A. Pendahuluan
Saat ini di rumah sakit umum dianjurkan melaksanakan suatu program yang
dinamakan program Integrasi Kesehatann Jiwa. Tentu saja ini sudah mulai
dijalankan di sejumlah rumah sakit yang berdasarkan agama atau yang dikelola
organisasi sosial keagamaan melalui pelaksanaan terapi agama. Disamping
dokter yang mengobati, ada juga agamawan yang mendampingi, memberikan
dan menuntun do’a. Di RSI, RSHS, dan RSCM, sudah diterbitkan buku
tuntunan do’a. Alangkah baiknya bila rohaniawan yang membimbing di rumah
sakit juga mempunyai pengetahuan kesehatan atau dokter-dokter yang ada dapat
pula memberikan tuntunan agama. Tujuannya agar pasien yang terbaring itu
tidak merasa jenuh dan tidak berontak. Karna dalam keadaan berbaring pun ia
bisa beribadah, berzikir atau mengaji serta sholat dengan segala
kemampuannya.
Dengan demikian pasien tidak merasa ragu karna senantiasa bisa mendapat
pahala. Sebaliknya orang yang tidak memiliki tuntunan agama akan merasa
gelisah, ingin pulang, cemas, dan sebagainya, yang justru akan menurunkan
respon imunitasinya.
Perasaan takut dioperasi timbul karena takut menghadapi kematian dan tidak
bisa bangun lagi setelah dioperasi. Ada pula orang lain yang tidak bermasalah
dalam operasi, ternyata permasalahannya adalah soal komitmen agama. Pada
kelompok yang lurus-lurus saja, yang komitmen agamanya kuat ada alur
pemikiran sebagai berikut : kami percaya pada Tuhan, kami menjalani operasi
dengan harapan sembuh andai kata kami meninggalpun tetap saja harus
menghadap Tuhan karena semua yang bernyawa pasti akan mati. Kami sudah
siap mati karena kami sudah memohon dan berdoa.
Pada orang yang gelisah, langkah awal yang harus dilakukan adalah menjalani
terapi keagamaan. Orang ini harus diterapi jiwa dan komitmen keagamaannya
sehingga siap untuk meghadapi kenyataan. Ini adalah suatu contoh tentang
pentingnya peranan agama.
Pada konfrensi yang diadakan di Canberra pada tahun 1980, dengan tema ”The
Role of Religion in The Prevention Of Drug Addiction”. Pada kelompok-
kelompok yang terkena narkotik, alcohol, dan zat adiktif (NAZA) itu sejak dini
komitmen agamanya lemah. Hal ini dibandingkan dalam penelitian dengan
orang yang kuat komitmen agamanya. Kesimpulannya remaja-remaja yang
sejak dini komitmen agamanya lemah memiliki resiko terkena NAPZA 4 kali
lebih besar dibandingkan dengan anak-anak remaja yang sejak dini komitmen
agamanya kuat. Inilah salah satu contoh peranan agama karena agama itu
membawa ketenanangan. Agama mencegah remaja yang mencari ketenangan
pada alcohol, narkotik dll.
Contoh tentang peranan agama yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa.
Ada uji perbandingan terapi yang diterapkan kepada para pendertia penyakit
jiwa skizofrenia, yakni antara cara konvensional ( dengan obat dan
senbagainnya) dan dengan cara penndekatan keagamaan, hasilnya kelompok
skizofrenia yang terapinya ditambah dengan keagamaan waktu perawatannya
lebih pendek dan gejala-gejalanya cepat hilang.
B. Religius Sebagai Kebuthan Dasar Dan Got Spot Pada Otak Manusia
- Tercapainnya derajat dan martabat yang semakin tinggi serta integritas
pribadi.
Serangkaian riset yang dilakukan Sherill dan Larson 1988, yang didukung
riset Dadang Hawari, dilakukan pada klien sebagai berikut :
- Ca. Rahim dan serviks
- AIDS
- NAPZA
Kesimpulan akhir bahwa makin kuat komitmen agama klien tersebut di atas,
maka proses penyembuhan makin cepat, lebih mampu mengatasi nyeri, depresi,
dan penderitaan (Presman, et all. 1990, Sherill Larson, 1998).
Manfaat komitmen agama tidak hanya dalam penyakit fisik, tetapi juga di
bidang kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang luas telah dilakukan
terhadap penduduk. Untuk mengetahui sejauh mana penduduk menderita
psychological distress. Dari studi tersebut di peroleh kesimpulan bahwa makin
religius maka makin terhindar seseorang dari stress (Linaen 1970, Strak 1971).
Kemudian dikemukakan lebih mendalam komitmen agama seseorang telah
menunjukan peningkatan taraf kesehatan jiwanya.
Di antara pasien saya yang usianya lebih dari setengah baya ( > 35 Tahun )
tidak seorangpun yang menglami penyakit kejiwaan tanpa berhubungan dengan
aspek agama.
Menurut H. Aulia dalam bukunya Agama dan Kesehatan Jiwa, “ seorang dokter
yang beragama islam yang dianutnya dengan penuh keyakinan dan mempunyai
pengetahuan tentang ajaran dan hikmah islam yang lebih banyak dari pada yang
biasa dimiliki kebanyakan kaum muslimin. Biasanya terapi dengan pendekatan
keagamaan tersebut dapat berhasil dengan baik. Pengobatan kejiwaan dengan
pendekatan agama tersebut juga akan berhasil dengan baik meskipun penderita
beragama lain atau orang yang tidak beragama sekalipun, asal saja didahului
dengan pembicaraan sekedarnya mengenai agama “.
Di kota New York ada 1 klinik yaitu Religion Psychiatric Clinic (Klinik
Kejiwaan Keagamaan) di mana agama memainkan peranan penting. Salah
seorang pengarang buku yang terkenal berjudul “agama dan kesehatan jiwa”
yaitu Prof. Dr. H. Aulia pernah berkunjung ke tempat tersebut dan mengatakan
bahwa pengobatan dan perawatan pasien yang mengalami masalah kejiwaan
ditangani secara kolaboratif oleh ahli-ahli kedokteran dan ahli-ahli penyakit
jiwa, yaitu Dr. Smiley Belanton dan Dr. Norman V. Pelae. Kedua anggota
pimpinan ini mengutip dalam buku karangan mereka berjudul Faith is the
answer yang menyatakan bahwa agama besar sekali faedahnya untuk ilmu-ilmu
kedokteran khusunya kedokteran kejiwaan. Selanjutnya Dr. Robert C. Pelae,
seorang dokter ahli bedah menyatakan sebagai berikut “ Berkat kepercayaan
dan keyakinan penderita yang mengalami luka atau pasien , saya sebagai dokter
ahli bedah selalu me;ihat penyembuhan-penyembuhan yang disangka tidak
mungkin. Saya melihat pula hasil-hasil yang tidak menyenangkan karena
percobaan dengan penyembuhan dengan agama saja atau hanya dengan ilmu
pengetahuan saja. Oleh sebab itu saya berkeyakinan bahwa ada hubungan yang
pasti dan tetap antar agama dan ilmu pengetahuan, dan Tuhan telah memberikan
kepada kita kedua-duanya sebagai senjata untuk melawan penyakit dan
kesedihan. Bila kedua-duanya dipakai bersama-sama untuk kepentingan
manusia maka kemungkinan-kemungkinan kita akan mendapatkan hasil yang
baik dengan tidak ada batasnya.
Para ahli sekarang sedang meneliti aspek-aspek agama itu secara alamiah dari
segi kesehatan jiwa. Baik pada ikatan dokter ahli jiwa Amerika maupun pada
ikatan ahli jiwa sedunia, di dalam lingkup ilmunya ada bagian yang disebut
Religion and Psychiatry ( agama dan ilmu kedikteran jiwa ). Pertalian antara
agama dengan kesehatan jiwa ini diriset, ternyata pengetahuan agama sangat
diperlukan bagi dokter ahli ilmu jiwa dan secara ilmiah kejiwaan itu dibicarakan
dalam forum-forum ilmu pengetahuan.
Kehausan spiritual, kerohanian dan keagamaan ini nampak jelas pada awal
tahun 1970 sehingga saat sejak itu mulai muncul berbagai aliran spiritual atau
psuodoagama yang cukup laris merasuk Amerika Serikat yang dikenal dengan
istilah New Religion Movment (NRM). NRM ternyata banyak menimbulkan
msalah psikososial sehingga APA (Amaerican Psychiatric Association)
membentuk task force untuk melakukan penelitian.
3. Skizofrenia
Hasil serupa diperoleh dari hasil penelitian Daun dan lavenhar (1980), yang
menunjukkan bahwa mereka yang tidak menganut agama dan dalam riwayat
tidak pernah mennjalankan ibadah keagamaan di usia remaja, mempunyai risiko
tinggi dan tendensi ke arah penyalahgunaan obat/narkotika/alkohol.
Selanjutnya dalam studi tersebut dikemukakan bahwa 89% dari alkoholik telah
kehilangan minat agama pada usia remaja (during tenage years), sementara di
pihak kontrol 48% minat terhadap agama naik. Sedangkan 32% tidak
mengalami perubahan. Hilangnya minat agama pada penderita skizofrenia lebih
rendah bila dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya. Dibandingakn
dengan kelompok kontrol, kelompok skizofrenia tidak menjalankan agamanya
dan tidak serajin kelompok kontrol. Hasil temuan ini adalah sebagai akibat dari
ketidakharmonisan keluarga. Sebagai contoh misalnya pengajaran agama pada
keluarga-keluarga penderita skizofrenia. Tuhan dogambarkan sebagai sosok
yang suka menghukum dan bertindak kasar (73%). Sedangkan pada keluarga
dari kelompok kontrol Tuhan digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih
sayang dan baik hati (70%) (Wilson, Larson, dan Meier). Temuan di atas
merupakan tantangan bagi sebagian psikiater yang beranggapan bahwa
komitmen agama bagi kesehatan jiwa. Kelompok kontrol yang merupakan
kelompok yang tidak mengalami gangguan jiwa ternyata lebih konsisten
religiusitasnya daripada kelompok yang menderita gangguan jiwa.
Beberapa tahun yang lalu di kota Denver Amerika, pernah terjadi wabah diare
yang sangat hebat. Menurut penelitian bdana epidemologi setempat, ternyata
penyebabnya adalah kebiasaan mereka dalam membersihkan diri dan bersuci
dari najis yang kurang sempurna. Mereka biasanya menggunakan tissue untuk
membersihkan BAB. Setelah diadakan peninjauan cara-cara bersucinya umat
islam dengan wudlu sebelum shalat dan thaharah (bersuci dari hadas besar dan
kecil) mereka akhirnya merubah pola kebersihannya dangen menggunakan air.
Melalui wudlu minimal 5 kali sehari sebelum shalat umat islam akan dijaga
kebersihannya dari najis dan kotoran. Dalam wudlu terkandung oral hygiene,
vulva hygiene, dan personal hygiene yang sangat lengkap. Sehingga
memungkinkan untuk mencegah penyakit infeksi yang disebabkan oleh 5 F
(Finger, Feaces, Food, Fly and Fluid). Lebih jauh dengan cara berwudlu akan
mencegah terjadinya penyakit tertentu seperti yang pernah terjadi di daerah
pertambangan Amerika Utara. Akibat terakumulasinya timah hitam (plumbum)
dan zat-zat Carsinogenic leinnya menyebabkan tingginya angka kanker kulit.
Sedangkan setelah diperbandingkan dengan negara yang mayoritas peduduknya
agama islam angka tersebut sangat kecil. Terutama karena dengan wudlu
minimal 5 kali sehari kebersihan kita dijaga dari akumulasi zat-zat toksik pada
tubuh kita. Berwudlu menjadi rahasia kesehatan Rasulullah sepanjang rentang
hidupnya, bahkan beliau sangat mewasiatkan untuk senantiasa tampil besih,
memakai wewangian, dan bersiwak (gosok gigi) dengan sempurna.
Pengaruh Gerakan Shalat pada Sistem Cardiovaskular
Beberapa pakar kesehatan dunia, juga menyoroti masalah shalat ditinjau dari
ilmu kesehatan. Prof. Dr. Vanschreber mengatakan bahwa gerakan shalat yang
merupakan salah satu ibadah rutin dalam agama islam adalah suatu cara untuk
memperoleh kesehatan dalam arti yang seluas-luasnya dan dapat dibuktikan
secara ilmiah.
Menurut Ancok (1985 : 1989) dan Suroso (1994) ada beberapa aspek terapiutik
yang terdapat pada shalat, antara lai aspek olahraga, aspek meditasi, aspek auto-
sugesti, dan aspek kebersamaan. Di samping itu shalat unsur relaksasi oto,
relaksasi kesadaran indera, aspek katarsis (Haryanto, 2001).
c. Pada saat mengisi shaf dan meluruskan shaf, apabila sholat akan
dimulai maka imam akan memeriksa barisan kemudian akan ”memerintahkan”
pada makmum untuk mengisi shaf yang kosong dan merapatkan barisan. Hal ini
juga tidak memperdulikan ”siapa makmum-nya”, jika ada shaf yang kosong
harus segera diisi dan juga kalau kurang rapat harus dirapatkan.
salah satu kesempurnaan shalat berjamaah adalah lurus dan rapatnya barisan
(shaf) para jamaahnya. Ini berarti tidak ada jarak personal antara satu dengan
lainnya. Masing-masing berusaha untuk mengurangi jarak personal, bahkan
kepada mereka yang tidak ia kenal, namun merasa ada satu ikatan yaitu ”ikatan
aqidah (keyakinan)”.
salah satu kesempurnaan shalat adalah di lakukan berjamaah dan lebih utama
lagi dilakukan di masjid. Masjid dalam islam memepunyai peranan yang cukup
besar, masjid bukan sebagai pusat aktivitas beragama dalam arti sempit namun
sebagai pusat aktivitas kegiatan umat. Sehingga shalat di masjid ini
mengandung unsur terapi lingkungan (haryanto, 2001).
melakukan shalat berjamaah di masjid atau mushola juga diharapkan akan juga
mengalihkan perhatian seseorang dari kesibukan yang sudah menyita segala
energi yang ada dalam diri seseorang dan kadang-kadang sebagai
yang dimaksud dengan shalat berjamaah adalah minimal dua orang. Sehingga
jika ia ingin disebut sebagai shalat berjamaah, maka ia harus membutuhkan,
menunggu, berkongsi dengan sedikitnya satu orang.
shalat berjamaah di masjid sekarang ini sudah banyak para takmir masjid
menyelenggarakan pengajian pendek yang lebih dikenal ”kultum (kuliah tujuh
menit)” setiap selesai shalat. Tentunya salah satu pokok pembahasannya adalah
mengenai permasalahan manusia, sehingga hal ini akan membantu pemecahan
masalah.
Masalah NAPZA sebetulnya masalah mental. Jadi focus yang terberat dalam
penangannya sebenarnya pada tahap rehabilitasi mental bukan pada terapi
medik, itu yang dituturkan oleh Prof. Dr. Dadang Hawari. Dalam hal ini
pendekatan agamalah yang lebih tepat.
Dalam islami, penanganan masalah NAPZA sudah cukup lengkap baik segi
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Secara preventif, islami telah melarang
dengan tegas yang tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2); 219 dan Surat
al-Imron (3); 90-91 bahwa khamar(arak dan sejenisnya yang merusak fisik
danmental manusia) adalah haram. Dalam khamar terdapat dosa besar dan
manfaat bagi manusia, tapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya dan
implikasinya selain merusak langsung pada dirinya juga akan menjerumuskan
ke dalam permusuhan dan membenci antar sesama. Hah ini sudah terbukti
secara nyata dalam masyarakat, akibat NAPZA berupa tindak kriminal,
pemerkosaan, anarkis sampai si pemakainya mengalami psikosis/skizofrenia.
Langkah awal yang merupakan kunci untuk keberhasilan terapi, klien harus
mempunyai motivasi dan niat yang ikhlas untuk tidak menyalahgunakan
NAPZA lagi, artinya klien melakukan taubatan nasuha (tobat yang sebenar-
benarnya) untuk tidak mengulangi perbuatan dhalim-nya. Sesuai dengan teori
motivasi bahwa terjadinya tingkahlaku disebabkan oleh adanya kebutuhan yang
dirasakan oleh individu.
Untuk mencapai tujuan melepaskan diri dari NAPZA, klien harus mempunyai
motivasi terlebih dahulu dan diikuti dengan perbuatan diantara diantaranya
mandi, shalat, djikir, shaum, dan menjalankan syariat islam yang lainnya.
Penutup
Dari sejumlah peneliti para ahli, ternyata bisa disimpulkan, bahwa komitmen
agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan
kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit yang
dipadukan dengan terapi kedokteran. Agama lebih bersifat protektif daripada
problem producing. Komitmen agama mempunyai hubungan signifikan dan
positif dengan clinical benefit. Kesimpulan umum adalah seperti apa yang telah
dikemukakan oleh Larson (1990), ”Masyarakat dan bangsa kita adalah bangsa
yang religius. Maka sepatutnyalah pendekatan keagamaan dalam praktik
kedokteran dan keperawatan dapat diamalkan dalam dunia kesehatan. Dengan
catatan bukan tujuan untuk mengubah keimanan seseorang terhadap agama
yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan spiritualnya
dalam menghadapi penyakit.
No comments: