Anda di halaman 1dari 9

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Spiritualitas

Spiritualitas adalah keyakinan dasar adanya kekuatan tertinggi yang mengatur seluruh

kehidupan, dan memiliki makna ataupun arti serta tujuan dalam kehidupan. Spiritualitas

merupakan salah satu kebutuhan dasar pasien yang perlu dipenuhi, khususnya bagi pasien

dalam kondisi kritis maupun terminal yang berada di ruang perawatan intensif. Seseorang

yang menghadapi kondisi kritis atau yang berada di ruang ICU umumnya merasa ketakutan

terhadap nyeri fisik, ketidaktahuan, dan kematian. Stres karena penyakit kritis dan rasa takut

akan kematian dapat memicu pertentangan terhadap kepercayaan atau spiritualitas pasien,

sehingga pasien menjadi rentan terhadap distress spiritual.

Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien adalah salah satu perilaku profesional seorang
perawat dalam memenuhi kebutuhan dasar yang holistik bagi pasien. The International
Council of Nurses Code of Ethics for Nurses mengakui bahwa aspek spiritual pada asuhan
keperawatan adalah tugas yang perlu dilakukan oleh semua perawat.Perawat adalah kelompok
terbesar dalam sistem pelayanan kesehatan yang memberikan perawatan pada pasien setiap
hari, maka mereka yang paling memungkinkan untuk menghadapi pasien dengan kebutuhan
spiritual. Pemenuhan kebutuhan spiritual pasien dapat ditunjukkan dengan rasa empati, kasih
sayang, mendengarkan cerita pasien, berkomunikasi dan berinteraksi dengan pasien, merawat
pasien dengan hormat, membantu pasien dalam menemukan makna dan tujuan hidup,
mendukung mereka dengan budaya dan keyakinan agama mereka, memulihkan iman atau
kepercayaan mereka, dan menemukan harapan bagi pasien.

Masalah Spiritual

Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada pasien paliatif adalah
distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena diagnose penyakit kronis, nyeri, gejala
fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan serta ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual
keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan secara mandiri. Distres spiritual adalah
kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang
dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya
(Hamid, 2008). Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah kondisi dimana pasien
mengalami gangguan dalam kepercayaan atau system nilai yang memberikannya kekuatan,
harapan, dan arti kehidupan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hupcey pada 45 pasien
yang dirawat selama tiga hari di Intensive Care Unit menunjukkan bahwa mereka mengalami
distress spiritual. Distress spiritual dapat mengakibatkan pasien mengalami gangguan
penyesuaian terhadap penyakit, putus asa, gangguan harga diri, kesulitan tidur, dan merasa
bahwa hidup ini tidak berarti.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Spiritual

Menurut Taylor dan Craven dan Hirnle dalam Ummah (2016) menyebutkan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi spiritual seseorang diantaranya:

a. Tahap perkembangan. Spiritual berubungan dengan kekuasaan non material, seseorang


harus memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak sebelum mulai mengerti spiritual
dan menggali suatu hubungan dengan Tuhan.
b. Sistem hubungan. Sistem pendukung individu seperti keluarga dan pihak yang
mempunyai peran penting di dalam hidup (Archiliandi, 2016). Peranan keluarga penting
dalam perkembangan spiritual individu. Selain keluarga perawat juga mempunyai
peranan penting apabila individu tersebut dirawat di rumah sakit khususnya dalam
pemenuhan kebutuhan spiritual yang meliputi thaharah dan shalat.
c. Latar belakang etnik dan budaya. Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar
belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi
agama dan spiritual keluarga.
d. Pengalaman hidup sebelumnya. Pengalaman hidup yang positif ataupun negatif dapat
mempengaruhi spiritual seseorang, peristiwa dalam kehidupan seseorang biasanya
dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menguji
keimanannya.
e. Krisis dan perubahan. Krisis dan perubahan dapat menguatkan seseorang. Krisis sering
dialami pada saat orang sedang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan,
kehilangan, dan bahkan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dihadapi
tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fisik dan emosional.
f. Terpisah dari ikatan spiritual. Menderita sakit terutama yang bersifat akut, sering kali
membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dari sistem
dukungan sosial. Akibatnya, kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, diantaranya tidak
dapat menghadiri acara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul
dengan keluarga atau teman dekat yang bisa memberikan dukungan setiap saat bila
diinginkan.

Alat Penilaian Spiritualitas

Penilaian spiritualitas dalam perawatan paliatif merupakan suatu isu sentral dalam banyak
kebudayaan. Dalam hal ini, pasien LLI yang menderita secara rohani telah menunjukkan bahwa
penderitaan mereka telah diperparah dengan adanya gejala fisik dan emosional mereka. Menilai
kebutuhan rohani dan sumber daya serta perawatan spiritual sangat dibutuhkan untuk merawat
pasien dengan penyakit LLI (Benito, et al., 2014). Beberapa instrument penilaian spiritual telah
dikembangkan dan digunakan secara luas dalam beberapa tahun terakhir, seperti Palliative Care
Outcome Scale, the Ironson Woods Spirituality/Religiousness Index Short Form, the World
Health Organization’s Quality of Life Measure Spiritual Religious and Personal Beliefs, dan the
Spiritual Needs Assesment for Patients , the Functional Assessment of Chronic Illness, Therapy-
Spiritual Well Being (FACIT-Sp) (Benito, et al., 2014).

Functional Assessment of Chronic Illness Therapy (FACIT) merupakan sebuah skala


yang digunakan untuk mengukur spiritual pasien penyakit kronis. FACIT mulai berkembang
sejak tahun 1990-an untuk memenuhi pengukuran kebutuhan kesejahteraan spiritual pasien yang
tidak membatasi tradisi keagamaan atau spiritual tertentu (Bredle, et al, 2011).

Bredle et al (2011) mengatakan bahwa penilaian spiritual FACIT, memiliki empat


komponen atau subskala besar yaitu kesejahteraan fisik, kesejahteraan sosial atau kesejahteraan
keluarga, kesejahteraan emosional dan kesejahteraan fungsional. FACIT Sp-12 merupakan sub
yang terdiri dari 12 item dan tiga subdomain. Menurut Monod et al dalam Martoni et al (2017)
tiga sub-domain tersebut terdiri dari Peace (Perdamaian), Meaning (Arti), dan Faith (Keyakinan).
Peace (Perdamaian) secara singkat disebutkan sebagai langkah-langkah didalam dimensi afektif
seseorang sebagai rasa harmoni dan kedamaian, Meaning (Arti) merupakan langkah yang
berkaitan dengan dimensi kognitif seseorang sebagai rasa makna dalam kehidupan seseorang,
Faith (Keyakinan) merupakan kekuatan dan kepercayaan yang berasal dari iman seseorang.

Bussing et al (2014) mendefinisikan bahwa Peace memiliki makna seseorang yang


merasa damai lepas dari kesulitan, merasa nyaman dan harmonis dengan apa yang ada didalam
dirinya sendiri. Meaning yaitu seseorang yang memiliki alasan untuk hidup, tujuan hidup. Faith
merupakan kekuatan atau keyakinan (iman) yang dapat memperkuat spiritualitas, seseorang yang
sakit dan memiliki keyakinan akan merasa baik.

Hal ini dapat membantu memfasilitasi dan ekplorasi secara mendalam tentang komponen
yang dapat membentuk kesejahteraan spiritual seperti kedamaian, makna dan iman. Subskala
kesejahteraan spiritual yang terdiri dari 12 item itu disebut sebagai FACIT Sp-12 (Bredle, et al,
2011). Total skor dalam penilaian ini yaitu 0 sampai 48, dengan skor yang lebih tinggi
menunjukkan tingkat spiritualitas yang lebih tinggi (Martoni, et al, 2017). FACIT-Sp-12 juga
telah diadaptasi untuk digunakan oleh populasi umum dan terdapat pula berbagai versi lain
(Bredle, et al, 2011).

Peran Spiritual dalam Paliatif Care

Beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan dramatis dalam agama dan keyakinan
spiritual sebagai sumber kekuatan dan dukungan dalam penyakit fisik yang serius. Profesional
kesehatan yang memberikan perawatan medis menyadari pentingnya memenuhi 'kebutuhan
spiritual dan keagamaan' pasien (Woodruff , 2004)

Sebuah pendekatan kasih sayang akan meningkatkan kemungkinan pemulihan atau


perbaikan. Dalam contoh terburuk, ia menawarkan kenyamanan dan persiapan untuk individu
melalui proses traumatis penyakit terakhir sebelum kematian (Doyle, Hanks and Macdonald,
2003 :101). Studi pasien dengan penyakit kronis atau terminal telah menunjukkan kejadian
insiden tinggi depresi dan gangguan mental lainnya. Dimensi lain menunjukkan bahwa tingkat
depresi sebanding dengan tingkat keparahan penyakit dan hilangnya fungsi tambahan. Sumber
depresi adalah sekitar isu yang berkaitan dengan spiritualitas dan agama. Pasien di bawah
perawatan palliative dan dalam keadaan seperti itu sering mempunyai keprihatinan rohani yang
berkaitan dengan kondisi mereka dan mendekati kematian (Ferrell & Coyle, 2007: 848).

Spiritual dan keprihatinan keagamaan dengan pasien biasanya bersinggungan dengan isu
sehari-hari penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dengan orang tua dan mereka yang
menghadapi kematian yang akan datang. Kekhawatiran semacam itu telah diamati, bahkan pada
pasien yang telah dirawat di rumah sakit dengan penyakit serius non-terminal (Ferrell & Coyle,
2007: 52). Studi lain telah menunjukkan bahwa persentase yang tinggi dari pasien di atas usia 60
tahun menemukan hiburan dalam ketekunan bergama yang memberi mereka kekuatan dan
kemampuan untuk mengatasi kehidupan, sampai batas tertentu. Kekhawatiran di saat sakit parah
mengasumsikan berbagai bentuk seperti hubungan seseorang dengan Allah, takut akan neraka
dan perasaan ditinggalkan oleh komunitas keagamaan mereka. Sering menghormati dan
memvalidasi individu pada dorongan agama dan keyakinan adalah setengah perjuangan ke arah
menyiapkan mereka pada sebuah kematian yang baik (Ferrell & Coyle, 2007: 1171 8).

Definisi Agama

Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan
pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.
Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan
makna hidup dan / atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan
mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama
atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia.

Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang
apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktik
agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi,
pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa,
musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia. Agama juga mungkin
mengandung mitologi.

Peran Agama dalam Paliatif Care :


 Sebagai spiritual nourishment dan pencegahan penyakit. (Hawari)
 Sebagai mekanisme koping & factor yg berkontribusi dalm pemulihanpasien. (Narayasamy)
 Sebagai sumber penyembuhan (healing) bagi pasien terminal. (Mok, Wong & Wong

Perspektif Masing-masing Agama Mengenai Ajal dan Musibah


1. Islam
3 manfaat musibah atau sakit: sebagai pengahapus dosa, sebagai ujian kesabaran, tangga
untuk mencapai derajat yang lebih tinggi di sisi Allah SWT
2. Kristen
Makna penderitaan: sebagai karunia, merupakan bagian dari orang Kristen, suatu yang
bahagaia, memiliki mkasud tujuan tertentu, bersifat sementara, dan diakhiri dengan
berkat.
3. Budha
Makna kematian untuk menyadarkan setiap manusai akan akhir kehidupannya, bahwa
betapa tinggipun tempatnya apapun bantuan teknologi atau ilmu kedokteran yang
dimilikinya, pada akhirnya tetap harus mengalami hal yang sama yaitu di dalam kubur
atau menjadi segenggam debu
4. Hindu
Kematian adalah hal yang sangat penting yang menentukan arti kehidupan seseorang, jadi
harus selalu mengingat tuhan menjelang ajal senhingga mampu menghantarkan ke tempat
yang indah dalam spiritual.

Fase-fase Peneriman pasien palitif dalam segi spiritual


Fase penerimaan yang dilewati oleh pasien adalah bervariasi dari awal identifikasi
penyakit kritis, selama sesi perawatan sampai akhir hayat. Di setiap fase ini adalah peran setiap
individu yang ada sekitar pasien dari semua aspek, khususnya aspek
spiritual. Di antara fase yang diuraikan oleh Kubbler-Ross adalah pengingkaran ( denial ), marah
dan iri ( anger ), tawar menawar ( bargaining ), depresi ( depression ) dan akhir
sekali penerimaan ( penerimaan ). Setiap fase adalah berbeda cata yang dilakuaan oleh setiap
pasien tergantung dari perbedaan keyakinan, latar belakang dan pengalaman
1. Pengingkaran ( denial ) adalah fase pasien menyangkal keutusan hasil diagnosis penyakit
terminal yang diderita. Pasien tidak bisa menerima kenyataan dengan dugaan nyeri. Pada
fase ini adalah fase di mana pasien tidak ingin berinteraks dengan siapa pun termasuk
anggota keluarga dan teman. Penerapan aspek spiritual dalam fase ini juga membutuhkan
waktu untuk menjelaskan kepada pasien. Pasien mengambil waktu untuk menerima sifat
dirinya selama tes rasa sakit. Pada fase ini, anggota keluarga pasien adalah orang terdekat
menunjukkan dukungan penuh melalui komunikasi dan tindakan dalam menangani penyakit
ini agar pasien Merasa dia tidak sendiri menghadapinya.
2. Fase kedua adalah bahwa pasien akan sering marah ( marah )dengan kondisinya sendiri dan
menunjukkan kecemburuan kepada orang lain yang diberi kesehatan yang baik. Mereka
akan selalu mengulang pertanyaan mengapa penyakit itu terjadi padanya. Mereka merasa
frustrasi dengan keinginan mereka sendiri dan mulai menyalahkan diri sendiri dengan
kesalahan lalu Pada fase ini ia juga menghadapi masalah untuk penekanan pada aspek
spiritual. Pasien tidak bisa menerima hakikat keadaan dirinya yang diambnag kematian.
Pada fase ini anggota keluarga dan teman dekat ini harus selalu dengan pasien untuk
membantu menetralisir kemarahan pasien
3. Fase selanjutnya adalah fase tawar-menawar ( tawar-menawar ) yaitu fase pasien yang lebih
sabar. Pasien akan mencoba meminta penyakitnya disembuhkan dengan apapun. Pasien akan
mulai berinteraksi banyak dalam fase ini, karena mengharapkan sesuatu yang lebih baik
untuk sembuh sepenuhnya dari penyakit tersebut. Biasanya Aplikasi spiritual mudah
diterapkan ketika fase tawar-menawar ini. Pasien lebih mudah mendengar dan menerima
pandangan dari dokter, keluarga dan orang lain yang paling dekat dengan pasien. Jangka
waktu transisi dari fase kedua ke fase ketiga tergantung pada semangat pasien itu sendiri
dan serta dukungan dari orang-orang di sekitar.
4. Depresi ( depression ) adalah fase setelah pasien mencoba berunding dengan orang lain,
dimana pasien sadar akan penyakit yang dialami adalah memiliki sedikit harapan. Dalam
fase ini, pasien akan mengalami depresi, kegelisahan, putus asa, dan rasa berdosa. Depresi
ini akan membawa pasien untuk stres dan kegelisahan dan kecenderungan menuju sesuatu
yang negatif. Respon pasien terhadap fase ini sangat tergantung pada aspek apresiasi
spiritual dalam fase tawar-menawar. Ini karena upaya Bunuh diri tidak pernah dilakukan
oleh pasien yang tidak dapat menahan perasaan dan rasa sakit pada fase ini. Pasien harus
bekerja untuk mengendalikan depresi yang menyerang dengan caranya sendiri agar proses
penyembuhan lebih efektif. Dalam waktu yang sama membutuhkan dukungan dan bantuan
dari anggota keluarga dan teman dekat
5. Penerimaan ( acceptance ) adalah fase terakhir dalam menghadapi kematian. Pasien telah
melalui fase sebelumnya secara emosional dan melakukan berbagai cara agar bisa menerima
kenyataan terhadap sakit yang dialami. Pasien dapat menerima fakta yang membuat pasien
lebih tenang. Ada pasien yang tidak takut akan kematian, tetapi takut akan fase rasa sakit
mendekati kematian karena proses yang lama dan menyakitkan. Pada fase terakhir ini,
pasien lebih mudah diterapkan dengan aspek spiritual karena mereka mencari sesuatu yang
lebih menenangkan mereka. Pada saat terakhir, pasien sendiri yang akan melakukannya
mulai bergeser fokus dan membutuhkan perhatian dalam aspek spiritual

Sumber :
CHIK, Hasimah; SA'ARI, Che Zarrina; CHIN, Loh Ee. Peranan Spiritual Dalam Rawatan
Paliatif. Jurnal Akidah & Pemikiran Islam, [S.l.], v. 19, n. 2, p. 107-142, dec. 2017.
ISSN 2550-1755. Available at:
<https://ejournal.um.edu.my/index.php/afkar/article/view/10275>. Date accessed: 21 feb.
2019. doi: https://doi.org/10.22452/afkar.vol19no2.4.
Hidayanti Erna, dkk. 2016.” KONTRIBUSI KONSELING ISLAM DALAM MEWUJUDKAN
PALLIATIVE CARE BAGI PASIEN HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN
AGUNG SEMARANG”. Vol. 19 No. 1, April 2016. Hlm. 113-132. Semarang. http://e-
journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/Religia/article/view/662
Riyadi Agus, 2014.” Dakwah TerhadaP Pasien: Telaah Terhadap Model Dakwah Melalui sistem
layanan Bimbingan Rohani islam di Rumah sakit”. Vol. 5, No. 2, Desember
2014.Semarang. http://ejournal.wiraraja.ac.id/index.php/JIK/article/view/119

Wulandari, V. L., & Utami, R. S. (2016). HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN SPIRITUAL


PERAWAT DENGAN PEMENUHAN KEBUTUHAN SPIRITUAL PASIEN DI RUANG
PERAWATAN INTENSIF RSUD DR. MOEWARDI (Doctoral dissertation, Diponegero
University).

Anda mungkin juga menyukai