A.
Pendahuluan
Saat ini di rumah sakit umum dianjurkan melaksanakan suatu program yang
dinamakan program Integrasi Kesehatann Jiwa. Tentu saja ini sudah mulai dijalankan
di sejumlah rumah sakit yang berdasarkan agama atau yang dikelola organisasi
sosial keagamaan melalui pelaksanaan terapi agama. Disamping dokter yang
mengobati, ada juga agamawan yang mendampingi, memberikan dan menuntun
doa. Di RSI, RSHS, dan RSCM, sudah diterbitkan buku tuntunan doa. Alangkah
baiknya bila rohaniawan yang membimbing di rumah sakit juga mempunyai
pengetahuan kesehatan atau dokter-dokter yang ada dapat pula memberikan
tuntunan agama. Tujuannya agar pasien yang terbaring itu tidak merasa jenuh dan
tidak berontak. Karna dalam keadaan berbaring pun ia bisa beribadah, berzikir atau
mengaji serta sholat dengan segala kemampuannya.
Dengan demikian pasien tidak merasa ragu karna senantiasa bisa mendapat
pahala. Sebaliknya orang yang tidak memiliki tuntunan agama akan merasa
gelisah, ingin pulang, cemas, dan sebagainya, yang justru akan menurunkan respon
imunitasinya.
Dalam penelitian yang dilakukan di Amerika, ada sekelompok pasien yang selalu
menunda nunda-operasi sehingga jadwal operasi yang sudah dibuat ditunda lagi,
kecuali pada operasi yang darurat. Ada masalah apa dengannya? Padahal dalam
pemeriksaaan semua sudah bagus, tidak ada alasana untuk menunda operasi.
Setelah diselidiki ternyata mereka mengalami ketakutan mengahadpi operasi.
Perasaan takut dioperasi timbul karena takut menghadapi kematian dan tidak bisa
bangun lagi setelah dioperasi. Ada pula orang lain yang tidak bermasalah dalam
operasi, ternyata permasalahannya adalah soal komitmen agama. Pada kelompok
yang lurus-lurus saja, yang komitmen agamanya kuat ada alur pemikiran sebagai
berikut : kami percaya pada Tuhan, kami menjalani operasi dengan harapan sembuh
andai kata kami meninggalpun tetap saja harus menghadap Tuhan karena semua
yang bernyawa pasti akan mati. Kami sudah siap mati karena kami sudah memohon
dan berdoa.
Pada orang yang gelisah, langkah awal yang harus dilakukan adalah menjalani
terapi keagamaan. Orang ini harus diterapi jiwa dan komitmen keagamaannya
sehingga siap untuk meghadapi kenyataan. Ini adalah suatu contoh tentang
pentingnya peranan agama.
Pada konfrensi yang diadakan di Canberra pada tahun 1980, dengan tema The
Role of Religion in The Prevention Of Drug Addiction. Pada kelompok-kelompok
yang terkena narkotik, alcohol, dan zat adiktif (NAZA) itu sejak dini komitmen
agamanya lemah. Hal ini dibandingkan dalam penelitian dengan orang yang kuat
komitmen agamanya. Kesimpulannya remaja-remaja yang sejak dini komitmen
agamanya lemah memiliki resiko terkena NAPZA 4 kali lebih besar dibandingkan
dengan anak-anak remaja yang sejak dini komitmen agamanya kuat. Inilah salah
satu contoh peranan agama karena agama itu membawa ketenanangan. Agama
mencegah remaja yang mencari ketenangan pada alcohol, narkotik dll.
Contoh tentang peranan agama yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa. Ada
uji perbandingan terapi yang diterapkan kepada para pendertia penyakit jiwa
skizofrenia, yakni antara cara konvensional ( dengan obat dan senbagainnya) dan
dengan cara penndekatan keagamaan, hasilnya kelompok skizofrenia yang
terapinya ditambah dengan keagamaan waktu perawatannya lebih pendek dan
gejala-gejalanya cepat hilang.
Terapi terhadap orang sakit seharusnya dilaksanakan secara holistik (menyeluruh)
yang meliputi biologi, psikologis, sosial dan spiritualnya. Menurut Dadang Hawari,
pendekatan spiritual dikalangan rumah sakir memang perlu dimasayarakatkan
dimana harus ada rohaniawan yang datang ke rumah sakit dan mendoakan
penyembuhan.
B.
Religius Sebagai Kebuthan Dasar Dan Got Spot Pada Otak Manusia
C.
Serangkaian riset yang dilakukan Sherill dan Larson 1988, yang didukung riset
Dadang Hawari, dilakukan pada klien sebagai berikut :
Kardiovasce disesase
Hipertensi, stroke
AIDS
NAPZA
Gerontik disease
Kematian umum
Kesimpulan akhir bahwa makin kuat komitmen agama klien tersebut di atas, maka
proses penyembuhan makin cepat, lebih mampu mengatasi nyeri, depresi, dan
penderitaan (Presman, et all. 1990, Sherill Larson, 1998).
D.
Manfaat komitmen agama tidak hanya dalam penyakit fisik, tetapi juga di bidang
kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang luas telah dilakukan terhadap
penduduk. Untuk mengetahui sejauh mana penduduk menderita psychological
distress. Dari studi tersebut di peroleh kesimpulan bahwa makin religius maka
makin terhindar seseorang dari stress (Linaen 1970, Strak 1971). Kemudian
dikemukakan lebih mendalam komitmen agama seseorang telah menunjukan
peningkatan taraf kesehatan jiwanya.
Terapi keagamaan (Intervensi religi) pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga
membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap pada klien skizofrenia yang
mengikuti kegiatan keagamaan lebih rendah bila di bandingkan dengan mereka
yang tidak mengikutinya. (Chu dan Klien, 1985). Studi Stark menunjukan bahwa
angka frekuensi kunjungan ke tempat ibadah lebih merupakan indicator dan factor
yang efektif dalam hubungannya dengan penurunan angka bunuh diri. Sedangkan
klien yang tidak diberikan psiko religius terapi pada swicide memiliki risiko 4 kali
lebih besar untuk melakukan bunuh diri (Comstock dan Partridge, 1972).
Selanjutnya dikemukakan bahwa kegiatan keagamaan/ibadah/shalat, menurunkan
gejala psikiatrik (Mahoney 1985, Young 1986, Martin 1989). Riset yang lain
menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke tempat ibadah, meningkatkan
jumlah bunuh diri di USA (Stack, Rusky, 1983).
Kesimpulan dari berbagai riset menunjukkan bahwa religiusitas mampu mencegah
dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan meningkatkan
proses adaptasi dan penyembuhan.
E.
Daniel Freedman:Di dunia ini ada 2 lembaga besar yang berkepentingan dalam
Kesehatan Manusia, yaitu kedokteran dan agama.
Larson (1990): In navigating the complexities of human health and relation ship
religious commitmen is a force to consider.
Kaplan Sadock (1991): Dalam klien jiwa latar belakang kehidupan agama klien,
keluarga dan pendidikan agama merupakan factor yang sangat penting.
Gery R. (1992): Komitmen agama mencegah Aids dan homoseksual.
Woodhouse (direktur UNICEF,1997): Pegang teguh ciri khas indonesia, yaitu
religius, keutuhan keluarga, gotong royong, agar tidak mengidap penyakit
psikososial seperti barat.
Dadang Hawari (1999): Al-Quran adalah teks book kedokteran dan jiwa.
C.C. Jung : semua penyakit kejiwaan berhubungan dengan agama .
Emile Bruto : kaum sufi ( orang yang merenungi kehidupan batin manusia dan
selalu mendekatkan diri pada Tuhannya ), mereka adalah para psikolog-psikolog
besar. Mereka memliki kekuatan jiwa yang luar biasa hebatnya. ( Nazar, 2001 :
313 ).
Ford H. : kaum sufi dapat masuk dan deteksi penyebab penyakit kejiwaan
seseorang dimana bila dilakukan oleh pakar psikoanalisa akan memakan waktu
bertahun-tahun untuk menganalisanya. ( Nazar, 2001 : 355 ) .
Subhi : metode terapi psikoanalisa bertemu dengan metode terapi sufistik .
Zakiah Darajat : saya temukan bahwa penyakit jiwa yang disertai dengan
terapi agama yang dianutnya, berhasil disembuhkan lebih cepat dan lebih baik dari
pada penyakit jiwa yang dilakuka dengan metode modern saja . (Zindani, dkk,
1997 : 215).
F.
Seorang dokter ahli pengobatan kejiwaan yang berkaliber internasional, yaitu C.C.
Jung, menyatakan dalam bukunya Modern Man in Search Of Soul menjelaskan
bahwa betapa pentingnya kedudukan agama dalam bidang kedokteran dan
keperawatan jiwa. Selanjutnya beliau mengungkapkan :
Di antara pasien saya yang usianya lebih dari setengah baya ( > 35 Tahun ) tidak
seorangpun yang menglami penyakit kejiwaan tanpa berhubungan dengan aspek
agama.
Menurut H. Aulia dalam bukunya Agama dan Kesehatan Jiwa, seorang dokter yang
beragama islam yang dianutnya dengan penuh keyakinan dan mempunyai
pengetahuan tentang ajaran dan hikmah islam yang lebih banyak dari pada yang
biasa dimiliki kebanyakan kaum muslimin. Biasanya terapi dengan pendekatan
keagamaan tersebut dapat berhasil dengan baik. Pengobatan kejiwaan dengan
pendekatan agama tersebut juga akan berhasil dengan baik meskipun penderita
beragama lain atau orang yang tidak beragama sekalipun, asal saja didahului
dengan pembicaraan sekedarnya mengenai agama .
Menurut J. G. Mackenzie yang dikutip Leslie D. Weatherhead :
Hasil-hasil baik ahli pengobatan kejiwaan tidak diperolehnya karena pengetahuan
yang sempurna tentang ilmu kedokteran umum, malahan juga tidak disebabkan
karena ia ahli ilmu penyakit saraf, melainkan karena kecakapannya dalam lapangan
agama .
Pernyataan lain yang juga menegaskan tentang besarnya faedah agama di
lapangan ilmu kedokteran dan keperawatan jiwa adalah apa yang dikemukakan oleh
disebut psycho-spiritual atau psycho-religius for AIDS patient, for cancer patient,
and for terminal ill patient.
Kekosongan spiriyual, kerohanian, dan rasa keagamaan inilah yang sering
menimbulkan peramasalahan psikososial di bidang kesehatan jiwa. Para pakar
berpendapat bahwa untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam keadaan
sehat maupun dalam keadaan sakit, pendekatannya tidak lagi memandang manusia
sebagai makhluk biopsikososial, tetapi sebagai makhluk biopsikososiospiritual.
Para ahli sekarang sedang meneliti aspek-aspek agama itu secara alamiah dari segi
kesehatan jiwa. Baik pada ikatan dokter ahli jiwa Amerika maupun pada ikatan ahli
jiwa sedunia, di dalam lingkup ilmunya ada bagian yang disebut Religion and
Psychiatry ( agama dan ilmu kedikteran jiwa ). Pertalian antara agama dengan
kesehatan jiwa ini diriset, ternyata pengetahuan agama sangat diperlukan bagi
dokter ahli ilmu jiwa dan secara ilmiah kejiwaan itu dibicarakan dalam forum-forum
ilmu pengetahuan.
Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa merupakan faktor penyebab gangguan
jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit psikomatik. Hal ini diakibatkan
karena seseorang merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan
tersebut kemudian menghukum dirinya. Bentuk psikosomatik dapat berupa
matanya tidak dapat melihat, lidahnya menjadi bisu, atau menjadi lumpuh.
G.
Menurut mantan Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam dan Psikosomatik pada Pakultas
kedokteran Universitas Indonesia, yaitu Prof. Dr. H. Aulia yang dikutip dari kitab
Zaduul Maad oleh Majelis Pertimbangan dan Kesehatan RI dalam buku fatwanya
no. 9 bernama: sumpah dokter dan susila kedokteran ditinjau dari segi hukum
islam. Kutipan itu antara lain, Hendaklah dokter itu mempunyai pengetahuan
tentang penyakit pikiran dan jiwa serta obatnya. Itu adalah menjadi pokok utama
dalam mengobati manusia. Di antara obat-obat yang paling baik untuk penyakit
adalah berbuat amal kebajikan, berdzikir, berdoa serta memohon dan
mendekatkan diri kepada Allah dan bertaubat. Semua ini mempunyai pengaruh
yang lebih besar dari pada obat-obat biasa untuk menolak penyakit dan
mendatangkan kesembuhan tetapi semua menurut kadar kesediaan penerimaan
bathin serta keperacayaannya akan obat kebatinan itu dan manfaatnya.
Salah satu tindakan keagamaan yang penting adalah berdoa, yakni memanjatkan
permohonan kepada Allah supaya memeproleh seauatu kehendak yang diridhoi.
Dari masa ke masa pengaruh do;a tersebut ters-menerus mendapat perhatian
penting. Di antaranya oleh A. Carrel pemenang hadaih Nobel tahun 1912 untuk ilmu
kedokteran, karena penemuannya di lapangan ilmu bedah. Bila da itu dibiasakan
dan betul-betul bersunggug-sungguh, maka pengaruhnya menjadi sangat jelas, ia
merupakan perubahan kejiawaan dan perubahan somatik. Ketentraman yang
ditimbulkan oleh doa iti merupakan pertolongan yang besar pada pengobatan.
Pada akhir tahun 1957 di Amerika Serikat menurut pengumuman James C. Coleman
dalam bukunya Abnormal Psychology and Modern Life, sudah mencapai dua puluh
juta. Dari semua cabang ilmu kedokteran, maka cabang ilmu kedokteran jiwa
(psikitri) dan kesehatan jiwa (mental health) adalah paling dekat dengan agama ;
bahkan dalam mencapai derajat keseahatan yang mengandung arti keadaan
kesejahteraan (well being) pada diri manusia, terdapat titik temu anatara
kedokteran jiwa / kesehatan jiwa di satu pihak dan agama di pihak lain (Dadang,
1997 : 19).
WHO telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu spiritual
(agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya
sehat dalam arti fisik, psikoloik, dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual
sehingga dimensi sehat menjadi biopsikososiospiritual. Perhatian ilmuan di bidang
kedokteran dan keperawatan terhadap agama semakin besar. Tindakan kedokteran
tidak selamnya berhasil, seorang ilmuan kedokteran sering berkata dokter yang
mengobati tetapi Tuhanlah yang menyembuhkan pendapat ilmuan tersebut sesuai
dengan hasis Nabi : setiap penyakit ada obatnya, jika obat itu tapat mengenai
sasarannya, maka dengan izin Allah penyakit tersebut akan sembuh. Sebagai
dampak modernisasi, industrialisasi, kemajuan ilmu pengetahuan, dan takhnologi,
agama, dan tradisi lama ditinggalkan karena dianggap usang. Kemakmuran materi
yang diperoleh ternyata tidak selamanya membawa kesejahteraan (well being).
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat negara maju tekah kehilangan aspek
spiritual yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, apakah dia
termasuk orang yang beragama atau yang sekuler sekalipun. Kekosongan spiritual,
kerohanian dan rasa keagmaan inilah yang menimbulkan permasalahan pdikososial
di bidang kesehatan jiwa.
Kehausan spiritual, kerohanian dan keagamaan ini nampak jelas pada awal tahun
1970 sehingga saat sejak itu mulai muncul berbagai aliran spiritual atau
psuodoagama yang cukup laris merasuk Amerika Serikat yang dikenal dengan
istilah New Religion Movment (NRM). NRM ternyata banyak menimbulkan msalah
psikososial sehingga APA (Amaerican Psychiatric Association) membentuk task force
untuk melakukan penelitian.
Dalam hubungan antara agama da kesehatan jiwa, Cancellaro, Larson, dan Wilson
(1982) telah melakukan penelitian terhadap 3 kelompok :
1.
Kronik alkoholik
2.
3.
Skizofrenia
Ketiga kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol dari ketiga kelompok
gangguan jiwa dan kelompok kontrol ini yang hendak diteliti adalah riwayat
keagamaan mereka. Hasil penelitiannya sungguh mengejutkan, bahwa ternyata
Psikiater, psikolog, perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang
agamanya/kolaborasi dengan agamawan atau rahaniawan.
Psikoreligius tidak diarahkan untuk merubah agama kliennya tetapi menggali
sumber koping.
I.
Rasa kebersamaan
Menurut Djamaludin Ancok (1989) dan Utsman Najati (1985), aspek kebersamaan
pada shalat berjamaah mempunyai nilai terapeutik, dapat menghindarkan
seseorang dari rasa terisolir, tepencil, tiddak dapat bergabung dalam kelompok,
tidak diterima atau dilupakan.
3.
jraak personal
salah satu kesempurnaan shalat berjamaah adalah lurus dan rapatnya barisan
(shaf) para jamaahnya. Ini berarti tidak ada jarak personal antara satu dengan
lainnya. Masing-masing berusaha untuk mengurangi jarak personal, bahkan kepada
mereka yang tidak ia kenal, namun merasa ada satu ikatan yaitu ikatan aqidah
(keyakinan).
4.
terapi lingkungan
salah satu kesempurnaan shalat adalah di lakukan berjamaah dan lebih utama lagi
dilakukan di masjid. Masjid dalam islam memepunyai peranan yang cukup besar,
masjid bukan sebagai pusat aktivitas beragama dalam arti sempit namun sebagai
pusat aktivitas kegiatan umat. Sehingga shalat di masjid ini mengandung unsur
terapi lingkungan (haryanto, 2001).
5.
pengalihan perhatian
melakukan shalat berjamaah di masjid atau mushola juga diharapkan akan juga
mengalihkan perhatian seseorang dari kesibukan yang sudah menyita segala energi
yang ada dalam diri seseorang dan kadang-kadang sebagai
penyebab stres. Lingkungan masjid atau mushola akan memberikan suasana yang
rileks, tenang, apabila ia bertemu dengan jamaah lain.
6.
yang dimaksud dengan shalat berjamaah adalah minimal dua orang. Sehingga jika
ia ingin disebut sebagai shalat berjamaah, maka ia harus membutuhkan,
menunggu, berkongsi dengan sedikitnya satu orang.
7.
shalat berjamaah di masjid sekarang ini sudah banyak para takmir masjid
menyelenggarakan pengajian pendek yang lebih dikenal kultum (kuliah tujuh
menit) setiap selesai shalat. Tentunya salah satu pokok pembahasannya adalah
mengenai permasalahan manusia, sehingga hal ini akan membantu pemecahan
masalah.
Psychoreligious Therpy Bagi Klien Ketergantungan NAPZA
NAPZA adalah suatu momok menakutkan yang membayang-bayangi dan
menghantui serta siap menghancurkan masa depan terutama generasi muda. Bagi
pecandu, akibat akhir setelah terlibat NAPZA mudah ditebak.pilihannya adalah
kantor polisi, rumah sakit jiwa, kuburan, atau selamat kembali jika ia mau bertobat
dan insyaf.
Masalah NAPZA sebetulnya masalah mental. Jadi focus yang terberat dalam
penangannya sebenarnya pada tahap rehabilitasi mental bukan pada terapi medik,
itu yang dituturkan oleh Prof. Dr. Dadang Hawari. Dalam hal ini pendekatan
agamalah yang lebih tepat.
Psikoreligius Islami untuk Klien Ketergantungan NAPZA
Dalam islami, penanganan masalah NAPZA sudah cukup lengkap baik segi
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara preventif, islami telah melarang dengan
tegas yang tertera dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah (2); 219 dan Surat al-Imron
(3); 90-91 bahwa khamar(arak dan sejenisnya yang merusak fisik danmental
manusia) adalah haram. Dalam khamar terdapat dosa besar dan manfaat bagi
manusia, tapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya dan implikasinya selain
merusak langsung pada dirinya juga akan menjerumuskan ke dalam permusuhan
dan membenci antar sesama. Hah ini sudah terbukti secara nyata dalam
masyarakat, akibat NAPZA berupa tindak kriminal, pemerkosaan, anarkis sampai si
pemakainya mengalami psikosis/skizofrenia.
Langkah awal yang merupakan kunci untuk keberhasilan terapi, klien harus
mempunyai motivasi dan niat yang ikhlas untuk tidak menyalahgunakan NAPZA
lagi, artinya klien melakukan taubatan nasuha (tobat yang sebenar-benarnya) untuk
tidak mengulangi perbuatan dhalim-nya. Sesuai dengan teori motivasi bahwa
terjadinya tingkahlaku disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh
individu.
Dorongan/kebutuhan motif rangsangan perbuatan tujuan
Kuatnya motivasi sangat menentukan keberhsilan tujunnya, hal ini dapat dilihat
dari:
Untuk mencapai tujuan melepaskan diri dari NAPZA, klien harus mempunyai
motivasi terlebih dahulu dan diikuti dengan perbuatan diantara diantaranya mandi,
shalat, djikir, shaum, dan menjalankan syariat islam yang lainnya.
Hubungan Pelaksanaan Shalat dan Defresi pada Lansia
Pada lansia, terjadi penurunan konsentrasi dan aktifitas dopamin, norepinephrin,
serotonin, dan epinephrin. Menurut St. Pierre et al., (1986) menurunnya konsentrasi
kimia ini pada proses penuaan sebagai faktor terjadinya depresi pada lansia
(Mildred,1995). Disebutkan juga defisiensi katekolamin, tidak berfungsinya endokrin
dan hipersekresi kortisol adalah perubahan kimia yang terjadi di dalam tubuh pada
keadaan depresi (Stuart dan Sundeen, 1995).
Penutup
Dari sejumlah peneliti para ahli, ternyata bisa disimpulkan, bahwa komitmen agama
dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan
kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit yang
dipadukan dengan terapi kedokteran. Agama lebih bersifat protektif daripada
problem producing. Komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan positif
dengan clinical benefit. Kesimpulan umum adalah seperti apa yang telah
dikemukakan oleh Larson (1990), Masyarakat dan bangsa kita adalah bangsa yang
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam terapi psikoreligius adalah sebagai berikut
(Ilham A, 2008) :a.Doa doaDalam dimensi psikoreligius, doa berarti permohonan
penyembuhan kepadaTuhan Yang Maha Esa. b.Dzikir Dzikir adalah mengingat Tuhan
dengan segala kekuasaan-Nya, mengucapkan baik secara lisan maupun dalam hati
segala kuasa-Nya.Dari sudut ilmu kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau
kesehatan jiwa, doadan dzikir (psikoreligius terapi) merupakan terapi psikiatrik
setingkat lebih tinggidaripada psikoterapi biasa (Ilham A, 2008).
2.3
Religius Sebagai Kebutuhan Dasar Dan Got Spot Pada Otak Manusia
V.S Ramachandra, direktur center for brain america, telah mengadakanserangkaian
riset terhadap pasien-pasien pascaepilepsi, yang menyimpulkan bahwa pada klien
epilesi terjadi ledakan aktivitas listrik di luar batas normal yang ditandaidengan
peningkatan aktivitas lobus temporal. Klien pascaepilepsi tersebut sebagaian besar
mengungkapkan pengalaman spiritual berupa keterpesonaan yang
mendalamsehingga semua yang lain menjadi sirna, menemukan kebenaran
tertinggi yang tidak dialami pikiran biasa, kecermelangan dan merasakan
persentuhan dengan cahaya ilahi.Penelitian penting selanjutya membuktikan bahwa
elektroda EEG dihubungkandengan pelipis orang normal dan klien epilepsi ketika
diberi nasihat yang bersifatspiritual atau religius maka terjadi peningkatan aktivitas
listrik pada lobus temporalseperti pada klien epilepsi. Pengalaman spiritual dibagian
lobus spiritual yang berlangsung dalam beberapa titik saja dapat memepengaruhi
emosional yang lama dankuat sepanjang hidup dan dapat mengubah arah hidup
( life transforming). Sebagian besar pakar neurobiologi berpendapat titik tuhan atau
god spot atau modul tuhangod modul berkaitan dengan pengalaman
religius.Menurut kajian howard clinebell, yang dikutip dadanng hawari, menyatakan
bahwa pada dasarnya manusia memiliki 10 kebutuhan religius :
Kepercayaan dasar (basic trust)
Makna hidup secara vertikal dan horisontal.
Komitmen peribadatan ritual dan hubungannya keseharian
Kebutuhan pengisian keimanan (carge) dan kontinuitas hubungan denganTuhan.
Bebas dari rasa salah dan dosa.
Self acceptance and self asteem.
Rasa aman, terjamin, dan keselamatan ;masa depan.
Tercapainya derajat dan martabat yang semakin tinggi serta integritas pribadi.
Terpeliharanya interaksi dengan alam.
Hidup dalam masyarakat yang religius.
2.4 Riset Epidemologis, Korelasi Antara Kesehatan Dan Religiusitas
Serangkaian riset yang dilakukan Sherill dan Larson tahun 1988, yang didukungriset
Dadang Hawari, dilakukan pada klien sebagai berikut:
Ca rahim dan servix
Collitis dan Enteritis
Cardiovasc. Disease
Hipertensi , stroke
Aids
NAPZA
Gerontice Disease
Status kesehatan umum
Kematian umum
Oleh :
Dwi Ida Rochmawati
Abstrak
Seorang yang menderita gangguan jiwa, seperti skizofrenia mengalami keretakan kepribadian seperti
penyimpangan pikiran, persepsi, serta emosi. Salah satu metode terapi untuk mengurangi kecemasan
seseorang adalah menggunakan terapi psikoreligius. Metode inimerupakan suatu teknik untuk
menyembuhkan pasien dengan pendekatan agama termasuk pasien skizofrenia. Tujuan penelitian ini
adalah mengetahui perbedaan tingkat kecemasaan sebelum dan sesudah pemberian terapi
psikoreligius pada klien skizofrenia di rumah sakit jiwa daerah Surakarta. Jenis penelitian ini
adalah penelitian kuantitatif. Metode penelitian adalah eksperimen dengan rancangan penelitian
mengggunakan pre test-post test design. Jumlah populasi pasien skizofrenia sebanyak 360
orang. Sampel penelitian berjumlah 30 responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan
teknik Purposive Sampling.
Alat ukur tingkat kecemasan responden menggunakan
Hamilton Rating Scale Anxiety (HRS-A). Pengukuran dilakukan dengan sebelum terapi dan
sesudah dilakukan terapi. Terapi yang dilakukan kepada responden meliputi ceramah agama, doa
seperti dzikir dan bacaan surat-surat Al Quran dengan lama terapi 30 menit dengan satu kali terapi.
Analisis data penelitian menggunakan Paired Sample t-test. Hasil penelitian menunjukkan 27
responden (90%), yang mengalami kecamasan sedang, sementara 3 responden (10%) dengan
kecemasan ringan. Setelah pemberian terapi psikoreligius menunjukkan 27 responden (90%)
mengalami kecamasan sedang, 3 responden (10%) kecemasan ringan. Hasil uji Paired Sample ttest diperoleh nilai ttest = 1,421 dengan nilai p= 0,166. Kesimpulan dari penelitian ini adalah
tidak ada perbedaan
tingkat
kecemasaan
sebelum
dan
sesudah
pemberian
terapi
psikoreligius pada klien skizofrenia di rumah sakit jiwa daerah Surakarta.
Kata kunci : kecemasaan, terapi psikoreligius skizofrenia