Anda di halaman 1dari 27

1

JUDUL PENELITIAN
PENGARUH TERAPI PSIKORELIGIUS TERHADAP TINGKAT
KECEMASAN PASIEN PRA OPERASI DI RUANG BEDAH RS ISLAM
FAISAL MAKASSAR.
II. RUANG LINGKUP PENELITIAN
KEPERAWATAN JIWA
III. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Untuk mendapatkan kesehatan mental yang prima, tidaklah mungkin terjadi
begitu saja. Selain menyediakan lingkungan yang baik untuk pengembangan
potensi, dari individu sendiri dituntut untuk melakukan berbagai usaha
menggunakan berbagai kesempatan yang ada untuk mengembangkan dirinya.
Individu perlu merefleksikan kembali penyebab dari berbagai perilakunya,
mengevaluasi kembali kehidupan beragamanya, menggunakan berbagai sarana
yang selama ini telah tersedia, yaitu berbagai macam teknik konseling dan
psikoterapi, serta mengembangkan kebiasaan pribadi, dalam hal ini mencoba
berlatih dan mendeskripsikan emosi yang dialami.
Secara teori, tidak ada batasan sejauh mana derajat kesehatan, baik mental
maupun fisik dapat dicapai. Banyak yang sudah puas bila tidak ada gejala-gejala
yang menunjukkan gangguan baik berupa gangguan kebutuhan, mental maupun
spiritual. Ini menjadi kriteria kesehatan umum. Gerakan-gerakan untuk mencapai
derajat kesehatan yang optimal inilah yang saat ini sedang muncul, tumbuh dan
berkembang di mana-mana terutama di kota-kota besar di dunia. Ada banyak cara
untuk mendapatkan derajat kesehatan yang memuaskan, sejalan dengan
teraktualnya potensi-potensi dalam diri yang belum tergali.
Terapi merupakan salah satu cara untuk semakin mengenal dan menemukan
keunikan diri. Sekarang ini terapi banyak digunakan bukan hanya bagi mereka
yang merasa memiliki masalah, namun baik juga digunakan sebagai alat
pemahaman dan pengenalan diri. Hasilnya mereka akan menemukan mutiara-
mutiara lain dalam diri mereka yang selama ini mungkin tidak mereka sadari
(Siswanto, 2007)
Di awal abad ke-20, ditandai dengan kemajuan yang pesat dalam ilmu kedokteran
2

modern dengan adanya spesialisasi sebagai respon atas munculnya penyakit-


penyakit baru yang mencemaskan. Namun persoalannya ternyata tidak berhenti
dipenanganan medis belaka. Penyakit-penyakit psikis ternyata tidak sepenuhnya
mampu ditanggulangi oleh bidang medis. Itulah antara lain yang menjadi alasan
mengapa banyak orang sekarang ini yang mencari alternatif penyehatan dan
penyembuhan terhadap terapi-terapi spiritual. Oleh karena itu, guna memperoleh
kesehatan yang holistik, hendaknya kita harus memahami aspek-aspek jasmani,
mental dan spiritual sehingga secara terpadu dapat mengetahui cara yang benar
untuk menyeimbangkan dan mengobati setiap bidang tersebut. Prinsip
keseimbangan ini yang diajarkan Tuhan kepada kita di setiap aspek kehidupan.
Tanpa keseimbangan maka tidak akan pernah ada kehidupan yang tertib, aman
dan sehat. Demikian juga hanya dengan tubuh manusia yang melakukan
keseimbangan aktivitas bioelektrik dan biokimianya sendiri sehingga tetap hidup
dan sehat dalam menjalankan aktivitasnya. Penelitian psikiatrik membuktikan
bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara komitmen agama dan
kesehatan. Orang yang sangat religius dan taat menjalankan ajaran agamanya
relatif lebih sehat dan atau mampu mengatasi penderitaan penyakitnya sehingga
proses penyembuhan penyakitnyapun lebih cepat (Zainul Z, 2007).
Saat ini perkembangan terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah
pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai penelitian yang telah
dilakukan ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan
kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang
merupakan stresor psikososial. World Health Organization (WHO) telah
menetapkan unsur spiritual (agama) sebagai salah satu dari 4 unsur kesehatan.
Keempat unsur kesehatan tersebut adalah sehat fisik, sehat psikis, sehat sosial, dan
sehat spiritual. Pendekatan baru ini telah diadopsi oleh psikiater Amerika Serikat
(The American Psychiatric Association atau APA, 1992) yang dikenal dengan
pendekatan “bio-psyco-socio-spiritual” (Ilham A, 2008).
Pada tahun 1946, WHO mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan lengkap dari
kesejahteraan fisik, mental, sosial dan bukan semata-mata katiadaan penyakit atau
kesakitan. Definisi kesehatan ini merupakan pemicu dan pemacu penelitian dan
praktik di bidang psikoreligi kesehatan. Psikoreligi kesehatan mulai berkembang
3

pesat sejak saat itu, jika dikaitkan dengan faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi kesehatan seseorang yang bertujuan untuk memperoleh kesehatan
dalam arti yang sesuai dengan pengertian WHO di atas (Hasan P, 2008).
Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika, ada sekelompok pasien yang selalu
menunda-nunda operasi sehingga jadwal operasi yang sudah dibuat ditunda lagi,
kecuali pada operasi yang darurat. Ada masalah apa dengannya? Padahal dalam
pemeriksaan semua sudah bagus, tidak ada alasan untuk menunda operasi. Setelah
diselidiki ternyata mereka mengalami ketakutan menghadapi operasi (Yosep I,
2009).
Lindenthal (1970) dan Star (1971) melakukan studi epidemiologi yang hasilnya
menunjukkan bahwa penduduk yang religius resiko untuk mengalami stres jauh
lebih kecil dari pada mereka yang tidak religius dalam kehidupan sehari-harinya.
Clinebell (1981) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pada setiap diri manusia
terdapat kebutuhan dasar spiritual (Basic Spiritual Needs). Kebutuhan dasar
spiritual ini adalah kebutuhan kerohanian, keagamaan, dan ke-Tuhan-an yang
kerena paham materialisme dan sekularisme menyebabkan kebutuhan dasar
spiritual terlupakan tanpa disadari. Dengan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
spiritual maka daya tahan dan kekebalan seseorang dalam menghadapi stressor
psikososial menjadi melemah, yang kemudian sebagian dari mereka melarikan
diri kepada hal-hal yang negatif (Ilham A, 2008).
Saat ini di rumah sakit umum dianjurkan melaksanakan suatu program yang
dinamakan Program Integrasi Kesehatan Jiwa. Tentu saja ini telah mulai
dijalankan di sejumlah rumah sakit yang berdasarkan agama atau yang dikelola
organisasi sosial keagamaan melalui pelaksanaan terapi agama. Di samping dokter
yang mengobati, ada juga agamawan yang mendampingi, memberikan dan
menuntun doa. Alangkah baiknya bila rohaniawan yang membimbing di rumah
sakit juga mempunyai pengetahuan kesehatan atau dokter-dokter yang ada dapat
pula memberikan tuntunan agama. Tujuannya agar pasien yang terbaring itu tidak
merasa jenuh dan tidak berontak. Karena dalam keadaan berbaring pun ia bisa
beribadah, berdzikir atau mengaji serta sholat dengan segala kemampuannya.
Dengan demikian pasien tidak merasa ragu karena senantiasa dapat mendapat
pahala. Sebaliknya orang yang tidak memiliki tuntunan agama akan merasa
4

gelisah, ingin pulang, cemas, dan sebagainya, yang justru akan menurunkan
respon imunitasnya.
Perasaan takut dioperasi timbul karena takut menghadapi kematian dan tidak bisa
bangun lagi setelah dioperasi. Ada pula orang lain yang tidak bermasalah dalam
menghadapi operasi, ternyata permasalahannya adalah komitmen agama. Pada
kelompok yang lurus-lurus saja, yang komitmen agamanya kuat dan alur
pemikiran sebagai berikut : kami percaya pada Tuhan, kami menjalani operasi
dengan harapan sembuh, andai kata kami meninggal pun tetap saja harus
menghadap Tuhan nantinya karena semua yang bernyawa pasti akan mati. Kami
sudah siap mati karena kami sudah memohon dan berdoa (Yosep I, 2009).
Dalam mengembangkan psikologi kesehatan, para ilmuan kemudian melihat
bahwa kaitan antara jiwa dan tubuh merupakan hal yang sebetulnya telah lama
dikaji. Para filosofi dan tokoh agama, dengan berbagai latar belakang, telah sejak
lama membahas hal ini, tak terkecuali ulama Islam. Banyak tokoh Islam yang
terkenal yang telah mengembangkan hal ini, baik secara konsep maupun praktik,
seperti Nabi Muhammad SAW, kemudian Al Razi (841-926 M), Ibnu Sina (980-
1037 M), dan lain-lain. Pendekatan Islam telah lama sejak awal bahkan telah
mencakup dimensi biologis, mental dan spiritual serta sosial (Hasan P, 2008).
Masyarakat Indonesia telah mengalami pergeseran dari masyarakat agraris ke
masyarakat indutri. Hal ini berakibat pergeseran pola kependudukan yang
berdampak pada pergeseran pola penyakit. Pola hidup penduduk di kota-kota
besar (urban) berbeda dengan di pedesaan (rural). Penduduk di kota-kota besar
banyak yang menderita ketegangan jiwa (stres mental atau kecemasan)
berubahnya kebiasaanya hidup seperti kurang gerak, berubahnya pola makan ke
arah konsumsi tinggi lemak, kebiasaan merokok, minum alkohol dan lain
sebagainya. Adanya pergeseran masyarakat ke industri dan ditambah pola hidup
masyarakat urban telah mampu menciptakan dimensi baru penyakit, paling tidak
dimensi psikoreligi. Pada dimensi psikoreligi, terjadinya penyakit dilihat dari
sudut pandang gejolak emosi dan ketenangan beribadah. Dimensi psikoreligi
memandang kepribadianlah yang bertanggung jawab terhadap timbulnya penyakit
(Ilham A, 2008).
Apabila faktor psikologi dapat teridentifikasi sebagai faktor pendukung
5

pemunculan atau perburukan kondisi fisik, maka dapat digunakan diagnosis faktor
psikologis yang mempengaruhi kondisi medis. Sebuah penilaian dibuat tentang
komponen emosional yang mempengaruhi kondisi kesehatan fisik seseorang.
Sering kali faktor psikologis dapat mengganggu penatalaksanaan masalah medis
dan dapat menambah resiko kesehatan klien. Faktor psikologis yang
mempengaruhi masalah medis dapat didiagnosis sebagai gangguan mental.
Ansietas dan depresi dapat memperburuk berbagai penyakit dan dapat
memperpanjang periode penyembuhan. Sering kali, sifat kepribadian atau gaya
koping tertentu dapat mengganggu kesehatan atau menimbulkan faktor resiko
pada klien untuk terkena penakit tertentu seperti penyakit jantung. Respon
fisiologis yang berhubungan dengan kecemasan dapat mencetuskan beberapa
masalah seperti nyeri dada dan serangan asma. Pada beberapa klien, faktor-faktor
psikologis yang tidak tergolongkan seperti pertimbagan budaya, pertimbangan
agama, dapat mempengaruhi rangkaian atau hasil terapi. Para ilmuan telah
mengikuti sejak lama bahwa orang berespon terhadap kecemasan baik pada
tingkat fisiologis maupun psikologis. Riset selanjutnya menunjukkan bagaimana
sistem imun berinteraksi dengan proses neurobiologis. Ketika seseorang
mengalami kecemasan dan stres yang berkepanjangan, kadar epinefrin,
norepinefrin dan kortisol meningkat. Pelepasan hormon stres yang terus-menerus
dapat merusak mekanisme neurobiologis dan pola fisiologis normal yang
memfasilitasi adaptasi tubuh. Sebagian besar klien yang memiliki faktor-faktor
psikologis yang mempengaruhi kondisi medis berada pada kondisi medikal-bedah
karena mereka memeriksakan kesehatan yang berhubungan dengan kondisi
fisiologis mereka. Ketika seseorang klien melaksanakan anjuran untuk terus
mengikuti terapi, fokusnya ada pada bagaimana faktor-faktor psikologis seperti
ansietas dan depresi mempengaruhi berbagai terapi atau hasilnya (Akemat, 2007).
Dari sejumlah penelitian para ahli, ternyata bisa disimpulkan bahwa komitmen
agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan
kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit yang
dipadukan dengan terapi kedokteran. Agama lebih bersifat protektif daripada
problem producing. Komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan
positif dengan clinical benefit. Kesimpulan umum adalah masyarakat dan bangsa
6

kita merupakan bangsa yang religius, maka sepatutnyalah pendekatan keagamaan


dalam praktek kedokteran dan keperawatan dapat diamalkan dalam dunia
kesehatan, dengan catatan bukan untuk mengubah keimanan seseorang terhadap
agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan
spiritualnya dalam menghadapi penyakit (Yosep I, 2009).
Menghadapi pembedahan adalah sesuatu yang sangat mengkhawatirkan karena
akan timbul perasaan antara hidup dan mati. Pada saat itulah keberadaan pencipta
dalam hal ini adalah Tuhan sangat penting sehingga pasien akan selalu
membutuhkan bantuan religius atau spiritual (Alimul A, 2006).
Berdasarkan data rekam medik di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar periode
Januari sampai dengan Desember 2010, data kegiatan atau tindakan pembedahan
yang telah dilakukan adalah sebanyak 1127 kali tindakan. Data tersebut antara
lain bedah umum atau tumor sebanyak 270 kali, bedah KB atau Sectio sebanyak
247 kali, bedah saraf sebanyak 27 kali, bedah THT sebanyak 8 kali, bedah urologi
sebanyak 159 kali, bedah mata sebanyak 11 kali, bedah ortopedi sebanyak 208
kali, bedah gigi sebanyak 14 kali, bedah plastik sebanyak 8 kali, bedah thoraks
sebanyak 24 kali, dan bedah digestif sebanyak 130 kali tindakan.
Sedangkan pada periode Januari sampai dengan Maret 2011, kegiatan atau
tindakan pembedahan yang telah dilakukan sebanyak 312 kali tindakan. Data
tersebut antara lain bedah umum atau tumor sebanyak 51 kali, bedah KB atau
sectio sebanyak 66 kali, bedah saraf sebanyak 2 kali, bedah THT sebanyak 4 kali,
bedah urologi sebanyak 60 kali, bedah mata sebanyak 2 kali, bedah ortopedi
sebanyak 47 kali, bedah gigi sebanyak 3 kali, bedah thoraks sebanyak 12 kali dan
bedah digestif sebanyak 65 kali.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut
tentang “Pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien
praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka rumusan masalahnya adalah apakah ada
pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien praoperasi di
ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
C. Tujuan Penelitian
7

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan
pasien praoperasi di ruang bedah Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kecemasan pasien sebelum pemberian terapi psikoreligius
pada masa pra bedah.
b. Untuk mengetahui kecemasan pasien setelah pemberian terapi psikoreligius
pada masa pra bedah.
c. Untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan pasien sebelum dan sesudah
pemberian terapi psikoreligius.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Rumah Sakit
Sebagai masukan yang bermakna dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
kepada pasien yang mengalami kecemasan pada masa praoperasi.
2. Bagi Pendidikan
Sebagai sumbangan ilmiah dan masukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya tentang pengaruh terapi psikoreligius terhadap pasien yang mengalami
kecemasan pada masa praoperasi, serta dapat digunakan sebagai bahan pustaka
atau bahan perbandingan untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi Keluarga
Sebagai bahan informasi, utamanya bagi keluarga tentang pentingnya terapi
psikoreligius untuk mengurangi kecemasan pada pasien praoperasi.
4. Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman yang berharga bagi peneliti untuk menambah wawasan,
pengetahuan dan pengalaman serta mengembangkan diri khususnya dalam bidang
penelitian.
5. Bagi Profesi Keperawatan
Sebagai pengembangan ilmu khususnya dalam keperawatan jiwa, yang
selanjutnya dapat meningkatkan pemahaman terhadap pentingnya
memasyarakatkan terapi psikoreligius kepada pasien yang mengalami kecemasan
pada masa praoperasi.
IV. TINJAUAN PUSTAKA
8

A. Tinjauan Umum tentang Terapi Psikoreligius


1. Defenisi
Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan dalam praktek keperawatan
khususnya keperawatan jiwa yang menggunakan pendekatan keagamaan antara
lain doa-doa, dzikir, ceramah keagamaan, dan lain-lain untuk meningkatkan
kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang
merupakan stressor psikososial guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa (Ilham
A, 2008).
Terapi psikoreligius merupakan suatu pengobatan alternatif dengan cara
pendekatan keagamaan melalui doa dan dzikir yang merupakan unsur penyembuh
penyakit atau sebagai psikoterapeutik yang mendalam, bertujuan untuk
membangkitkan rasa percaya diri dan optimisme yang paling penting selain obat
dan tindakan medis (Rozalino R, 2009).
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan dalam dunia
kesehatan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang terhadap agama
yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritual
dalam menghadapi penyakit merupakan terapi psikoreligius (Yosep I, 2009).
Yang dimaksud dengan terapi spiritual kurang lebih adalah terapi dengan
memakai upaya-upaya untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini sama dengan
terapi keagamaan, religius, atau psikoreligius, yang berarti terapi dengan
menggunakan faktor agama, kegiatan ritual keagamaan, seperti sembahyang,
berdoa, memanjatkan puji-pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci, dan
sebagainya. Hanya saja terapi spiritual lebih umum sifatnya dan tidak selalu
dengan agama formal masing-masing individu (Wicaksana I, 2008).
Pengertian terapi spiritual atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan
pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh klien, pendekatan ini
dilakukan oleh seorang pemuka agama dengan cara memberikan pencerahan,
kegiatan ini dilakukan minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan setiap hari
untuk pasien. Terapi spiritual berbeda dengan berdoa, doa tersebut ditiupkan
disebuah gelas berisi air minum kemudian meminta klien meminum air tersebut,
meskipun sama - sama menggunakan sebuah perilaku dalam sebuah agama atau
kepercayaan tetapi akan sangat berbeda dengan terapi spiritual (Rosyidi I, 2009).
9

2. Unsur-Unsur Psikoreligi
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam terapi psikoreligius adalah sebagai
berikut (Ilham A, 2008) :
a. Doa – doa
Dalam dimensi psikoreligius, doa berarti permohonan penyembuhan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
b. Dzikir
Dzikir adalah mengingat Tuhan dengan segala kekuasaan-Nya, mengucapkan baik
secara lisan maupun dalam hati segala kuasa-Nya.
Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau kesehatan jiwa, doa
dan dzikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi
daripada psikoterapi biasa (Ilham A, 2008)
3. Proses Keperawatan pada Terapi Psikoreligius
Adapun proses keperawatan dalam terapi psikoreligius (Ilham A, 2008) antara
lain :
a. Pengkajian
Pada dasarnya informasi yang perlu digali secara umum adalah
1) Afiliasi Agama
a) Partisipasi klien dalam kegiatan agama apakah dilakukan secara aktif atau tidak
aktif.
b) Jenis partisipasi dalam kegiatan agama
2) Keyakinan agama atau spiritual, mempengaruhi
a) Praktik kesehatan: diet, mencari dan menerima terapi, ritual atau upacara
kegamaan.
b) Persepsi penyakit: hukuman, cobaan terhadap keyakinan.
c) Strategi koping.
3) Nilai agama atau spiritual, mempengaruhi
a) Tujuan dan arti hidup
b) Tujuan dan arti kematian
c) Kesehatan dan pemeliharannnya
d) Hubungan dengan Tuhan, diri sendiri dan orang lain
4) Pengkajian Data Subjektif
10

Pedoman pengkajian spiritual yang disusun oleh Stoll dalam Craven & Hirnle.
Pengkajian mencakup 4 area, yaitu :
a) Konsep tentang Tuhan atau ke-Tuhan-an
b) Sumber harapan dan kekuatan
c) Praktik agama dan ritual
d) Hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan
5) Pengkajian Data Objektif
Meliputi :
a) Pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal dan
lingkungan
b) Pengkajian data objektif terutama dilakukan melalui observasi.
Pada umumnya karakteristik klien yang potensial mengalami distres spiritual
adalah sebagai berikut :
a) Klien tampak kesepian dan sedikit pengunjung
b) Klien yang mengekspresikan rasa takut dan cemas
c) Klien yang mengekspresikan keraguan terhadap sistem kepercayaan atau agama
d) Klien yang mengekspresikan rasa takut terhadap kematian
e) Klien yang akan dioperasi
f) Penyakit yang berhubungan dengan emosi atau implikasi sosial dan agama
g) Mengubah gaya hidup
h) Preokupasi tentang hubungan agama dan kesehatan
i) Tidak dapat dikunjungi oleh pemuka agama
j) Tidak mampu atau menolak melakukan ritual spiritual
k) Memverbalisasikan bahwa penyakit yang dideritanya merupakan hukuman dari
Tuhan
l) Mengekspresikan kemarahannya kepada Tuhan
m) Mempertanyakan rencana terapi karena bertentangan dengan keyakiann agama
n) Sedang menghadapi sakaratul maut (dying)
b. Diagnosa
Distres spiritual mungkin memengaruhi fungsi manusia lainnya. Berikut ini
adalah diagnosis keperawatan, distres spiritual sebagai etiologi atau penyebab
masalah lain :
11

1) Gangguan penyesuaian terhadap penyakit yang berhubungan dengan


ketidakmampuan untuk merekonsiliasi penyakit dengan keyakinan spiritual.
2) Koping individual tidak efektif yang berhubungan dengan kehilangan agama
sebagai dukungan utama (merasa ditinggalkan oleh Tuhan).
3) Takut yang berhubungan belum siap untuk menghadapi kematian dan
pengalaman kehidupan setelah kematian.
4) Berduka yang disfungsional : keputusasaan yang berhubungan dengan
keyakinan bahwa agama tidak mempunyai arti.
5) Keputusasaan yang berhubungan dengan keyakinan bahwa tidak ada yang
peduli termasuk Tuhan .
6) Ketidakberdayaan yang berhubungan dengan perasaan menjadi korban.
7) Gangguan harga diri yang berhubungan dengan kegagalan untuk hidup sesuai
dengan ajaran agama.
8) Disfungsi seksual yang berhubungan dengan konflik nilai.
9) Gangguan pola tidur yang berhubungan dengan distres spiritual.
10) Risiko tindak kekerasan terhadap diri sendiri berhubungan dengan perasaan
bahwa hidup ini tidak berarti.

c. Perencanaan
1) Mengidentifikasi keyakinan spiritual yang memenuhi kebutuhan untuk
memperoleh arti dan tujuan, mencintai dan keterikatan serta pengampunan
2) Menggunakan kekuatan, keyakinan, harapan dan rasa nyaman ketika
menghadapi tantangan berupa penyakit, cedera atau krisis kehidupan lain.
3) Mengembangkan praktek spiritual yang memupuk komunikasi dengan diri
sendiri, dengan Tuhan dan dengan dunia luar.
4) Kepuasan dengan keharmonisan antara keyakinan spiritual dengan kehidupan
sehari-hari
d. Implementasi
1) Periksa keyakinan spiritual pribadi perawat
2) Fokuskan perhatian pada persepsi klien terhadap kebutuhan spiritualnya.
3) Jangan mengasumsi klien tidak mempunyai kebutuhan spiritual.
12

4) Mengetahui pesan nonverbal tentang kebutuhan spiritual.


5) Beri respon secara singkat, spesifik dan faktual.
6) Mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati
masalah klien.
7) Menerapkan teknik komunikasi terapeutik dengan teknik mendukung,
menerima, bertanya, memberi informasi, refleksi, menggali perasaan dan
kekuatan yang dimiliki klien.
8) Meningkatkan kesadaran dengan kepekaan pada ucapan atau pesan verbal
klien.
9) Bersikap empati yang berarti memahami perasaan klien.
10) Memahami masalah klien tanpa menghukum walaupun tidak tentu menyetujui
klien.
11) Menentukan arti dari situasi klien bagaimana klien berespon terhadap
penyakit
12) Apakah klien menganggap penyakit yang dideritanya merupakan hukuman,
cobaan, atau anugerah dari Tuhan
13) Membantu memfasilitasi klien agar dapat memenuhi kewajiban agama
14) Memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit
e. Evaluasi
1) Mampu beristirahat dengan tenang
2) Menyatakan penerimaan keputusan moral atau etika
3) Mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan
4) Menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama
5) Menunjukkan afek positif tanpa perasaan marah, rasa bersalah dan ansietas
6) Menunjukkan perilaku lebih positif
7) Mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya.
B. Tinjauan Umum tentang Kecemasan
1. Defenisi
Kecemasan (anxiety) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan sebagai
kekuatiran, kegelisahan, ketakutan akan sesuatu yang akan terjadi. Itu juga berarti
suatu perasaan takut, kuatir bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan
(Salam N, 2009).
13

Dalam Kamus Konseling (Sudarsono, 2001), kecemasan (anxiety) didefinisikan


sebagai keadaan emosi yang kronis dan kompleks dengan keterperangkapan dan
rasa takut yang menonjol. Dalam Kamus Konseling Sudarsono, dikenal 3 (tiga)
jenis kecemasan yang senantiasa ada dalam diri kita. Ketiga kecemasan itu
adalah :
a. Kecemasan Alamiah (natural anxiety)
Kecemasan alamiah (natural anxiety) merupakan kekuatiran yang spesifik,
relaistik, masuk akal, dan berperan membawa pertolongan. Ia berkaitan dengan
ketidakpastian alamiah di tengah kehidupan, ketidakpastian tentang bagaimana
sesuatu bakal terjadi. Ia juga merangkum konflik antara diri sendiri dengan dunia
kehidupan.

b. Kecemasan Melumpuhkan (toxic anxiety)


Kecemasan melumpuhkan (toxic anxiety) merupakan kekuatiran bersifat kabur,
non-realistik, tak masuk akal, repetitif namun tak efektif. Ia merangkum konflik
diri sendiri dengan diri sendiri. Ia bersumber dari afeksi bawah sadar yaitu
keinginan, pikiran dan memori yang disupresikan. Ia pula bisa bersumber dari
kecemasan alamiah dan luhur yang ditekan dan tidak diekspresikan. Kecemasan
ini dapat meracuni dan melumpuhkan diri kita sehingga ia di sebut kecemasan
toksik.
c. Kecemasan Luhur (sacred anxiety)
Kecemasan luhur (sacred anxiety) merupakan keprihatinan-keprihatinan atau
kegelisahan-kegelisahan akhirat tentang kematian dan makna serta tujuan
kehidupan. Ia adalah hasil interaksi rasionalitas sadar, afeksi bawah sadar dan
rahmat Tuhan. Ia lahir dari ketidaktahuan eksistensial yang direpresentasikan oleh
pertanyaan seperti: apa makna dan tujuan kehidupan, apa nasibku setelah
kematian dan apakah ada Tuhan. Kecemasan ini merangkum konflik diri sendiri
terhadap kehidupan. Ia bersifat terus menerus tapi hanya sekali waktu hadir dalam
kehidupan.
Menurut Ramlah (2003) kecemasan merupakan reaksi normal terhadap situasi
yang sangat menekan kehidupan seseorang. Sedangkan kecemasan menurut
(Stuart G, 2006) adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang
14

berkaitan perasaan tidak pasti dan tidak berbahaya.


2. Etiologi
Karakteristik kecemasan berbeda dengan rasa takut. Ketakutan memiliki obyek
yang jelas dimana seseorang dapat mengidentifikasikan dan menggambarkan
obyek ketakutan. Ketakutan melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus
yang mengancam sedangkan kecemasan merupakan penilaian emosional terhadap
penilaian itu. Ketakutan diakibatkan oleh paparan fisik maupun psikologis
terhadap situasi yang mengancam. Ketakutan menyebabkan kecemasan. Dua
pengalaman emosi ini dibedakan dalam ucapan yaitu kita mengatakan memiliki
rasa takut tetapi menjadi cemas. Inti permasalahan dalam suatu bentuk kecemasan
adalah pada penjagaan diri. Kecemasan terjadi sebagai akibat adanya ancaman
terhadap keberadaan diri (selfhood), self-esteem (harga diri), atau pada identitas
diri, kecemasan dapat terjadi pada orang yang takut mendapatkan hukuman,
celaan, penolakan cinta, gangguan hubungan, isolasi, atau kehilangan fungsi
tubuh. (Stuart, 2006), rasa cemas disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Faktor biologis atau fisiologis, berupa ancaman akan kekurangan makanan,
minuman, perlindungan dan keamanan.
b. Faktor psikososial, yaitu ancaman terhadap konsep diri, kehilangan
orang/benda yang dicintai, perubahan status sosial/ekonomi.
c. Faktor perkembangan, yaitu ancaman pada perkembangan masa bayi, anak,
remaja.
3. Gejala
Kecemasan disadari atau tidak selalu hadir dalam hidup ketika kita berinteraksi
dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain dan dunia sekitar kita. Gejala
kecemasan dalam (Salam N, 2009) ditandai pada tiga aspek :
a. Aspek biologis atau fisiologis, seperti peningkatan denyut nadi dan tekanan
darah, tarikan nafas menjadi pendek dan cepat, berkeringat dingin, termasuk di
telapak tangan, nafsu makan hilang, mual/ muntah, sering buang air kecil, nyeri
kepala, tak bisa tidur, mengeluh, pembesaran pupil dan gangguan pencernaan.
b. Aspek intelektual atau kognitif; seperti ketidakmampuan berkonsentrasi,
penurunan perhatian dan keinginan, tidak bereaksi terhadap rangsangan
lingkungan, penurunan produktifitas, pelupa, orientasi lebih ke masa lampau
15

daripada masa kini/masa depan.


c. Aspek emosional dan perilaku; seperti penarikan diri, depresi, mudah
tersinggung, mudah menangis, mudah marah dan apatisme.
4. Tingkat Kecemasan
Respon kecemasan terjadi dalam sebuah rentang. Peplau membagi dalam empat
tingkat yaitu ringan, moderat, berat, dan panik.

Tingkat Kecemasan yaitu :


a. Rasa cemas ringan: berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi sehari-
hari. Keadaan ini akan meningkatkan persepsi individu, yang mengakibatkan
orang akan berhati-hati atau waspada dan mendorong manusia untuk belajar serta
kreatif.
b. Rasa cemas sedang: lapangan persepsi terhadap lingkungan menurun. Individu
lebih memfokuskan hal yang penting saat itu saja dan mengesampingkan hal
lainnya, dan dapat melakukan hal yang terarah
c. Rasa cemas berat: lapangan persepsi sangat menurun. Lapangan persepsi
menurun, pemikiran pada hal yang spesifik dan terinci tidak untuk yang lain, tidak
mampu berfikir realistis, butuh banyak pengarahan, dia sudah harus diberi
pertolongan atau tuntunan.
d. Panik: lapangan persepsi sudah sangat sempit. Individu tidak dapat
mengendalikan diri lagi. Bila manusia salah orientasi; ketika menghadapi masalah
pelik; rasa dan periksa tidak berfungsi; Disebut orang sedang panik. Karena
mengalami kehilangan kendali, orang yang mengalami panik tidak mampu
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi
kepribadian. Dengan panik, terjadi peningkatan aktifitas motorik, menurunnya
kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, persepsi yang menyimpang,
dan kehilangan pemikiran yang rasional. Seseorang mungkin menjadi pucat,
tekanan darah menurun, hipotensi, koordinasi otot-otot lemah, nyeri, sensasi
pendengaran minimal. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan kehidupan dan
jika berlangsung terus dalam waktu yang lama dapat terjadi kelelahan yang sangat
bahkan kematian (Suzanne, S.C, 2002).
16

Menurut Peplau kecemasan dapat dikomunikasikan secara interpersonal karena itu


perawat harus memperhatikan dan sekaligus mengatasi kecemasan personal
(Chitty,1997). Kesadaran diri juga penting untuk mencegah perawat larut dalam
kecemasan klien (Salam N, 2009).
5. Alat Ukur Kecemasan
Derajat kecemasan dapat diukur dengan berbagai instrumen. Maramis M.E
menyatakan ada tes-tes kecemasan dengan pertanyaan langsung, mendengarkan
cerita penderita serta mengobservasinya terutama perilaku nonverbalnya. Ini
sangat berguna dalam menentukan adanya kecemasan dan untuk menetapkan
tingkatnya. Skala kecemasan dapat diukur dengan menggunakan Semantik
Differensial Scale maupun Visual Analog dapat dilakukan (Burns & Groove,
1999). Instrumen lain yang dapat digunakan untuk mengukur skala kecemasan
adalah Hamilton Anxiety Rating Scale (HARS) yaitu mengukur aspek kognitif
dan afektif yang meliputi (Hidayat A, 2007):
Cara penilaian :
Skor 0 : tidak ada gejala sama sekali
Skor 1 : 1 dari gejala yang ada
Skor 2 : separuh dari gejala yang ada
Skor 3 : lebih dari separuh gejala yang ada
Skor 4 : Semua gejala ada
a. Perasaan cemas, ditandai dengan :
1) Cemas
2) Firasat buruk
3) Takut akan pikiran sendiri
4) Mudah tersinggung
b. Ketegangan yang ditandai oleh :
1) Merasa tegang
2) Lesu
3) Tidak dapat istirahat tenang
4) Mudah terkejut
5) Mudah menangis
6) Gemetar
17

7) Gelisah
c. Ketakutan ditandai oleh :
1) Ketakutan pada gelap
2) Ketakutan ditinggal sendiri
3) Ketakutan pada orang asing
4) Ketakutan pada binatang besar
5) Ketakutan pada keramaian lalu lintas
6) Ketakutan pada kerumunan orang banyak
d. Gangguan tidur ditandai oleh :
1) Sukar masuk tidur
2) Terbangun malam hari
3) Tidur tidak nyenyak
4) Bangun dengan lesu
5) Mimpi-mimpi
6) Mimpi buruk
7) Mimpi yang menakutkan
e. Gangguan kecerdasan ditandai oleh :
1) Sukar konsentrasi
2) Daya ingat buruk
3) Daya ingat menurun
f. Perasaan depresi ditandai oleh :
1) Kehilangan minat
2) Sedih
3) Bangun dini hari
4) Kurangnya kesenangan pada hobi
5) Perasaan berubah sepanjang hari
g. Gejala Somatik/Fisik (otot) ditandai oleh :
1) Nyeri pada otot
2) Kaku
3) Kedutan otot
4) Gigi gemeruntuk
5) Suara tidak stabil
18

h. Gejala Somatik/Fisik (sensorik) ditandai oleh :


1) Tinitus
2) Penglihatan kabur
3) Muka merah dan pucat
4) Merasa lemas
5) Perasaan ditusuk-tusuk
i. Gejala Kardiovaskuler (Jantung & pembuluh darah) ditandai oleh :
1) Takikardia (denyut hantung cepat)
2) Berdebar-debar
3) Nyeri dada
4) Denyut nadi mengeras
5) Rasa lemas seperti mau pingsan
6) Detak jantung hilang sekejap
j. Gejala Respiratori (pernafasan) ditandai oleh :
1) Rasa tertekan atau sempit di dada
2) Perasaan tercekik
3) Merasa nafas pendek/ sesak
4) Sering menarik nafas panjang
k. Gejala Gastrointestinal (pencernaan) ditandai oleh :
1) Sulit menelan
2) Perut melilit
3) Gangguan pencernaan
4) Nyeri lambung sebelum atau sesudah makan
5) Rasa panas di perut
6) Perut terasa kembung atau penuh
7) Muntah
8) Defekasi lembek (BAB lembek)
9) Konstipasi (sukar buang air besar)
10) Berat badan menurun
l. Gejala Urogenital ditandai oleh :
1) Sering kencing
2) Tidak dapat menahan kencing
19

3) Tidak datang bulan (tidak ada haid)


4) Darah haid berlebihan
5) Darah amat sedikit
6) Masa haid berkepanjangan
7) Masa haid amat pendek
8) Haid beberapa kali dalam sebulan
9) Frigiditas (menjadi dingin)
10) Ejakulasi dini
11) Ereksi melemah
12) Ereksi hilang
13) Impoten
m. Gejala Otonom ditandai oleh :
1) Mulut kering
2) Muka merah kering
3) Mudah berkeringat
4) Pusing, sakit kepala
5) Kepala terasa berat
6) Bulu - bulu berdiri
n. Perilaku sewaktu wawancara, ditandai oleh :
1) Mulut kering
2) Muka merah
3) Mudah berkeringat
4) Kepala pusing
5) Kepala terasa berat
6) Kepala terasa sakit
7) Bulu-bulu berdiri

Penilaian hasil yaitu dengan menjumlahkan nilai skor item 1 sampai dengan 14
dengan ketentuan sebagai berikut :
Keterangan :
Hasil penilaian skor
20

Kurang dari 14 = tidak ada kecemasan


14-20 = kecemasan ringan
21-27 = kecemasan sedang
28-41 = kecemasan berat
42-56 = kecemasan berat sekali (panik)
C. Tinjauan Umum tentang Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan adalah suatu tindakan medis yang bersifat invasif yang
berguna untuk pengobatan penyakit dan menegakkan diagnostik, di mana untuk
jenis tindakannya ada dua jenis yaitu secara elektif dan cito atau segera ( Levis,
2000). Pembedahan elektif merupakan kegiatan yang direncanakan secara hati-
hati, terantisipasi dan dijadwalkan dengan jenis pembedahannya herniatomi,
tonsilektomi, sirkumsisi, biopsy tumor, debridement, exisi. Pembedahan cito atau
segera dilakukan karena alasan kedaruratan yang mengancam jiwa. Pembedahan
cito antara lain appendiktomi, hidrocel, invaginasi, vena seksi dan lainnya
(Suzanne, S.C, 2002).
Operasi atau pembedahan merupakan semua tindak pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang
akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan
membuat sayatan, setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan
tindak perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka. Perawatan
selanjutnya akan termasuk dalam perawatan pasca bedah. Tindakan pembedahan
atau operasi dapat menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Keluhan dan gejala
yang sering adalah nyeri (Sjamsuhidajat, 1998).
Pembedahan merupakan cabang dari ilmu medis yang ikut berperan terhadap
kesembuhan dari luka atau penyakit melalui prosedur manual atau melalui operasi
dengan tangan (Wane N, 2010).
Pembedahan merupakan terapi atau chikitsa yang paling baik, cepat dan berhasil
untuk menanggulangi penyakit tertentu yang memerlukan pengangkatan atau
menghilangkan bagian tubuh yang menyebabkan terjadinya penyakit ( Nala N,
2011).
Pembedahan adalah penyembuhan penyakit dengan jalan memotong, mengiris
anggota tubuh yang sakit. Biasanya dilaksanakan dengan anestesi, dirawat inap
21

dan jenis operasi yang dilaksanakan lebih serius daripada operasi kecil. Operasi
ini beresiko pada ancaman jiwa. (Hasanuddin M, 2008).

V. KERANGKA KONSEP
A. Dasar Pemikiran Variabel yang diteliti
Saat ini perkembangan terapi di dunia kesehatan sudah berkembang ke arah
pendekatan keagamaan (psikoreligius). Dari berbagai penelitian yang telah
dilakukan ternyata tingkat keimanan seseorang erat hubungannya dengan
kekebalan dan daya tahan dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang
merupakan stresor psikososial.
Pada penelitian ini, variabel yang diteliti adalah pegaruh doa-doa dan dzikir
(terapi psikoreligius) terhadap tingkat kecemasan pasien yang secara rinci akan di
uraikan dalam kerangka konsep.
B. Bagan Kerangka Konsep
Beradasarkan landasan teori yang telah diuraikan pada tinjauan kepustakaan,
maka secara garis besar skema mengenai sistem keterkaitan antara konsep
penelitian ini adalah sebagai berikut :
Intervensi Terapi Psikoreligius

Kecemasan Kecemasan
Pre Intervensi Post Intervensi

O1  O²
Keterangan :
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Terapi psikoreligius
Terapi psikoreligius dalam penelitian ini adalah pendekatan keagamaan melalui
22

doa-doa, dzikir dan nasehat keagamaan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan
seseorang terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk
membangkitkan kekuatan spiritual dalam menghadapi penyakit.
Kriteria Objektif :
a. Mendapat terapi : Bila responden diberikan terapi psikoreligius dalam bentuk
nasehat keagamaan, doa dan dzikir selama kurang lebih 15 menit.
b. Tidak mendapat terapi : Bila responden tidak diberikan terapi psikoreligius
dalam bentuk nasehat keagamaan, doa dan dzikir selama kurang lebih 15 menit.
2. Tingkat Kecemasan Pasien
Tingkat kecemasan pasien dalam penelitian ini segala bentuk kekhawatiran,
kegelisahan dan ketakutan pasien terhadap rencana tindakan pembedahan yang
akan pasien tersebut jalani.

Kriteria Objektif :
a. Meningkat : Bila nilai kecemasan pasien setelah diberikan intervensi (terapi
psikoreligius) dibandingkan sebelum pemberian intervensi, meningkat.
b. Menurun : Bila nilai kecemasan pasien setelah diberikan intervensi (terapi
psikoreligius) dibandingkan sebelum pemberian intervensi, menurun.
D. Hipotesis Penelitian
a. Hipotesis Nol (Ho)
Tidak ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien pra
operasi.
b. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada pengaruh terapi psikoreligius terhadap tingkat kecemasan pasien pra operasi.
VI. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka desain penelitian yang
digunakan adalah pre experimental design dengan desain uji Pre-Post Test
Design. Pre experimental design merupakan eksperimen yang paling mudah serta
tidak untuk membuktikan kausalitas. Pre-post test design merupakan penelitian
yang dilakukan dengan cara memberikan pretest (pengamatan awal) terlebih
dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi, kemudian
23

dilakukan posttest (pengamatan kedua) (Hidayat A, 2007).


B. Populasi Dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
mempumyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004).
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani pembedahan di
Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.
2. Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagai jumlah dari
karakteristik yang dimiliki oleh populasi menurut Sastroasmoro dan Ismail dalam
Nursalam (2003).
Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang menjalani pembedahan dan
memenuhi kriteria eksklusi dan inklusi yang berada di ruang bedah Rumah Sakit
Islam Faisal Makassar.
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu cara
pengambilan sampel untuk tujuan tertentu dengan cara yang tidak harus
berkesinambungan.
Untuk menentukan sampel dari populasi digunakan perhitungan maupun acuan
tabel yang dikembangkan para ahli. Secara umum, untuk penelitian korelasional
jumlah sampel adalah 30, sedangkan dalam penelitian eksperimen jumlah sampel
minimum 15 dari masing-masing kelompok dan untuk penelitian survey jumlah
sampel minimum adalah 100. Besaran atau jumlah sampel ini sampel sangat
tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan peneliti.
Namun, dalam hal tingkat kesalahan, pada penelitian sosial maksimal tingkat
kesalahannya adalah 5% (0,05). Makin besar tingkat kesalahan maka makin kecil
jumlah sampel. Namun yang perlu diperhatikan adalah semakin besar jumlah
sampel (semakin mendekati populasi) maka semakin kecil peluang kesalahan
generalisasi dan sebaliknya, semakin kecil jumlah sampel (menjauhi jumlah
populasi) maka semakin besar peluang kesalahan generalisasi (Teorionline, 2010).
Berdasarkan hal tersebut di atas maka peneliti membatasi sampel yaitu sampai 30
sampel atau 30 orang pasien yang akan menjalani operasi sebagai sampel.
24

C. Waktu Dan Tempat


1. Waktu
Penelitian akan dilaksanakan selama 1 bulan sejak proposal penelitian ini selesai
diseminarkan, yaitu bulan Mei 2011.
2. Tempat
Penelitian ini akan dilakukan di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar.

D. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Karena penelitian ini membutuhkan jawaban yang sejujurnya dan memperoleh
jawaban yang akurat, maka sampel dalam penelitian ini ditambah dengan
persyaratan sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Pasien yang akan menjalani pembedahan 1 hari kemudian.
2) Beragama Islam
3) Pasien yang bersedia untuk diterapi dan diteliti
4) Dalam keadaan sadar, bisa membaca dan menulis.
5) Jenis operasi besar, antara lain laparatomi, prostatektomi, herniatomi,
appendiktomi, tonsilektomi, biopsy tumor, debridement, exisi, hidrocel,
invaginasi, vena seksi, fraktur, sectio, digestif, thoraks dan THT.
6) Umur 18 tahun ke atas
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah :
1) Pasien yang tidak kooperatif.
2) Pasien yang menolak untuk melanjutkan penelitian.
3) Pasien yang bersedia untuk diterapi tetapi tidak bersedia untuk diteliti.

E. Cara Pengumpulan Data Dan Analisa Data


1. Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data atau informasi yang diinginkan, peneliti menggunakan
alat ukur kuisioner skala kecemasan dengan cara wawancara langsung
menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Peneliti akan bekerjasama dengan
25

pihak rumah sakit yang berwewenang melakukan tugas terapi psikoreligius


dengan cara pembacaan doa – doa dan juga dzikir kepada pasien yang akan
menjalani operasi di ruang bedah dan juga di ruangan lainnya. Pertama – tama,
peneliti akan mengukur tingkat kecemasan pasien menggunakan skala kecemasan
dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi terapeutik.
Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien dan
dilakukan 12 jam sebelum intervensi (pemberian terapi psikoreligius). Setelah
wawancara, dilakukanlah intervensi kepada pasien pra operasi yaitu dengan
memberikan terapi psikoreligius dengan doa-doa dan dzikir. Setelah dilakukan
intervensi, 12 jam kemudian peneliti kembali mengukur tingkat kecemasan pasien
menggunakan skala kecemasan juga dengan cara wawancara langsung
menggunakan teknik komunikasi terapeutik. Teknik wawancara langsung
digunakan oleh peneliti karena dengan wawancara secara langsung maka akan
terjadi kontak langsung dengan pasien. Peneliti akan mendapatkan kedekatan
emosional dengan pasien dan juga agar pasien jujur mengakui dan memberikan
data kecemasannya secara jujur dan terbuka.
2. Analisa Data
Terapi psikoreligius dikatakan berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien
praoperasi jika skala kecemasan pasien sebelum dilakukan intervensi
dibandingkan dengan skala kecemasan pasien setelah dilakukan intervensi,
menurun. Terapi psikoreligius dikatakan tidak berpengaruh terhadap tingkat
kecemasan pasien praoperasi jika skala kecemasan pasien sebelum dilakukan
intervensi dibandingkan dengan skala kecemasan pasien setelah dilakukan
intervensi, tetap atau meningkat.
F. Langkah Pengolahan Data
Setelah data – data terkumpul, maka peneliti melakukan :
1. Editing
Proses editing (penyuntingan data) dilakukan dengan memeriksa setiap lembar
kuisioner skala kecemasan yang didapatkan oleh peneliti setelah melakukan uji
pre-post test dengan cara wawancara langsung menggunakan teknik komunikasi
terapeutik dengan pasien.
2. Pemberian kode
26

Pada tahap ini yang dilakukan adalah pemberian kode atau tanda dari tiap lembar
kuisioner skala kecemasan yang telah didapatkan dari hasil wawancara peneliti
dengan pasien pra operasi. Untuk mempermudah pemasukan data maka dibuat
format koding, kemudian hasil koding di masukkan ke dalam tabel pengkodean.
Setelah itu, data siap di masukkan kedalam komputer.
3. Tabulasi
Pada tahap ini, dilakukan pengelompokan data dalam suatu table sesuai dengan
tujuan penelitian.
4. Statistik yang digunakan
a. Analisis deskriptif
b. Uji Independent Sample t-Test, merupakan suatu uji statistik parametrik dengan
pendekatan skala interval, dengan derajat kemaknaan <0,05. Dalam melakukan
analisa data menggunakan bantuan program SPSS.
G. Keterbatasan
Ada beberapa macam keterbatasan yang didapatkan oleh peneliti antara lain :
1. Insrumen penelitian
Pengumpulan data dengan menggunakan observasi dan kuisioner skala kecemasan
memungkinkan kurang teliti terhadap pengamatan dan wawancara yang dilakukan
peneliti.
2. Faktor Feasibility
Keterbatasan waktu, sarana, dana, serta kemampuan peneliti sehingga
mempengaruhi perumusan, penyusunan dan pengolahan data.
H. Masalah Etika
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat penting
dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan langsung
dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan. Menurut (Hidayat
A, 2007) masalah etika yang harus diperhatikan antara lain sebagai berikut :
1. Informed Consent ( Persetujuan)
Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden
penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut
diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan
untuk menjadi responden. Tujuan informed consent adalah agar subjek mengerti
27

maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya, jika subjek bersedia, maka
mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia,
maka peneliti harus menghormati hak pasien.
2. Anonimity (Tanpa nama)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam
penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan
nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar
pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan
hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua
informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.

VII. PERSONALIA PENELITIAN


A. Pembimbing
1. Pembimbing I : Faisal Asdar, S.Kep., Ns., M.Kes., Sp.Pd.
2. Pembimbing II : M. Askar AS, S.Kep., Ns., M.Kes., Sp.B.
B. Pelaksana
Nama : Sudirman
NIM : NH0107176

Anda mungkin juga menyukai