Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KASUS STASE KEPERAWATAN

SPIRITUAL NERS PADA Tn. S DENGAN ANOREXIA GERIATRI DAN


HHD

Di Susun Oleh:

Nama : Nita Ayu Sasmita


NIM : 24211495
LAPORAN PENDAHULUAN
“SPIRITUAL ”

A. KONSEP GANGREN
1. Pengertian Spiritual
Spiritual adalah keyakinan atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa. Spiritual merupakan suatu faktor yang penting untuk seseorang
mencapai dan memelihara kesehatan serta beradaptasi dengan penyakit
(Potter & Perry, 2010). Spiritual sebagai konsep dua dimensi yang
meliputi dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal adalah
hubungan seseorang dengan Maha Pencipta (Tuhan) yang menuntun
kehidupan seseorang. Sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan
seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan.
Spiritual digunakan sebagai suatu dukungan maupun suatu kekuatan.
Spiritual dapat menjadi sumber koping yang membuat kualitas hidup
seseorang lebih baik serta lebih mendekatkan diri dengan Tuhan (Utami &
Supratman, 2009).
Spiritualitas merupakan merupakan suatu aspek dinamis dan aspek
intrinsik kemanusiaan dimana individu mencari makna, tujuan,
transendensi tertinggi, dan juga pengalaman yang berhubungan dengan
dirinya sendiri, keluarga, orang lain, masyarakat, lingkungan, alam, dan
sesuatu yang penting atau sakral. Spiritualitas diekspresikan melalui
keyakinan, nilai, tradisi, dan praktik (Puchalski et al, 2014). Adapun
menurut Hamid (2009) spiritualitas mencakup empat aspek yaitu
hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan alam, hubungan dengan
orang lain, dan hubungan dengan trasenden atau Tuhan.
Spiritualitas adalah konsep yang luas dengan multidimensi dan
perspektif yang ditandai adanya perasaan keterikatan (koneksitas) kepada
sesuatu yang lebih besar dari diri individu, yang disertai dengan usaha
pencarian makna dalam hidup atau dapat dijelaskan sebagai pengalaman
yang bersifat universal dan menyentuh. Beberapa individu
menggambarkan spiritualitas dalam pengalaman-pengalaman hidupnya
seperti adanya perasaan terhubung dengan transendental yang suci dan
menentramkan, sebagaian individu yang lain merasaan kedamaian saat
berada di masjid, gereja, kuil atau tempat suci lainnya (Ardian, 2016).
Menurut World Health Organization dalam Fenti (2012),
kesehatan spiritual merupakan salah satu unsur dari pengertian kesehatan
seutuhnya. Kesehatan spiritual mempunyai andil dalam mendapati
kehidupan menjadi pribadi yang terintegrasi dan hidup dalam
keseimbangan. Spiritualitas mengantarkan individu untuk meyakini atau
mengimani sesuatu dan merasa bermakna dalam hidup dengan melihat
signifikansi yang lebih besar di setiap peristiwa dalam kehidupan. Dengan
kesehatan spiritual, individu akan mampu merasakan hidup sebagai suatu
pengalaman yang positif, penuh harapan tentang masa depan, merasa
mencintai dan dicintai oleh orang lain, menghapuskan timbunan stress
dalam kehidupan, terbebas dari pikiran yang dipenuhi kecemasan dengan
mempercayai petunjuk dari kekuatan yang lebih tinggi. Hal ini secara
bertahap membawa individu pada suatu latihan alamiah yang dapat
meningkatkan kualitas hidup sampai pada kesimpulan betapa berharganya
perjalanan jiwa dalam suatu kehidupan (Puchalski, Vitillo, Hull, dan
Reller, 2014).
2. Spritual, Kesehatan, dan Sakit
Hamid (2009), mengemukakan bahwa keyakinan spiritual sangat penting
bagi pasien karena dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku
sehat-sakit pada pasien. Beberapa pengaruh dan keyakinan spiritual yang
perlu dipahami adalah sebagai berikut:
a. Menuntun kebiasaan hidup sehari-hari
Praktik tertentu pada umumnya yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan mungkin mempunyai makna keagamaan bagi klien. Sebaga
contoh, ada agama yang menetapkan makanan diet yang boleh dan
tidak boleh di makan. Begitu pula metode keluarga berencana ada
agama yang melarang cara tertentu untuk mencegah kehamilan.
Termasuk terapi medik atau pengobatan.
b. Sumber dukungan
Ketika mengalami stress, individu akan mencari dukungan dari
keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk dapat
menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit
tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil
yang belum pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci, dan
praktik keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan
spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan terhadap tubuh.
c. Sumber kekuatan dan penyembuhan
Nilai dari keyakinan agama tidak dapat dengan mudah dievaluasi.
Walaupun demikian, pengaruh keyakinan tersebut dapat diamati oleh
tenaga kesehatan dengan mengetahui bahwa individu cenderung dapat
memahami distres fisik yang luar biasa karena mempunyai keyakinan
yang kuat. Keluarga klien akan mengikuti semua proses penyembuhan
yang memerlukan upaya luar biasa karena keyakinan bahwa semua
upaya tersebut akan berhasil.
d. Sumber konflik
Pada situasi tertentu dapat terjadi konflik antara keyakinan agama
dengan praktik kesehatan, misalnya ada orang yang memandang
penyakit sebagai sutau bentuk hukuman karena pernah berdosa. Ada
agama tertentu yang menganggap manusia sebagai makhluk tidak
berdaya dalam mengendalikan lingkungannya sehingga penyakit
diterima sebagai takdir, bukan sebagai sesuatu yang harus
disembuhkan
3. Perubahan Fungsi Spiritual
Manifestasi klinis/ tanda dan gejala terjadinya perubahan fungsi spiritual:
a. Verbalisasi distress
Individu yang mengalami gangguan fungsi spiritual biasanya
memverbalisasikan distres yang dialaminya atau mengekspresikan
kebutuhan untuk mendapatkan bantuan, misalnya seorang istri
mengatakan “saya merasa bersalah karena saya seharusnya
mengetahui lebh awal bahwa suami saya mengalami serangan
jantung”, biasanya klien meminta perawat untuk berdoa bagi
kesembuhannya atau memberi tahu pemuka agama untuk
mengunjunginya. Perawat juga perlu peka terhadap keluhan klien
tentang kematian atau merasa tidak berharga dan kehilagan arti
hidup. Kepekaan perawat sangat penting untuk mengetahui dan
untuk menarik kesimpulan dari verbalisasi klien tentang distres yang
dialami klien.
b. Perubahan perilaku
Perubahan perilaku juga dapat merupakan manifestasi gangguan fungsi
spiritual. Klien yang merasa cemas dengan hasil pemeriksaan atau
menunjukkan kemarahan setelah mendegar hasil pemeriksaan mungkin
saja sedang menderita distres spiritual. Ada yang bereaksi dengan
perilaku mengintropeksi diri dan mencari alasan terjadinya suatu
situasi dan berupaya mencari fakta yang dapat menjelaskan situasi
tersebut, tetapi ada yang bereaksi secara emosional dan mencari
informasi serta dukungan dari keluarga atau teman. Perasaan bersalah,
rasa takut, depersi, dan ansietas mungkin menunjukkan perubahan
fungsi spiritual.
4. Rentan Respon Spiritual
Nursalam (2007), mengemukakan bahwa respon adaptif spiritual
dikembangkan dari proses Ronaldson (2000) dan Kauman dan Nipan
(2008). Respon adaptif spiritual, meliputi:
a. Harapan yang realistis
b. Tabah dan sabar
c. Pandai mengambil hikmah
5. Aspek Spiritual
Spiritual yaitu keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang meliputi
berbagai aspek sebagai berikut (Hamid, 2008) :
 Memiliki kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa
 Menemukan arti dan tujuan hidup
 Menyadari kemampuan diri sendiri dalam menghadapi cobaan
6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spiritual Pasien
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi spiritual seseorang yaitu dapat
dilihat dari tahap perkembangan seseorang khususnya pada anak-anak
karena masing-masing anak memiliki presepsi yang berbeda-beda tentang
Tuhan dan cara sembahyang. Keluarga juga dapat mempengaruhi spiritual
seseorang karena keluarga merupakan orang atau lingkungan terdekat
yang menjadi tempat belajar pertama sebelum bertemu dengan orang lain
(Dwidianti, 2008).
7. PROSES KEPERAWATAN DALAM SPIRITUAL
Proses keperawatan tidak hanya mengkaji praktik dan ritual keagamaan
pasien saja, tetapi perlu memahami spiritual pasien dan kemudian
mengidentifikasi secara tepat terkait tingkat dukungan dan sumber yang
diperlukan (Potter & Perry, 2005). Pemberian asuhan keperawatan
memerlukan suatu metode ilmiah yaitu proses keperawatan yang meliputi:
a. Pengkajian
Pengkajian adalah hal yang sangat penting dalam proses keperawatan,
jika pengkajian ini tidak ditangani dengan baik maka perawat akan
sulit untuk melakukan langkah selanjutnya (NANDA, 2015).
Pengkajian dapat dilakukan untuk mendapatkan data subjektif dan data
objektif. Data subjektif yaitu data yang meliputi tentang sumber
harapan dan kekuatan, pertanyaan yang dapat diajukan perawat untuk
memperoleh informasi tentang spiritual yaitu sebagai berikut: apakah
agama dan Tuhan merupakan hal yang penting dalam kehidupan anda?
Kepada siapa anda biasanya meminta bantuan? Apakah sakit atau
kejadian penting lain yang pernah anda alami telah mengubah perasaan
anda terhadap tuhan?. Pengkajian data objektif meliputi sikap,
perilaku, hubungan interpersonal dan lingkungan. Pengkajian untuk
data objektif bisa dilakukan dengan observasi, hal-hal yang perlu
diobservasi adalah apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah,
ataupun cemas?Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan,
membaca kitab suci atau buku keagamaan? Apakah pasien sering
mengeluh? Apakah pasien menyebut nama Tuhan, doa, rumah ibadah
atau topik keagamaan lainnya? Apakah pasien pernah meminta
dikunjungi oleh pemuka agama? (Hamid, 2008).
b. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan spiritual menurut
NANDA adalah distres spiritual. Distres spiritual adalah rentang
terhadap gangguan kemampuan merasakan dan mengintegrasikan
makna dan tujuan hidup melalui kekuatan yang lebih besar dari diri
sendiri, yang dapat menggangu kesehatan (NANDA, 2015). Setiap
diagnosa harus mempunyai faktor yang berhubungan dan akurat
sehingga intervensi yang dihasilkan dapat bermakna dan berlangsung
(Potter & Perry, 2005). Menurut NANDA (2015) batasan karakteristik
dari diagnosa distres spiritual yang terdiri dari:
 Hubungan diri sendiri, meliputi: klien merasa hidupnya kurang
bermakna, selalu merasa bersalah, pasrah terhadap keadaan yang
dialami, kopingnya tidak efektif.
 Hubungan dengan orang lain, meliputi: menolak berinteraksi
dengan orang lain atau orang terdekat, menolak berinteraksi
dengan pemimpin spiritual atau kerohaniawan.
 Hubungan dengan seni, musik, literatur, alam, meliputi: tidak suka
membaca tentang spiritual, tidak ada ketertarikan dengan alam,
terjadi penurunan ekspresi kreativitas sebelumnya artinya tidak
mampu mengekperesikan kreatif seperti menulis lagu, mendengar
musik atau bernyanyi.
 Hubungan dengan kekuatan yang lebih besar dari pada diri sendiri,
meliputi: tidak berdaya, ketidakmampuan dalam melakukan
ibadah, ketidakmampuan berdoa, marah terhadap tuhan, meminta
untuk bertemu dengan pemimpin agama, perubahan mendadak
dalam praktik, ketidakmampuan berpartisipasi dalam aktivitas
keagamaan.
c. Perencanaan
Setelah diagnosa keperawatan dan faktor yang berhubungan,
selanjutnya perawat dan klien menyusun kriteria hasil dan rencana
intervensi (Nurinto, 2007). Menetapkan suatu perencanaan perawatan,
tujuan ditetapkan secara individual dengan mempertimbangkan
riwayat pasien, area yang beresiko dan tanda-tanda abnormal serta data
objektif yang relevan.
d. Implementasi
Pada tahap ini, perawat melakukan implementasi terkait spiritual yang
telah ditetapkan antara lain: mendukung spiritual pasien, mendengar
dengan aktif, menghormati privasi, menghibur misalnya dengan terapi
musik (Narayanasamy, 2004). Perawat juga dapat merujuk pasien
kepada pemuka agama, agar perawat dan pemuka agama dapat
berkerjasama dalam memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Perawat
dalam melakukan implementasi harus peduli, penuh kasih, ramah
dalam berinteraksi dengan pasien dan menghargai privasi pasien
(Mcsherry, 2010).
e. Evaluasi
Perawat dapat membantu menguatkan spiritual klien dan dapat
membandingkan tingkat spiritual klien dengan prilaku dan kebutuhan
yang tercatat dalam perencanaan keperawatan. Perawat dapat
mengetahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil yang sudah
ditetapkan pada fase perencanaan, dengan cara mengumpulkan data
terkait pencapaian tujun asuhan keperawatan. Apabila tujuan
keperawatan telah tercapai maka secara umum klien mampu
beristirahat dengan tenang, dapat mengekspresikan rasa damai yang
berhubungan dengan tuhan, membangun hubungan yang hangat dan
selalu terbuka dengan pemuka agama dan dapat mengekspresikan
situasi yang positif (Hamid, 2000).
DAFTAR PUSTAKA

 Ardian, I. (2016). Konsep Spiritualitas dan Religiusitas (Spiritualitas and


Religion) dalam Konteks Keperawatan Pasien Diabetes Militus Tipe 2.
NURSCOPE Jurnal Keperawatan dan Pemikiran Ilmiah, 2 (5).1-9
 Dwidianti, Mediana. (2008). Konsep “Caring”, komunikasi, etic dan aspek
spiritual dalam pelayanan keperawatan. Semarang: Hasani
 Hamid, Achir Yani S, Bunga Rampai Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa,
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2008.
 Hamid,A.Y. (2006). Buku Ajar Aspek Spiritualitas Dalam Keperawatan.
Jakarta : Widya Medika
 Nanda. (2015). Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017
Edisi 10 editor T Heather Herdman, Shigemi Kamitsuru. Jakarta: EGC.
 Nursalam. (2013). Konsep dan penerapan metodologi penelitian Ilmu
keperawatan. Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen. Edisi 5. Jakarta :
Salemba Medik
 Potter, Perry. (2010). Fundamental Of Nursing: Consep, Proses and Practice.
Edisi 7. Vol. 3. Jakarta : EGC
 Puchalski, Christina M., Vitillo, R., Hull, S. K., & Reller, N. (2014).
Improving the spiritual dimension of whole person care: reaching national
and international consensus. Journal of Palliative Medicine, 17(6), 642–
656.
 S, Ronaldson, “Spiritulity the Heart of Nursing”, dalam Nursalam dan Ninuk
Dian Kurniawati, Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS, Jakarta : Salemba Medika, 2008.

Anda mungkin juga menyukai