
diperoleh dengan menggunakan metode self-report) karena semua pertanyaan
benar-benar mengarah pada gejala-gejala yang terdefinisi, disabilitas, dan kondisi.
9
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
Dan dari yang saya pahami melalui penelitian ini, saya mendapatkan
pandangan bahwa ketika orang-orang yang menderita penyakit parah tetap dapat
mengkompensasi penyakit tersebut dengan mengganti sumber kebahagiaan dari
hal-hal di luar kesehatan, dan juga yang terpenting adalah ketika mereka
menyaksikan proses penyembuhan mereka dari penyakit tersebut, dengan begitu
mereka sudah merasa bahagia. Hal ini tentu tidak terlepas dari sugesti positif yang
dihasilkan oleh pemikiran mereka sendiri, ketika mereka tidak putus asa, ketika
mereka tetap merasa bahagia, sehingga mereka dapat menikmati setiap proses
penyembuhan penyakit mereka, yang tentu saja dapat mempercepat proses
penyembuhan tersebut. Hal ini berlaku secara terbalik juga, dengan kebahagiaan
yang subjektif, yang ditanam oleh masing-masing orang dapat membuat mereka
lebih sehat, atau disini dapat mengarahkan mereka untuk mencapai kesehatan. Dan
bahkan seperti yang didapat dari penelitian ini, pengukuran subjektif kesehatan
dapat memprediksi kebahagiaan, karena orang-orang dapat memanipulasi rasa sakit
karena kebahagiaan yang dapat mereka dapatkan selain dari kesehatan.
Kesimpulan
Emosi positif yang memiliki peranan penting dalam peningkatan kesehatan
sehingga seseorang dapat terhindar atau setidaknya mencegah potensi dari berbagai
penyakit, salah satunya bersumber dari kebahagiaan. Walaupun di sisi lain
kebahagiaan pun juga tetap harus ada batasnya. Tetapi, untuk memenuhi kebutuhan
diri akan emosi positif tersebut dengan cara yang paling mudah dan menyenangkan
bukankah dengan bahagia?
Semua orang pasti mendambakan kebahagiaan dalam hidupnya, dan
tidaklah sulit untuk memenuhi kebahagiaan itu sendiri, bahkan di sisi lain
kebahagiaan pun juga dapat disebarkan melalui berbagai cara. Hal yang paling
sederhana adalah bersyukur akan kondisi apapun yang dimiliki sekarang. Dari
penelitian Angener dkk yang juga sudah di jelaskan diatas, bahkan orang-orang
yang menderita penyakit pun tetap dapat merasa bahagia walaupun dengan
kenyataan bahwa mereka sekarat, karena mereka mendapat dukungan dari
lingkungannya serta proses penyembuhan yang misalnya semakin membaik,
10
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
mereka menanamkan kebahagiaan itu agar mereka tetap dapat bertahan dan mampu
melewati keadaan sesulit apapun yang mereka sedang alami. Jika saja orang-orang
itu menyerah, merasa tidak bahagia dan emosi negatif lah yang memenuhi seluruh
pikiran dan tubuhnya, justru mereka akan tetap terjebak dalam keadaannya itu dan
bahkan menambah penyakit pada dirinya sendiri. Seperti yang juga telah kita bahas
bahwa, emosi negatif dapat memicu depresi dan menambah resiko penyakit seperti
jantung koroner. Sedangkan emosi positif dapat membantu pengingkatan
kesehatan.
Itu untuk kasus orang-orang yang sakit, lalu pada orang normal? Sama
namun tidak serupa, untuk orang-orang normal pun juga tetap harus mensyukuri
apapun itu yang dimilikinya, dengan kehadiran keluarga dan kondisi lingkungan
juga diharapkan agar mereka tetap dapat merasa bahagia walaupun pasti setiap
orang memiliki permasalahan hidup dan kekurangannya masing-masing. Namun
dengan mensubstitusinya dengan perasaan bahagia yang dapat menimbulkan serta
meningkatkan emosi positif sehingga mereka tetap dapat sehat secara fisik maupun
mental, yang kemudian menjadi ‘bahan bakar’ untuk terus melanjutkan hidupnya
sebaik mungkin. Orang-orang yang lebih bahagia tentunya juga lebih stabil
emosinya, dengan begitu keadaan tubuh dan mentalnya pun akan tetap stabil dan
mempermudah mereka untuk mempertahankan kondisi dan kinerja terbaiknya
untuk mencapai tujuan utama dalam hidupnya, yang lagi-lagi akan berbalik kepada
kebahagiaan itu akan terus muncul ketika semua tujuan hidup mereka tercapai.
Ketika mereka sudah mencapai semuanya, hanya ada kebahagiaan tanpa kecemasan
sehingga mereka tidak akan merasakan penyesalan dalam hidupnya yang dapat
berujung pada stress atau lebih parahnya lagi gangguan mental. Hal-hal yang tidak
diinginkan inilah yang juga berhubungan erat dengan kesehatan mental seseorang.
Kebahagiaan pun juga dapat disebarkan, dengan kita mempromosikan
kebahagiaan maka sama saja kita juga mempromosikan kesehatan, dan begitu pula
sebaliknya. Kedua hal ini memang benar-benar hal yang tidak dapat dipisahkan,
linear dengan definisi WHO mengenai kesehatan mental bahwa, kebahagiaan atau
mental well-being dapat dikonseptualisasikan sebagai kesehatan mental. Juga
seperti yang telah dijelaskan mengenai karakteristik orang-orang yang bahagia,
11
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
mereka cenderung ekstrovert dan memiliki banyak hubungan baik dengan orang
lain. Dengan level emosi positif yang tinggi, orang-orang yang bahagia akan
menebarkan stimulus positif juga untuk orang lain, sehingga emosi positif orang
lain pun juga muncul atau meningkat. Terutama pada orang yang sedang sedih,
bagian otak ventromedial prefrontal cortical (VMPFC) mereka akan teraktivasi dan
menangkap stimulus positif tersebut, karena stimulus itu berguna dan dibutuhkan
bagi mereka. Maka peranan lingkungan yang mendukung kebahagiaan terhadap
penyebaran kebahagiaan melalui stimulus positif pun juga sama pentingnya dengan
penanaman rasa bahagia itu dari diri sendiri.
Disini kita dapat mengambil contoh dari negara Bhutan yang menganut
filosofi buddha. Sejak 40 tahun yang lalu, rajanya telah memutuskan bahwa untuk
mengukur perkembangan negaranya bukan berdasarkan Gross Domestic Product
(GDP), tetapi lebih baik menggunakan Gross National Happiness (GHP).
Kebahagiaan dipandang sebagai pusat dari perkembangan dan pengaturan publik
yang dapat dicapai melalui perkembangan ekonomi, preservasi lingkungan,
promosi budaya, dan pemerintah yang baik. Fokusnya bukanlah kepuasaan
langsung dari setiap individu, tetapi membuat kondisi yang adil pada area-area
seperti pendapatan, dan lapangan pekerjaan (Bull, 2008, hal. 35).
Dari banyak aspek yang telah dibahas, untuk menjawab pertanyaan
sekaligus judul dari pembahasan ini, ‘Sehat dengan Bahagia? Bisakah?’.
Jawabannya adalah bisa.
12
Mauliddita Salsabila Azzahra
Essay Biopsikologi
Fakultas Psikologi Universitas Airlanga
2017
Wellbeing: Why Happy People are Healthier?
REFERENSI
1. Angner, E., Ray, M. N., Saag, K. G., & Allison, J. J. (2009). Health and
Happiness among Older Adults. Journal of Health Psychology, 14, 503-512.
2. Bull, T. (2008). Hunting Happiness or Promoting Health? Why Positive
Psychology Deserves a Place in Health Promotion. Promotion & Education,
15, 34-35.
3. Diener, E. & Seligman, M.E.P. (2002). Research Report: Very Happy People.
Psychological Science, 13, 81-84.
4. Gruber, J., Mauss, I. B., & Tamir, M. (2011). A Dark Side of Happiness? How,
When, and Why is Happiness is Not Always Good. Perspectives of
Psychological Sciences, 6, 222-233.
5. Keedwell, P. A., Andrew, C., Williams, S.C.R, Brammer, M. J., Philips, M.L.
(2005). A Double Dissociation of Ventromedial Prefrontal Cortical Responses
to Sad and Happy Stimuli in Depressed and Healthy Individuals. Biol
Psychiatry, 58, 495-503.
6. Mahon, N. E., Yarcheski, A., & Yarcheski, T.J. (2005). Happiness as Related
to Gender and Early Adolescents. Clinical Nursing Research, 14, 175-190.
7. Oishi, S., Graham, J., Kesebir, S., & Galinha, I.C. (2013). Concepts of
Happiness Across Time and Cultures. Personality and Social Psychology
Bulletin, 39 (5), 559-577.
13